Share

6. Tugas Baru yang Melelahkan

Ningsih merengut saat Karjo memberitahunya tentang tugas Tiara yang baru. Wanita paruh baya itu merasa tak terima karena ada pekerja yang di anak emaskan. Apalagi itu pendatang baru dan masih muda. 

Jiwa bersaing muncul seketika di hati Ningsih. Padahal dialah yang paling lama mengabdi di kediaman keluarga Baskoro. Harusnya pekerjaan wanita itu lebih ringan mengingat usia yang semakin renta. 

"Apa Tiara pakai pelet untuk memikat Mas Arya? Kok bisa-bisanya dia yang diminta membersihkan kamar."

Ningsih sengaja memancing Karjo untuk bercerita. Sebagai wanita lanjut usia pada umumnya, bergosip adalah salah satu hiburan selain menonton televisi. 

"Maksudmu apa?"

Karjo mengatakan itu sembari menyeruput kopi panas. Sepotong pisang goreng langsung tandas di mulutnya karena kelaparan. Sejak tadi lelaki itu menunggu Ningsih selesai masak. 

"Sama seperti ibunya. Melet juragan kita biar dapat kemewahan."

Ningsih mencibir saat mengingat Darsih. Ibunya Tiara itu memang cantik walau memasuki usia empat puluh. Kulitnya sawo matang tetapi bersih tanpa noda. 

"Ya aku ndak tau. Aku cuma ditugaskan begitu."

Karjo mengutak-atik ponsel membalas chat dari istrinya. Beras dan lauk pauk di rumah mereka sudah habis. Namun, lelaki itu sungkan untuk meminjam uang kepada Arya.

Sebagian gajinya telah habis untuk membayar cicilan. Sejak Baskoro tak ada, Karjo jarang mendapat tip karena Arya lebih suka menyetir sendiri saat berpergian. Sedangkan Nyonya Arjani sudah tak waras untuk dimintai uang. 

"Tapi aku mau anak itu tetap membantuku memasak dan mencuci piring. Tanganku sakit kalau harus mengerjakan semua."

Ningsih mulai mengeluarkan jurus andalan. Mengiba dan meminta belas kasihan. Hanya saja, tangan yang sakit itu memang benar adanya. 

"Kan ada pembantu yang lain."

Karjo sedang tak fokus membalas ucapan Ningsih. Omelan istrinya dichat membuat lelaki itu pusing. Entah dari mana bisa mendapatkan uang, dia masih memikirkan caranya. 

"Tapi kerjaan Tiara yang paling bagus. Kalau motong sayur teliti."

Harus diakui bahwa Tiara begitu telaten walau masih muda. Walaupun hasilnya lama, tetapi Ningsih merasa puas. Wanita itu begitu teliti memisahkan sayuran busuk dan sangat rapi memotong wortel. 

Hasil cucian dan gosokan Tiara juga apik. Dia cukup rapi menata baju sehingga memudahkan pembantu yang lain menyusunnya. 

"Mbuhlah. Ndasku mumet."

Karjo kembali melahap gorengan. Kali ini tahu dan tempe mendoan yang menjadi sasaran. Aroma harum opor dan rendang yang sejak tadi dimasak Ningsih belum juga selesai.

"Kamu mendukungku atau tidak?" desak Ningsih.

"Aku mendukung yang membayar gajiku."

Karjo menjawab asal. Lelaki itu bahkan meletakkan ponselnya dengan kasar karena kesal. Sungguh istrinya benar-benar keterlaluan. 

"Kamu ini--"

"Sudah-sudah. Aku pusing mendengar ocehanmu. Lihat istriku minta uang terus," sungut Karjo sembari menunjuk ponselnya.

"Lah, gajimu habis toh?"

"Habislah. Istriku kan minta mobil baru," sungutnya.

Ningsih menatap Karjo dengan iba. Bagaimanapun lelaki itu pernah menolongnya saat sakit. Dengan cepat, wanita paruh baya itu mengeluarkan beberapa lembar kertas dari balik bajunya.

"Nih."

"Lah ...."

Karjo terkejut bukan main. Ningsih yang terkenal perhitungan tiba-tiba saja menjadi royal begini.

"Biar istrimu senang."

Ningsih mengulum senyum melihat tangan Karjo begitu gemetaran saat mengambil uangnya.

"Matur nuwun, Mbakyu."

Karjo sengaja mengucapkan itu agar Ningsih semakin tersanjung. Lelaki itu baru menyadari bahwa rekan kerjanya itu bisa dimintai pertolongan jika keadaan terdesak. Sayangnya dia tak terpikiran sejak dulu.

"Tapi kamu bantu aku. Bilang sama Mas Arya kalau Tiara tetap bantu memasak. Biar cuci gosok dikerjakan sama yang lain."

"Siap, Nyonya besar."

Ningsih tergelak mendengarnya. Bayangan menjadi nyonya besar mendampingi Baskoro berkelebat di pelupuk matanya. 

Sayang, semua itu hanyalah khayalan semu. Tuan Baskoro lebih memilih Darsih untuk menjadi gundiknya. Padahal hingga kini, cinta masih bersemayam di dada Ningsih. 

***

"Dari mana saja kamu? Lama sekali."

Arya bersungut saat Tiara datang. Sejak tadi dia menunggu karena kamar begitu kotor.

Semalam, Arya bergadang mengerjakan laporan dan menghabiskan banyak snack juga minuman kemasan. Sehingga sisa bungkusnya memenuhi tempat sampah. 

"Tadi ke dapur sebentar bantu Bik Ningsih masak."

"Bukannya aku sudah bilang kalau tugasmu hanya mengurus kamarku?" tanya Arya heran. 

"Tapi kasihan Bik Ningsih. Dia kecapean kalau mengerjakan semua," jelas Tiara.

"Memangnya yang lain kemana?"

"Anu, Den. Itu--"

"Jawab saja. Jangan cenga-cengo!" ketus Arya.

"Yang lain ndak tahan sama omelan Bik Ningsih."

Untuk sesaat Arya memahami mengapa selama dia berada di sini, ada beberapa pembantu baru yang mengundurkan diri. Lelaki itu berpikir jika gaji yang diberikan terlalu kecil. Tenyata Ningsih penyebabnya.

"Tapi masakannya enak," ucap Arya jujur.

"Yang memang begitu, Den. Perempuan kalau bawel, masakannya pasti enak."

Arya tergelak mendengar ucapan Tiara. Untuk sesaat lelaki itu lupa akan dendam yang telah berakar di hatinya. Ketika melihat wanita itu tampak kebingungan, akhirnya dia tersadar. 

"Cepat kamu bereskan semua. Pel yang bersih. Sikat kamar mandi dan susun baju di lemari yang sana. Barang lainnya jangan kamu sentuh."

Arya kembali ke mode awal dan bersikap sinis kepada Tiara. Lelaki itu tak mau wibawanya jatuh. Rasa benci kembali muncul saat teringat mendiang ayahnya.

"Ingat Den Arya. Tiara itu anaknya Darsih, pembunuh tuan besar."

Arya tersentak saat teringat kata-kata Karjo. Dia tak boleh menaruh iba kepada Tiara, apapun alasannya. Wanita itu harus menderita di rumah ini. Setidaknya menjadi pembantu seumur hidup. 

"Apa saya boleh membersihkan tempat tidur?"

"Tentu saja. Ganti semua alasnya dengan yang baru. Kalau perlu cuci gordennya sekalian."

"Tapi gordennya berat dan tinggi " keluh Tiara.

Berbeda dengan ibunya, Tiara memang lebih berani mengutarakan pendapat. Darsih tipikal manusia yang pasrah dan lebih menurut, sehingga Baskoro bisa memanfaatkan kelemahannya. 

Darsih menerima semua perlakuan Baskori di bawah tekanan dan ancaman. Wanita itu membutuhkan uang untuk melanjutkan hidup. Di saat Baskoro memberikan kepercayan, insiden itu malah terjadi. 

"Bukan urusanku."

Arya bergegas keluar kamar menuju ruang kerja ayahnya. Lelaki itu tak merasa khawatir meninggalkan Tiara sendirian karena ada CCTV di setiap sudut kamar. 

***

Satu jam berlalu dan Arya masih berkutat dengan berbagai macam pembukuan keuangan. Ada beberapa transaksi yang dianggapnya berlebihan dan harus ditekan. 

Omset penggilingan padi dan usaha lain saat ini cukup menutun dibanding pada waktu ayahnya dulu. Ada banyak faktor, salah satunya kehilangan kepercayaan.

Beberapa relasi bisnis masih ada yang meragukan kemampuan Arya dalam mengelola usaha keluarga. Apalagi lelaki itu baru lulus kuliah dan belum berpengalaman. 

"Kenapa harus beli alat baru padahal yang lama masih berfungsi dengan baik?"

Arya bergumam dalam hati. Lelaki itu membuka setiap lembar pengajuan budget tambahan dengan teliti. Ada beberapa permintaan yang dia coret karena tak masuk akal.

Kenaikan tunjangan karyawan.

Bonus lembur.

Service dan penggantian alat.

Juga banyak hal lain yang Arya perimbangkan untuk disetujui atau tidak. Lelaki itu mencium aroma kenakalan dan korupsi, hanya saja dalam jumlah yang kecil. Namun, semua akan tetap ditindak.

"Baru penggilingan padi. Belum pabrik, masalah rumah dan ibu."

Arya meregangkan pinggang di kursi. Dia berjalan menuju kulkas di sudut ruangan untuk mengambil minuman. Namun, langkahnya terhenti saat melihat CCTV kamar.

Tiara sedang membersihkan meja. Namun, wanita itu tampak lancang dengan memegang foto-foto yang terpanjang di sana. 

Tiara membuka laci-laci di bawah dan memeriksanya. 

"Astaga!"

Arya bergegas menuju kamar. Langkah panjangnya menimbulkan derap di lorong. Tadi dia sudah memperingatkan Tiara agar jangan menyentuh barang-barang lain. Namun sepertinya wanita itu lupa. 

"Letakkan di tempat semula atau tanggung akibatnya!"

Tiara terlonjak mendengarnya. Gadis itu cepat-cepat meletakkan benda yang tadi diambilnya dari laci. Tangannya gemetaran karena ketakutan. 

"Apa kau lupa pesanku tadi?"

Tiara menggeleng tanpa suara. Gadis itu pasrah jika mendapatkan hukuman karena telah lancang.

"Kamu sama seperti ibumu, tak tahu diri!"

Arya berjalan mendekat dan mengambil benda yang tadi sempat diambil Tiara dari laci. 

"Aku bisa saja melenyapkan kalian dengan alat ini. Apalagi ibumu sudah terbukti membunuh ayahku."

Arya meletakkan benda itu di belakang kepala Tiara. Lelaki itu menarik kokang untuk menakut-nakuti, agar menimbulkan efek jera.

"Maaf, Den."

Tubuh Tiara mengigil karena ketakutan. Gadis itu bahkan memejamkan mata sembari berdoa agar tetap selamat. 

"Sekali lagi kamu berani membuka laci-laci di kamar ini, maka kepalamu akan aku ledakkan."

"Aaa!"

Tiara berteriak histeris lalu berlari keluar. Gadis itu kembali ke kamarnya dan mengunci pintu karena trauma.

Tubuh Tiara seketika menjadi lemas. Untuk pertama kali, dia jatuh sakit setelah berminggu-minggu bekerja di sini.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status