Tiara mondar mandir mengambil balanjaan yang diturunkan dari pick up. Sejak subuh mereka semua tampak sibuk di dapur. Bahkan kamar-kamar yang tadinya kosong kini terisi.Hari ini tepat 100 hari wafatnya Tuan Baskoro. Sehingga keluarga Diningrat akan mengadakan acara. Tak tanggung-tanggung, semua keluarga akan hadir. Bahkan ada yang datang jauh-jauh hari karena berasal dari luar kota. Selama satu minggu ini tugas mereka bertambah. Tiara tak lagi membersihkan kamar Arya, tetapi kamar-kamar kosong itu. Dia bahkan melayani semua kebutuhan mereka, mulai dari makan minum dan mencuci pakaian."Bawa ini ke dapur."Tiara termenung saat salah satu pengawal Arya menunjuk beberapa tabung gas berwarna hijau itu. Gadis itu memasang wajah memelas. Tega sekali mereka menyuruh seorang wanita mengangkatnya. "Apalagi? Cepat angkat. Ibu-ibu di dapur mau masak!"Tiara terdiam lalu dengan enggan mengangkat tabung-tabung itu walau kepayahan. Dia sudah lelah dari subuh dan tak sanggup mengangkat barang bera
Rumah keluarga Diningrat tampak ramai malam itu. Lampu-lampu besar dipasang di halaman untuk menerangi acara tahlilan 100 hari almarhum Tuan Baskoro. Puluhan, bahkan ratusan orang memadati halaman rumah yang luas. Sejak sore, beberapa warga sudah berdatangan. Mereka membatu menyiapkan hidangan dan juga menata kursi. Sementara itu, anggota keluarga besar Diningrat berkumpul di depan menyambut tamu-tamu yang datang, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum. Hanya satu orang yang tak ada di rumah ini. Gayatri, nyonya rumah yang beberapa bulan ini tinggal di rumah sakit jiwa. "Letakkan ini di sini. Dan yang itu di sana!"Di salah satu sudut halaman, Tiara sibuk mengatur meja buah. Sudah seharian ia bekerja, membantu segala persiapan untuk acara malam ini. Wajah Tiara menunjukkan kelelahan. Namun gadis itu tetap tersenyum saat beberapa warga mendekati mejanya, lalu mengambil buah-buahan yang disediakan untuk tamu."Susun rapi buah yang berantakan. Nanti aku suruh Karjo m
Setelah acara selesai, Tiara berbaring di kamar karena merasa begitu lelah. Hari itu adalah hari yang sangat panjang. Penuh dengan tamu, memasak, dan berusaha memenuhi segala kebutuhan semua orang."Lelahnya. Hari ini benar-benar luar biasa."Tiara hanya ingin tidur, membiarkan tubuhnya beristirahat setelah seharian bekerja keras. Namun, keinginannya terganggu ketika pintu kamar tiba-tiba saja terbuka. Ningsih masuk dan mendekati Tiara dengan nampan berisi makanan. Raut wajah wanita paruh baya itu juga tampak kelelahan. "Tiara, tolong antarkan ini ke kamar Den Arya.""Sekarang?""Tentu saja. Memangnya besok?" tanya Ningsih dengan sewot. Tiara membuang pandangan karena kesal. Entah mengapa semua orang di rumah ini selalu membuatnya kesal. "Dari tadi Den Arya belum makan," ucap Ningsih dengan nada penuh desakan.Tiara memandang nampan itu dengan ragu, lalu menggelengkan kepala."Aku capek sekali, Bik. Apa ndak bisa orang lain?" pinta Tiara memohon. "Semua orang juga capek. Aku bahk
Tiara terbangun dengan kepala sedikit berat. Cahaya matahari yang masuk dari jendela menerpa wajah, memaksa matanya untuk terbuka. Tiara merenung sejenak, mengingat kejadian semalam. Hal yang terakhir dia ingat adalah menemani Arya makan di kamarnya. Rasa lelah setelah seharian bekerja, membuat dia memejamkan mata dan berbaring di lantai. Lalu bagaimana dia bisa berada di kamar sendiri?"Aneh sekali," lirihnya. Tiara duduk di ranjang, bingung. Apakah Arya yang membawanya kembali ke kamar? Kemungkinan itu membuat hatinya berdebar aneh. Arya tidak pernah menunjukkan perhatian yang tulus selama ini. Namun jika benar lelaki itu yang menggendongnya ke sini, apa maksud di balik tindakannya?Pikiran Tiara melayang-layang. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa hari itu masih penuh dengan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidur, membetulkan pakaian lalu menuju ke dapur.Ketika Tiara tiba di dapur, pemandangan yang menyambutnya cukup membuat pusing.
Acara kemarin sudah selesai dan berjalan dengan lancar. Halaman depan rumah besar keluarga Diningrat yang tadinya penuh, kini kembali bersih seperti semula. Arya berdiri di teras. Tangannya terlipat di dada, memandang ke arah pintu pagar. Lelaki itu mengawasi orang-orang masih hilir mudik mengangkut barang.Keluarga besarnya sedang menikmati sarapan di dalam. Sebentar lagi mereka akan pulang. Arya termenung sejenak, mencoba menyakinkan diri atas apa yang akan dia utarakan nanti.Momen berkumpulnya keluarga besar jarang terjadi. Mungkin, inilah saatnya dia bicara. Arya mengumpulkan semua keberanian yang tersisa dan berjalan ke ruang tamu, tempat keluarganya berkumpul. Di sana ada kakeknya—ayah dari bapaknya—datang dari luar kota dan terlihat paling tenang di antara mereka. Kakek duduk di kursi dengan tongkatnya tergeletak di samping. Sementara tante, om dan sepupunya duduk makan sembari berbincang. Arya berdiri tegak di tengah ruangan, lalu duduk di sebelah kakenya. Saat lelaki it
"Aku tidak butuh bantuanmu."Bruk!Arya terjatuh saat menaiki tangga. Lelaki itu kesulitan berdiri hingga Tiara membantunya. Sejujurnya gadis itu takut. Namun, rumah begitu sepi karena pekerja yang lain sudah tertidur. "Mari saya bantu, Den."Tiara memapah Arya walau berat. Tubuh mungilnya tak sanggup menahan bobot lelaki itu. Dengan tertatih-tatih, akhirnya mereka tiba di atas.Tiara melepaskan lengan Arya yang langsung luruh di lantai. Dia membuka pintu dengan pelan. Lalu membawa Arya ke ranjang."Berat sekali."Tubuh Arya yang berat terasa seperti beban. Namun Tiara tetap kuat, mencoba yang terbaik untuk memastikan lelaki itu merasa nyaman."Huek!"“Den Arya kenapa?” Tiara akhirnya memberanikan diri bertanya.Arya hanya merespons dengan geraman pelan. Lelaki itu menekan perutnya yang terasa mual. Arya berguling ke samping, mencoba menahan rasa tak nyaman yang semakin menguasainya. Kepalanya terasa berat, seolah dihimpit batu besar. Lambungnya terasa bergejolak. Membuat mual yang
Tiara bangun dengan tubuh lelah dan perasaan hancur. Cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela kamar mengingatkannya pada kenyataan pahit yang baru saja ia alami."Sakit sekali," lirihnya saat mencoba duduk.Tiara memegang perutnya, merasakan nyeri di bawah sana. Tadi malam Arya tak hanya melakukannya sekali, tetapi berulang kali sampai lelaki itu tidur. Tiara susah memohon, tetapi Arya tak peduli. Lelaki itu seperti orang kesetanan, menikmati dirinya tanpa ampun."Mengapa rasamu begini?" ujar Arya dalam kondisi mabuk. Bisa-bisanya dia kecanduan pada seorang gadis muda. Hiks!Tiara hanya menangis di bawah kungkungan lelaki itu tanpa bisa melawan. "Seperti mimpi tapi itu nyata."Tiara bangkit perlahan, mencoba untuk berdiri. Dia menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Air yang megalir membasahi tubuhnya, sedikit menyegarkan. Walau rasa sakit di sekujur tubuh masih belum hilang.Ketika hendak berpakaian, Tiara terjejut melihat ada banyak tanda di tubuhnya. Arya benar-b
"Aku harus bicara dengan Tiara."Arya langsung keluar dari ruang meeting dan menuju mobilnya. Pikirannya hanya terpusat pada Tiara. Arya harus tahu bagaimana keadaannya. Apakah Tiara baik-baik saja setelah kejadian itu. Entah mengapa rasa bersalah yang menghantuinya sejak malam itu kini semakin kuat.***Saat tiba di rumah, Arya dengan cepat berjalan ke belakang dan melihat Tinah sedang menata beberapa barang di meja makan. Ia langsung menghampirinya."Di mana Tiara?"Tinah terlihat sedikit terkejut dengan kedatangan Arya yang mendadak. "Tiara di kamar, Den. Sepertinya lagi kurang sehat."Arya mengernyit mendengar itu. "Sakit? Sejak kapan?""Dari pagi, Den. Badannya lemas. Jalannya pincang. Mungkin kelelahan setelah acara tahlilan itu.""Jalannya pincang?""Iya, Den. Mungkin.... kecapean mencuci piring. Soalnya banyak sekali," ucap Tinah takut-takut. Arya terdiam dan entah mengapa merasa cemas. Ia ingin segera melihat Tiara, tetapi tiba-tiba rasa ragu menghampirinya. Setelah semu
Malam di Taiwan itu begitu indah, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang. Seakan memberikan cahaya pada perjalanan baru Tiara dan Reyhan sebagai pasangan suami istri. Suasana kota yang ramai di siang hari kini berubah menjadi tenang dan damai. Dengan suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di sepanjang jalan.Di sebelah mereka, Shara berjalan dengan ceria, menggandeng tangan Tiara. Sementara Darsih, berjalan di samping mereka."Aku nggak percaya kita akhirnya bisa liburan bareng kayak begini," kata Tiara sambil tersenyum lebar ke arah Reyhan. "Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan."Reyhan tersenyum dan merangkul bahu Tiara, "Aku juga merasa begitu. Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai di titik ini, Tiara. Ini saat yang tepat untuk menikmati hidup."Mereka berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi dengan lampu-lampu warna-warni, menciptakan suasana yang romantis dan hangat.Shara terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar melihat lampu-lampu di sepa
Malam itu, suasana rumah Tiara begitu berbeda. Lampu-lampu kecil berbinar lembut di sepanjang taman belakang, memancarkan nuansa hangat dan romantis.Meja makan yang dihiasi lilin serta kelopak bunga mawar merah menjadi pusat perhatian. Reyhan telah merencanakan semuanya dengan sempurna.Ketika Tiara turun dari tangga, mengenakan gaun panjang berwarna biru lembut, Reyhan menatapnya tanpa berkedip. "Kamu cantik sekali malam ini," ucap Reyhan tulus, berdiri dan meraih tangan Tiara.Tiara tersenyum kecil, menyembunyikan kegugupannya. "Dan kamu selalu tampan," balasnya sambil tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana.Reyhan menarik kursi untuk Tiara. “Silakan, istriku.”Tiara duduk dengan anggun. Reyhan mengisi gelas untuk mereka berdua. Hidangan makan malam pun dimulai dengan suasana hangat. Mereka menikmati makanan favorit Tiara. Ternyata Reyhan sendiri pesan secara khusus dari restoran ternama.“Ini terlalu sempurna,” ucap Tiara setelah menyantap hidangan utamanya.Mata Tiara berb
Tiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan. Gaun itu tidak terlalu mencolok, tapi sangat pas dengan konsep intimate wedding yang mereka rencanakan. Di belakangnya, Shara berdiri memandangi sang mama dengan mata berbinar."Mama cantik sekali," ucap Shara penuh kekaguman.Tiara tersenyum, lalu membungkuk untuk memeluk Shara. "Makasih, Sayang. Kamu juga cantik dengan gaun kecilmu itu."Terdengar ketukan di pintu, lalu Reyhan masuk, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat santai tapi tetap berkelas. "Apa aku boleh melihat calon istriku?" tanyanya sambil tersenyum.Tiara menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu datang terlalu cepat. Kita belum mulai acaranya.""Kalau begitu, aku akan menunggu di luar. Tapi aku harus bilang, kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tiara," Reyhan berkata sambil menatapnya penuh cinta.Saat Tiara hendak menjawab, salah satu panitia kecil mereka datang memanggil. "Semua sudah siap. Kita bisa mulai kapan saja."Tiara dan Reyha
Acara pertunangan Tiara dan Reyhan digelar sederhana namun penuh kehangatan di sebuah restoran yang disewa khusus. Dekorasi ruangan yang didominasi warna pastel dengan lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis. Keluarga dan sahabat terdekat hadir, menyaksikan momen penting itu. Tiara, yang mengenakan dress anggun berwarna peach, tampak menawan. Sementara Reyhan tampil gagah dengan setelan jas abu-abu.Reyhan berdiri di depan semua tamu, mengambil mikrofon, dan mulai berbicara. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara yang sangat spesial ini. Hari ini, saya ingin mengungkapkan rasa syukur karena bisa berdiri di sini. Di samping wanita yang luar biasa, Tiara. Dia adalah alasan aku ingin menjadi pria yang lebih baik setiap hari.”Tiara tersipu, menundukkan wajahnya sambil tersenyum malu-malu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu. Termasuk Shara yang duduk di meja depan bersama Darsih, ibu Arya.Setelah pidato singkat Reyhan, seorang pela
Reyhan berdiri di tengah ruangan yang sudah dihias dengan indah untuk opening kedua usaha Tiara, yaitu monuman boba. Tempat itu dipenuhi dengan teman, keluarga, dan rekan bisnis yang datang untuk memberikan dukungan. Bu Dewi dan Rina juga datang. Bahkan anak-anak panti semua ikut serta dan diberikan seragam. Karena usaha yang ini letaknya di ruko dengan halaman luas, Tiara mengundang semua orang yang dikenalnya. Tiara mengenakan gaun simpel berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun. Ia sibuk menyambut tamu, mengobrol dengan beberapa mitra, dan memastikan semuanya berjalan lancar.Saat acara berjalan, Reyhan tampak lebih tenang dari biasanya, meski ada sesuatu yang mengganjal di wajahnya. Ia sering melirik Tiara, menunggu momen yang tepat."Reyhan, kenapa melamun? Semua sudah siap?" tanya Tiara saat menghampirinya dengan segelas minuman di tangan.Reyhan tersenyum. "Iya, semuanya sudah siap. Kamu tenang saja. Hari ini akan berjalan sempurna."Tiara mengangguk sambil membenahi r
Arya duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Langit mendung seperti hatinya. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Bayangan Tiara yang dingin, pelukan Shara yang erat, dan kenangan pahit masa lalu. Ia merasa seperti orang yang kehilangan arah.Arya bergumam pelan."Apa semua ini salahku? Kalau aku dulu tidak gegabah bersikap… mungkin Tiara masih di sisiku. Tapi apa? Aku malah menghancurkan semua."Supir, yang mendengar gumaman itu, bertanya hati-hati."Den Arya, apa Anda baik-baik saja? Perlu kita berhenti sebentar?"Arya menggeleng sambil memaksakan senyum kecil. "Lanjutkan saja, Pak. Kita harus cepat sampai."Tiba-tiba, ponsel Arya bergetar. Ia merogoh benda itu dari saku jas. Nama Raka, salah satu polisi yang menyrlidiki kasus bapaknya, tertera di layar. Dengan cepat, Arya menjawab."Halo, Pak. Ada apa?" tanya Arya sedikit cemas.Suara di ujung telepon terdengar serius. "Mas Arya, kami punya perkembangan penting soal kasus kematian Tuan Baskoro. Kalau memungkinka
Arya memberhentikan mobilnya di depan lokasi yang Tiara kirimkan melalui pesan singkat. Sebuah rumah sederhana tapi nyaman terlihat dari luar. Shara, yang duduk di kursi belakang, tampak murung. Arya mematikan mesin mobil lalu menoleh ke putrinya, dan tersenyum lembut.“Shara, ayo turun. Papa antar kamu ke Mama,” katanya dengan suara penuh kasih.Shara menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak mau, Papa. Aku masih mau sama Papa.”Arya menelan ludah, hatinya mencelos melihat ekspresi Shara. “Sayang, Papa nggak akan pergi jauh kok. Papa selalu ada buat kamu, meskipun kita nggak tinggal bareng.”Shara tetap terdiam, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Arya mencoba membujuknya lagi. “Gimana kalau Papa janji nanti kita jalan-jalan lagi? Kamu suka, kan, jalan-jalan sama Papa?”Shara akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih muram. Arya keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Shara. Sambil menggandeng tangan putrinya, lelaki itu melangkah ke pintu depan rumah.
Opening usaha baru Tiara berlangsung meriah di dalam sebuah mall yang ramai pengunjung. Dekorasi minimalis dengan balon berwarna pastel menghiasi booth miliknya. Sementara staf berseragam rapi dan casual menyambut tamu-tamu yang datang. Tiara mengenakan seragam yang sama, berdiri di depan booth dengan Reyhan yang setia di sisinya. Mereka tersenyum pada setiap tamu yang datang memberikan ucapan selamat."Semangat, Cantik," ujar Reyhan sambil merapikan rambut Tiara yang sedikit terjatuh di wajahnya. "Ini adalah langkah besar untuk kita."Tiara mengangguk, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Beberapa hari terkahir ini, Reyhan kerap menyentuhnya tanpa sungkan. "Semoga semuanya berjalan lancar. Aku sedikit gugup."Reyhan merangkul Tiara dengan lembut. "Kamu pasti bisa. Semua ini hasil kerja kerasmu."Namun, kegugupan Tiara bertambah ketika dia melihat Arya tiba-tiba berdiri di antara kerumunan tamu yang memadati area sekitar booth. Arya mengenakan kemeja putih polos dan celana jean
Tiara dan Reyhan duduk berseberangan di sebuah meja kafe kecil di pinggir jalan, katalog franchise berserakan di atas meja. Tiara mengambil salah satu brosur dan membaca dengan serius. "Rey, ini kelihatannya menarik," katanya sambil menunjukkan brosur tentang franchise makanan penutup premium. "Mereka punya banyak pilihan menu yang unik. Dan tren dessert seperti ini sedang naik daun."Reyhan mengangguk, mengambil brosur itu dan membacanya. "Memang bagus. Konsepnya modern, dan kalau kita bisa dapat lokasi strategis, pasti ramai. Tapi lihat ini," ujarnya sambil mengambil brosur lain. "Franchise minuman boba ini juga menarik. Brand-nya sudah terkenal. Dan mereka punya konsep drive-thru yang jarang ada di Indonesia."Tiara tertawa kecil, lalu menggeleng. "Aku suka, tapi aku lebih tertarik sama yang dessert. Lebih cocok sama gaya dan seleraku."Reyhan tersenyum, meletakkan brosur boba itu kembali di meja. "Oke, jadi kita shortlist dua ini ya? Dessert premium dan boba. Selanjutnya kit