“Jangan berani-beraninya kamu melarikan diri.”
Setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu respons Tiara, Arya mengalihkan pandangan pada tangan kanannya. “Kamu sudah menyiapkan segalanya untuk besok?”
“Sudah, Mas.” Lawan bicaranya mengangguk. “Tapi … apakah Mas yakin?”
Arya kembali melirik Tiara, membuat gadis itu langsung bergidik dan menunduk dalam-dalam dengan tangan gemetar sembari menggigit bibirnya, menahan isak tangis.
Beberapa hari yang lalu, ia masih kuliah di kota. Dan sekarang Tiara sudah menjadi tahanan pria iblis penuh dendam ini.
"Tolong kuatkan hamba." Ia membatin.
“Ya.” Tiara kemudian mendengar Arya menyahut. “Bukankah tidak ada penjara yang lebih sempurna untuknya selain pernikahan?”
Setelah mengatakan itu, Arya keluar bersama orang-orangnya. Pintu kembali dikunci, meninggalkan Tiara yang terjebak di dalamnya.
Karena tidak memiliki hal lain untuk dilakukan sebagai tahanan dan Tiara enggan membiarkan pikiran buruk terus merusak otak serta hatinya, membuatnya khawatir tanpa henti, gadis itu akhirnya memutuskan untuk tidur.
Tanpa tahu apa yang menunggunya esok hari.
Keesokan harinya ….
"Bangun!"
Tiara mengerang pelan. Gadis itu merasakan kelelahan yang luar biasa setelah mengalami banyak hal. Seluruh sendinya terasa pegal. Bakan kaki dan tangan enggan digerakkan, sementara matanya terasa terlalu berat untuk dibuka.
"Guyur," titah seseorang tak lama kemudian.
Tiara tersentak saat seember air membasahi tubuhnya. Gadis itu menjerit saat terbangun. Dua lelaki tak dikenal sedang berdiri dan menarik tangannya.
"Ikut kami."
“Tolong jangan sakiti saya–”
Tiara berusaha meronta tetapi dua orang itu menyeretnya menuju ke sebuah ruangan melewati jalan belakang. Bibirnya terus menggumamkan permohonan sementara otaknya memutar ingatan luka-luka yang didapatkan oleh ibunya.
Apakah ia akan disiksa?
“Saya mohon, saya–mmph!”
Mulut gadis itu tiba-tiba dibekap hingga tak bersuara.
"Berisik!” bentak orang yang membawanya. “Diam atau kamu mau mati?"
Tiara menggeleng lemah. Tubuh yang basah, ditambah udara dingin membuatnya semakin tersiksa. Akhirnya dengan susah payah gadis itu berjalan mengikuti langkah mereka sembari sesekali terisak.
"Masuk dan tunggu Tuan Arya datang. Ingat, turuti saja perintahnya,” ucap pria itu setelah melemparkan Tiara yang masih lemas ke dalam sebuah ruangan. “Ingat, Tuan Arya masih punya kuasa atas ibumu. Kalau gak mau ibumu mati, jangan macam-macam!"
Tiara mengangguk di sela tangis liriknya. Dia masih terlalu muda untuk menerima semuanya. Hidup mereka yang sejak dulu miskin, malah diberikan cobaan seperti ini.
"Ya Allah."
Tiara melantunkan doa dalam hati. Gadis itu terduduk di lantai dengan air mata bercucuran, ketika pintu ruangan terbuka.
“Silakan masuk, Den.”
Tampak wajah Arya yang dingin dari balik pintu saat pelayannya membukakan pintu. Sorot matanya langsung jatuh pada Tiara yang terduduk di lantai, tampak jijik.
Namun, pria itu tidak berkomentar apa-apa dan hanya mengatakan, “Ayo kita mulai ijabkabulnya.”
Sepasang mata Tiara terbelalak. Ia … ia akan dinikahi hari ini?
***
"Ananda Arya Kusuma Mayangkara. Aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan Tiara Maharani binti almarhum Sujadi dengan maskawin sebuah cincin emas, tunai."
"Saya terima nikahnya Tiara Maharani binti almarhum Sujadi dengan maskawin sebuah cincin emas, tunai!"
Tiara mengepalkan tangannya di pangkuan saat mendengar ucapan ijabkabul tersebut. Sebagian karena geram, merasa bodoh dan tidak berdaya. Sementara sebagian lain adalah untuk menahan diri agar tidak mengatakan apa pun selama proses, sekalipun tubuhnya terasa sakit dan kakinya mati rasa karena ia dipaksa duduk bersimpuh di atas lantai.
Sementara pria iblis yang menahannya tersebut duduk di kursi di sampingnya, lebih tinggi seakan mau menunjukkan kepada semua orang akan kesenjangan diri mereka.
Seakan-akan Tiara amat hina, dan Arya adalah si penguasa.
Tiara bahkan tidak berani melirik bagaimana ekspresi pria dingin itu saat mengucapkan kalimat ijabkabul, tapi dari suaranya Tiara yakin bahwa bagi Arya, tepat saat kalimat itu diucapkan, pria itu tengah merantai tangan dan kaki Tiara agar tidak pernah bisa pergi.
Bahwa dia hanya menginginkan status suami, agar bebas menguasai Tiara.
Gadis itu harus melupakan mimpinya bekerja dan digaji. Serta dinikahi oleh pria yang dicintai.
Semua demi memuaskan dendam ahli waris Tuan Baskoro tersebut.
"Bagaimana saksi, apakah sah?" tanya penghulu sembari menatap dua orang yang ditunjuk saksi.
"Sah!"
"Alhamdulillah."
Ruangan itu menjadi saksi di mana Arya mengucapkan ijabkabul untuk memenuhi ambisinya membalaskan dendam.
"Ya Allah," lirih Tiara dalam hati. Gadis itu bahkan mengusap kedua sudut matanya yang berair.
"Silakan dipakaikan cincinnya," ucap penghulu.
Tak ada barang hantaran. Maskawin dibeli agar pernikahan ini sah. Dan Arya membiarkan Tiara memilih, di antara beberapa perhiasan yang dibawakan oleh anak buahnya.
"Tidak perlu.” Arya menolak. “Kalau pernikahannya sudah selesai, aku akan pergi."
Tiara menunduk dalam-dalam. Sikap Arya benar-benar merendahkannya.
"Sudah selesai, Den," jawab penghulu terbata-bata.
Arya mengangguk. "Baik. Kalian semua boleh pergi."
Penghulu dan dua saksi segara berpamitan dan keluar dengan wajah ketakutan. Di tangan mereka ada sebuah amplop cokelat yang isinya cukup tebal. Arya memang menitahkan semua orang yang ada di ruangan ini untuk merahasiakannya, walau harus mengeluarkan uang yang tak sedikit.
"Kamu juga. Kembalilah ke kamar."
“Den Arya–”
Belum sempat Tiara melanjutkan kata-katanya, Arya sudah berdiri. “Aku tidak suka mengulang ucapanku,” katanya tanpa menatap ke arah Tiara. “Kembalilah ke kamar dan istriharat untuk hari ini.”
Tiiara tampak lega dan cukup senang mendengar itu karena itu berarti kemungkinan ia tidak akan diganggu oleh orang-orang suruhan Arya.
Namun, detik berikutnya, perasaan itu menghilang seketika saat Tiara mendengar Arya melanjutkan, “Karena besok, nerakamu yang sebenarnya akan dimulai.”
"Antarkan ini ke depan. Den Arya mau makan siang."Tiara menatap nampan tersebut dengan tatapan tidak berdaya, lalu menerimanya.IIa tidak bisa menolak, meskipun gadis itu sudah bangun sejak pukul lima pagi dan pontang-panting dengan segala tugas yang dibebankan padanya hingga siang.Padahal ia sama sekali belum makan sejak semalam.“Bik, apa aku boleh makan dulu? Aku lapar, Bik." Tiara mengucapkannya dengan ragu. Entah mengapa gadis itu selalu merasa ketakutan setiap kali bertemu dengan penghuni rumah ini. Semua orang tampak memusuhinya. Ucapan ketus dan wajah masam adalah makanannya sehari-hari. "Antarkan ini dulu. Habis itu kamu boleh makan.” Lawan bicaranya membalas dengan ketus. “Di dapur ada nasi sisa sama ikan asin. Nanti kamu makan itu."Tiara menelan ludah saat mendengarnya. Perut gadis itu kembali berbunyi. Tak apalah nasi sisa, yang penting ia bisa makan.Dengan gemetaran dia mengantarkan makanan ke tempat Arya.“Bismillah.”Jarak dari dapur menuju ruang makan sebenarnya
Rupanya Karjo, tangan kanan Arya yang paling ia percaya. Lelaki itu tampak marah dan kesal akan kejadian ini. "Dasar gak tau diri. Syukur saja kamu masih hidup," umpat Ningsih sembari terengah-engah. "Kamu jangan ganggu Tiara. Cuma Den Arya yang boleh menyentuhnya," bentak Karjo. Ningsih berlalu sembari menggerutu. Sementara Tiara tertegun dengan apa yang baru saja Karjo ucapkan.Menyentuh?**Malam mulai menyapa dengan hawa sejuk dan awan gelap di langit. Angin bertiup sepoi-sepoi dan suara guntur bersahut-sahutan. Gerimis mulai turun, tetapi hujan deras enggan menyapa. Tiara menatap mas kawin yang tersemat di jarinya. Tadi dia memakainya sendiri, setelah diberikan oleh salah satu pekerja Arya. Tiara menerimanya dengan tangan gemetar. Cincin yang dia pilih. Setelah salah seorang anak buah Arya mendatangi dan memperlihatkan kepadanya beberapa model."Ibu ...," lirih Tiara pedih.Semua wanita ingin menikah, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Namun, Arya telah berjanji tak akan
Sebuah ketukan membangunkan lelapnya. Arya menggeliat kerena tubuh yang terasa pegal. Malam panasnya bersama sang kekasih membuat lelaki itu enggan bangun. Matanya mengerjap beberapa kali. Lalu, dengan perlahan lelaki itu duduk. Entah jam berapa kekasihnya pulang. Dia bahkan tak sadar saat wanita itu meninggalkan kamar. "Siapa?" teriaknya kesal.Tak ada jawaban hingga Arya berjalan membuka pintu dengan malas. Lelaki itu tersentak saat mendapati siapa sosok di baliknya. Seperti biasa, tatapan sinisnya begitu kentara.Tiara berdiri sembari menunduk. Gadis itu memakai kaus longgar dan rok batik. Selama berada di sini dia tak diperkenankan memakai pakaian bagus. "Ada apa?""Katanya saya diminta membersihkan kamar Den Arya," jawab Tiara jujur. "Oh, ya. Masuk."Arya membuka pintu lebih lebar dan memberikan kode agar Tiara segara masuk. Lelaki itu menyusul di belakang dengan tetap membiarkan pintunya terbuka. Untuk sesaat, Tiara tertegun melihat isinya. Seumur hidup gadis itu belum perna
Ningsih merengut saat Karjo memberitahunya tentang tugas Tiara yang baru. Wanita paruh baya itu merasa tak terima karena ada pekerja yang di anak emaskan. Apalagi itu pendatang baru dan masih muda. Jiwa bersaing muncul seketika di hati Ningsih. Padahal dialah yang paling lama mengabdi di kediaman keluarga Baskoro. Harusnya pekerjaan wanita itu lebih ringan mengingat usia yang semakin renta. "Apa Tiara pakai pelet untuk memikat Mas Arya? Kok bisa-bisanya dia yang diminta membersihkan kamar."Ningsih sengaja memancing Karjo untuk bercerita. Sebagai wanita lanjut usia pada umumnya, bergosip adalah salah satu hiburan selain menonton televisi. "Maksudmu apa?"Karjo mengatakan itu sembari menyeruput kopi panas. Sepotong pisang goreng langsung tandas di mulutnya karena kelaparan. Sejak tadi lelaki itu menunggu Ningsih selesai masak. "Sama seperti ibunya. Melet juragan kita biar dapat kemewahan."Ningsih mencibir saat mengingat Darsih. Ibunya Tiara itu memang cantik walau memasuki usia emp
Ningsih menegur Tiara yang sedang menyapu lantai. Sejak kemarin sore hingga pagi ini, sikap gadis itu berubah. Biasanya terlihat bugar, tapi sekarang tampak lemas. "Kenapa kamu masih di sini? Kamar Den Arya belum dibereskan dari tadi."Biasanya Tiara akan banyak bicara dan menjawab omelan Ningsih. Namun, seharian ini dia hanya diam dengan wajah murung."Kamu kenapa, sakit?"Ningsih mendekati Tiara dan meraba dahinya. Lalu, dia terkejut saat merasakan panas yang cukup tinggi."Ya ampun kamu demam."Ningsih mengambil sapu yang dipegang Tiara dan menuntun wanita itu duduk di kursi. Dengan cepat dia mengambil air putih dan menyodorkan sepiring kue."Makan!" perintahnya. Tiara menggeleng lalu melipat tangannya di meja. Gadis itu mencari posisi yang nyaman, lalu meletakkan kepala dan memejamkan mata."Makan dulu supaya bisa minum obat," paksa Ningsih.Lagi-lagi Tiara menggeleng. Gadis bahkan mendorong piringnya karena tak berselera makan. Rasanya dia ingin beristirahat saja seharian. "Duh
Tiara menggigil di balik selimut. Wanita itu bahkan tak bisa makan sama sekali. Sejak tadi dia muntah dan diare. Obat yang diberikan Ningsih tak berpengaruh apa apa."Ibu, ibu--" lirihnya.Sudah dua hari kondisi Tiara begini dan tak ada perubahan. Tak ada juga orang yang merawatnya. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Kamu apakan Tiara sampai begitu?" tanya Karjo. "Ndak ada, sumpah," jawab Ningsih jujur."Jangan-jangan ndak dikasih makan," tuduh Karjo."Enak saja, dia makan 3 kali sehari. Lauknya bebas, boleh milih yang ada dipanci.""Pasti kamu paksa kerja rodi," lanjut Karjo.Mata Ningsih mendelik tak terima. Sekalipun tak suka dengan Tiara, wanita paruh baya itu tak mau sembarangan bertindak. Dia masih mau bekerja lama di sini. "Dia cuma membersihkan kamar Den Arya," sanggah Ningsih. Dia tak mau dituduh menyuruh Tiara mengerjakan pekerjaan berat. "Mungkin kerjaan terlalu banyak. Sementara fisiknya ndak kuat," tebak Karjo."Nah, mungkin. Dia kan ndak pernah jadi babu maca
"Kemasi barangmu!"Karjo masuk ke ruang rawat inap begitu saja tanpa mempedulikan kondisi Tiara yang masih lemah."Kata dokter saya belum boleh pulang," tolak Tiara. Jangankan pulang, berdiri saja tubuhnya limbung. "Jangan membantah. Ini perintah Den Arya."Tiara terdiam dan tak mau berdebat. Namun, ketika seorang perawat datang dan mencabut infus, dia tahu bahwa tenaga medis di rumah sakit inipun tak bisa berbuat apa-apa."Bisa bantu saya berdiri?" pinta Tiara dengan wajah memelas. Setidaknya ada orang yang membantunya di saat seperti ini. "Tentu saja." Perawat itu memegang tangan Tiara dan menuntunnya di kursi roda. Wajahnya tampak iba, tetapi tak berani melawan."Biar aku saja," ucap Karjo sembari mengambil alih kursi roda dan mendorong Tiara keluar. "Tunggu!" Ucapan perawat itu menghentikan langkah Karjo. Lelaki itu tampak beringas sehingga membuat si perawat ketakutan."Barang-barangnya ketinggalan.," ucap perawat sembari menyodorkan sebuah ras kumal. "Tidak perlu. Itu cuma sa
Dengan langkah gontai, Tiara mengambil vacum cleaner untuk membersihkan kamar Arya. Pintu kamarnya diketuk pada pukul lima pagi. Sehinggga gadis itu terpaksa bangun dengan kondisi tubuh yang payah. "Bantu-bantu kami di dapur. Habis itu bersihkan kamar Mas Arya."Tiara tak mau berdebat dengan Ningsih. Jika saja kondisi tubuhnya lebih baik, mungkin gadis itu akan membalasnya. Namun dia menahan diri. Sakit dan tidak ada yang peduli itu menyakitkan."Den Arya sudah berangkat dari pagi," ucap Ningsih saat melihat Tiara mengeluarkan vacum cleaner dari lemari penyimpanan barang. "Iya, Bik.""Mungkin nanti sore dia akan pulang.""Aku tau," jawab Tiara cepat. "Jadi baiknya kamu berhati-hati. Jangan sampai ada barang yang hilang. Cukup ibumu saja yang jadi pembunuh. Jangan sampai anaknya ikutan maling."Rasanya Tiara ingin menyedot mulut Ningsih dengan alat ini. Apalagi saat mengucapkan hinaan, bibir tuanya itu ikut mencebik dengan mata melotot. Dalam hatinya berkata, andai saja dia sudah se