Ningsih menegur Tiara yang sedang menyapu lantai. Sejak kemarin sore hingga pagi ini, sikap gadis itu berubah. Biasanya terlihat bugar, tapi sekarang tampak lemas.
"Kenapa kamu masih di sini? Kamar Den Arya belum dibereskan dari tadi."
Biasanya Tiara akan banyak bicara dan menjawab omelan Ningsih. Namun, seharian ini dia hanya diam dengan wajah murung.
"Kamu kenapa, sakit?"
Ningsih mendekati Tiara dan meraba dahinya. Lalu, dia terkejut saat merasakan panas yang cukup tinggi.
"Ya ampun kamu demam."
Ningsih mengambil sapu yang dipegang Tiara dan menuntun wanita itu duduk di kursi. Dengan cepat dia mengambil air putih dan menyodorkan sepiring kue.
"Makan!" perintahnya.
Tiara menggeleng lalu melipat tangannya di meja. Gadis itu mencari posisi yang nyaman, lalu meletakkan kepala dan memejamkan mata.
"Makan dulu supaya bisa minum obat," paksa Ningsih.
Lagi-lagi Tiara menggeleng. Gadis bahkan mendorong piringnya karena tak berselera makan. Rasanya dia ingin beristirahat saja seharian.
"Duh, Gusti. Kamu kenapa toh?"
Ningsih kembali meraba dahi Tiara, lalu mengusap kepalanya. Wanita itu akhirnya berlari ke belakang untuk mencari bantuan.
"Tinah, Surti. Cepat ke sini!"
Ningsih memanggil pembantu lain yang sedang membereskan bagian belakang. Dia tak berani berteriak karena takut menimbulkan kehebohan.
"Ada apa, Bik?"
Tinah dan Surti tampak sungkan saat berdekatan dengan Ningsih. Sifat galak dan kasar wanita itu membuat mereka enggan. Saat mendengar teriakan tadi, keduanya saling berpandangan dengan malas.
"Tiara demam."
"Walah, bisa disemprot Den Arya kita," bisik Surti.
"Jadi gimana, Bik?" tanya Surti lagi.
Ningsih tampak menimbang-nimbang untuk memutuskan tindakan apa. Dia sedang mencari cara untuk menyembunyikan Tiara. Jangan sampai Karjo tahu karena bisa melapor ke Arya.
"Begini saja. Tinah, tolong papah Tiara ke kamarnya."
Ningsih terlihat panik dengan keadaan ini. Walaupun Arya tak menyukai Tiara, tetapi gadis itu tak boleh kenapa-kenapa. Jika sudah begini, mereka bisa saja dituduh mencelakai.
"Surti, hari ini kamu yang beresin kamar Den Arya."
Setelah semua sepakat, kedua orang itu mengerjakan apa diperintahkan. Lebih baik segera dilakukan daripada mendapat omelan. Maklum saja Ningsih adalah penguasa dapur. Perintahnya sulit dilawan.
Ningsih mengikuti Tinah menuju dapur untuk menbawa Tiara. Untunglah tubuh gadis itu cukup mungil sehingga tak sulit memapahnya.
"Baringkan saja dia."
Tinah mengangkat kaki Tiara yang menjuntai dan mengambilkan selimut. Tubuh gadis itu semakin menggigil dan malah meracau tak jelas.
"Cepat ambilkan obat dan kompres," titah Ningsih.
Tinah kembali ke dapur dan mengambil apa yang Ningsih minta.
Sementara itu, wajah Tiara semakin pucat. Bayangan pistol yang diancungkan Arya terus menghantui tidurnya. Gadis itu tak ingin mati sebelum bisa membebaskan ibunya.
"Duh kamu kenapa bisa begini?"
Ningsih tampak khawatir melihat keadaan Tiara. Walaupun tak menyukai Darsih, tetapi dia tak tega melihat kondisi Tiara sekarang. Naluri keibuannya muncul begitu saja.
"Ibu, ibu...." Tiara bergumam dalam tidurnya.
"Oalah."
"Tolong aku, Bu," racau Tiara.
Tak lama, Tinah datang membawa apa yang diminta Ningsih.
"Minum dulu obatnya."
Dibantu oleh Tinah, Ningsih mencoba mberikan obat dengan sedikit paksaan. Tiara sejak tadi menolak apapun yang di sodorkan ke mulutnya.
"Duh, Gusti. Piye toh, malah ndak mau minum obat," keluh Ningsih.
Ada dua pil yang yang diambil Tinah dan diberikan kepada Ningsih. Obat yang satu untuk menurunkan panas, sedang yang lain vitamin penambah darah. Mereka biasa meminum itu jika merasa kurang sehat.
"Gimana ini, Bik?" tanya Tinah.
"Tolong diam saja. Jangan sampai ada yang tau. Bisa kena kita."
"Den Arya bisa ngamuk kalau tau Surti yang membersihkan kamarnya," sambung Tinah.
Mendengar nama tuannya disebut, Tiara segera menelan obat dengan cepat. Lalu gadis itu kembali memejamkan mata dan mencoba tenang.
"Untung saja Den Arya ndak ada. Semoga nanti pas pulang, Tiara sudah baikan."
Tiara yang mencoba lelap, justru malah mendengar dua orang itu berbincang. Sehingga sedikit demi sedikit, cerita tentang tuan muda mereka mulai terungkap.
"Bik, apa benar kalau pacar Den Arya sudah datang?" bisik Tinah.
"Sudah, bukannya beberapa malam dia menginap di sini. Lalu pulang pagi-pagi," bisik Ningsih.
"Menginap? Apa mereka melakukan--"
"Stttt jangan keras-keras. Ini rahasia."
"Memangnya kenapa?"
"Karena Den Arya ndak mau keluarga besar Diningrat tau," jelas Ningsih.
"Kok aneh?" tanya Tinah curiga.
"Kan mereka ndak mau kalau keturunan Diningrat menikah dengan orang luar."
"Lah, memang pacarnya Den Arya itu siapa?"
"Orang kota. Anak orang kaya juga katanya."
"Oalah."
"Den Arya itu sarjana, pasti nyari yang tinggi dan putih. Mana mau sama yang elek kayak kita."
Hingga satu jam lamanya, Tiara hanya berpura-pura tidur karena mendengar bisik-bisik itu. Lalu, dia terlelap setelah pintu kamar tertutup saat dua orang itu keluar.
***
"Siapkan makan malam."
Arya menarik kursi di ruang makan dan meneguk segelas air putih. Sejak pagi lelaki itu berada di luar. Jadwal makannya tidak teratur jika sedang memantau pabrik.
Biasanya Arya akan makan malam diluar sembari mencari hiburan. Namun, hari ini ada beberapa kendala sehingga lelaki itu memutuskan untuk di rumah seharian.
"Mas Arya mau makan apa?" tanya Ningsih ramah.
"Bibik masak apa aja?"
"Ada sayur asem, ikan asin sama dendeng sapi."
"Selain itu?"
Selama berada di sini, semua masakan yang disajikan selalu menu kampung walaupun rasanya istimewa. Namun, kadang-kadang Arya juga ingin menikmati makanan luar.
Sayangnya, Ningsih atau pembantu yang lain tidak ada yang bisa membuat menu western. Sehingga Arya kerap menikmati sajian nasi beserta lauk pauknya. Sesekali roti atau sereal jika dia bosan.
"Aku mau spagetti, Bik."
"Apa itu Den?"
Rasanya Ningsih pernah mendengar nama makanan itu, tetapi lupa bentuknya.
"Mie yang dikasih saus tomat, daging giling sama keju," jelas Arya.
Ningsih terdiam sejenak, ingin menyanggupi untuk menyenangkan tuannya. Lalu akhirnya wanita itu memilih jujur daripada terkena masalah.
"Saya ndak bisa, Den. Kalau dipaksakan nanti malah ndak enak," tolak Ningsih halus.
Semua orang yang berbicara dengan Arya harus berhati-hati. Entah mengapa sejak ayahnya meninggal, lelaki itu menjadi sensitif.
"Tapi Den Arya kan tau saya ndak bisa bikin itu," keluh Ningsih.
Arya terdiam mendengarnya. Lalu, lelaki itu tiba-tiba saja teringat akan sesuatu hal.
"Mana Tiara?"
"Di ... kamar," jawab Ningsih gugup. Wanita bertubuh gempal itu berusaha santai agar tuannya tak curiga.
"Suruh Tiara bikin spagetti. Dia bersekolah di kota, jadi pasti tau."
Ningsih semakin gelisah. Sejak tadi Tiara belum bangun dan kondisinya masih lemas. Walaupun sudah minum obat, mereka membiarkan gadis itu beristirahat seharian.
"Tunggu apa lagi?"
Arya tampak tak senang saat melihat reaksi Ningsih yang lambat.
"Baik, Den."
Ningsih bergegas ke belakang menuju kamar Tiara. Dia mengusap dada berulang kali mencoba menenangkan diri. Dalam hati berharap semoga kondisi gadis itu sudah lebih baik.
***
Bunyi sutil dan percikan minyak menggema di dapur. Aroma harum bawang bombay yang ditumis sungguh menggugah selera.
Tiara, yang kepalanya ditempel kompres pereda demam, sedang sibuk menumis bumbu untuk membuat spagetti.
"Tolong airnya, Bik," lirih Tiara. Walapun tubuhnya terasa limbung, gadis itu tetap mencoba berdiri.
"Berapa banyak?"
"Sedikit saja. Terus ambilkan keju di kulkas."
Ningsih dengan cekatan mengambil apa saja yang diminta. Wanita paruh baya itu bahkan membantu mengiris bawang agar memudahkan kerjaan Tiara.
"Taburi keju parut."
Setelah mencuci tangan, Tiara bersandar di kulkas. Tubuhnya masih lemas sehingga hampir saja jatuh.
"Tolong antarkan ke Den Arya, Bik."
Tiara akhirnya menyerah dan memilih untuk duduk di kursi. Sedangkan Ningsih bergegas ke ruang makan.
"Mana Tiara?"
"Di dapur, Den."
Ningsih meletakkan piring berisi spagrtti itu dengan hati-hati. Dia juga menuangkan air putih untuk sang tuan muda.
"Kenapa bukan dia yang antar?"
Arya bertanya sembari makan. Lelaki itu mengangguk tanda bahwa rasa spagetti itu cocok di lidahnya.
"Tiara kecapean, Den. Ini ... sudah malam."
Arya menatap Ningsih dengan tajam. Lalu, ucapan yang dia lontarkan membuat wanita paruh baya itu terhenyak.
"Kenapa orang lain yang membersihkan kamarku? Kemana Tiara seharian?"
Ningsih memilin ujung kausnya dan menunduk karena ketakutan. Dia tak berani berbohong tetapi terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya.
CCTV yang ada di kamar Arya pasti mengatakan itu semua.
"Jawab, Bik!'
"Anu, Den. Tiara .... sakit."
Tiara menggigil di balik selimut. Wanita itu bahkan tak bisa makan sama sekali. Sejak tadi dia muntah dan diare. Obat yang diberikan Ningsih tak berpengaruh apa apa."Ibu, ibu--" lirihnya.Sudah dua hari kondisi Tiara begini dan tak ada perubahan. Tak ada juga orang yang merawatnya. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Kamu apakan Tiara sampai begitu?" tanya Karjo. "Ndak ada, sumpah," jawab Ningsih jujur."Jangan-jangan ndak dikasih makan," tuduh Karjo."Enak saja, dia makan 3 kali sehari. Lauknya bebas, boleh milih yang ada dipanci.""Pasti kamu paksa kerja rodi," lanjut Karjo.Mata Ningsih mendelik tak terima. Sekalipun tak suka dengan Tiara, wanita paruh baya itu tak mau sembarangan bertindak. Dia masih mau bekerja lama di sini. "Dia cuma membersihkan kamar Den Arya," sanggah Ningsih. Dia tak mau dituduh menyuruh Tiara mengerjakan pekerjaan berat. "Mungkin kerjaan terlalu banyak. Sementara fisiknya ndak kuat," tebak Karjo."Nah, mungkin. Dia kan ndak pernah jadi babu maca
"Kemasi barangmu!"Karjo masuk ke ruang rawat inap begitu saja tanpa mempedulikan kondisi Tiara yang masih lemah."Kata dokter saya belum boleh pulang," tolak Tiara. Jangankan pulang, berdiri saja tubuhnya limbung. "Jangan membantah. Ini perintah Den Arya."Tiara terdiam dan tak mau berdebat. Namun, ketika seorang perawat datang dan mencabut infus, dia tahu bahwa tenaga medis di rumah sakit inipun tak bisa berbuat apa-apa."Bisa bantu saya berdiri?" pinta Tiara dengan wajah memelas. Setidaknya ada orang yang membantunya di saat seperti ini. "Tentu saja." Perawat itu memegang tangan Tiara dan menuntunnya di kursi roda. Wajahnya tampak iba, tetapi tak berani melawan."Biar aku saja," ucap Karjo sembari mengambil alih kursi roda dan mendorong Tiara keluar. "Tunggu!" Ucapan perawat itu menghentikan langkah Karjo. Lelaki itu tampak beringas sehingga membuat si perawat ketakutan."Barang-barangnya ketinggalan.," ucap perawat sembari menyodorkan sebuah ras kumal. "Tidak perlu. Itu cuma sa
Dengan langkah gontai, Tiara mengambil vacum cleaner untuk membersihkan kamar Arya. Pintu kamarnya diketuk pada pukul lima pagi. Sehinggga gadis itu terpaksa bangun dengan kondisi tubuh yang payah. "Bantu-bantu kami di dapur. Habis itu bersihkan kamar Mas Arya."Tiara tak mau berdebat dengan Ningsih. Jika saja kondisi tubuhnya lebih baik, mungkin gadis itu akan membalasnya. Namun dia menahan diri. Sakit dan tidak ada yang peduli itu menyakitkan."Den Arya sudah berangkat dari pagi," ucap Ningsih saat melihat Tiara mengeluarkan vacum cleaner dari lemari penyimpanan barang. "Iya, Bik.""Mungkin nanti sore dia akan pulang.""Aku tau," jawab Tiara cepat. "Jadi baiknya kamu berhati-hati. Jangan sampai ada barang yang hilang. Cukup ibumu saja yang jadi pembunuh. Jangan sampai anaknya ikutan maling."Rasanya Tiara ingin menyedot mulut Ningsih dengan alat ini. Apalagi saat mengucapkan hinaan, bibir tuanya itu ikut mencebik dengan mata melotot. Dalam hatinya berkata, andai saja dia sudah se
"Jadi, apa yang sudah kau saksikan sejak tadi?"Tiara mengakat bantal yang menutupi telinganya. Gadis itu menatap Arya dengan wajah pucat. Tubuhnya gemetaran, seolah-olah memohon ampunan. Jangan sampai Arya murka lagi akibat perbuatannya. "Kau memang lancang seperti ibumu!" bentak Arya."Maaf, Den," ujar Tiara sembari menunduk. "Keluar!"Arya menarik Tiara dan membawanya keluar dari walk in closet. Dia mendorong si mungil itu hingga terjatuh di sofa kamar, lalu menarik leher baju istrinya. "Apa yang kau lakukan di kamarku?" ucapnya dengan penuh amarah. "Saya .... saya membersihkannya," jawab Tiara terbata-bata. Tiara menunduk, tak berani menatap mata Arya yang begitu buas. "Kenapa begitu lama?"Arya benar-benar malu karena aktivitas intimnya bersama Clarisa diketahui orang lain. Apalagi orang itu adalah Tiara, makhluk di muka bumi ini yang paling dibencinya. Arya memang menjalani hubungan bebas sejak mereka berpacaran. Namun, keduanya tak pernah mengumbar kemesraan yang berlebiha
Tiara mondar mandir mengambil balanjaan yang diturunkan dari pick up. Sejak subuh mereka semua tampak sibuk di dapur. Bahkan kamar-kamar yang tadinya kosong kini terisi.Hari ini tepat 100 hari wafatnya Tuan Baskoro. Sehingga keluarga Diningrat akan mengadakan acara. Tak tanggung-tanggung, semua keluarga akan hadir. Bahkan ada yang datang jauh-jauh hari karena berasal dari luar kota. Selama satu minggu ini tugas mereka bertambah. Tiara tak lagi membersihkan kamar Arya, tetapi kamar-kamar kosong itu. Dia bahkan melayani semua kebutuhan mereka, mulai dari makan minum dan mencuci pakaian."Bawa ini ke dapur."Tiara termenung saat salah satu pengawal Arya menunjuk beberapa tabung gas berwarna hijau itu. Gadis itu memasang wajah memelas. Tega sekali mereka menyuruh seorang wanita mengangkatnya. "Apalagi? Cepat angkat. Ibu-ibu di dapur mau masak!"Tiara terdiam lalu dengan enggan mengangkat tabung-tabung itu walau kepayahan. Dia sudah lelah dari subuh dan tak sanggup mengangkat barang bera
Rumah keluarga Diningrat tampak ramai malam itu. Lampu-lampu besar dipasang di halaman untuk menerangi acara tahlilan 100 hari almarhum Tuan Baskoro. Puluhan, bahkan ratusan orang memadati halaman rumah yang luas. Sejak sore, beberapa warga sudah berdatangan. Mereka membatu menyiapkan hidangan dan juga menata kursi. Sementara itu, anggota keluarga besar Diningrat berkumpul di depan menyambut tamu-tamu yang datang, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum. Hanya satu orang yang tak ada di rumah ini. Gayatri, nyonya rumah yang beberapa bulan ini tinggal di rumah sakit jiwa. "Letakkan ini di sini. Dan yang itu di sana!"Di salah satu sudut halaman, Tiara sibuk mengatur meja buah. Sudah seharian ia bekerja, membantu segala persiapan untuk acara malam ini. Wajah Tiara menunjukkan kelelahan. Namun gadis itu tetap tersenyum saat beberapa warga mendekati mejanya, lalu mengambil buah-buahan yang disediakan untuk tamu."Susun rapi buah yang berantakan. Nanti aku suruh Karjo m
Setelah acara selesai, Tiara berbaring di kamar karena merasa begitu lelah. Hari itu adalah hari yang sangat panjang. Penuh dengan tamu, memasak, dan berusaha memenuhi segala kebutuhan semua orang."Lelahnya. Hari ini benar-benar luar biasa."Tiara hanya ingin tidur, membiarkan tubuhnya beristirahat setelah seharian bekerja keras. Namun, keinginannya terganggu ketika pintu kamar tiba-tiba saja terbuka. Ningsih masuk dan mendekati Tiara dengan nampan berisi makanan. Raut wajah wanita paruh baya itu juga tampak kelelahan. "Tiara, tolong antarkan ini ke kamar Den Arya.""Sekarang?""Tentu saja. Memangnya besok?" tanya Ningsih dengan sewot. Tiara membuang pandangan karena kesal. Entah mengapa semua orang di rumah ini selalu membuatnya kesal. "Dari tadi Den Arya belum makan," ucap Ningsih dengan nada penuh desakan.Tiara memandang nampan itu dengan ragu, lalu menggelengkan kepala."Aku capek sekali, Bik. Apa ndak bisa orang lain?" pinta Tiara memohon. "Semua orang juga capek. Aku bahk
Tiara terbangun dengan kepala sedikit berat. Cahaya matahari yang masuk dari jendela menerpa wajah, memaksa matanya untuk terbuka. Tiara merenung sejenak, mengingat kejadian semalam. Hal yang terakhir dia ingat adalah menemani Arya makan di kamarnya. Rasa lelah setelah seharian bekerja, membuat dia memejamkan mata dan berbaring di lantai. Lalu bagaimana dia bisa berada di kamar sendiri?"Aneh sekali," lirihnya. Tiara duduk di ranjang, bingung. Apakah Arya yang membawanya kembali ke kamar? Kemungkinan itu membuat hatinya berdebar aneh. Arya tidak pernah menunjukkan perhatian yang tulus selama ini. Namun jika benar lelaki itu yang menggendongnya ke sini, apa maksud di balik tindakannya?Pikiran Tiara melayang-layang. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa hari itu masih penuh dengan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidur, membetulkan pakaian lalu menuju ke dapur.Ketika Tiara tiba di dapur, pemandangan yang menyambutnya cukup membuat pusing.