Share

Belenggu Pernikahan Tuan Arya
Belenggu Pernikahan Tuan Arya
Penulis: Queeny

1. (Tanpa) Pilihan

"Utang nyawa harusnya dibayar nyawa. Tapi tuan kami masih berbaik hati. Beliau cuma minta kamu sebagai gantinya. Bukannya bersyukur, kamu justru mempersulit keadaan."

Tiara menatap semua orang di ruangan itu dengan gamang. Terutama Darsih, sang ibu, yang tampak lemas dengan tangan gemetaran. Ada banyak bekas luka di tubuh ibunya tersebut setelah melewati penyiksaan. 

Sungguh, hatinya tak rela jika terus berlanjut.

Gadis itu menoleh ke arah suara yang bicara padanya tadi. Kepada sosok lelaki paruh baya yang mendapatkan tugas dari seseorang untuk menyiksa ibunya jika ia tidak ingin ikut pergi bersama mereka.

Namun, bagaimana ia sanggup untuk meninggalkan sang ibu sekarang?

Selama ini, Tiara tidak tinggal di kampung dan memang diminta ibunya untuk menetap di kota. Ia tidak tahu, bahwa sebenarnya sang ibu telah berutang banyak pada Tuan Baskoro untuk menyekolahkannya waktu itu.

Tiara juga tidak tahu bahwa alih-alih uang, Tuan Baskoro meminta bayaran dalam bentuk lain: pelayanan Darsih dengan tubuhnya.

Hanya segelintir orang yang tahu bahwa pria tambun yang dikenal dermawan itu sebenarnya gemar melecehkan wanita.

Akibatnya, Ibu Tiara yang masih muda dan cantik itu kemudian menjadi tertuduh saat tiba-tiba di suatu pagi, Tuan Baskoro tewas karena serangan jantung saat meminum kopi buatan Darsih. Beliau dinilai memiliki motif yang cukup kuat untuk membunuh Tuan Baskoro.

Oleh karena itu, putra tunggal Tuan Baskoro langsung memerintahkan para pekerjanya untuk menuntut balas.

“Hei!” bentak si pesuruh itu lagi. “Jangan membuang-buang waktu kami. Ikut kami, atau kamu bisa menyaksikan lagi bagaimana kami menyiksa ibumu.”

"Nak," bisik Darsih dengan air mata bercucuran, menorehkan luka di hati Tiara.

Jika saja dia mempunyai kekuatan, maka gadis itu akan membawa ibunya melarikan diri dari sini.

“Tolong jangan sakiti ibu saya.” Akhirnya Tiara mengucapkan itu sembari memohon sekali lagi. Dia percaya bahwa sekejam apa pun seorang manusia, hatinya pasti memiliki belas kasihan.

Apalagi orang-orang itu tak tampak jahat. Wajah mereka bersih dengan pakaian bagus dan cukup rapi.

Namun, rupanya dugaan Tiara salah.

"Kalau kamu tidak mau ibumu disiksa, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” ucap si pesuruh itu lagi. “Ikut dengan kami. Mengabdilah pada tuan kami seumur hidup tanpa gaji.”

Tiara terdiam. Sang ibu menyekolahkannya tinggi bukan untuk bekerja tanpa gaji. Ditambah lagi, Tiara yakin ibunya bukan orang yang mampu menghilangkan nyawa orang lain seperti itu. Namun–

"Ah lama. Bawa aja dia!"

“Tidak!”

Tiba-tiba, tubuh Tiara ditarik keluar dengan kasar. Gadis itu memberontak dan berteriak sekuat tenaga untuk meminta pertolongan.

Sayangnya, semua usaha Tiara sia-sia. Begitu sebuah tangan membekap mulutnya dengan kain putih, gadis itu langsung tak sadarkan diri. Tubuh mungilnya dengan mudah dibopong dan diletakkan begitu saja di kursi belakang sebuah mobil hitam.

***

Tiara membuka mata dan melihat ruangan di sekelilingnya. Gadis itu benar-benar ketakutan. Dengan perlahan dia mencoba bangun merasa seluruh tubuhnya sakit terutama pergelangan tangan.

"Gusti, aku di mana?"

Tiara berjalan menuju pintu dan mencoba membukanya. Sayangnya, pintu itu terkunci sehingga dia tak bisa keluar.

Tiara memukul pintu dan berteriak meminta bantuan. Namun, usahanya sia-sia. Bukannya berhasil, tetapi itu malah membuat tangannya semakin sakit.

"Tolong!'

Tiara berteriak sekali lagi. Gadis itu merasa haus karena tenggorokannya kering. Namun, tak ada minuman apa pun di kamar.

Tertatih, Tiara berjalan menuju pintu lain di sebelah kiri. Gadis itu merasa lega karena ternyata di baliknya ada sebuah kamar mandi yang cukup bersih.

Tiara mengambil air di bak dengan tangan, lalu meneguknya untuk menghilangkan dahaga. Setelah itu, dia berpegangan tangan di ujung bak mandi karena limbung.

"Tempat apa ini? Apa rumah Tuan Baskoro?"

Berada di kamar mandi, Tiara memutuskan untuk membersihkan diri, juga darah dari sudut bibirnya yang pecah. Gadis itu tentunya tak tahu apa yang orang-orang itu lakukan kepadanya saat ia pingsan. Namun, rasa sakit yang mendera di hampir seluruh tubuh membuat gadis itu yakin bahwa dia tidak digendong saat dibawa ke sini.

Bisa saja dia diseret lalu dihempaskan ke kamar ini.

"Perih," bisiknya. "Ibu di mana?"

Tiara teringat akan pertemuan terakhir mereka tadi. Entah kemana mereka membawa ibunya. Gadis itu tak mau membayangkan sesuatu yang kejam.

"Gusti Allah, tolong lindungi Ibu. Aku yakin Ibu ndak bersalah. Ibu ndak mungkin membunuh. Ini pasti fitnah."

Tiara tiba-tiba menoleh saat pintu terbuka. Membuatnya langsung bergegas kembali ke kamar tidur dan melihat beberapa orang masuk. Salah satunya adalah seorang pria tinggi tegap masuk diikuti wanita paruh baya bertubuh tambun masuk.

“Jadi ini anaknya Darsih?” Pria muda berkulit cokelat itu tengah menatap tajam ke Tiara yang langsung menunduk. Wajahnya tampak dingin.

“Iya, Mas Arya.” Salah seorang pekerjanya, si wanita berbadan tambun tersebut, menjawab dengan kepala menunduk sopan.

Pria yang dipanggil “Mas Arya” itu tersenyum sinis. “Masih terlalu kecil kalau harus kehilangan orang tua,” komentarnya. 

Tiara terkesiap. “Apa … apa maksudnya?” cicit gadis itu dengan air mata mulai menggenang. “Apakah Ibu–”

"Hei anak pembunuh."

Tiara menoleh dan menatap lelaki yang menyapanya dengan ketakutan. Wajah lelaki itu cukup tampan walau berkulit gelap. Hanya saja tubuhnya yang tinggi menjulang membuat Tiara takut. 

Tiara tak mau menebak dia siapa. Hanya saja dilihat dari pakaian, sepertinya lelaki itu bagian dari keluarga Baskoro. Mungkin sosok itu adalah “tuan” yang kemarin disebut oleh si pesuruh yang menculiknya. Pria yang menjadi penerus Tuan Baskoro.

Ibunya tak banyak bercerita tentang keluarga ini. Hanya saja, Tuan Baskoro sering memborong masakan warung untuk dibagikan ke karyawan pabrik. Juga membayar lebih untuk semua menu yang dibelinya. 

Tiara tak tahu jika ibunya menukar semua itu dengan menjadi gundik Tuan Baskoro. Sehingga dia bisa bersekolah dengan layak di kota. 

"Aku mau bertanya padamu."

Arya melemparkan map di tangannya ke tubuh Tiara dengan kasar. 

"Itu hasil visum dan bukti-bukti kematian Bapak."

Tiara tersentak.  "Ndak mungkin. Ibu ndak sejahat itu," bela Tiara. 

“Aku tidak butuh pembelaan atau penyangkalan darimu,” tandas Arya kasar. “Yang kubutuhkan adalah informasi, dari mana ibumu bisa mendapatkan racunnya."

Tiara menggeleng karena memang tidak tahu apapun mengenai kejadian itu. Dia hanya menerima pesan yang meminta pulang karena ibunya sakit.

"Jawab!" bentak lelaki itu. Sepasang matanya menyorot dingin saat interogasi Tiara. Ia harus menemukan siapa yang sudah bekerjasama dengan Darsih untuk meracuni bapaknya.

Arya gagal mendapatkan informasi itu dari Darsih sendiri. Karenanya, ia kini mencoba mengorek informasi dari putrinya

"Saya ndak tahu." Tiara bergumam lirih. “Saya benar-benar ndak tahu….”

Rahang Arya mengeras. Dalam hati, sebenarnya ia merasa frustrasi. Penyiksaannya pada Darsih rupanya tidak cukup meredakan kemarahannya.

"Ck. Aku masih berbaik hati membiarkan ibumu hidup di penjara." Arya mengacak rambutnya sembarangan. “Toh percuma aku mengurusinya lagi."

Mendengar itu, entah kenapa Tiara merasa lega. Paling tidak, ibunya ternyata masih hidup.

"Terima kasih," ucap Tiara terbata-bata. 

"Tapi sebagai gantinya, kamu harus menikah denganku."

Sepasang mata Tiara terbelalak. “Menikah? Itu ndak mungkin--"

"Kau harus membayar nyawa Bapak dengan mengabdi di rumah ini untuk seumur hidup, sebagai istriku." Arya kembali berucap dengan tegas. Tatapannya menghunjam tajam tepat di manik mata Tiara.

“Selamanya, kamu ataupun ibumu yang berhati busuk itu tidak akan lepas dari cengkeramanku.”

Arya tersenyum sinis. “Jangan berani-beraninya kamu melarikan diri.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status