Share

2. Pernikahan Penuh Dendam

“Jangan berani-beraninya kamu melarikan diri.”

Setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu respons Tiara, Arya mengalihkan pandangan pada tangan kanannya. “Kamu sudah menyiapkan segalanya untuk besok?”

“Sudah, Mas.” Lawan bicaranya mengangguk. “Tapi … apakah Mas yakin?”

Arya kembali melirik Tiara, membuat gadis itu langsung bergidik dan menunduk dalam-dalam dengan tangan gemetar sembari menggigit bibirnya, menahan isak tangis.

Beberapa hari yang lalu, ia masih kuliah di kota. Dan sekarang Tiara sudah menjadi tahanan pria iblis penuh dendam ini.

"Tolong kuatkan hamba." Ia membatin.

“Ya.” Tiara kemudian mendengar Arya menyahut. “Bukankah tidak ada penjara yang lebih sempurna untuknya selain pernikahan?”

Setelah mengatakan itu, Arya keluar bersama orang-orangnya. Pintu kembali dikunci, meninggalkan Tiara yang terjebak di dalamnya.

Karena tidak memiliki hal lain untuk dilakukan sebagai tahanan dan Tiara enggan membiarkan pikiran buruk terus merusak otak serta hatinya, membuatnya khawatir tanpa henti, gadis itu akhirnya memutuskan untuk tidur.

Tanpa tahu apa yang menunggunya esok hari.

Keesokan harinya ….

"Bangun!"

Tiara mengerang pelan. Gadis itu merasakan kelelahan yang luar biasa setelah mengalami banyak hal. Seluruh sendinya terasa pegal. Bakan kaki dan tangan enggan digerakkan, sementara matanya terasa terlalu berat untuk dibuka. 

"Guyur," titah seseorang tak lama kemudian.

Tiara tersentak saat seember air membasahi tubuhnya. Gadis itu menjerit saat terbangun. Dua lelaki tak dikenal sedang berdiri dan menarik tangannya.

"Ikut kami."

“Tolong jangan sakiti saya–”

Tiara berusaha meronta tetapi dua orang itu menyeretnya menuju ke sebuah ruangan melewati jalan belakang. Bibirnya terus menggumamkan permohonan sementara otaknya memutar ingatan luka-luka yang didapatkan oleh ibunya.

Apakah ia akan disiksa?

“Saya mohon, saya–mmph!”

Mulut gadis itu tiba-tiba dibekap hingga tak bersuara.

"Berisik!” bentak orang yang membawanya. “Diam atau kamu mau mati?"

Tiara menggeleng lemah. Tubuh yang basah, ditambah udara dingin membuatnya semakin tersiksa. Akhirnya dengan susah payah gadis itu berjalan mengikuti langkah mereka sembari sesekali terisak.

"Masuk dan tunggu Tuan Arya datang. Ingat, turuti saja perintahnya,” ucap pria itu setelah melemparkan Tiara yang masih lemas ke dalam sebuah ruangan. “Ingat, Tuan Arya masih punya kuasa atas ibumu. Kalau gak mau ibumu mati, jangan macam-macam!"

Tiara mengangguk di sela tangis liriknya. Dia masih terlalu muda untuk menerima semuanya. Hidup mereka yang sejak dulu miskin, malah diberikan cobaan seperti ini. 

"Ya Allah."

Tiara melantunkan doa dalam hati. Gadis itu terduduk di lantai dengan air mata bercucuran, ketika pintu ruangan terbuka.

“Silakan masuk, Den.”

Tampak wajah Arya yang dingin dari balik pintu saat pelayannya membukakan pintu. Sorot matanya langsung jatuh pada Tiara yang terduduk di lantai, tampak jijik.

Namun, pria itu tidak berkomentar apa-apa dan hanya mengatakan, “Ayo kita mulai ijabkabulnya.”

Sepasang mata Tiara terbelalak. Ia … ia akan dinikahi hari ini?

***

"Ananda Arya Kusuma Mayangkara. Aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan Tiara Maharani binti almarhum Sujadi dengan maskawin sebuah cincin emas, tunai."

"Saya terima nikahnya Tiara Maharani binti almarhum Sujadi dengan maskawin sebuah cincin emas, tunai!"

Tiara mengepalkan tangannya di pangkuan saat mendengar ucapan ijabkabul tersebut. Sebagian karena geram, merasa bodoh dan tidak berdaya. Sementara sebagian lain adalah untuk menahan diri agar tidak mengatakan apa pun selama proses, sekalipun tubuhnya terasa sakit dan kakinya mati rasa karena ia dipaksa duduk bersimpuh di atas lantai.

Sementara pria iblis yang menahannya tersebut duduk di kursi di sampingnya, lebih tinggi seakan mau menunjukkan kepada semua orang akan kesenjangan diri mereka.

Seakan-akan Tiara amat hina, dan Arya adalah si penguasa.

Tiara bahkan tidak berani melirik bagaimana ekspresi pria dingin itu saat mengucapkan kalimat ijabkabul, tapi dari suaranya Tiara yakin bahwa bagi Arya, tepat saat kalimat itu diucapkan, pria itu tengah merantai tangan dan kaki Tiara agar tidak pernah bisa pergi.

Bahwa dia hanya menginginkan status suami, agar bebas menguasai Tiara.  

Gadis itu harus melupakan mimpinya bekerja dan digaji. Serta dinikahi oleh pria yang dicintai.

Semua demi memuaskan dendam ahli waris Tuan Baskoro tersebut.

"Bagaimana saksi, apakah sah?" tanya penghulu sembari menatap dua orang yang ditunjuk saksi. 

"Sah!"

"Alhamdulillah."

Ruangan itu menjadi saksi di mana Arya mengucapkan ijabkabul untuk memenuhi ambisinya membalaskan dendam.

"Ya Allah," lirih Tiara dalam hati. Gadis itu bahkan mengusap kedua sudut matanya yang berair. 

"Silakan dipakaikan cincinnya," ucap penghulu. 

Tak ada barang hantaran. Maskawin dibeli agar pernikahan ini sah. Dan Arya membiarkan Tiara memilih, di antara beberapa perhiasan yang dibawakan oleh anak buahnya. 

"Tidak perlu.” Arya menolak. “Kalau pernikahannya sudah selesai, aku akan pergi."

Tiara menunduk dalam-dalam. Sikap Arya benar-benar merendahkannya. 

"Sudah selesai, Den," jawab penghulu terbata-bata.

Arya mengangguk. "Baik. Kalian semua boleh pergi."

Penghulu dan dua saksi segara berpamitan dan keluar dengan wajah ketakutan. Di tangan mereka ada sebuah amplop cokelat yang isinya cukup tebal. Arya memang menitahkan semua orang yang ada di ruangan ini untuk merahasiakannya, walau harus mengeluarkan uang yang tak sedikit.

"Kamu juga. Kembalilah ke kamar."

“Den Arya–”

Belum sempat Tiara melanjutkan kata-katanya, Arya sudah berdiri. “Aku tidak suka mengulang ucapanku,” katanya tanpa menatap ke arah Tiara. “Kembalilah ke kamar dan istriharat untuk hari ini.”

Tiiara tampak lega dan cukup senang mendengar itu karena itu berarti kemungkinan ia tidak akan diganggu oleh orang-orang suruhan Arya.

Namun, detik berikutnya, perasaan itu menghilang seketika saat Tiara mendengar Arya melanjutkan, “Karena besok, nerakamu yang sebenarnya akan dimulai.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status