"Antarkan ini ke depan. Den Arya mau makan siang."
Tiara menatap nampan tersebut dengan tatapan tidak berdaya, lalu menerimanya.
IIa tidak bisa menolak, meskipun gadis itu sudah bangun sejak pukul lima pagi dan pontang-panting dengan segala tugas yang dibebankan padanya hingga siang.
Padahal ia sama sekali belum makan sejak semalam.
“Bik, apa aku boleh makan dulu? Aku lapar, Bik." Tiara mengucapkannya dengan ragu.
Entah mengapa gadis itu selalu merasa ketakutan setiap kali bertemu dengan penghuni rumah ini. Semua orang tampak memusuhinya. Ucapan ketus dan wajah masam adalah makanannya sehari-hari.
"Antarkan ini dulu. Habis itu kamu boleh makan.” Lawan bicaranya membalas dengan ketus. “Di dapur ada nasi sisa sama ikan asin. Nanti kamu makan itu."
Tiara menelan ludah saat mendengarnya. Perut gadis itu kembali berbunyi.
Tak apalah nasi sisa, yang penting ia bisa makan.
Dengan gemetaran dia mengantarkan makanan ke tempat Arya.
“Bismillah.”
Jarak dari dapur menuju ruang makan sebenarnya cukup dekat. Namun, Arya memilih untuk makan di pendopo. Kediaman keluarga Baskoro ini memang cukup luas dan megah. Langkah Tiara sangat hati-hati, karena ia tidak mau membuat masalah dan memancing hukuman untuk dirinya.
Apalagi nanti ia akan berhadapan dengan Arya juga.
"Permisi, Den."
Tiara meletakkan nampan dengan sopan di hadapan Arya. Tangan gadis itu gemetaran sehingga hampir saja menyenggol cangkir didekatnya.
Untunglah semua aman.
"Apa ini?" tanya Arya tak suka. Matanya mendelik menatap gadis itu.
"Nasi goreng kampung," jawab Tiara gugup. Nyalinya langsung menciut, bertanya-tanya apakah ada kesalahan yang ia perbuat hingga Arya bereaksi demikian.
"Kamu yang bikin?"
Tiara menggeleng. "Bik Ningsih, Den," bisiknya.
“Ck.” Arya kembali menatap Tiara dengan sinis. "Bilang ke Ningsih, lain kali suruh orang lain yang mengantar. Aku tidak mau diracun seperti ayahku oleh ibumu."
Tiara menunduk makin dalam. "Baik, Den." Hanya itu yang ia ucapkan.
"Pergi."
Tiara langsung diusir setelahnya.
Melihat itu Tiara segera menyingkir karena takut. Dia juga merasa lemas karena lapar. Begitu tiba di dapur, gadis itu meletakkan nampan dan mengambil nasi.
"Habis makan langsung cuci piring."
Tiara terkejut dan menoleh ke sumber suara. Ia bahkan belum sempat makan, tapi Bik Ningsih, kepala dapur tampak berkacak pinggang sembari menekuk bibir saat melihatnya.
"Inggih," ucap Tiara sopan.
“Setelahnya, kamu bersihkan bagian belakang. Sikat kerak dan lumut yang nempel di dinding," titah Ningsih lagi. “Jangan membantah. Masih untung kamu diberi makan di sini.”
Tiara menelan protesnya. Sudah beberapa lama ia tinggal di kediaman ini, tapi Tiara seperti tidak diperlakukan seperti pegawai yang bekerja.
Melainkan seperti budak saja.
Namun, Tiara tidak punya pilihan. Segera, Tiara menghabiskan makanannya yang tidak seberapa lalu melakukan tugas-tugas yang tadi dititahkan oleh Bik Ningsih.
Gadis itu memaksakan diri untuk berdiri dan mengambil sikat. Dengan sisa tenaga yang ada, gadis itu mengerjakan perintah Ningsih.
Mungkin karena tidak banyak tidur, atau mungkin karena Tiara baru saja makan. Ditambah suasana tenang nan asri yang jarang Tiara perhatikan di sana, gadis itu mulai mengantuk.
Pada akhirnya, Tiara memutuskan untuk duduk sejenak dan bersandar di pilar untuk beristirahat,
Hingga tanpa sadar, Tiara terlelap.
Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama karena seketika ia mendengar suara keras yang mengejutkannya.
Brak!
Tiara tersentak, terkejut dengan dada berdebar. Apalagi saat ia melihat ember yang sudah terguling dengan air berceceran ke mana-mana dan Arya yang tengah berdiri di hadapannya. Lelaki itu melipat tangan di dada untuk menunjukkan kekuasaannya.
“Begini kerjaanmu?” ucap Arya. "Belum selesai tapi males-malesan?"
Tiara mengusap dada untuk menetralkan perasaan. Kepalanya terasa sakit karena tiba-tba saja terbangun.
"Astagfirullah. Bukan begitu, Den. Saya--"
“Aku tidak butuh alasanmu,” tukas Arya. Wajahnya yang dingin kemudian melengos. "Bereskan kekacauan ini. Lalu ke kamarku.”
Arya berlalu setelahnya.
Sementara itu, tangan Tiara yang gemetaran, ketakutan. Sudah beberapa hari ini dia tidak diganggu, sehingga Tiara khawatir akan apa yang dilakukan pria itu padanya kali ini. Apakah ini karena ia tadi mengantarkan makan siang?
Apalagi … Arya tampaknya memang senang menyiksa gadis itu dan membuatnya tampak menyedihkan. Ketakutan di bawah kakinya.
Sekali lagi, Tiara tidak punya pilihan.
Segera, Tiara melanjutkan pekerjaannya dan membereskan kekacauan di hadapan. Tampaknya, tadi Arya menendang ember tersebut, membuat isinya berhamburan.
“T-tunggu–”
Di tengah perjalanannya menuju kamar Arya, Tiara tiba-tiba teringat akan sesuatu yang membuat tubuhnya membeku.
"Kamar Den Arya," desisnya. Seketika ia teringat akan informasi bahwa ibunya menjadi korban dari Tuan Baskoro. Harus melayani nafsu pria paruh baya itu. "Gusti Allah. Apakah Den Arya mau–"
Tiara mencoba membuang semua pikiran buruk yang berkecamuk di kepala. Arya tidak mungkin akan melakukan hal yang sama seperti ayahnya. Lelaki itu bahkan sangat membencinya. Menyentuhnya pun tidak akan mau. Arya hanya ingin agar Tiara terjebak di sini sebagai pelayannya.
Namun, bagaimana jika–
Buru-buru Tiara menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran buruk yang ada.
"Gusti Allah tolong lindungi hamba," doanya dalam hati. Tangannya masih gemetar saat ia hendak menaiki tangga ke kamar Arya.
"Kamu ngapain mau naik? Ke kamar Den Arya?” Tiba-tiba Bik Ningsih muncul. “Jangan macam-macam ya kamu. Mau godain Den Arya?"
“Tidak.” Tiara langsung membela diri. “Den Arya menyuruh saya.”
Padahal kalau bisa kabur, Tiara akan kabur saat ini juga.
“Oh. Ya sudah. Ingat ya. Jangan jadi sundal macam Darsih. Godain tuan besar sampai jadi gundiknya."
Tiba-tiba entah keberanian dari mana, Tiara menyahut, “Ibu ndak seperti itu.”
“Halah, omong kosong,” ejek Ningsih lagi. “Kalau gak digoda duluan, mana mungkin Tuan Besar mau sama ibumu. Mentang-mentang janda, haus belaian.”
“Bukankah Bibik juga janda? Apa Bibik juga haus belaian?” Kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibir Tiara.
Gadis itu tengah merasakan emosi yang amat sangat ketika mendengar ibunya kembali dihina, apalagi dituduh macam-macam. Ia masih percaya pada ibunya. Wanita yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu tidak mungkin bersikap demikian.
"Eh, sembarangan. Aku ini janda terhormat!"
"Ibuku ndak mungkin seperti itu. Ibu pasti dipaksa!”
Tiba-tiba Ningsih menjambak rambut Tiara dan menarik gadis itu hingga Tiara berteriak.
“Yang sopan sama yang lebih tua!” bentak Ningsih.
“Tapi Bibik sendiri tidak berlaku seperti contoh–ah!” Tiara kembali merasakan rambutnya ditarik hingga gadis itu kembali berteriak.
Ia takut. Tangannya masih gemetar. Namun, selain perasaan takut dan tidak berdaya, Tiara kini merasakan hal lain, yaitu marah. Dan kemarahan itu makin lama makin mengikis rasa takut dalam dirinya.
Toh Tiara sudah berulah. Ia akan dihukum. Ia pasti dihukum.
Jadi, memang kenapa kalau ia menambah daftar ulahnya hari ini?
"Ada apa ini?"
Suara dalam seorang pria membuat kedua perempuan itu membeku di tempat. Jantung Tiara yang sudah berdebar karena adrenalin makin berdegup keras karena mendengar suara itu sembari berdoa dalam hati.
Rupanya Karjo, tangan kanan Arya yang paling ia percaya. Lelaki itu tampak marah dan kesal akan kejadian ini. "Dasar gak tau diri. Syukur saja kamu masih hidup," umpat Ningsih sembari terengah-engah. "Kamu jangan ganggu Tiara. Cuma Den Arya yang boleh menyentuhnya," bentak Karjo. Ningsih berlalu sembari menggerutu. Sementara Tiara tertegun dengan apa yang baru saja Karjo ucapkan.Menyentuh?**Malam mulai menyapa dengan hawa sejuk dan awan gelap di langit. Angin bertiup sepoi-sepoi dan suara guntur bersahut-sahutan. Gerimis mulai turun, tetapi hujan deras enggan menyapa. Tiara menatap mas kawin yang tersemat di jarinya. Tadi dia memakainya sendiri, setelah diberikan oleh salah satu pekerja Arya. Tiara menerimanya dengan tangan gemetar. Cincin yang dia pilih. Setelah salah seorang anak buah Arya mendatangi dan memperlihatkan kepadanya beberapa model."Ibu ...," lirih Tiara pedih.Semua wanita ingin menikah, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Namun, Arya telah berjanji tak akan
Sebuah ketukan membangunkan lelapnya. Arya menggeliat kerena tubuh yang terasa pegal. Malam panasnya bersama sang kekasih membuat lelaki itu enggan bangun. Matanya mengerjap beberapa kali. Lalu, dengan perlahan lelaki itu duduk. Entah jam berapa kekasihnya pulang. Dia bahkan tak sadar saat wanita itu meninggalkan kamar. "Siapa?" teriaknya kesal.Tak ada jawaban hingga Arya berjalan membuka pintu dengan malas. Lelaki itu tersentak saat mendapati siapa sosok di baliknya. Seperti biasa, tatapan sinisnya begitu kentara.Tiara berdiri sembari menunduk. Gadis itu memakai kaus longgar dan rok batik. Selama berada di sini dia tak diperkenankan memakai pakaian bagus. "Ada apa?""Katanya saya diminta membersihkan kamar Den Arya," jawab Tiara jujur. "Oh, ya. Masuk."Arya membuka pintu lebih lebar dan memberikan kode agar Tiara segara masuk. Lelaki itu menyusul di belakang dengan tetap membiarkan pintunya terbuka. Untuk sesaat, Tiara tertegun melihat isinya. Seumur hidup gadis itu belum perna
Ningsih merengut saat Karjo memberitahunya tentang tugas Tiara yang baru. Wanita paruh baya itu merasa tak terima karena ada pekerja yang di anak emaskan. Apalagi itu pendatang baru dan masih muda. Jiwa bersaing muncul seketika di hati Ningsih. Padahal dialah yang paling lama mengabdi di kediaman keluarga Baskoro. Harusnya pekerjaan wanita itu lebih ringan mengingat usia yang semakin renta. "Apa Tiara pakai pelet untuk memikat Mas Arya? Kok bisa-bisanya dia yang diminta membersihkan kamar."Ningsih sengaja memancing Karjo untuk bercerita. Sebagai wanita lanjut usia pada umumnya, bergosip adalah salah satu hiburan selain menonton televisi. "Maksudmu apa?"Karjo mengatakan itu sembari menyeruput kopi panas. Sepotong pisang goreng langsung tandas di mulutnya karena kelaparan. Sejak tadi lelaki itu menunggu Ningsih selesai masak. "Sama seperti ibunya. Melet juragan kita biar dapat kemewahan."Ningsih mencibir saat mengingat Darsih. Ibunya Tiara itu memang cantik walau memasuki usia emp
Ningsih menegur Tiara yang sedang menyapu lantai. Sejak kemarin sore hingga pagi ini, sikap gadis itu berubah. Biasanya terlihat bugar, tapi sekarang tampak lemas. "Kenapa kamu masih di sini? Kamar Den Arya belum dibereskan dari tadi."Biasanya Tiara akan banyak bicara dan menjawab omelan Ningsih. Namun, seharian ini dia hanya diam dengan wajah murung."Kamu kenapa, sakit?"Ningsih mendekati Tiara dan meraba dahinya. Lalu, dia terkejut saat merasakan panas yang cukup tinggi."Ya ampun kamu demam."Ningsih mengambil sapu yang dipegang Tiara dan menuntun wanita itu duduk di kursi. Dengan cepat dia mengambil air putih dan menyodorkan sepiring kue."Makan!" perintahnya. Tiara menggeleng lalu melipat tangannya di meja. Gadis itu mencari posisi yang nyaman, lalu meletakkan kepala dan memejamkan mata."Makan dulu supaya bisa minum obat," paksa Ningsih.Lagi-lagi Tiara menggeleng. Gadis bahkan mendorong piringnya karena tak berselera makan. Rasanya dia ingin beristirahat saja seharian. "Duh
Tiara menggigil di balik selimut. Wanita itu bahkan tak bisa makan sama sekali. Sejak tadi dia muntah dan diare. Obat yang diberikan Ningsih tak berpengaruh apa apa."Ibu, ibu--" lirihnya.Sudah dua hari kondisi Tiara begini dan tak ada perubahan. Tak ada juga orang yang merawatnya. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Kamu apakan Tiara sampai begitu?" tanya Karjo. "Ndak ada, sumpah," jawab Ningsih jujur."Jangan-jangan ndak dikasih makan," tuduh Karjo."Enak saja, dia makan 3 kali sehari. Lauknya bebas, boleh milih yang ada dipanci.""Pasti kamu paksa kerja rodi," lanjut Karjo.Mata Ningsih mendelik tak terima. Sekalipun tak suka dengan Tiara, wanita paruh baya itu tak mau sembarangan bertindak. Dia masih mau bekerja lama di sini. "Dia cuma membersihkan kamar Den Arya," sanggah Ningsih. Dia tak mau dituduh menyuruh Tiara mengerjakan pekerjaan berat. "Mungkin kerjaan terlalu banyak. Sementara fisiknya ndak kuat," tebak Karjo."Nah, mungkin. Dia kan ndak pernah jadi babu maca
"Kemasi barangmu!"Karjo masuk ke ruang rawat inap begitu saja tanpa mempedulikan kondisi Tiara yang masih lemah."Kata dokter saya belum boleh pulang," tolak Tiara. Jangankan pulang, berdiri saja tubuhnya limbung. "Jangan membantah. Ini perintah Den Arya."Tiara terdiam dan tak mau berdebat. Namun, ketika seorang perawat datang dan mencabut infus, dia tahu bahwa tenaga medis di rumah sakit inipun tak bisa berbuat apa-apa."Bisa bantu saya berdiri?" pinta Tiara dengan wajah memelas. Setidaknya ada orang yang membantunya di saat seperti ini. "Tentu saja." Perawat itu memegang tangan Tiara dan menuntunnya di kursi roda. Wajahnya tampak iba, tetapi tak berani melawan."Biar aku saja," ucap Karjo sembari mengambil alih kursi roda dan mendorong Tiara keluar. "Tunggu!" Ucapan perawat itu menghentikan langkah Karjo. Lelaki itu tampak beringas sehingga membuat si perawat ketakutan."Barang-barangnya ketinggalan.," ucap perawat sembari menyodorkan sebuah ras kumal. "Tidak perlu. Itu cuma sa
Dengan langkah gontai, Tiara mengambil vacum cleaner untuk membersihkan kamar Arya. Pintu kamarnya diketuk pada pukul lima pagi. Sehinggga gadis itu terpaksa bangun dengan kondisi tubuh yang payah. "Bantu-bantu kami di dapur. Habis itu bersihkan kamar Mas Arya."Tiara tak mau berdebat dengan Ningsih. Jika saja kondisi tubuhnya lebih baik, mungkin gadis itu akan membalasnya. Namun dia menahan diri. Sakit dan tidak ada yang peduli itu menyakitkan."Den Arya sudah berangkat dari pagi," ucap Ningsih saat melihat Tiara mengeluarkan vacum cleaner dari lemari penyimpanan barang. "Iya, Bik.""Mungkin nanti sore dia akan pulang.""Aku tau," jawab Tiara cepat. "Jadi baiknya kamu berhati-hati. Jangan sampai ada barang yang hilang. Cukup ibumu saja yang jadi pembunuh. Jangan sampai anaknya ikutan maling."Rasanya Tiara ingin menyedot mulut Ningsih dengan alat ini. Apalagi saat mengucapkan hinaan, bibir tuanya itu ikut mencebik dengan mata melotot. Dalam hatinya berkata, andai saja dia sudah se
"Jadi, apa yang sudah kau saksikan sejak tadi?"Tiara mengakat bantal yang menutupi telinganya. Gadis itu menatap Arya dengan wajah pucat. Tubuhnya gemetaran, seolah-olah memohon ampunan. Jangan sampai Arya murka lagi akibat perbuatannya. "Kau memang lancang seperti ibumu!" bentak Arya."Maaf, Den," ujar Tiara sembari menunduk. "Keluar!"Arya menarik Tiara dan membawanya keluar dari walk in closet. Dia mendorong si mungil itu hingga terjatuh di sofa kamar, lalu menarik leher baju istrinya. "Apa yang kau lakukan di kamarku?" ucapnya dengan penuh amarah. "Saya .... saya membersihkannya," jawab Tiara terbata-bata. Tiara menunduk, tak berani menatap mata Arya yang begitu buas. "Kenapa begitu lama?"Arya benar-benar malu karena aktivitas intimnya bersama Clarisa diketahui orang lain. Apalagi orang itu adalah Tiara, makhluk di muka bumi ini yang paling dibencinya. Arya memang menjalani hubungan bebas sejak mereka berpacaran. Namun, keduanya tak pernah mengumbar kemesraan yang berlebiha