Share

3. Bagai Budak Penjara

"Antarkan ini ke depan. Den Arya mau makan siang."

Tiara menatap nampan tersebut dengan tatapan tidak berdaya, lalu menerimanya.

IIa tidak bisa menolak, meskipun gadis itu sudah bangun sejak pukul lima pagi dan pontang-panting dengan segala tugas yang dibebankan padanya hingga siang.

Padahal ia sama sekali belum makan sejak semalam.

“Bik, apa aku boleh makan dulu? Aku lapar, Bik." Tiara mengucapkannya dengan ragu. 

Entah mengapa gadis itu selalu merasa ketakutan setiap kali bertemu dengan penghuni rumah ini. Semua orang tampak memusuhinya. Ucapan ketus dan wajah masam adalah makanannya sehari-hari. 

"Antarkan ini dulu. Habis itu kamu boleh makan.” Lawan bicaranya membalas dengan ketus. “Di dapur ada nasi sisa sama ikan asin. Nanti kamu makan itu."

Tiara menelan ludah saat mendengarnya. Perut gadis itu kembali berbunyi. 

Tak apalah nasi sisa, yang penting ia bisa makan.

Dengan gemetaran dia mengantarkan makanan ke tempat Arya.

“Bismillah.”

Jarak dari dapur menuju ruang makan sebenarnya cukup dekat. Namun, Arya memilih untuk makan di pendopo. Kediaman keluarga Baskoro ini memang cukup luas dan megah. Langkah Tiara sangat hati-hati, karena ia tidak mau membuat masalah dan memancing hukuman untuk dirinya.

Apalagi nanti ia akan berhadapan dengan Arya juga.

"Permisi, Den." 

Tiara meletakkan nampan dengan sopan di hadapan Arya. Tangan gadis itu gemetaran sehingga hampir saja menyenggol cangkir didekatnya. 

Untunglah semua aman. 

"Apa ini?" tanya Arya tak suka. Matanya mendelik menatap gadis itu. 

"Nasi goreng kampung," jawab Tiara gugup. Nyalinya langsung menciut, bertanya-tanya apakah ada kesalahan yang ia perbuat hingga Arya bereaksi demikian.

"Kamu yang bikin?"

Tiara menggeleng.  "Bik Ningsih, Den," bisiknya. 

“Ck.” Arya kembali menatap Tiara dengan sinis. "Bilang ke Ningsih, lain kali suruh orang lain yang mengantar. Aku tidak mau diracun seperti ayahku oleh ibumu."

Tiara menunduk makin dalam. "Baik, Den." Hanya itu yang ia ucapkan.

"Pergi." 

Tiara langsung diusir setelahnya.

Melihat itu Tiara segera menyingkir karena takut. Dia juga merasa lemas karena lapar. Begitu tiba di dapur, gadis itu meletakkan nampan dan mengambil nasi.

"Habis makan langsung cuci piring."

Tiara terkejut dan menoleh ke sumber suara. Ia bahkan belum sempat makan, tapi Bik Ningsih, kepala dapur tampak berkacak pinggang sembari menekuk bibir saat melihatnya.

"Inggih," ucap Tiara sopan. 

“Setelahnya, kamu bersihkan bagian belakang. Sikat kerak dan lumut yang nempel di dinding," titah Ningsih lagi. “Jangan membantah. Masih untung kamu diberi makan di sini.”

Tiara menelan protesnya. Sudah beberapa lama ia tinggal di kediaman ini, tapi Tiara seperti tidak diperlakukan seperti pegawai yang bekerja.

Melainkan seperti budak saja.

Namun, Tiara tidak punya pilihan. Segera, Tiara menghabiskan makanannya yang tidak seberapa lalu melakukan tugas-tugas yang tadi dititahkan oleh Bik Ningsih.

Gadis itu memaksakan diri untuk berdiri dan mengambil sikat. Dengan sisa tenaga yang ada, gadis itu mengerjakan perintah Ningsih. 

Mungkin karena tidak banyak tidur, atau mungkin karena Tiara baru saja makan. Ditambah suasana tenang nan asri yang jarang Tiara perhatikan di sana, gadis itu mulai mengantuk.

Pada akhirnya, Tiara memutuskan untuk duduk sejenak dan bersandar di pilar untuk beristirahat,

Hingga tanpa sadar, Tiara terlelap.

Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama karena seketika ia mendengar suara keras yang mengejutkannya.

Brak!

Tiara tersentak, terkejut dengan dada berdebar. Apalagi saat ia melihat ember yang sudah terguling dengan air berceceran ke mana-mana dan Arya yang tengah berdiri di hadapannya. Lelaki itu melipat tangan di dada untuk menunjukkan kekuasaannya.

“Begini kerjaanmu?” ucap Arya. "Belum selesai tapi males-malesan?"

Tiara mengusap dada untuk menetralkan perasaan. Kepalanya terasa sakit karena tiba-tba saja terbangun.

"Astagfirullah. Bukan begitu, Den. Saya--"

“Aku tidak butuh alasanmu,” tukas Arya. Wajahnya yang dingin kemudian melengos. "Bereskan kekacauan ini. Lalu ke kamarku.”

Arya berlalu setelahnya. 

Sementara itu, tangan Tiara yang gemetaran, ketakutan. Sudah beberapa hari ini dia tidak diganggu, sehingga Tiara khawatir akan apa yang dilakukan pria itu padanya kali ini. Apakah ini karena ia tadi mengantarkan makan siang?

Apalagi … Arya tampaknya memang senang menyiksa gadis itu dan membuatnya tampak menyedihkan. Ketakutan di bawah kakinya.

Sekali lagi, Tiara tidak punya pilihan.

Segera, Tiara melanjutkan pekerjaannya dan membereskan kekacauan di hadapan. Tampaknya, tadi Arya menendang ember tersebut, membuat isinya berhamburan.

“T-tunggu–”

Di tengah perjalanannya menuju kamar Arya, Tiara tiba-tiba teringat akan sesuatu yang membuat tubuhnya membeku.

"Kamar Den Arya," desisnya. Seketika ia teringat akan informasi bahwa ibunya menjadi korban dari Tuan Baskoro. Harus melayani nafsu pria paruh baya itu. "Gusti Allah. Apakah Den Arya mau–"

Tiara mencoba membuang semua pikiran buruk yang berkecamuk di kepala. Arya tidak mungkin akan melakukan hal yang sama seperti ayahnya. Lelaki itu bahkan sangat membencinya. Menyentuhnya pun tidak akan mau. Arya hanya ingin agar Tiara terjebak di sini sebagai pelayannya.

Namun, bagaimana jika–

Buru-buru Tiara menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran buruk yang ada.

"Gusti Allah tolong lindungi hamba," doanya dalam hati. Tangannya masih gemetar saat ia hendak menaiki tangga ke kamar Arya.

"Kamu ngapain mau naik? Ke kamar Den Arya?” Tiba-tiba Bik Ningsih muncul. “Jangan macam-macam ya kamu. Mau godain Den Arya?" 

“Tidak.” Tiara langsung membela diri. “Den Arya menyuruh saya.”

Padahal kalau bisa kabur, Tiara akan kabur saat ini juga.

“Oh. Ya sudah. Ingat ya. Jangan jadi sundal macam Darsih. Godain tuan besar sampai jadi gundiknya."

Tiba-tiba entah keberanian dari mana, Tiara menyahut, “Ibu ndak seperti itu.”

“Halah, omong kosong,” ejek Ningsih lagi. “Kalau gak digoda duluan, mana mungkin Tuan Besar mau sama ibumu. Mentang-mentang janda, haus belaian.”

“Bukankah Bibik juga janda? Apa Bibik juga haus belaian?” Kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibir Tiara.

Gadis itu tengah merasakan emosi yang amat sangat ketika mendengar ibunya kembali dihina, apalagi dituduh macam-macam. Ia masih percaya pada ibunya. Wanita yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu tidak mungkin bersikap demikian.

"Eh, sembarangan. Aku ini janda terhormat!"

"Ibuku ndak mungkin seperti itu. Ibu pasti dipaksa!”

Tiba-tiba Ningsih menjambak rambut Tiara dan menarik gadis itu hingga Tiara berteriak.

“Yang sopan sama yang lebih tua!” bentak Ningsih.

“Tapi Bibik sendiri tidak berlaku seperti contoh–ah!” Tiara kembali merasakan rambutnya ditarik hingga gadis itu kembali berteriak.

Ia takut. Tangannya masih gemetar. Namun, selain perasaan takut dan tidak berdaya, Tiara kini merasakan hal lain, yaitu marah. Dan kemarahan itu makin lama makin mengikis rasa takut dalam dirinya.

Toh Tiara sudah berulah. Ia akan dihukum. Ia pasti dihukum.

Jadi, memang kenapa kalau ia menambah daftar ulahnya hari ini?

"Ada apa ini?"

Suara dalam seorang pria membuat kedua perempuan itu membeku di tempat. Jantung Tiara yang sudah berdebar karena adrenalin makin berdegup keras karena mendengar suara itu sembari berdoa dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status