Valerie benar-benar membuat Max jengkel dan tidak dapat konsentrasi bekerja. Sudah berhari-hari istrinya itu bersikap sangat menjengkelkan tidak pernah mau di dekati, tapi jika Max bersuara lebih tinggi dari yang pernah dulu ia lakukan Valerie akan menangis. Pernah suatu hari Max menjemput Valerie saat kuliah. Tapi, yang ia dapatkan justru rasa jengkel istrinya tidak mau semobil dengan dirinya. Valerie lebih memilih naik taksi dibandingkan satu mobil dengan Max. Hasilnya Max harus mengikuti mobil yang membawa istrinya. Seperti biasa saat ditegur Valerie justru akan menangis, dan mengatakan jika dirinya itu menyebalkan. Max benar-benar pusing merasakan sikap Valerie. Ia merasa posisinya jadi terbalik, sejak dulu mana pernah ia diacuhkan perempuan sekalipun ia salah dan bersikap dingin. Para wanita akan selalu memuja dirinya. Entah pesona dan sihir apa yang dimiliki Valerie hingga Max begitu takluk.“Sial!!”“Ada apa, Tuan?” Jerry dan Cindy — sekretaris Max pun terkejut dan bertanya s
“Coba pakai ini.” Max mengulurkan bungkusan yang berisi alat tes kehamilan yang baru saja Jerry beli tanpa basa-basi.“Apa ini?” sahut Valerie yang tengah tiduran sambil membaca buku di sofa. Ia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan bingung. “Test pack,” jawab Max singkat membuat Valerie melongo. “Siapa yang hamil?” tanya Valerie polos. Max berdecak mendengarnya, lalu mengedikkan bahunya tidak acuh.“Kan makanya aku bilang kamu coba pakai.”Valerie membuka bungkusan itu mengambil salah satu alat tes kehamilan itu, lalu menatap suaminya sesaat. “Kamu—”“Kenapa?” tanya Max menatap istrinya yang tengah membolak-balikan alat tes kehamilan tersebut. “Kamu tidak tahu cara pakainya?”“Bukan.”“Lalu?” Max menatap istrinya dengan pandangan menuntut.“Kamu sangat ingin segera punya anak ya?” tanya Valerie hati-hati. Max justru melipatkan kedua tangannya di dada dengan mata tidak lepas menatap istrinya. “Seharusnya kamu pun sudah tahu jawabannya kan. Kenapa masih bertanya.”Valerie
Max mendengarkan penjelasan dokter kandungan dengan antusias, sementara Valerie justru sibuk menatap suaminya. Wajah Max terlihat berseri-seri, dengan bibir tidak hentinya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman. Melihatnya, membuat Valerie terpesona rasanya ia ingin menghentikan waktu agar terus bisa melihat wajah bahagia suaminya. Rasanya ia hampir tidak pernah melihat rona bahagia pada pria yang biasanya memasang wajah dingin itu.“Kau sejak tadi menatapku seperti itu? Ada apa?” tanya Max sambil memasangkan seat beltnya pada Valerie. “Terpesona ya? Karena aku tampan. Kamu baru sadar?” lanjutnya kian menggoda membuat Valerie tersadar dan langsung mencubit pinggang suaminya, hingga Max mendesis.“Percaya diri sekali. Aku hanya tengah berpikir kalau kau sudah gila. Sejak tadi tidak hentinya tersenyum. Sengaja ya sedang tebar pesona,” cibir Valerie membuat Max melongo lalu detik berikutnya pun tertawa.“Cemburu?” godanya.Valerie hanya berdecak membuang pandangannya menatap ke a
Ting... Tong...Bunyi bell pintu membuat Gracia yang saat itu tengah bekerja di ruang televisi pun terhenti. “Tumben sekali Alex tidak langsung masuk.” Gadis itu mengambil segelas minuman di sisinya meneguknya sesaat, sebelum kemudian beranjak ke arah pintu. Sebelum membukanya ia lebih dulu melihatnya ke arah monitor yang terlihat. Dan detik berikutnya matanya melotot dengan jantung berdetak lebih kencang. “Kak Max...”Ia kembali menyembunyikan tubuhnya di balik pintu, dengan perasaan yang tidak karuan. Ia mengira yang datang itu Alex, karena pria itu kini memilih tinggal di mes dibandingkan harus tinggal bersamanya. Keberuntungan Alex mendapatkan pekerjaan di sebuah bangunan. “Ada apa dia kemari? Apakah dia ingin kembali membuangku ke tempat menyedihkan itu?”Bayangan bagaimana sulitnya hidup di daerah terpencil itu kembali terlintas membuat Gracia panik. “Gracia buka pintunya. Aku tahu kau ada di dalam!” Max terus mengetuk pintu dan menekan bell berkali-kali, karena memang sebel
“Kak Cherry...” Valerie terkejut melihat saudara tirinya di depannya. Menyapu pandangan sekitar di mana ia baru menyadari, jika ia berada di tempat yang begitu asing. Seperti sebuah gudang kotor dan menyeramkan, ia menduga tempat itu pasti berada di pelosok yang jauh dari hunian manusia.“Oh adik tiriku sayang.” Cherry menyeringai membelai wajah mulus Valerie. “Bagus kau sudah sadar."“Apa yang mau kakak lakukan?!” “Aku ingin bermain-main denganmu sebelum kemudian menghabisi dirimu!”Wajah Cherry terlihat begitu menakutkan, seolah ada dendam yang begitu merasuk dalam jiwanya. Valerie mencoba memberontak ingin berlari. Tapi, jangankan untuk berlari melepaskan tangannya pun ia tidak mampu. Kedua tangannya saat ini terikat kuat, begitu juga dengan kakinya. “Lepaskan aku, Kak.”“Untuk apa aku menculikmu jika pada akhirnya akupun melepasmu.” Cherry menarik tubuhnya menjauh. “Terus kakak mau apa?"“Tentu saja melenyapkan dirimu.”“Apa salahku, Kak? Selama ini aku tidak pernah mengusik keh
Lima belas menit sebelumnya. Max masih berusaha mencari keberadaan istrinya. Hingga tiba-tiba ia dikejutkan dengan GPS yang menunjukkan keberadaan istrinya. “Kau tahu tempat ini, Jerry?” Max menunjukkan ponselnya. “Gps yang aku pasang di kalung Valerie. Berhenti di tempat ini.”“Itu gudang pabrik rokok yang terbengkalai, Tuan. Saya tahu tempat itu, sangat jauh dari kota.” “Kita terbangkan helikopter menuju kesana. Bawa anak buahmu Jerry.”“Baik, Tuan.”Dalam kurun waktu beberapa menit Max sudah tiba di tempat di mana penyekapan Valerie. Gudang itu dijaga oleh segerombolan para preman, tapi anak buah Jerry yang teramat tangguh mampu mengatasi itu. Max dengan cepat menyelinap masuk menuju pintu, mencari keberadaan Valerie. Dari balik pintu ia bisa mendengar jeritan Valerie. Dengan pistol di tangannya, ia dengan cepat mendobrak pintu hingga pintu yang terlihat kuat itupun langsung terbuka dan rusak. Tangannya langsung menarik pelatuk di tangannya tepat sasaran.Dorr... Dorr....Dara
Valerie dan Sarah langsung menoleh ke sumber suara terlihat Robert dan Joana melangkah mendekat. Valerie tertegun sejenak, ia sudah lama tidak melihat mertuanya itu, tepatnya semenjak Joana memohon agar Gracia dibebaskan. Tapi, melihat kondisinya kini Valerie sedikit heran karena wajah perempuan itu terlihat cerah seolah tanpa beban, sangat berbeda saat terakhir kali keduanya saling bertatapan.“Papa ..."“Mama ...”“Bagaimana kabarmu, Valerie?” tanyanya usai keduanya mendekat.“Kalian ngapain kemari?” Belum sempat Valerie menjawab Max lebih dulu tiba menyambar begitu saja. Raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. “Apa ada alasan untuk seorang Ayah ke rumah putranya sendiri?” tanya balik Robert. Max mendesis malas. “Tapi, biasanya memang begitu."“Max —"“Ah sudahlah aku juga mau ke kantor.” Max berlalu meninggalkan semuanya yang diikuti Jerry. Melewati Valerie begitu saja. Seusai kepergian suaminya Valerie kembali duduk menghabiskan sarapannya yang masih belum tersentuh sedikitp
“Kenapa dengan wajah ku?” tanya Max bingung.“Kau itu masih tidak menyadari wajahmu yang menyeramkan itu. Jika menantuku melihatnya bisa-bisa dia semakin stress dan cucuku bisa lahir sebelum waktunya. Sudahlah lebih baik kamu diam di rumah. Papa juga mau numpang tidur di sini.” Robert menjawab sambil berlalu menuju kamar tamu, meninggalkan Max dan Jerry yang masih terpaku di tempat.“Kau dengar itu Jerry. Papa bilang jika Valerie akan semakin stress melihat wajahku. Maksudnya apa coba? Memangnya wajahku itu menakutkan?” Max berdecak sementara Jerry hanya terdiam tidak berani menjawab. Bagi Jerry memang tidak menakutkan, tapi sikap dingin Max itu terkadang menyeramkan. Apalagi saat keinginannya tidak segera terpenuhi, pun jika ada yang berani membantah perintahnya, emosinya akan meledak dan siap menghabisi siapapun. Pantas saja jika istrinya yang tengah hamil itu akan stress jika melihat wajahnya. Mungkin saja karena hal itu akan membuat ia teringat perlakuan Max padanya.Semua yang
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi