Keesokan harinya setelah Max berangkat ke kantor. Valerie memilih duduk santai di gazebo rumahnya sambil membaca buku. Sebenarnya ia bosan, tapi Max belum memperbolehkan dirinya untuk keluar dengan alasan kesehatan. Tumben sekali suaminya itu perhatian, dan lebih banyak bicara dari sebelumnya. Meski nada bicaranya tetap tegas, dingin dan menyebalkan. Tapi, sejauh ini ia pun mulai paham watak suaminya, yang dingin, keras dan tidak bisa suka di bantah. Max memang tidak bisa menunjukkan sikap bucinnya seperti kebanyakan pasangan pada umumnya. Tapi, sejauh ini ia mengerti dan memahami perhatiannya. Contohnya saja tentang ponsel miliknya yang telah dirusak. Max langsung menggantinya, tanpa mengubah isinya. “Nona...” Seorang pelayan datang menghampiri dirinya, membuat Valerie pun gegas menutup bukunya. “Ada apa?”“Di ruang ada Nyonya Joana berkunjung. Dia ingin bertemu dengan Anda.”“Sama siapa?”“Sendiri, Nona.”“Baik. Aku akan kesana.” Valerie beranjak dari tempat duduknya dengan peras
Max mengusap wajahnya dengan gerakan kasar pada perubahan sikap Valerie yang sekarang terkesan berani bahkan menyebalkan. Contohnya sekarang saja tiba-tiba mengancam akan kabur jika tidak diijinkan ke kantornya. Entah ada urusan apa perempuan itu. Kadang ia berpikir apakah dokter telah salah memasukan obat saat istrinya itu menjalani kuret pasca keguguran. “Istriku akan datang. Telpon receptionis untuk mengantarkannya langsung ke ruanganku,” titah Max pada sekretarisnya — EsterPerempuan berpakaian mini yang ketat itu pun mengangguk. “Baik, Tuan.”“Ayo Jerry.” Max langsung beranjak menuju ruangan meeting.‘Seperti apa sih wajah istrinya sampai Tuan Max itu tahan banget iman. Lihat aku yang super seksi ini bahkan tidak dilirik,’ gerutu Ester penasaran.**Dengan menenteng tas miliknya dan juga kotak makan siang bento yang ia bawa dari rumah. Valerie turun dari dalam mobil tepat di depan lobi, usai dibukakan pintu oleh penjaga. Ia sengaja datang menjelang makan siang, dan membawanya da
“Dasar sombong!” Meski menggerutu kesal akhirnya Valerie pun kembali menyuapi suaminya. Terlihat Max begitu lahap, sesekali mencuri pandang pada wajah istrinya yang polos tanpa make up tapi tetap terlihat cantik. “Kamu lapar apa doyan? Lahap banget makannya. Apa seenak itu masakanku ya.”“Ck!” Max berdecak mengambil tisu di atas meja, membersihkan sisa noda di bibirnya. “Makanan apaan kaya gitu. Biasa saja.”Valerie langsung cemberut, menutup kembali kotak makan itu. “Biasa saja, tapi habis juga.” Max tidak peduli. Pria dingin yang memiliki tingkat gengsi sembilan puluh persen itu memang susah untuk memuji lawan bicaranya. Sekalipun itu istrinya.“Kamu bisa masak juga ternyata?” tanya Max pada akhirnya.Valerie menghela napas berat. “Kamu lupa ya kalau dulu aku itu babu.”“Bukannya seorang pelayan dan kasir minimarket?”“Iya kalau di luar. Kalau di rumah aku itu jadi babu mama tiri dan saudaraku.” Valerie mengingat lagi sosok saudaranya itu. “Kira-kira bagaimana ya kabar mereka?” tan
Max terus menekan intercome meminta bantuan. Sementara Valerie merasa dadanya terasa sesak, bulir keringat dingin mulai membasahi keningnya. “Aku takut.... Aku takut...” Ia terus bergumam lirih dengan tubuh yang gemetar.“Please, Valerie. Tenanglah...” Max meraba ponselnya berniat mencari bantuan dengan menelpon Jerry. Tapi, sayangnya sinyalnya pun ikut lenyap di dalam sana. “Sial!”“Gelap...” Valerie panik ketakutan, hingga bayangan kematian terlintas di depan mata, ia pun mulai menangis, membayangkan jika itu benar-benar terjadi. Napasnya terasa tercekat. “Aku akan mati... Aku mau mati...”“Omong kosong apa yang kau katakan!” bentak Max dengan keras. Tangannya sudah menyalakan cahaya dari ponselnya. Berharap akan meredakan ketakutan Valerie terhadap kegelapan.“Max kalau aku mati, tolong ikhlaskan aku ya. Meskipun aku belum bisa memberikan kamu anak, tolong ikhlaskan agar aku bisa tenang.”“Diamlah!” bentak Max kesal sekaligus khawatir ucapan Valerie semakin melantur tidak jelas. “K
Max menatap wajah polos Valerie yang masih terbaring ringkih di ranjang. Wajahnya pucat masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia memijat kepalanya, berpikir entah sudah keberapa kali Valerie keluar masuk rumah sakit selama menjadi istrinya.“Maaf karena telah membawamu ke dalam peliknya masalah hidupku ini. Bersamaku terus dalam keadaan bahaya.” Max bergumam lirih. Rentetan ungkapan isi hati Valerie saat masih terjebak dalam lift tadi pun terlintas, seolah menari-nari dalam otaknya. Ia merasa hatinya mencelos, teriris dengan pisau yang teramat tajam.‘Aku senang dengan menikah denganmu karena akhirnya aku bisa lepas dari ibu tiriku. Tapi, terkadang aku pun tertekan berada di dekatmu.’‘Inikah akibat yang harus aku terima karena terlahir dari rahim seorang perempuan penggoda.’‘Aku tidak punya kenangan yang indah. Hidupku terlalu menyedihkan, Max..’“Bangunlah, jika memang tidak ada suatu momen indah selama hidupmu sampai detik ini. Maka biarkan aku menciptakan momen itu. Ayo kita c
“Pak, sepertinya mobil itu memang sengaja mau buat kita celaka.” Breto nampak ketakutan begitu juga dengan Arthur. Mobil Max kembali berputar, lampu mobil itu kembali menyala menyoroti keduanya. Kemudian kembali melaju dengan kencang.“Kan... Kan beneran, Pak.”“Ah sial! Ayo kita lari!" Mereka kembali berlari menuju mobilnya yang terparkir di sana. “Mana kuncinya!”Dengan gemetar Breto menyerahkan kuncinya. Mereka berhasil masuk, saat ingin memasukkan anak kuncinya. Tapi, tiba-tiba mobil mereka dihantam oleh mobil Max dari depan, hingga membuat kuncinya jatuh. “Ahh sialan! Pakai jatuh segala lagi,” makinya. Ia berusaha mengambil kunci mobilnya. Tapi, tubuhnya kembali terbentur ketika mobil Max kembali menghantamnya.Entah berapa kali Max mengulangi kejadian itu. “Breto coba deh kamu keluar dan hampiri mobil itu. Kamu tanyakan apa maunya?”“Tapi, Pak...”“Buruan!!”Dengan tubuh gemetar Breto pun akhirnya keluar dari mobilnya. Sementara Max berdecak melihat yang keluar adalah asistenn
Keadaan di rumah sakit seketika kacau. Orang-orang berteriak histeris. Rumah sakit itu diacak-acak. Tepatnya di lantai tempat Valerie di rawat. Max panik tidak mendapati istrinya di sana, melainkan hanya ada penjaga dan pelayannya, tapi keadaan mereka semua pingsan.“Brengsek!!” maki Max begitu tiba di sana. Pikirannya seketika kalut. Ia menendang barang apapun yang berada di dekatnya. “Siapa yang berani menculik istriku!!”“Penjagaan rumah sakit ini benar-benar tidak becus. Akan ku tutup ijin operasi rumah sakit ini!! Biar ditutup selamanya!!”Orang-orang yang mendengar suara kemarahan Max ketakutan, tubuhnya bergetar, seolah merasakan aura kematian di sana. Siapapun tahu watak sikap Max. Pria yang paling kejam, akan menyiksa dan membunuh siapapun tanpa pandang bulu, sekalipun itu orang terdekatnya.Kabar tentang Max yang mengasingkan Gracia — adik tirinya yang kini entah berada di mana pun sempat mencuat ke publik. Tapi, Max tidak peduli sekalipun karena hal itu, kini hubungan ia da
“Saya sudah menemukan keberadaan Nona Valerie, Tuan.” Jerry menunjukkan di mana letak GPS itu kini. “Nona berada di seberang dermaga. Letaknya cukup, jauh karena itu juga daerah yang terpencil, Tuan.”“Kita langsung berangkat kesana, tidak perlu membuang waktu. Atau penculik itu akan semakin melakukan sesuatu pada istriku!” Max tergesa-gesa masuk ke dalam jet pribadi miliknya, yang diikuti oleh Jerry yang masih betah mengutak-atik iPad di tangannya.“Benar dugaan Anda, Tuan. Jika yang menculik Nona itu, Victor!”“Brengsek!!” maki Max dengan wajah memerah, rahangnya mengeras serta kedua tangannya mengepal. ”Ku habisi dia!!”**Tubuh Valerie gemetar ketakutan, ia kembali berbalik beringsut menjauh.“Jangan mendekat!!” teriak Valerie di sisa kekuatannya. Sungguh kondisi tubuhnya belum sepenuhnya pulih, bahkan ia merasakan pening yang amat dalam, tapi keadaan memaksa ia harus melindungi diri. ”Ayolah, sayang. Kita nikmati malam ini penuh keindahan yang menggelora. Aku jamin permainanku t
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi