Share

7. Trauma Akibat Ulahmu

Ningsih menegur Tiara yang sedang menyapu lantai. Sejak kemarin sore hingga pagi ini, sikap gadis itu berubah. Biasanya terlihat bugar, tapi sekarang tampak lemas. 

"Kenapa kamu masih di sini? Kamar Den Arya belum dibereskan dari tadi."

Biasanya Tiara akan banyak bicara dan menjawab omelan Ningsih. Namun, seharian ini dia hanya diam dengan wajah murung.

"Kamu kenapa, sakit?"

Ningsih mendekati Tiara dan meraba dahinya. Lalu, dia terkejut saat merasakan panas yang cukup tinggi.

"Ya ampun kamu demam."

Ningsih mengambil sapu yang dipegang Tiara dan menuntun wanita itu duduk di kursi. Dengan cepat dia mengambil air putih dan menyodorkan sepiring kue.

"Makan!" perintahnya. 

Tiara menggeleng lalu melipat tangannya di meja. Gadis itu mencari posisi yang nyaman, lalu meletakkan kepala dan memejamkan mata.

"Makan dulu supaya bisa minum obat," paksa Ningsih.

Lagi-lagi Tiara menggeleng. Gadis bahkan mendorong piringnya karena tak berselera makan. Rasanya dia ingin beristirahat saja seharian. 

"Duh, Gusti. Kamu kenapa toh?"

Ningsih kembali meraba dahi Tiara, lalu mengusap kepalanya. Wanita itu akhirnya berlari ke belakang untuk mencari bantuan. 

"Tinah, Surti. Cepat ke sini!"

Ningsih memanggil pembantu lain yang sedang membereskan bagian belakang. Dia tak berani berteriak karena takut menimbulkan kehebohan. 

"Ada apa, Bik?"

Tinah dan Surti tampak sungkan saat berdekatan dengan Ningsih. Sifat galak dan kasar wanita itu membuat mereka enggan. Saat mendengar teriakan tadi, keduanya saling berpandangan dengan malas.

"Tiara demam."

"Walah, bisa disemprot Den Arya kita," bisik Surti.

"Jadi gimana, Bik?" tanya Surti lagi. 

Ningsih tampak menimbang-nimbang untuk memutuskan tindakan apa. Dia sedang mencari cara untuk menyembunyikan Tiara. Jangan sampai Karjo tahu karena bisa melapor ke Arya. 

"Begini saja. Tinah, tolong papah Tiara ke kamarnya."

Ningsih terlihat panik dengan keadaan ini. Walaupun Arya tak menyukai Tiara, tetapi gadis itu tak boleh kenapa-kenapa. Jika sudah begini, mereka bisa saja dituduh mencelakai. 

"Surti, hari ini kamu yang beresin kamar Den Arya."

Setelah semua sepakat, kedua orang itu mengerjakan apa diperintahkan. Lebih baik segera dilakukan daripada mendapat omelan. Maklum saja Ningsih adalah penguasa dapur. Perintahnya sulit dilawan.

Ningsih mengikuti Tinah menuju dapur untuk menbawa Tiara. Untunglah tubuh gadis itu cukup mungil sehingga tak sulit memapahnya. 

"Baringkan saja dia."

Tinah mengangkat kaki Tiara yang menjuntai dan mengambilkan selimut. Tubuh gadis itu semakin menggigil dan malah meracau tak jelas. 

"Cepat ambilkan obat dan kompres," titah Ningsih.

Tinah kembali ke dapur dan mengambil apa yang Ningsih minta. 

Sementara itu, wajah Tiara semakin pucat. Bayangan pistol yang diancungkan Arya terus menghantui tidurnya. Gadis itu tak ingin mati sebelum bisa membebaskan ibunya. 

"Duh kamu kenapa bisa begini?"

Ningsih tampak khawatir melihat keadaan Tiara. Walaupun tak menyukai Darsih, tetapi dia tak tega melihat kondisi Tiara sekarang. Naluri keibuannya muncul begitu saja. 

"Ibu, ibu...." Tiara bergumam dalam tidurnya.

"Oalah."

"Tolong aku, Bu," racau Tiara.

Tak lama, Tinah datang membawa apa yang diminta Ningsih. 

"Minum dulu obatnya."

Dibantu oleh Tinah, Ningsih mencoba mberikan obat dengan sedikit paksaan. Tiara sejak tadi menolak apapun yang di sodorkan ke mulutnya. 

"Duh, Gusti. Piye toh, malah ndak mau minum obat," keluh Ningsih.

Ada dua pil yang yang diambil Tinah dan diberikan kepada Ningsih. Obat yang satu untuk menurunkan panas, sedang yang lain vitamin penambah darah. Mereka biasa meminum itu jika merasa kurang sehat. 

"Gimana ini, Bik?" tanya Tinah. 

"Tolong diam saja. Jangan sampai ada yang tau. Bisa kena kita."

"Den Arya bisa ngamuk kalau tau Surti yang membersihkan kamarnya," sambung Tinah. 

Mendengar nama tuannya disebut, Tiara segera menelan obat dengan cepat. Lalu gadis itu kembali memejamkan mata dan mencoba tenang. 

"Untung saja Den Arya ndak ada. Semoga nanti pas pulang, Tiara sudah baikan."

Tiara yang mencoba lelap, justru malah mendengar dua orang itu berbincang. Sehingga sedikit demi sedikit, cerita tentang tuan muda mereka mulai terungkap. 

"Bik, apa benar kalau pacar Den Arya sudah datang?" bisik Tinah. 

"Sudah, bukannya beberapa malam dia menginap di sini. Lalu pulang pagi-pagi," bisik Ningsih. 

"Menginap? Apa mereka melakukan--"

"Stttt jangan keras-keras. Ini rahasia."

"Memangnya kenapa?"

"Karena Den Arya ndak mau keluarga besar Diningrat tau," jelas Ningsih.

"Kok aneh?" tanya Tinah curiga.

"Kan mereka ndak mau kalau keturunan Diningrat menikah dengan orang luar."

"Lah, memang pacarnya Den Arya itu siapa?"

"Orang kota. Anak orang kaya juga katanya."

"Oalah."

"Den Arya itu sarjana, pasti nyari yang tinggi dan putih. Mana mau sama yang elek kayak kita."

Hingga satu jam lamanya, Tiara hanya berpura-pura tidur karena mendengar bisik-bisik itu. Lalu, dia terlelap setelah pintu kamar tertutup saat dua orang itu keluar. 

***

"Siapkan makan malam."

Arya menarik kursi di ruang makan dan meneguk segelas air putih. Sejak pagi lelaki itu berada di luar. Jadwal makannya tidak teratur jika sedang memantau pabrik. 

Biasanya Arya akan makan malam diluar sembari mencari hiburan. Namun, hari ini ada beberapa kendala sehingga lelaki itu memutuskan untuk di rumah seharian.

"Mas Arya mau makan apa?" tanya Ningsih ramah.

"Bibik masak apa aja?"

"Ada sayur asem, ikan asin sama dendeng sapi."

"Selain itu?"

Selama berada di sini, semua masakan yang disajikan selalu menu kampung walaupun rasanya istimewa. Namun, kadang-kadang Arya juga ingin menikmati makanan luar. 

Sayangnya, Ningsih atau pembantu yang lain tidak ada yang bisa membuat menu western. Sehingga Arya kerap menikmati sajian nasi beserta lauk pauknya. Sesekali roti atau sereal jika dia bosan.

"Aku mau spagetti, Bik."

"Apa itu Den?"

Rasanya Ningsih pernah mendengar nama makanan itu, tetapi lupa bentuknya.

"Mie yang dikasih saus tomat, daging giling sama keju," jelas Arya.

Ningsih terdiam sejenak, ingin menyanggupi untuk menyenangkan tuannya. Lalu akhirnya wanita itu memilih jujur daripada terkena masalah. 

"Saya ndak bisa, Den. Kalau dipaksakan nanti malah ndak enak," tolak Ningsih halus.

Semua orang yang berbicara dengan Arya harus berhati-hati. Entah mengapa sejak ayahnya meninggal, lelaki itu menjadi sensitif. 

"Tapi Den Arya kan tau saya ndak bisa bikin itu," keluh Ningsih.

Arya terdiam mendengarnya. Lalu, lelaki itu tiba-tiba saja teringat akan sesuatu hal.

"Mana Tiara?"

"Di ... kamar," jawab Ningsih gugup. Wanita bertubuh gempal itu berusaha santai agar tuannya tak curiga.

"Suruh Tiara bikin spagetti. Dia bersekolah di kota, jadi pasti tau."

Ningsih semakin gelisah. Sejak tadi Tiara belum bangun dan kondisinya masih lemas. Walaupun sudah minum obat, mereka membiarkan gadis itu beristirahat seharian. 

"Tunggu apa lagi?"

Arya tampak tak senang saat melihat reaksi Ningsih yang lambat.

"Baik, Den."

Ningsih bergegas ke belakang menuju kamar Tiara. Dia mengusap dada berulang kali mencoba menenangkan diri. Dalam hati berharap semoga kondisi gadis itu sudah lebih baik.

***

Bunyi sutil dan percikan minyak menggema di dapur. Aroma harum bawang bombay yang ditumis sungguh menggugah selera.

Tiara, yang kepalanya ditempel kompres pereda demam, sedang sibuk menumis bumbu untuk membuat spagetti. 

"Tolong airnya, Bik," lirih Tiara. Walapun tubuhnya terasa limbung, gadis itu tetap mencoba berdiri. 

"Berapa banyak?"

"Sedikit saja. Terus ambilkan keju di kulkas."

Ningsih dengan cekatan mengambil apa saja yang diminta. Wanita paruh baya itu bahkan membantu mengiris bawang agar memudahkan kerjaan Tiara. 

"Taburi keju parut."

Setelah mencuci tangan, Tiara bersandar di kulkas. Tubuhnya masih lemas sehingga hampir saja jatuh. 

"Tolong antarkan ke Den Arya, Bik."

Tiara akhirnya menyerah dan memilih untuk duduk di kursi. Sedangkan Ningsih bergegas ke ruang makan.

"Mana Tiara?"

"Di dapur, Den."

Ningsih meletakkan piring berisi spagrtti itu dengan hati-hati. Dia juga menuangkan air putih untuk sang tuan muda. 

"Kenapa bukan dia yang antar?"

Arya bertanya sembari makan. Lelaki itu mengangguk tanda bahwa rasa spagetti itu cocok di lidahnya. 

"Tiara kecapean, Den. Ini ... sudah malam."

Arya menatap Ningsih dengan tajam. Lalu, ucapan yang dia lontarkan membuat wanita paruh baya itu terhenyak.

"Kenapa orang lain yang membersihkan kamarku? Kemana Tiara seharian?"

Ningsih memilin ujung kausnya dan menunduk karena ketakutan. Dia tak berani berbohong tetapi terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya.

CCTV yang ada di kamar Arya pasti mengatakan itu semua. 

"Jawab, Bik!'

"Anu, Den. Tiara .... sakit."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status