Ningsih merengut saat Karjo memberitahunya tentang tugas Tiara yang baru. Wanita paruh baya itu merasa tak terima karena ada pekerja yang di anak emaskan. Apalagi itu pendatang baru dan masih muda.
Jiwa bersaing muncul seketika di hati Ningsih. Padahal dialah yang paling lama mengabdi di kediaman keluarga Baskoro. Harusnya pekerjaan wanita itu lebih ringan mengingat usia yang semakin renta.
"Apa Tiara pakai pelet untuk memikat Mas Arya? Kok bisa-bisanya dia yang diminta membersihkan kamar."
Ningsih sengaja memancing Karjo untuk bercerita. Sebagai wanita lanjut usia pada umumnya, bergosip adalah salah satu hiburan selain menonton televisi.
"Maksudmu apa?"
Karjo mengatakan itu sembari menyeruput kopi panas. Sepotong pisang goreng langsung tandas di mulutnya karena kelaparan. Sejak tadi lelaki itu menunggu Ningsih selesai masak.
"Sama seperti ibunya. Melet juragan kita biar dapat kemewahan."
Ningsih mencibir saat mengingat Darsih. Ibunya Tiara itu memang cantik walau memasuki usia empat puluh. Kulitnya sawo matang tetapi bersih tanpa noda.
"Ya aku ndak tau. Aku cuma ditugaskan begitu."
Karjo mengutak-atik ponsel membalas chat dari istrinya. Beras dan lauk pauk di rumah mereka sudah habis. Namun, lelaki itu sungkan untuk meminjam uang kepada Arya.
Sebagian gajinya telah habis untuk membayar cicilan. Sejak Baskoro tak ada, Karjo jarang mendapat tip karena Arya lebih suka menyetir sendiri saat berpergian. Sedangkan Nyonya Arjani sudah tak waras untuk dimintai uang.
"Tapi aku mau anak itu tetap membantuku memasak dan mencuci piring. Tanganku sakit kalau harus mengerjakan semua."
Ningsih mulai mengeluarkan jurus andalan. Mengiba dan meminta belas kasihan. Hanya saja, tangan yang sakit itu memang benar adanya.
"Kan ada pembantu yang lain."
Karjo sedang tak fokus membalas ucapan Ningsih. Omelan istrinya dichat membuat lelaki itu pusing. Entah dari mana bisa mendapatkan uang, dia masih memikirkan caranya.
"Tapi kerjaan Tiara yang paling bagus. Kalau motong sayur teliti."
Harus diakui bahwa Tiara begitu telaten walau masih muda. Walaupun hasilnya lama, tetapi Ningsih merasa puas. Wanita itu begitu teliti memisahkan sayuran busuk dan sangat rapi memotong wortel.
Hasil cucian dan gosokan Tiara juga apik. Dia cukup rapi menata baju sehingga memudahkan pembantu yang lain menyusunnya.
"Mbuhlah. Ndasku mumet."
Karjo kembali melahap gorengan. Kali ini tahu dan tempe mendoan yang menjadi sasaran. Aroma harum opor dan rendang yang sejak tadi dimasak Ningsih belum juga selesai.
"Kamu mendukungku atau tidak?" desak Ningsih.
"Aku mendukung yang membayar gajiku."
Karjo menjawab asal. Lelaki itu bahkan meletakkan ponselnya dengan kasar karena kesal. Sungguh istrinya benar-benar keterlaluan.
"Kamu ini--"
"Sudah-sudah. Aku pusing mendengar ocehanmu. Lihat istriku minta uang terus," sungut Karjo sembari menunjuk ponselnya.
"Lah, gajimu habis toh?"
"Habislah. Istriku kan minta mobil baru," sungutnya.
Ningsih menatap Karjo dengan iba. Bagaimanapun lelaki itu pernah menolongnya saat sakit. Dengan cepat, wanita paruh baya itu mengeluarkan beberapa lembar kertas dari balik bajunya.
"Nih."
"Lah ...."
Karjo terkejut bukan main. Ningsih yang terkenal perhitungan tiba-tiba saja menjadi royal begini.
"Biar istrimu senang."
Ningsih mengulum senyum melihat tangan Karjo begitu gemetaran saat mengambil uangnya.
"Matur nuwun, Mbakyu."
Karjo sengaja mengucapkan itu agar Ningsih semakin tersanjung. Lelaki itu baru menyadari bahwa rekan kerjanya itu bisa dimintai pertolongan jika keadaan terdesak. Sayangnya dia tak terpikiran sejak dulu.
"Tapi kamu bantu aku. Bilang sama Mas Arya kalau Tiara tetap bantu memasak. Biar cuci gosok dikerjakan sama yang lain."
"Siap, Nyonya besar."
Ningsih tergelak mendengarnya. Bayangan menjadi nyonya besar mendampingi Baskoro berkelebat di pelupuk matanya.
Sayang, semua itu hanyalah khayalan semu. Tuan Baskoro lebih memilih Darsih untuk menjadi gundiknya. Padahal hingga kini, cinta masih bersemayam di dada Ningsih.
***
"Dari mana saja kamu? Lama sekali."
Arya bersungut saat Tiara datang. Sejak tadi dia menunggu karena kamar begitu kotor.
Semalam, Arya bergadang mengerjakan laporan dan menghabiskan banyak snack juga minuman kemasan. Sehingga sisa bungkusnya memenuhi tempat sampah.
"Tadi ke dapur sebentar bantu Bik Ningsih masak."
"Bukannya aku sudah bilang kalau tugasmu hanya mengurus kamarku?" tanya Arya heran.
"Tapi kasihan Bik Ningsih. Dia kecapean kalau mengerjakan semua," jelas Tiara.
"Memangnya yang lain kemana?"
"Anu, Den. Itu--"
"Jawab saja. Jangan cenga-cengo!" ketus Arya.
"Yang lain ndak tahan sama omelan Bik Ningsih."
Untuk sesaat Arya memahami mengapa selama dia berada di sini, ada beberapa pembantu baru yang mengundurkan diri. Lelaki itu berpikir jika gaji yang diberikan terlalu kecil. Tenyata Ningsih penyebabnya.
"Tapi masakannya enak," ucap Arya jujur.
"Yang memang begitu, Den. Perempuan kalau bawel, masakannya pasti enak."
Arya tergelak mendengar ucapan Tiara. Untuk sesaat lelaki itu lupa akan dendam yang telah berakar di hatinya. Ketika melihat wanita itu tampak kebingungan, akhirnya dia tersadar.
"Cepat kamu bereskan semua. Pel yang bersih. Sikat kamar mandi dan susun baju di lemari yang sana. Barang lainnya jangan kamu sentuh."
Arya kembali ke mode awal dan bersikap sinis kepada Tiara. Lelaki itu tak mau wibawanya jatuh. Rasa benci kembali muncul saat teringat mendiang ayahnya.
"Ingat Den Arya. Tiara itu anaknya Darsih, pembunuh tuan besar."
Arya tersentak saat teringat kata-kata Karjo. Dia tak boleh menaruh iba kepada Tiara, apapun alasannya. Wanita itu harus menderita di rumah ini. Setidaknya menjadi pembantu seumur hidup.
"Apa saya boleh membersihkan tempat tidur?"
"Tentu saja. Ganti semua alasnya dengan yang baru. Kalau perlu cuci gordennya sekalian."
"Tapi gordennya berat dan tinggi " keluh Tiara.
Berbeda dengan ibunya, Tiara memang lebih berani mengutarakan pendapat. Darsih tipikal manusia yang pasrah dan lebih menurut, sehingga Baskoro bisa memanfaatkan kelemahannya.
Darsih menerima semua perlakuan Baskori di bawah tekanan dan ancaman. Wanita itu membutuhkan uang untuk melanjutkan hidup. Di saat Baskoro memberikan kepercayan, insiden itu malah terjadi.
"Bukan urusanku."
Arya bergegas keluar kamar menuju ruang kerja ayahnya. Lelaki itu tak merasa khawatir meninggalkan Tiara sendirian karena ada CCTV di setiap sudut kamar.
***
Satu jam berlalu dan Arya masih berkutat dengan berbagai macam pembukuan keuangan. Ada beberapa transaksi yang dianggapnya berlebihan dan harus ditekan.
Omset penggilingan padi dan usaha lain saat ini cukup menutun dibanding pada waktu ayahnya dulu. Ada banyak faktor, salah satunya kehilangan kepercayaan.
Beberapa relasi bisnis masih ada yang meragukan kemampuan Arya dalam mengelola usaha keluarga. Apalagi lelaki itu baru lulus kuliah dan belum berpengalaman.
"Kenapa harus beli alat baru padahal yang lama masih berfungsi dengan baik?"
Arya bergumam dalam hati. Lelaki itu membuka setiap lembar pengajuan budget tambahan dengan teliti. Ada beberapa permintaan yang dia coret karena tak masuk akal.
Kenaikan tunjangan karyawan.
Bonus lembur.
Service dan penggantian alat.
Juga banyak hal lain yang Arya perimbangkan untuk disetujui atau tidak. Lelaki itu mencium aroma kenakalan dan korupsi, hanya saja dalam jumlah yang kecil. Namun, semua akan tetap ditindak.
"Baru penggilingan padi. Belum pabrik, masalah rumah dan ibu."
Arya meregangkan pinggang di kursi. Dia berjalan menuju kulkas di sudut ruangan untuk mengambil minuman. Namun, langkahnya terhenti saat melihat CCTV kamar.
Tiara sedang membersihkan meja. Namun, wanita itu tampak lancang dengan memegang foto-foto yang terpanjang di sana.
Tiara membuka laci-laci di bawah dan memeriksanya.
"Astaga!"
Arya bergegas menuju kamar. Langkah panjangnya menimbulkan derap di lorong. Tadi dia sudah memperingatkan Tiara agar jangan menyentuh barang-barang lain. Namun sepertinya wanita itu lupa.
"Letakkan di tempat semula atau tanggung akibatnya!"
Tiara terlonjak mendengarnya. Gadis itu cepat-cepat meletakkan benda yang tadi diambilnya dari laci. Tangannya gemetaran karena ketakutan.
"Apa kau lupa pesanku tadi?"
Tiara menggeleng tanpa suara. Gadis itu pasrah jika mendapatkan hukuman karena telah lancang.
"Kamu sama seperti ibumu, tak tahu diri!"
Arya berjalan mendekat dan mengambil benda yang tadi sempat diambil Tiara dari laci.
"Aku bisa saja melenyapkan kalian dengan alat ini. Apalagi ibumu sudah terbukti membunuh ayahku."
Arya meletakkan benda itu di belakang kepala Tiara. Lelaki itu menarik kokang untuk menakut-nakuti, agar menimbulkan efek jera.
"Maaf, Den."
Tubuh Tiara mengigil karena ketakutan. Gadis itu bahkan memejamkan mata sembari berdoa agar tetap selamat.
"Sekali lagi kamu berani membuka laci-laci di kamar ini, maka kepalamu akan aku ledakkan."
"Aaa!"
Tiara berteriak histeris lalu berlari keluar. Gadis itu kembali ke kamarnya dan mengunci pintu karena trauma.
Tubuh Tiara seketika menjadi lemas. Untuk pertama kali, dia jatuh sakit setelah berminggu-minggu bekerja di sini.
Ningsih menegur Tiara yang sedang menyapu lantai. Sejak kemarin sore hingga pagi ini, sikap gadis itu berubah. Biasanya terlihat bugar, tapi sekarang tampak lemas. "Kenapa kamu masih di sini? Kamar Den Arya belum dibereskan dari tadi."Biasanya Tiara akan banyak bicara dan menjawab omelan Ningsih. Namun, seharian ini dia hanya diam dengan wajah murung."Kamu kenapa, sakit?"Ningsih mendekati Tiara dan meraba dahinya. Lalu, dia terkejut saat merasakan panas yang cukup tinggi."Ya ampun kamu demam."Ningsih mengambil sapu yang dipegang Tiara dan menuntun wanita itu duduk di kursi. Dengan cepat dia mengambil air putih dan menyodorkan sepiring kue."Makan!" perintahnya. Tiara menggeleng lalu melipat tangannya di meja. Gadis itu mencari posisi yang nyaman, lalu meletakkan kepala dan memejamkan mata."Makan dulu supaya bisa minum obat," paksa Ningsih.Lagi-lagi Tiara menggeleng. Gadis bahkan mendorong piringnya karena tak berselera makan. Rasanya dia ingin beristirahat saja seharian. "Duh
Tiara menggigil di balik selimut. Wanita itu bahkan tak bisa makan sama sekali. Sejak tadi dia muntah dan diare. Obat yang diberikan Ningsih tak berpengaruh apa apa."Ibu, ibu--" lirihnya.Sudah dua hari kondisi Tiara begini dan tak ada perubahan. Tak ada juga orang yang merawatnya. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Kamu apakan Tiara sampai begitu?" tanya Karjo. "Ndak ada, sumpah," jawab Ningsih jujur."Jangan-jangan ndak dikasih makan," tuduh Karjo."Enak saja, dia makan 3 kali sehari. Lauknya bebas, boleh milih yang ada dipanci.""Pasti kamu paksa kerja rodi," lanjut Karjo.Mata Ningsih mendelik tak terima. Sekalipun tak suka dengan Tiara, wanita paruh baya itu tak mau sembarangan bertindak. Dia masih mau bekerja lama di sini. "Dia cuma membersihkan kamar Den Arya," sanggah Ningsih. Dia tak mau dituduh menyuruh Tiara mengerjakan pekerjaan berat. "Mungkin kerjaan terlalu banyak. Sementara fisiknya ndak kuat," tebak Karjo."Nah, mungkin. Dia kan ndak pernah jadi babu maca
"Kemasi barangmu!"Karjo masuk ke ruang rawat inap begitu saja tanpa mempedulikan kondisi Tiara yang masih lemah."Kata dokter saya belum boleh pulang," tolak Tiara. Jangankan pulang, berdiri saja tubuhnya limbung. "Jangan membantah. Ini perintah Den Arya."Tiara terdiam dan tak mau berdebat. Namun, ketika seorang perawat datang dan mencabut infus, dia tahu bahwa tenaga medis di rumah sakit inipun tak bisa berbuat apa-apa."Bisa bantu saya berdiri?" pinta Tiara dengan wajah memelas. Setidaknya ada orang yang membantunya di saat seperti ini. "Tentu saja." Perawat itu memegang tangan Tiara dan menuntunnya di kursi roda. Wajahnya tampak iba, tetapi tak berani melawan."Biar aku saja," ucap Karjo sembari mengambil alih kursi roda dan mendorong Tiara keluar. "Tunggu!" Ucapan perawat itu menghentikan langkah Karjo. Lelaki itu tampak beringas sehingga membuat si perawat ketakutan."Barang-barangnya ketinggalan.," ucap perawat sembari menyodorkan sebuah ras kumal. "Tidak perlu. Itu cuma sa
Dengan langkah gontai, Tiara mengambil vacum cleaner untuk membersihkan kamar Arya. Pintu kamarnya diketuk pada pukul lima pagi. Sehinggga gadis itu terpaksa bangun dengan kondisi tubuh yang payah. "Bantu-bantu kami di dapur. Habis itu bersihkan kamar Mas Arya."Tiara tak mau berdebat dengan Ningsih. Jika saja kondisi tubuhnya lebih baik, mungkin gadis itu akan membalasnya. Namun dia menahan diri. Sakit dan tidak ada yang peduli itu menyakitkan."Den Arya sudah berangkat dari pagi," ucap Ningsih saat melihat Tiara mengeluarkan vacum cleaner dari lemari penyimpanan barang. "Iya, Bik.""Mungkin nanti sore dia akan pulang.""Aku tau," jawab Tiara cepat. "Jadi baiknya kamu berhati-hati. Jangan sampai ada barang yang hilang. Cukup ibumu saja yang jadi pembunuh. Jangan sampai anaknya ikutan maling."Rasanya Tiara ingin menyedot mulut Ningsih dengan alat ini. Apalagi saat mengucapkan hinaan, bibir tuanya itu ikut mencebik dengan mata melotot. Dalam hatinya berkata, andai saja dia sudah se
"Jadi, apa yang sudah kau saksikan sejak tadi?"Tiara mengakat bantal yang menutupi telinganya. Gadis itu menatap Arya dengan wajah pucat. Tubuhnya gemetaran, seolah-olah memohon ampunan. Jangan sampai Arya murka lagi akibat perbuatannya. "Kau memang lancang seperti ibumu!" bentak Arya."Maaf, Den," ujar Tiara sembari menunduk. "Keluar!"Arya menarik Tiara dan membawanya keluar dari walk in closet. Dia mendorong si mungil itu hingga terjatuh di sofa kamar, lalu menarik leher baju istrinya. "Apa yang kau lakukan di kamarku?" ucapnya dengan penuh amarah. "Saya .... saya membersihkannya," jawab Tiara terbata-bata. Tiara menunduk, tak berani menatap mata Arya yang begitu buas. "Kenapa begitu lama?"Arya benar-benar malu karena aktivitas intimnya bersama Clarisa diketahui orang lain. Apalagi orang itu adalah Tiara, makhluk di muka bumi ini yang paling dibencinya. Arya memang menjalani hubungan bebas sejak mereka berpacaran. Namun, keduanya tak pernah mengumbar kemesraan yang berlebiha
Tiara mondar mandir mengambil balanjaan yang diturunkan dari pick up. Sejak subuh mereka semua tampak sibuk di dapur. Bahkan kamar-kamar yang tadinya kosong kini terisi.Hari ini tepat 100 hari wafatnya Tuan Baskoro. Sehingga keluarga Diningrat akan mengadakan acara. Tak tanggung-tanggung, semua keluarga akan hadir. Bahkan ada yang datang jauh-jauh hari karena berasal dari luar kota. Selama satu minggu ini tugas mereka bertambah. Tiara tak lagi membersihkan kamar Arya, tetapi kamar-kamar kosong itu. Dia bahkan melayani semua kebutuhan mereka, mulai dari makan minum dan mencuci pakaian."Bawa ini ke dapur."Tiara termenung saat salah satu pengawal Arya menunjuk beberapa tabung gas berwarna hijau itu. Gadis itu memasang wajah memelas. Tega sekali mereka menyuruh seorang wanita mengangkatnya. "Apalagi? Cepat angkat. Ibu-ibu di dapur mau masak!"Tiara terdiam lalu dengan enggan mengangkat tabung-tabung itu walau kepayahan. Dia sudah lelah dari subuh dan tak sanggup mengangkat barang bera
Rumah keluarga Diningrat tampak ramai malam itu. Lampu-lampu besar dipasang di halaman untuk menerangi acara tahlilan 100 hari almarhum Tuan Baskoro. Puluhan, bahkan ratusan orang memadati halaman rumah yang luas. Sejak sore, beberapa warga sudah berdatangan. Mereka membatu menyiapkan hidangan dan juga menata kursi. Sementara itu, anggota keluarga besar Diningrat berkumpul di depan menyambut tamu-tamu yang datang, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum. Hanya satu orang yang tak ada di rumah ini. Gayatri, nyonya rumah yang beberapa bulan ini tinggal di rumah sakit jiwa. "Letakkan ini di sini. Dan yang itu di sana!"Di salah satu sudut halaman, Tiara sibuk mengatur meja buah. Sudah seharian ia bekerja, membantu segala persiapan untuk acara malam ini. Wajah Tiara menunjukkan kelelahan. Namun gadis itu tetap tersenyum saat beberapa warga mendekati mejanya, lalu mengambil buah-buahan yang disediakan untuk tamu."Susun rapi buah yang berantakan. Nanti aku suruh Karjo m
Setelah acara selesai, Tiara berbaring di kamar karena merasa begitu lelah. Hari itu adalah hari yang sangat panjang. Penuh dengan tamu, memasak, dan berusaha memenuhi segala kebutuhan semua orang."Lelahnya. Hari ini benar-benar luar biasa."Tiara hanya ingin tidur, membiarkan tubuhnya beristirahat setelah seharian bekerja keras. Namun, keinginannya terganggu ketika pintu kamar tiba-tiba saja terbuka. Ningsih masuk dan mendekati Tiara dengan nampan berisi makanan. Raut wajah wanita paruh baya itu juga tampak kelelahan. "Tiara, tolong antarkan ini ke kamar Den Arya.""Sekarang?""Tentu saja. Memangnya besok?" tanya Ningsih dengan sewot. Tiara membuang pandangan karena kesal. Entah mengapa semua orang di rumah ini selalu membuatnya kesal. "Dari tadi Den Arya belum makan," ucap Ningsih dengan nada penuh desakan.Tiara memandang nampan itu dengan ragu, lalu menggelengkan kepala."Aku capek sekali, Bik. Apa ndak bisa orang lain?" pinta Tiara memohon. "Semua orang juga capek. Aku bahk
Malam di Taiwan itu begitu indah, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang. Seakan memberikan cahaya pada perjalanan baru Tiara dan Reyhan sebagai pasangan suami istri. Suasana kota yang ramai di siang hari kini berubah menjadi tenang dan damai. Dengan suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di sepanjang jalan.Di sebelah mereka, Shara berjalan dengan ceria, menggandeng tangan Tiara. Sementara Darsih, berjalan di samping mereka."Aku nggak percaya kita akhirnya bisa liburan bareng kayak begini," kata Tiara sambil tersenyum lebar ke arah Reyhan. "Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan."Reyhan tersenyum dan merangkul bahu Tiara, "Aku juga merasa begitu. Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai di titik ini, Tiara. Ini saat yang tepat untuk menikmati hidup."Mereka berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi dengan lampu-lampu warna-warni, menciptakan suasana yang romantis dan hangat.Shara terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar melihat lampu-lampu di sepa
Malam itu, suasana rumah Tiara begitu berbeda. Lampu-lampu kecil berbinar lembut di sepanjang taman belakang, memancarkan nuansa hangat dan romantis.Meja makan yang dihiasi lilin serta kelopak bunga mawar merah menjadi pusat perhatian. Reyhan telah merencanakan semuanya dengan sempurna.Ketika Tiara turun dari tangga, mengenakan gaun panjang berwarna biru lembut, Reyhan menatapnya tanpa berkedip. "Kamu cantik sekali malam ini," ucap Reyhan tulus, berdiri dan meraih tangan Tiara.Tiara tersenyum kecil, menyembunyikan kegugupannya. "Dan kamu selalu tampan," balasnya sambil tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana.Reyhan menarik kursi untuk Tiara. “Silakan, istriku.”Tiara duduk dengan anggun. Reyhan mengisi gelas untuk mereka berdua. Hidangan makan malam pun dimulai dengan suasana hangat. Mereka menikmati makanan favorit Tiara. Ternyata Reyhan sendiri pesan secara khusus dari restoran ternama.“Ini terlalu sempurna,” ucap Tiara setelah menyantap hidangan utamanya.Mata Tiara berb
Tiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan. Gaun itu tidak terlalu mencolok, tapi sangat pas dengan konsep intimate wedding yang mereka rencanakan. Di belakangnya, Shara berdiri memandangi sang mama dengan mata berbinar."Mama cantik sekali," ucap Shara penuh kekaguman.Tiara tersenyum, lalu membungkuk untuk memeluk Shara. "Makasih, Sayang. Kamu juga cantik dengan gaun kecilmu itu."Terdengar ketukan di pintu, lalu Reyhan masuk, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat santai tapi tetap berkelas. "Apa aku boleh melihat calon istriku?" tanyanya sambil tersenyum.Tiara menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu datang terlalu cepat. Kita belum mulai acaranya.""Kalau begitu, aku akan menunggu di luar. Tapi aku harus bilang, kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tiara," Reyhan berkata sambil menatapnya penuh cinta.Saat Tiara hendak menjawab, salah satu panitia kecil mereka datang memanggil. "Semua sudah siap. Kita bisa mulai kapan saja."Tiara dan Reyha
Acara pertunangan Tiara dan Reyhan digelar sederhana namun penuh kehangatan di sebuah restoran yang disewa khusus. Dekorasi ruangan yang didominasi warna pastel dengan lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis. Keluarga dan sahabat terdekat hadir, menyaksikan momen penting itu. Tiara, yang mengenakan dress anggun berwarna peach, tampak menawan. Sementara Reyhan tampil gagah dengan setelan jas abu-abu.Reyhan berdiri di depan semua tamu, mengambil mikrofon, dan mulai berbicara. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara yang sangat spesial ini. Hari ini, saya ingin mengungkapkan rasa syukur karena bisa berdiri di sini. Di samping wanita yang luar biasa, Tiara. Dia adalah alasan aku ingin menjadi pria yang lebih baik setiap hari.”Tiara tersipu, menundukkan wajahnya sambil tersenyum malu-malu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu. Termasuk Shara yang duduk di meja depan bersama Darsih, ibu Arya.Setelah pidato singkat Reyhan, seorang pela
Reyhan berdiri di tengah ruangan yang sudah dihias dengan indah untuk opening kedua usaha Tiara, yaitu monuman boba. Tempat itu dipenuhi dengan teman, keluarga, dan rekan bisnis yang datang untuk memberikan dukungan. Bu Dewi dan Rina juga datang. Bahkan anak-anak panti semua ikut serta dan diberikan seragam. Karena usaha yang ini letaknya di ruko dengan halaman luas, Tiara mengundang semua orang yang dikenalnya. Tiara mengenakan gaun simpel berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun. Ia sibuk menyambut tamu, mengobrol dengan beberapa mitra, dan memastikan semuanya berjalan lancar.Saat acara berjalan, Reyhan tampak lebih tenang dari biasanya, meski ada sesuatu yang mengganjal di wajahnya. Ia sering melirik Tiara, menunggu momen yang tepat."Reyhan, kenapa melamun? Semua sudah siap?" tanya Tiara saat menghampirinya dengan segelas minuman di tangan.Reyhan tersenyum. "Iya, semuanya sudah siap. Kamu tenang saja. Hari ini akan berjalan sempurna."Tiara mengangguk sambil membenahi r
Arya duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Langit mendung seperti hatinya. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Bayangan Tiara yang dingin, pelukan Shara yang erat, dan kenangan pahit masa lalu. Ia merasa seperti orang yang kehilangan arah.Arya bergumam pelan."Apa semua ini salahku? Kalau aku dulu tidak gegabah bersikap… mungkin Tiara masih di sisiku. Tapi apa? Aku malah menghancurkan semua."Supir, yang mendengar gumaman itu, bertanya hati-hati."Den Arya, apa Anda baik-baik saja? Perlu kita berhenti sebentar?"Arya menggeleng sambil memaksakan senyum kecil. "Lanjutkan saja, Pak. Kita harus cepat sampai."Tiba-tiba, ponsel Arya bergetar. Ia merogoh benda itu dari saku jas. Nama Raka, salah satu polisi yang menyrlidiki kasus bapaknya, tertera di layar. Dengan cepat, Arya menjawab."Halo, Pak. Ada apa?" tanya Arya sedikit cemas.Suara di ujung telepon terdengar serius. "Mas Arya, kami punya perkembangan penting soal kasus kematian Tuan Baskoro. Kalau memungkinka
Arya memberhentikan mobilnya di depan lokasi yang Tiara kirimkan melalui pesan singkat. Sebuah rumah sederhana tapi nyaman terlihat dari luar. Shara, yang duduk di kursi belakang, tampak murung. Arya mematikan mesin mobil lalu menoleh ke putrinya, dan tersenyum lembut.“Shara, ayo turun. Papa antar kamu ke Mama,” katanya dengan suara penuh kasih.Shara menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak mau, Papa. Aku masih mau sama Papa.”Arya menelan ludah, hatinya mencelos melihat ekspresi Shara. “Sayang, Papa nggak akan pergi jauh kok. Papa selalu ada buat kamu, meskipun kita nggak tinggal bareng.”Shara tetap terdiam, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Arya mencoba membujuknya lagi. “Gimana kalau Papa janji nanti kita jalan-jalan lagi? Kamu suka, kan, jalan-jalan sama Papa?”Shara akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih muram. Arya keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Shara. Sambil menggandeng tangan putrinya, lelaki itu melangkah ke pintu depan rumah.
Opening usaha baru Tiara berlangsung meriah di dalam sebuah mall yang ramai pengunjung. Dekorasi minimalis dengan balon berwarna pastel menghiasi booth miliknya. Sementara staf berseragam rapi dan casual menyambut tamu-tamu yang datang. Tiara mengenakan seragam yang sama, berdiri di depan booth dengan Reyhan yang setia di sisinya. Mereka tersenyum pada setiap tamu yang datang memberikan ucapan selamat."Semangat, Cantik," ujar Reyhan sambil merapikan rambut Tiara yang sedikit terjatuh di wajahnya. "Ini adalah langkah besar untuk kita."Tiara mengangguk, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Beberapa hari terkahir ini, Reyhan kerap menyentuhnya tanpa sungkan. "Semoga semuanya berjalan lancar. Aku sedikit gugup."Reyhan merangkul Tiara dengan lembut. "Kamu pasti bisa. Semua ini hasil kerja kerasmu."Namun, kegugupan Tiara bertambah ketika dia melihat Arya tiba-tiba berdiri di antara kerumunan tamu yang memadati area sekitar booth. Arya mengenakan kemeja putih polos dan celana jean
Tiara dan Reyhan duduk berseberangan di sebuah meja kafe kecil di pinggir jalan, katalog franchise berserakan di atas meja. Tiara mengambil salah satu brosur dan membaca dengan serius. "Rey, ini kelihatannya menarik," katanya sambil menunjukkan brosur tentang franchise makanan penutup premium. "Mereka punya banyak pilihan menu yang unik. Dan tren dessert seperti ini sedang naik daun."Reyhan mengangguk, mengambil brosur itu dan membacanya. "Memang bagus. Konsepnya modern, dan kalau kita bisa dapat lokasi strategis, pasti ramai. Tapi lihat ini," ujarnya sambil mengambil brosur lain. "Franchise minuman boba ini juga menarik. Brand-nya sudah terkenal. Dan mereka punya konsep drive-thru yang jarang ada di Indonesia."Tiara tertawa kecil, lalu menggeleng. "Aku suka, tapi aku lebih tertarik sama yang dessert. Lebih cocok sama gaya dan seleraku."Reyhan tersenyum, meletakkan brosur boba itu kembali di meja. "Oke, jadi kita shortlist dua ini ya? Dessert premium dan boba. Selanjutnya kit