Drama perdebatan antara Ayah dan ibu tirinya itu terus berlangsung, membuat Max terasa muak. Kenyataannya, Robert memang setergila-gila itu dengan Joana. Bahkan ia tidak ingat kapan terakhir Papa kandungnya itu mengunjungi makam mendiang ibunya. Ada setitik rasa cemburu dalam diri Max, tapi ia berusaha menepisnya. “Tidak perlu melakukan drama apapun. Putrimu baik-baik saja.” Max meletakkan kembali peralatan makannya. “Bagaimana bisa kau katakan baik-baik saja. Ayo Max, Tante hanya ingin tahu keberadaannya?”Max menoleh sekilas dengan wajah datarnya. “Kau tidak perlu tahu. Aku hanya tengah memberikan ia pelajaran. Sebentar lagi dia juga pasti kembali.” “Max...”“Aku mau ke ruang kerja dulu."“Max, beritahu dulu di mana Gracia?” Joana kian mendesak. Tapi, Max tidak peduli langsung berlalu begitu saja. Joana menatap kesal ke arah Velerie. “Kamu benar-benar tidak berguna, Valerie. Aku meminta dirimu untuk membujuk, Max. Tapi, tidak juga kau dapatkan informasi apapun.”“Jangan berani me
Valerie pergi menemui sahabatnya Zenata yang beberapa hari tidak ada kabar. Sampainya di sana ternyata sahabatnya itu tengah sakit.“Ze, ke rumah sakit yuk,” bujuk Valerie entah sudah yang keberapa kali.“Enggak mau.”“Tapi, badan kamu panas gini."“Aku cuma butuh istirahat.”“Ayolah, Ze. Aku benar-benar cemas, biar kamu segera ditangani terus cepat sembuh.”Zenata kekeh menggeleng. “Tidak, Vale. Aku tidak mau. Kamu kan tahu aku begitu takut jarum suntik.”“Ya ampun...” Valerie memijat kepalanya. “Jiwamu yang seperti preman masih saja takut dengan jarum suntik.” Ia tidak habis pikir dengan sahabatnya itu. Dengan jarum suntik takut, tapi saat menghadapi Jerry sama sekali tidak ada rona ketakutan di wajahnya. Bahkan mungkin terkesan berani, karena Zenata berani menggigit lengan Jerry begitu saja. Melihat Zenata yang terlihat lemas sambil memegangi perutnya ia menjadi tidak tega. “Aku akan belikan kamu obat. Tapi, sebelum itu kamu harus makan dulu,” kata Valerie yang kemudian berlalu ma
Apartemen itu masih sama tidak ada yang berubah, berikut dengan isinya. Max tidak menggeledah apalagi membuangnya. Gracia tersenyum saat melihat beberapa barang berharga miliknya. Ada sebuah black card miliknya yang diberikan Max masih tersimpan di sana. Tapi, ia tidak mungkin menggunakannya, ia khawatir Max akan murka. Maka lebih baik ia memilih mengambil ATM yang berisi uang pribadi miliknya. “Mau ke mana?” tanya Alex yang saat itu tengah bersantai di ruang televisi saat melihat Gracia keluar dari kamarnya dalam keadaan sudah rapi.“Aku mencari makanan atau bahan makanan. Kulkas apartemen ini kosong.”“Biar aku antar.” Alex langsung sigap beranjak dari tempatnya. “Tidak perlu. Kau istirahatlah, aku juga hanya sebentar.” Gracia langsung berlalu pergi tanpa menghiraukan Alex begitu saja. Tidak lupa gadis itu pun menggunakan topi, kacamata dan masker di wajahnya. Usai mengambil uangnya, ia langsung bertolak ke supermarket terdekat. Membeli segala keperluannya, dari mulai makanan pok
“Maaf, Max. Tadi Zenata sakit. Jadinya, aku...” Valerie menelan ludahnya tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat manik mata biru Max menatap dirinya dengan tajam penuh intimidasi. Ia benar-benar merasa gugup, Max benar-benar seperti tengah mengulitinya hidup-hidup. “Aku sudah memperingatkan dirimu agar tidak lupa waktu. Tapi, sepertinya kau lupa jalan pulang!” cibir Max.Valerie menghela napas berat, melangkah mendekati suaminya itu lalu memegang lengan Max dan menggoyangnya. “Ayolah, Max. Jangan terlalu berlebihan aku hanya berada di tempat Zenata tidak pergi kemanapun.”“Yakin tidak pergi kemanapun?” tanya Max mengangkat sebelah alisnya.Valerie menarik kembali tangannya, lalu meringis tak enak hati. “Emm... Aku cuma ke apotik dan ke supermarket sih.”Terdengar dengusan menyebalkan dari bibir Max. “Bersihkan dirimu aku tunggu di meja makan,” titahnya lalu berbalik meninggalkan Valerie begitu saja. ****Alex mengerjapkan kedua matanya, memijat kepalanya.
Uhuk! Uhuk!!Jerry yang sedang minum seketika langsung tersedak. “Maaf, Tuan...”Max hanya memberikan tatapan tajam padanya, sebelum kemudian beralih menoleh ke arah Valerie, tanpa berniat menjawab ucapannya. Ia kembali menikmati makanannya.“Jerry apakah di perusahaan ada lowongan?” tanya Valerie tiba-tiba membuat Jerry yang tengah mengunyah makanannya pun seketika terhenti dan menoleh ke arah Max yang terlihat kesal. “Emm... Itu ..” Jerry menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Max benar-benar kesal karena Valerie bisa setenang itu bertanya pada asistennya seakan menganggap dirinya tiada. “Aku membutuhkannya,” kata Valerie kemudian.“Itu Nona...”“Kau pikir itu perusahaan Jerry!” sela Max dengan raut wajah tak suka. “Lamar saja kau jadi tukang loundry pakaiannya,” selorohnya kemudian.“Max...”“Kau anggap suamimu ini patung ya?!” “Bukan, Max. Maksudku kan...”“Apa uang yang ku berikan padamu itu masih kurang? Hingga kau berpikir ingin bekerja?!” Rahang Max terlihat mengeras semaki
Ketika fajar telah menyingsing di pagi hari, Valerie telah membuka matanya. Matanya terkejut begitu menyadari ia tidur kepalanya di atas dada polos suaminya. Pelan ia menggeser kepalanya, dengan pandangan yang memindai wajah tampan suaminya yang masih terlelap. Max terlihat begitu nyenyak, tangannya bergerak menyusuri wajah tampan rupawan itu dengan pelan, terhenti di bibir lalu ia meneguk ludahnya secara susah. Tiba-tiba wajahnya merona malu, mengingat kejadian panas semalam. Ia langsung menarik tangannya dan membalikkan tubuhnya menjadi posisi memunggungi. ‘Ya Tuhan... Bisa-bisanya semalam aku seagresif itu. Memalukan.’ Ia menjerit dalam hati merasa malu dengan sikapnya. Ia tarik selimut yang membalut tubuh polosnya, lalu menyembunyikan wajahnya di sana. Tapi, tiba-tiba ia tersentak saat merasakan sesuatu yang berat menimpa perutnya. Menelan ludahnya, saat melihat tangan kekar suaminya kini merengkuh perutnya. Ia bisa merasakan hangatnya napas suaminya yang kini menempel pada pu
Zenata merasa pegal kakinya. Sudah beberapa menit yang lalu Jerry memeriksa CV miliknya, tapi tidak kunjung ada ucapan apapun. Bahkan pria itu juga tidak mempersilahkan ia duduk. Apakah harus sedetail itu cara perusahaan itu memeriksa CV calon karyawannya. “Tuan, saya ijin duduk ya,” ujar Zenata meminta ijin, tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik ruangan, ia menggeser kursi kemudian mendudukkan dirinya di sana.“Uh... Akhirnya...” Ia pun menghela napas lega.“Siapa yang menyuruh kamu duduk?!” tanya Jerry dengan dingin. Manik hazelnya menatap Zenata dengan sorot mata dingin, membuat perempuan itupun menelan ludahnya berkali-kali.“Emm... Tadi kan saya....”“Bangun!” titah Jerry datar.Zenata menggeram kesal, seandainya tidak berada di kantor. Ingin sekali ia memberikan pelajaran pada pria itu. Tapi, saat ini ia dalam posisi tidak berdaya. Akhirnya, sambil menahan kekesalannya ia pun kembali berdiri.“Duduk!” titahnya kemudian membuat bola mata Zenata melotot tidak percaya. Sejen
Prang...“Mama...”Berry baru pulang kerja, mendapati ruang tamu seperti kapal pecah, dengan pecahan botol minuman keras di atas meja, serta kulit kacang yang tersebar di mana-mana. Bantal-bantal sofa juga tidak berada di tempatnya. Sementara sang penghuni ruangan tampak duduk berselonjor di sisi meja dalam keadaan sayu dan kacau. Tangannya memegang gelas kaca yang berisi minuman alkohol yang memabukkan. Berjalan mendekat, Berry dengan cepat meraih gelas di tangan ibunya yang hendak diteguk. “Cukup, Ma.. cukup.."“Lepaskan, biar Mama minum Berry.”“Tidak!” Berry merebut paksa kemudian melemparkannya secara asal. “Sampai kapan Mama mau seperti ini?”Tidak ada jawaban, Martha tetap bungkam keadaannya begitu kacau. “Mama itu sudah sakit-sakitan seharusnya memperbaiki diri dengan cara menjalani kehidupan yang sehat. Jaga pola makan, bukan justru mabuk-mabukan. Mama ingin mempercepat usia?” cecar Berry.“Ya memang lebih baik Mama mati menyusul Papamu!” Martha berteriak kencang membuat Be