“Masuk!”“Terima kasih, Tuan. Tapi, itu tidak perlu.”“Aku bilang cepat masuk!” desak Jerry semakin menjadi. “Aku tidak mau merepotkan, Anda. Aku bisa naik taksi.” “Tidak akan ada taksi di sini.”“Tapi, di depan sana ada. Aku masih bisa berjalan sampai di sana.”Zenata tetap melenggang pergi membuka Jerry berdecak jengkel, jika tidak mengingat siapa gadis itu bagi istri tuannya mungkin akan ia tinggalkan, tidak akan ia bujuk-bujuk sedemikian rupa. Dengan raut dinginnya, Jerry pun membuka pintu mobilku melangkah lebih cepat dan ia langsung menarik pergelangan tangan Zenata.“Lepas... Lepas...” Zenata berusaha memberontak saat Jerry terus menyeret tangannya paksa. “Kamu apa-apaan sih!!”“Aku bilang masuk.” Jerry membuka pintu lalu mendorong tubuh Zenata masuk. Membuat perempuan itu menggerutu kesal sepanjang perjalanan. Tidakkah Jerry tahu bahwa dalam waktu delapan jam lebih bertemu dengan pria itu dalam lingkup kantor saja sudah membuat Zenata kesal. Dan ini pulang masih saja harus
Gracia benar-benar merasa kelelahan menunggu panggilan kerja dari beberapa cv yang telah ia kirimkan. Sementara tabungannya semakin menipis, ia tidak mungkin pulang lalu meminta uang pada Mama dan Papa tirinya. Ia tidak ingin Mamanya mengalami kesulitan karena berhubungan dengannya. Ia ingat bagaimana penderitaan Mamanya dulu, dan ia tidak ingin Mamanya kembali merasakan hal yang serupa. Cukup sudah segala penderitaannya.“Kau mau kemana?” tegur Alex saat melihat ia beranjak dari tempat duduknya.“Aku mau keluar sebentar.”Alex terdiam sejenak menatap Gracia lebih intens hingga pandangannya tertuju pada barang dalam genggaman gadis itu. “Itu apa?” tunjuknya.“Oh ini surat cv. Aku berniat melamar pekerjaan, sejak kemarin aku sudah menunggu panggilan dari lamaran yang aku kirim lewat email tapi belum juga berhasil. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras lagi.” Gracia terkekeh kecil, membuat Alex menaikan sebelah alisnya. “Sepertinya menjadi penjaga toko juga tidak masalah.”Terdenga
Setelah Max mendengar istrinya mengigau beberapa hari yang lalu. Max semakin terlihat waspada. Ia tidak mengira jika Valerie ternyata nekat menemui ibu tirinya yang kini menjadi seorang tempramen dan penjudi. Pantas saja kata-kata yang dilontarkan pun terdengar buruk.“Jangan pernah berniat menemui ibu tirimu lagi,” ujar Max. Saat ini mereka tengah sarapan bersama. Max yang sebentar lagi harus ke kantor, sedangkan Valerie harus ke kampus. “Tidak.”“Aku tahu mereka itu keluargamu. Tapi, sampai kapanpun orang-orang seperti mereka tidak akan berubah, akan selalu menganggap dirimu itu rendah, Valerie. Jangan nekat, atau kau akan kembali melihat sisi lain dariku lagi.” Max menatap tajam istrinya membuat Valerie yang tengah berusaha menelan makanannya terasa susah berhenti di tengah tenggorokan. “Dokter mengatakan kau tidak boleh stres, agar bisa secepatnya hamil,” lanjutnya membuat Valerie semakin merasa kehilangan selera makannya.**Zenata benar-benar merasa lelah, semalam ia lembur sam
“Zenata minta resign,” kata Max usai berhasil menuntaskan hasratnya pada pagi harinya. Valerie yang tengah mengatur napasnya yang masih memburu pun langsung menoleh dengan rasa terkejutnya. “Kenapa?”“Katanya dia tidak mampu bekerja di kantoran. Padahal sejauh yang aku tahu pekerjaannya selalu beres.”Valerie terdiam sejenak. “Kamu sudah memberikan ACC ke dia?”Max merengkuh tubuh istrinya, menghirup aroma tubuhnya kuat-kuat layaknya candu. Tapi, Valerie langsung mendorong tubuhnya. “Engap. Aku gak bisa napas. Kamu ditanya apa malah tidak jawab.”“Aku minta dia untuk bicara lebih dulu ke kamu. Kalau kamu mengijinkan aku memperbolehkannya.”Valerie mengangkat mendengarnya. “Kenapa harus nunggu aku. Itu kan perusahaan kamu.”“Terserah aku.” Valerie berdecak jengkel mendengar ucapan suaminya. Ia langsung beranjak dari tempat tidurnya, dan berlalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tapi, ia lupa mengunci pintu seperti biasanya. Hingga Max pun justru menyusul dirinya. Ia yang
Entah kenapa seharian ini Valerie benar-benar malas melakukan aktivitas apapun. Ia merasa matanya begitu berat untuk terbuka. Hingga saat dosen mengisi materi kuliahpun, berkali-kali ia terkantuk-kantuk. Beruntung ia tidak kena teguran. Untungnya hari ini hanya ada satu mata kuliah. Rasanya hari masih terlalu pagi jika ia langsung pulang, untuk itu ia meminta di antarkan ke rumah Zenata. “Bagaimana pekerjaanmu, Ze?” tanya Valerie begitu tiba di sana. Bahkan tidak segan ia langsung merebahkan tubuhnya di ranjang sahabatnya itu.“Asyik dong. Kan ketemu teman lama.” Valerie mengangguk menghela napas lega. “Kamu masih lanjut kursus masaknya?”“Masih sih. Cuma waktu kerja di kantor suamimu saja aku berhenti.”“Aku kok merasa aneh ya sama kamu.”“Aneh gimana?”“Kamu tiba-tiba minta berhenti dari perusahaan Max seperti ada sesuatu. Apa ada yang menindasmu?”“Ngaco. Mana ada yang berani menindasku,” kilah Zenata.“Kali aja ada. Kalau tidak ada mah ya syukur.” Valerie beralih memeluk guling.
Valerie benar-benar membuat Max jengkel dan tidak dapat konsentrasi bekerja. Sudah berhari-hari istrinya itu bersikap sangat menjengkelkan tidak pernah mau di dekati, tapi jika Max bersuara lebih tinggi dari yang pernah dulu ia lakukan Valerie akan menangis. Pernah suatu hari Max menjemput Valerie saat kuliah. Tapi, yang ia dapatkan justru rasa jengkel istrinya tidak mau semobil dengan dirinya. Valerie lebih memilih naik taksi dibandingkan satu mobil dengan Max. Hasilnya Max harus mengikuti mobil yang membawa istrinya. Seperti biasa saat ditegur Valerie justru akan menangis, dan mengatakan jika dirinya itu menyebalkan. Max benar-benar pusing merasakan sikap Valerie. Ia merasa posisinya jadi terbalik, sejak dulu mana pernah ia diacuhkan perempuan sekalipun ia salah dan bersikap dingin. Para wanita akan selalu memuja dirinya. Entah pesona dan sihir apa yang dimiliki Valerie hingga Max begitu takluk.“Sial!!”“Ada apa, Tuan?” Jerry dan Cindy — sekretaris Max pun terkejut dan bertanya s
“Coba pakai ini.” Max mengulurkan bungkusan yang berisi alat tes kehamilan yang baru saja Jerry beli tanpa basa-basi.“Apa ini?” sahut Valerie yang tengah tiduran sambil membaca buku di sofa. Ia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan bingung. “Test pack,” jawab Max singkat membuat Valerie melongo. “Siapa yang hamil?” tanya Valerie polos. Max berdecak mendengarnya, lalu mengedikkan bahunya tidak acuh.“Kan makanya aku bilang kamu coba pakai.”Valerie membuka bungkusan itu mengambil salah satu alat tes kehamilan itu, lalu menatap suaminya sesaat. “Kamu—”“Kenapa?” tanya Max menatap istrinya yang tengah membolak-balikan alat tes kehamilan tersebut. “Kamu tidak tahu cara pakainya?”“Bukan.”“Lalu?” Max menatap istrinya dengan pandangan menuntut.“Kamu sangat ingin segera punya anak ya?” tanya Valerie hati-hati. Max justru melipatkan kedua tangannya di dada dengan mata tidak lepas menatap istrinya. “Seharusnya kamu pun sudah tahu jawabannya kan. Kenapa masih bertanya.”Valerie
Max mendengarkan penjelasan dokter kandungan dengan antusias, sementara Valerie justru sibuk menatap suaminya. Wajah Max terlihat berseri-seri, dengan bibir tidak hentinya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman. Melihatnya, membuat Valerie terpesona rasanya ia ingin menghentikan waktu agar terus bisa melihat wajah bahagia suaminya. Rasanya ia hampir tidak pernah melihat rona bahagia pada pria yang biasanya memasang wajah dingin itu.“Kau sejak tadi menatapku seperti itu? Ada apa?” tanya Max sambil memasangkan seat beltnya pada Valerie. “Terpesona ya? Karena aku tampan. Kamu baru sadar?” lanjutnya kian menggoda membuat Valerie tersadar dan langsung mencubit pinggang suaminya, hingga Max mendesis.“Percaya diri sekali. Aku hanya tengah berpikir kalau kau sudah gila. Sejak tadi tidak hentinya tersenyum. Sengaja ya sedang tebar pesona,” cibir Valerie membuat Max melongo lalu detik berikutnya pun tertawa.“Cemburu?” godanya.Valerie hanya berdecak membuang pandangannya menatap ke a