Lima belas menit sebelumnya. Max masih berusaha mencari keberadaan istrinya. Hingga tiba-tiba ia dikejutkan dengan GPS yang menunjukkan keberadaan istrinya. “Kau tahu tempat ini, Jerry?” Max menunjukkan ponselnya. “Gps yang aku pasang di kalung Valerie. Berhenti di tempat ini.”“Itu gudang pabrik rokok yang terbengkalai, Tuan. Saya tahu tempat itu, sangat jauh dari kota.” “Kita terbangkan helikopter menuju kesana. Bawa anak buahmu Jerry.”“Baik, Tuan.”Dalam kurun waktu beberapa menit Max sudah tiba di tempat di mana penyekapan Valerie. Gudang itu dijaga oleh segerombolan para preman, tapi anak buah Jerry yang teramat tangguh mampu mengatasi itu. Max dengan cepat menyelinap masuk menuju pintu, mencari keberadaan Valerie. Dari balik pintu ia bisa mendengar jeritan Valerie. Dengan pistol di tangannya, ia dengan cepat mendobrak pintu hingga pintu yang terlihat kuat itupun langsung terbuka dan rusak. Tangannya langsung menarik pelatuk di tangannya tepat sasaran.Dorr... Dorr....Dara
Valerie dan Sarah langsung menoleh ke sumber suara terlihat Robert dan Joana melangkah mendekat. Valerie tertegun sejenak, ia sudah lama tidak melihat mertuanya itu, tepatnya semenjak Joana memohon agar Gracia dibebaskan. Tapi, melihat kondisinya kini Valerie sedikit heran karena wajah perempuan itu terlihat cerah seolah tanpa beban, sangat berbeda saat terakhir kali keduanya saling bertatapan.“Papa ..."“Mama ...”“Bagaimana kabarmu, Valerie?” tanyanya usai keduanya mendekat.“Kalian ngapain kemari?” Belum sempat Valerie menjawab Max lebih dulu tiba menyambar begitu saja. Raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. “Apa ada alasan untuk seorang Ayah ke rumah putranya sendiri?” tanya balik Robert. Max mendesis malas. “Tapi, biasanya memang begitu."“Max —"“Ah sudahlah aku juga mau ke kantor.” Max berlalu meninggalkan semuanya yang diikuti Jerry. Melewati Valerie begitu saja. Seusai kepergian suaminya Valerie kembali duduk menghabiskan sarapannya yang masih belum tersentuh sedikitp
“Kenapa dengan wajah ku?” tanya Max bingung.“Kau itu masih tidak menyadari wajahmu yang menyeramkan itu. Jika menantuku melihatnya bisa-bisa dia semakin stress dan cucuku bisa lahir sebelum waktunya. Sudahlah lebih baik kamu diam di rumah. Papa juga mau numpang tidur di sini.” Robert menjawab sambil berlalu menuju kamar tamu, meninggalkan Max dan Jerry yang masih terpaku di tempat.“Kau dengar itu Jerry. Papa bilang jika Valerie akan semakin stress melihat wajahku. Maksudnya apa coba? Memangnya wajahku itu menakutkan?” Max berdecak sementara Jerry hanya terdiam tidak berani menjawab. Bagi Jerry memang tidak menakutkan, tapi sikap dingin Max itu terkadang menyeramkan. Apalagi saat keinginannya tidak segera terpenuhi, pun jika ada yang berani membantah perintahnya, emosinya akan meledak dan siap menghabisi siapapun. Pantas saja jika istrinya yang tengah hamil itu akan stress jika melihat wajahnya. Mungkin saja karena hal itu akan membuat ia teringat perlakuan Max padanya.Semua yang
Sepanjang perjalanan ke rumah Max terus menggerutu kesal. Ia merasa Joana terlalu ikut campur urusannya. Seandainya saja ia tidak mengingat nasehat Dokter Elia tentang kondisi janin Valerie, tadi ia pasti akan langsung menerobos masuk menemui istrinya. “Kau lihat itu, Jerry. Perempuan itu benar-benar sudah berani denganku. Bisa-bisanya dia mengusirku, saat aku mau menemui istriku. Dia pikir dia itu siapa?” gerutu Max sambil mengendurkan dasinya.“Dia ibu tiri Anda, Tuan,” jawab Jerry yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Max. “Em... Maksud saya. Istri Ayah Anda,” ralatnya kemudian sambil memukul bibirnya. “Berani kau salah bicara sekali lagi ku gunting bibirmu!” ancamnya yang langsung membuat Jerry kembali memegang bibirnya, membayangkan seandainya itu terjadi, ia pun bergidik ngeri.“Maaf, Tuan.”“Aku heran masa iya sih Valerie bisa stres karena melihat wajahku. Yang benar sajalah. Ini pasti akal-akalan dia saja.”Jerry menghela napas panjang. Tidak mengerti bagaimana ia h
Brughh!! Prakkk!!“Ponselku!!!" Pekik Zenata saat ponselnya jatuh ke lantai usai dirinya menabrak seseorang.“Makanya kalau jalan itu pakai mata!” semprot pria yang ia tabrak dengan galak. Zenata langsung mengangkat wajahnya menatap ke sumber suara bola matanya membeliak melihat Jerry berada di depannya. “Aku heran, kenapa sih kalau setiap bertemu kamu. Bawaannya sial terus!!” balasnya tak mau kalah. Zenata menatap pria itu dengan sengit sebelum kemudian berlalu memungut ponselnya yang terlihat retak. “Dasar cewek aneh!” cibir Jerry kemudian berbalik pergi meninggalkan Zenata yang terlihat kesal.”Dasar perjaka tua. Pantas saja tidak laku-laku. Ya iyalah siapa juga perempuan yang mau sama dia, galaknya melebih macam betina.” Zenata menggerutu sambil melihat ponselnya. “Yah rusak. Baru juga aku benerin kemarin. Gini amat punya hp butut, belum juga ada joh baru. Terpaksa deh cari taksi biasa, tidak mungkin juga aku balik hanya demi pinjam hp Valerie.”Zenata keluar dari lobi, matanya
Kandungan Valerie berjalan dengan mudah, dan kini tinggal menunggu saat-saat melahirkan. Semenjak insiden penyekapan Valerie oleh Cherry. Max semakin hati-hati dan menjaganya, ia berusaha memahami jika kondisi Valerie yang tengah mengandung itu begitu sensitif. Meski kadang ucapan Valerie tidak selaras dengan pemikirannya. Ia pernah mengetahui dari salah satu karyawannya jika perempuan hamil itu suka meminta yang aneh-aneh. Tapi, sejauh yang ia ketahui Valerie tidak pernah meminta sesuatu makanan yang aneh. Entah memang tidak ingin atau Valerie selalu minta pada koki di rumahnya. “Apa yang kau inginkan?” tanya Max yang tiba-tiba datang dan duduk di depan istrinya. Valerie yang tengah duduk di kursi santai sambil membaca buku seputar kehamilan merasa heran dan terkejut dengan pertanyaan suaminya. Ia pun mengerutkan keningnya lalu mengangkat sebelah alisnya dengan bingung. Hal itu membuat Max berdecak. “Kenapa tidak menjawab? Apa mulutmu itu tidak berfungsi,” lanjutnya sambil melongga
Begitu Jerry membukakan pintu mobil, Max langsung turun tangannya terulur menyambut tangan istrinya. Keduanya berjalan masuk menuju lokasi pesta. Semua mata memandang ke arah Max. Banyak perempuan yang menatapnya dengan tatapan memuja, cemburu bagaimana melihat Max begitu manis memperlakukan istrinya. Tentu saja mereka begitu ingin berada di posisi itu. Sayangnya semua hanya bisa khayalan saja. Max tak sekalipun melepaskan tangan istrinya. Ia biarkan Valerie mengikuti kemanapun ia melangkah. Ia kenalkan istrinya itu pada rekan bisnisnya tanpa terkecuali. ”Max, tidakkah kita bisa duduk. Kakiku pegal banget."Mendengar keluhan istrinya Max langsung menoleh dan mendapati istrinya tampak meringis. “Oke.” Ia membawa Valerie ke sebuah kursi. “Mau minum atau makan sesuatu?” tawarnya.“Sebentar, Max.” Valerie berniat membungkukkan tubuhnya ingin menjangkau bagian kakinya yang terasa ngilu. “Aduh tidak sampai lagi,” lanjutnya kesal karena terhalang perutnya yang besar.“Kenapa kakinya?” Ma
Beberapa menit sebelumnya...Max, Valerie dan Jerry tengah menikmati hidangan yang tersaji dalam pesta tersebut. Sambil mengobrol dengan rekan bisnisnya yang ternyata pemilik pesta tersebut. Sesekali sang pemilik pesta tersebut meledek Jerry lantaran belum juga mau menikah, padahal Max saja sudah menemukan belahan jiwanya.“Banyak perempuan cantik di sini, Jerry. Cobalah kamu pilih lalu kenalan barangkali ada yang cocok.”Jerry hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang disertai rasa malas. Ah, entahlah sejauh ini ia masih merasa nyaman dengan kesendiriannya. Padahal usianya memang sudah cukup matang. Entah karena dirinya yang tidak bisa mendekati perempuan, atau memang ia yang memang tidak ingin memiliki pasangan. Padahal memang benar, seharusnya ia mulai bisa mengatur kehidupan pribadinya. Tidak selamanya ia sendiri, jika dulu ia harus memperhatikan dan menemani Max. Tapi, sekarang Max sudah memiliki seorang istri. “Tunggu saja, Pak. Asisten saya ini memang misterius tapi bisa ju
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi