“Bagaimana kehidupan rumah tanggamu? Kau bahagia, Vale?”Pertanyaan Jacob seketika membuat Valerie terdiam dengan pikiran berkelana entah kemana. Max memang tidak kasar, tidak pernah menyiksa dirinya. Tapi, ia tidak tahu bagaimana isi hati pria itu sebenarnya. Entahlah definisi rumah tangga apa yang kini tengah ia jalani. Yang ia ketahui Max hanya menginginkan anak darinya. Meski begitu, ia merasa sedikit beruntung karena pria itu bersikap baik, dan mau memberikan apapun yang ia butuhkan.“Jangan tanyakan kebahagiaan padaku, Jac. Kau tahu benar kehidupan ini tidak seindah dunia novel, ataupun dongeng yang selama ini kita dengar.”Jacob tersenyum tipis. “Aku mengerti. Tapi, kau perempuan yang baik dan kuat. Tuan Max pasti sangat beruntung memiliki istri seperti dirimu.”Valerie tersenyum getir. “Pernikahan kamu terjadi bukan dilandaskan cinta. Melainkan karena suatu keterpaksaan. Bukankah tidak ada perempuan baik yang hamil di luar pernikahan?”Jacob tertawa kecil, tawa yang membuat
“Masuk!”“Terima kasih, Tuan. Tapi, itu tidak perlu.”“Aku bilang cepat masuk!” desak Jerry semakin menjadi. “Aku tidak mau merepotkan, Anda. Aku bisa naik taksi.” “Tidak akan ada taksi di sini.”“Tapi, di depan sana ada. Aku masih bisa berjalan sampai di sana.”Zenata tetap melenggang pergi membuka Jerry berdecak jengkel, jika tidak mengingat siapa gadis itu bagi istri tuannya mungkin akan ia tinggalkan, tidak akan ia bujuk-bujuk sedemikian rupa. Dengan raut dinginnya, Jerry pun membuka pintu mobilku melangkah lebih cepat dan ia langsung menarik pergelangan tangan Zenata.“Lepas... Lepas...” Zenata berusaha memberontak saat Jerry terus menyeret tangannya paksa. “Kamu apa-apaan sih!!”“Aku bilang masuk.” Jerry membuka pintu lalu mendorong tubuh Zenata masuk. Membuat perempuan itu menggerutu kesal sepanjang perjalanan. Tidakkah Jerry tahu bahwa dalam waktu delapan jam lebih bertemu dengan pria itu dalam lingkup kantor saja sudah membuat Zenata kesal. Dan ini pulang masih saja harus
Gracia benar-benar merasa kelelahan menunggu panggilan kerja dari beberapa cv yang telah ia kirimkan. Sementara tabungannya semakin menipis, ia tidak mungkin pulang lalu meminta uang pada Mama dan Papa tirinya. Ia tidak ingin Mamanya mengalami kesulitan karena berhubungan dengannya. Ia ingat bagaimana penderitaan Mamanya dulu, dan ia tidak ingin Mamanya kembali merasakan hal yang serupa. Cukup sudah segala penderitaannya.“Kau mau kemana?” tegur Alex saat melihat ia beranjak dari tempat duduknya.“Aku mau keluar sebentar.”Alex terdiam sejenak menatap Gracia lebih intens hingga pandangannya tertuju pada barang dalam genggaman gadis itu. “Itu apa?” tunjuknya.“Oh ini surat cv. Aku berniat melamar pekerjaan, sejak kemarin aku sudah menunggu panggilan dari lamaran yang aku kirim lewat email tapi belum juga berhasil. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras lagi.” Gracia terkekeh kecil, membuat Alex menaikan sebelah alisnya. “Sepertinya menjadi penjaga toko juga tidak masalah.”Terdenga
Setelah Max mendengar istrinya mengigau beberapa hari yang lalu. Max semakin terlihat waspada. Ia tidak mengira jika Valerie ternyata nekat menemui ibu tirinya yang kini menjadi seorang tempramen dan penjudi. Pantas saja kata-kata yang dilontarkan pun terdengar buruk.“Jangan pernah berniat menemui ibu tirimu lagi,” ujar Max. Saat ini mereka tengah sarapan bersama. Max yang sebentar lagi harus ke kantor, sedangkan Valerie harus ke kampus. “Tidak.”“Aku tahu mereka itu keluargamu. Tapi, sampai kapanpun orang-orang seperti mereka tidak akan berubah, akan selalu menganggap dirimu itu rendah, Valerie. Jangan nekat, atau kau akan kembali melihat sisi lain dariku lagi.” Max menatap tajam istrinya membuat Valerie yang tengah berusaha menelan makanannya terasa susah berhenti di tengah tenggorokan. “Dokter mengatakan kau tidak boleh stres, agar bisa secepatnya hamil,” lanjutnya membuat Valerie semakin merasa kehilangan selera makannya.**Zenata benar-benar merasa lelah, semalam ia lembur sam
“Zenata minta resign,” kata Max usai berhasil menuntaskan hasratnya pada pagi harinya. Valerie yang tengah mengatur napasnya yang masih memburu pun langsung menoleh dengan rasa terkejutnya. “Kenapa?”“Katanya dia tidak mampu bekerja di kantoran. Padahal sejauh yang aku tahu pekerjaannya selalu beres.”Valerie terdiam sejenak. “Kamu sudah memberikan ACC ke dia?”Max merengkuh tubuh istrinya, menghirup aroma tubuhnya kuat-kuat layaknya candu. Tapi, Valerie langsung mendorong tubuhnya. “Engap. Aku gak bisa napas. Kamu ditanya apa malah tidak jawab.”“Aku minta dia untuk bicara lebih dulu ke kamu. Kalau kamu mengijinkan aku memperbolehkannya.”Valerie mengangkat mendengarnya. “Kenapa harus nunggu aku. Itu kan perusahaan kamu.”“Terserah aku.” Valerie berdecak jengkel mendengar ucapan suaminya. Ia langsung beranjak dari tempat tidurnya, dan berlalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tapi, ia lupa mengunci pintu seperti biasanya. Hingga Max pun justru menyusul dirinya. Ia yang
Entah kenapa seharian ini Valerie benar-benar malas melakukan aktivitas apapun. Ia merasa matanya begitu berat untuk terbuka. Hingga saat dosen mengisi materi kuliahpun, berkali-kali ia terkantuk-kantuk. Beruntung ia tidak kena teguran. Untungnya hari ini hanya ada satu mata kuliah. Rasanya hari masih terlalu pagi jika ia langsung pulang, untuk itu ia meminta di antarkan ke rumah Zenata. “Bagaimana pekerjaanmu, Ze?” tanya Valerie begitu tiba di sana. Bahkan tidak segan ia langsung merebahkan tubuhnya di ranjang sahabatnya itu.“Asyik dong. Kan ketemu teman lama.” Valerie mengangguk menghela napas lega. “Kamu masih lanjut kursus masaknya?”“Masih sih. Cuma waktu kerja di kantor suamimu saja aku berhenti.”“Aku kok merasa aneh ya sama kamu.”“Aneh gimana?”“Kamu tiba-tiba minta berhenti dari perusahaan Max seperti ada sesuatu. Apa ada yang menindasmu?”“Ngaco. Mana ada yang berani menindasku,” kilah Zenata.“Kali aja ada. Kalau tidak ada mah ya syukur.” Valerie beralih memeluk guling.
Valerie benar-benar membuat Max jengkel dan tidak dapat konsentrasi bekerja. Sudah berhari-hari istrinya itu bersikap sangat menjengkelkan tidak pernah mau di dekati, tapi jika Max bersuara lebih tinggi dari yang pernah dulu ia lakukan Valerie akan menangis. Pernah suatu hari Max menjemput Valerie saat kuliah. Tapi, yang ia dapatkan justru rasa jengkel istrinya tidak mau semobil dengan dirinya. Valerie lebih memilih naik taksi dibandingkan satu mobil dengan Max. Hasilnya Max harus mengikuti mobil yang membawa istrinya. Seperti biasa saat ditegur Valerie justru akan menangis, dan mengatakan jika dirinya itu menyebalkan. Max benar-benar pusing merasakan sikap Valerie. Ia merasa posisinya jadi terbalik, sejak dulu mana pernah ia diacuhkan perempuan sekalipun ia salah dan bersikap dingin. Para wanita akan selalu memuja dirinya. Entah pesona dan sihir apa yang dimiliki Valerie hingga Max begitu takluk.“Sial!!”“Ada apa, Tuan?” Jerry dan Cindy — sekretaris Max pun terkejut dan bertanya s
“Coba pakai ini.” Max mengulurkan bungkusan yang berisi alat tes kehamilan yang baru saja Jerry beli tanpa basa-basi.“Apa ini?” sahut Valerie yang tengah tiduran sambil membaca buku di sofa. Ia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan bingung. “Test pack,” jawab Max singkat membuat Valerie melongo. “Siapa yang hamil?” tanya Valerie polos. Max berdecak mendengarnya, lalu mengedikkan bahunya tidak acuh.“Kan makanya aku bilang kamu coba pakai.”Valerie membuka bungkusan itu mengambil salah satu alat tes kehamilan itu, lalu menatap suaminya sesaat. “Kamu—”“Kenapa?” tanya Max menatap istrinya yang tengah membolak-balikan alat tes kehamilan tersebut. “Kamu tidak tahu cara pakainya?”“Bukan.”“Lalu?” Max menatap istrinya dengan pandangan menuntut.“Kamu sangat ingin segera punya anak ya?” tanya Valerie hati-hati. Max justru melipatkan kedua tangannya di dada dengan mata tidak lepas menatap istrinya. “Seharusnya kamu pun sudah tahu jawabannya kan. Kenapa masih bertanya.”Valerie
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi