"Utang nyawa harusnya dibayar nyawa. Tapi tuan kami masih berbaik hati. Beliau cuma minta kamu sebagai gantinya. Bukannya bersyukur, kamu justru mempersulit keadaan."
Tiara menatap semua orang di ruangan itu dengan gamang. Terutama Darsih, sang ibu, yang tampak lemas dengan tangan gemetaran. Ada banyak bekas luka di tubuh ibunya tersebut setelah melewati penyiksaan.
Sungguh, hatinya tak rela jika terus berlanjut.
Gadis itu menoleh ke arah suara yang bicara padanya tadi. Kepada sosok lelaki paruh baya yang mendapatkan tugas dari seseorang untuk menyiksa ibunya jika ia tidak ingin ikut pergi bersama mereka.
Namun, bagaimana ia sanggup untuk meninggalkan sang ibu sekarang?
Selama ini, Tiara tidak tinggal di kampung dan memang diminta ibunya untuk menetap di kota. Ia tidak tahu, bahwa sebenarnya sang ibu telah berutang banyak pada Tuan Baskoro untuk menyekolahkannya waktu itu.
Tiara juga tidak tahu bahwa alih-alih uang, Tuan Baskoro meminta bayaran dalam bentuk lain: pelayanan Darsih dengan tubuhnya.
Hanya segelintir orang yang tahu bahwa pria tambun yang dikenal dermawan itu sebenarnya gemar melecehkan wanita.
Akibatnya, Ibu Tiara yang masih muda dan cantik itu kemudian menjadi tertuduh saat tiba-tiba di suatu pagi, Tuan Baskoro tewas karena serangan jantung saat meminum kopi buatan Darsih. Beliau dinilai memiliki motif yang cukup kuat untuk membunuh Tuan Baskoro.
Oleh karena itu, putra tunggal Tuan Baskoro langsung memerintahkan para pekerjanya untuk menuntut balas.
“Hei!” bentak si pesuruh itu lagi. “Jangan membuang-buang waktu kami. Ikut kami, atau kamu bisa menyaksikan lagi bagaimana kami menyiksa ibumu.”
"Nak," bisik Darsih dengan air mata bercucuran, menorehkan luka di hati Tiara.
Jika saja dia mempunyai kekuatan, maka gadis itu akan membawa ibunya melarikan diri dari sini.
“Tolong jangan sakiti ibu saya.” Akhirnya Tiara mengucapkan itu sembari memohon sekali lagi. Dia percaya bahwa sekejam apa pun seorang manusia, hatinya pasti memiliki belas kasihan.
Apalagi orang-orang itu tak tampak jahat. Wajah mereka bersih dengan pakaian bagus dan cukup rapi.
Namun, rupanya dugaan Tiara salah.
"Kalau kamu tidak mau ibumu disiksa, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” ucap si pesuruh itu lagi. “Ikut dengan kami. Mengabdilah pada tuan kami seumur hidup tanpa gaji.”
Tiara terdiam. Sang ibu menyekolahkannya tinggi bukan untuk bekerja tanpa gaji. Ditambah lagi, Tiara yakin ibunya bukan orang yang mampu menghilangkan nyawa orang lain seperti itu. Namun–
"Ah lama. Bawa aja dia!"
“Tidak!”
Tiba-tiba, tubuh Tiara ditarik keluar dengan kasar. Gadis itu memberontak dan berteriak sekuat tenaga untuk meminta pertolongan.
Sayangnya, semua usaha Tiara sia-sia. Begitu sebuah tangan membekap mulutnya dengan kain putih, gadis itu langsung tak sadarkan diri. Tubuh mungilnya dengan mudah dibopong dan diletakkan begitu saja di kursi belakang sebuah mobil hitam.
***
Tiara membuka mata dan melihat ruangan di sekelilingnya. Gadis itu benar-benar ketakutan. Dengan perlahan dia mencoba bangun merasa seluruh tubuhnya sakit terutama pergelangan tangan.
"Gusti, aku di mana?"
Tiara berjalan menuju pintu dan mencoba membukanya. Sayangnya, pintu itu terkunci sehingga dia tak bisa keluar.
Tiara memukul pintu dan berteriak meminta bantuan. Namun, usahanya sia-sia. Bukannya berhasil, tetapi itu malah membuat tangannya semakin sakit.
"Tolong!'
Tiara berteriak sekali lagi. Gadis itu merasa haus karena tenggorokannya kering. Namun, tak ada minuman apa pun di kamar.
Tertatih, Tiara berjalan menuju pintu lain di sebelah kiri. Gadis itu merasa lega karena ternyata di baliknya ada sebuah kamar mandi yang cukup bersih.
Tiara mengambil air di bak dengan tangan, lalu meneguknya untuk menghilangkan dahaga. Setelah itu, dia berpegangan tangan di ujung bak mandi karena limbung.
"Tempat apa ini? Apa rumah Tuan Baskoro?"
Berada di kamar mandi, Tiara memutuskan untuk membersihkan diri, juga darah dari sudut bibirnya yang pecah. Gadis itu tentunya tak tahu apa yang orang-orang itu lakukan kepadanya saat ia pingsan. Namun, rasa sakit yang mendera di hampir seluruh tubuh membuat gadis itu yakin bahwa dia tidak digendong saat dibawa ke sini.
Bisa saja dia diseret lalu dihempaskan ke kamar ini.
"Perih," bisiknya. "Ibu di mana?"
Tiara teringat akan pertemuan terakhir mereka tadi. Entah kemana mereka membawa ibunya. Gadis itu tak mau membayangkan sesuatu yang kejam.
"Gusti Allah, tolong lindungi Ibu. Aku yakin Ibu ndak bersalah. Ibu ndak mungkin membunuh. Ini pasti fitnah."
Tiara tiba-tiba menoleh saat pintu terbuka. Membuatnya langsung bergegas kembali ke kamar tidur dan melihat beberapa orang masuk. Salah satunya adalah seorang pria tinggi tegap masuk diikuti wanita paruh baya bertubuh tambun masuk.
“Jadi ini anaknya Darsih?” Pria muda berkulit cokelat itu tengah menatap tajam ke Tiara yang langsung menunduk. Wajahnya tampak dingin.
“Iya, Mas Arya.” Salah seorang pekerjanya, si wanita berbadan tambun tersebut, menjawab dengan kepala menunduk sopan.
Pria yang dipanggil “Mas Arya” itu tersenyum sinis. “Masih terlalu kecil kalau harus kehilangan orang tua,” komentarnya.
Tiara terkesiap. “Apa … apa maksudnya?” cicit gadis itu dengan air mata mulai menggenang. “Apakah Ibu–”
"Hei anak pembunuh."
Tiara menoleh dan menatap lelaki yang menyapanya dengan ketakutan. Wajah lelaki itu cukup tampan walau berkulit gelap. Hanya saja tubuhnya yang tinggi menjulang membuat Tiara takut.
Tiara tak mau menebak dia siapa. Hanya saja dilihat dari pakaian, sepertinya lelaki itu bagian dari keluarga Baskoro. Mungkin sosok itu adalah “tuan” yang kemarin disebut oleh si pesuruh yang menculiknya. Pria yang menjadi penerus Tuan Baskoro.
Ibunya tak banyak bercerita tentang keluarga ini. Hanya saja, Tuan Baskoro sering memborong masakan warung untuk dibagikan ke karyawan pabrik. Juga membayar lebih untuk semua menu yang dibelinya.
Tiara tak tahu jika ibunya menukar semua itu dengan menjadi gundik Tuan Baskoro. Sehingga dia bisa bersekolah dengan layak di kota.
"Aku mau bertanya padamu."
Arya melemparkan map di tangannya ke tubuh Tiara dengan kasar.
"Itu hasil visum dan bukti-bukti kematian Bapak."
Tiara tersentak. "Ndak mungkin. Ibu ndak sejahat itu," bela Tiara.
“Aku tidak butuh pembelaan atau penyangkalan darimu,” tandas Arya kasar. “Yang kubutuhkan adalah informasi, dari mana ibumu bisa mendapatkan racunnya."
Tiara menggeleng karena memang tidak tahu apapun mengenai kejadian itu. Dia hanya menerima pesan yang meminta pulang karena ibunya sakit.
"Jawab!" bentak lelaki itu. Sepasang matanya menyorot dingin saat interogasi Tiara. Ia harus menemukan siapa yang sudah bekerjasama dengan Darsih untuk meracuni bapaknya.
Arya gagal mendapatkan informasi itu dari Darsih sendiri. Karenanya, ia kini mencoba mengorek informasi dari putrinya
"Saya ndak tahu." Tiara bergumam lirih. “Saya benar-benar ndak tahu….”
Rahang Arya mengeras. Dalam hati, sebenarnya ia merasa frustrasi. Penyiksaannya pada Darsih rupanya tidak cukup meredakan kemarahannya.
"Ck. Aku masih berbaik hati membiarkan ibumu hidup di penjara." Arya mengacak rambutnya sembarangan. “Toh percuma aku mengurusinya lagi."
Mendengar itu, entah kenapa Tiara merasa lega. Paling tidak, ibunya ternyata masih hidup.
"Terima kasih," ucap Tiara terbata-bata.
"Tapi sebagai gantinya, kamu harus menikah denganku."
Sepasang mata Tiara terbelalak. “Menikah? Itu ndak mungkin--"
"Kau harus membayar nyawa Bapak dengan mengabdi di rumah ini untuk seumur hidup, sebagai istriku." Arya kembali berucap dengan tegas. Tatapannya menghunjam tajam tepat di manik mata Tiara.
“Selamanya, kamu ataupun ibumu yang berhati busuk itu tidak akan lepas dari cengkeramanku.”
Arya tersenyum sinis. “Jangan berani-beraninya kamu melarikan diri.”
“Jangan berani-beraninya kamu melarikan diri.”Setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu respons Tiara, Arya mengalihkan pandangan pada tangan kanannya. “Kamu sudah menyiapkan segalanya untuk besok?”“Sudah, Mas.” Lawan bicaranya mengangguk. “Tapi … apakah Mas yakin?”Arya kembali melirik Tiara, membuat gadis itu langsung bergidik dan menunduk dalam-dalam dengan tangan gemetar sembari menggigit bibirnya, menahan isak tangis.Beberapa hari yang lalu, ia masih kuliah di kota. Dan sekarang Tiara sudah menjadi tahanan pria iblis penuh dendam ini."Tolong kuatkan hamba." Ia membatin.“Ya.” Tiara kemudian mendengar Arya menyahut. “Bukankah tidak ada penjara yang lebih sempurna untuknya selain pernikahan?”Setelah mengatakan itu, Arya keluar bersama orang-orangnya. Pintu kembali dikunci, meninggalkan Tiara yang terjebak di dalamnya.Karena tidak memiliki hal lain untuk dilakukan sebagai tahanan dan Tiara enggan membiarkan pikiran buruk terus merusak otak serta hatinya, membuatnya khawatir tanp
"Antarkan ini ke depan. Den Arya mau makan siang."Tiara menatap nampan tersebut dengan tatapan tidak berdaya, lalu menerimanya.IIa tidak bisa menolak, meskipun gadis itu sudah bangun sejak pukul lima pagi dan pontang-panting dengan segala tugas yang dibebankan padanya hingga siang.Padahal ia sama sekali belum makan sejak semalam.“Bik, apa aku boleh makan dulu? Aku lapar, Bik." Tiara mengucapkannya dengan ragu. Entah mengapa gadis itu selalu merasa ketakutan setiap kali bertemu dengan penghuni rumah ini. Semua orang tampak memusuhinya. Ucapan ketus dan wajah masam adalah makanannya sehari-hari. "Antarkan ini dulu. Habis itu kamu boleh makan.” Lawan bicaranya membalas dengan ketus. “Di dapur ada nasi sisa sama ikan asin. Nanti kamu makan itu."Tiara menelan ludah saat mendengarnya. Perut gadis itu kembali berbunyi. Tak apalah nasi sisa, yang penting ia bisa makan.Dengan gemetaran dia mengantarkan makanan ke tempat Arya.“Bismillah.”Jarak dari dapur menuju ruang makan sebenarnya
Rupanya Karjo, tangan kanan Arya yang paling ia percaya. Lelaki itu tampak marah dan kesal akan kejadian ini. "Dasar gak tau diri. Syukur saja kamu masih hidup," umpat Ningsih sembari terengah-engah. "Kamu jangan ganggu Tiara. Cuma Den Arya yang boleh menyentuhnya," bentak Karjo. Ningsih berlalu sembari menggerutu. Sementara Tiara tertegun dengan apa yang baru saja Karjo ucapkan.Menyentuh?**Malam mulai menyapa dengan hawa sejuk dan awan gelap di langit. Angin bertiup sepoi-sepoi dan suara guntur bersahut-sahutan. Gerimis mulai turun, tetapi hujan deras enggan menyapa. Tiara menatap mas kawin yang tersemat di jarinya. Tadi dia memakainya sendiri, setelah diberikan oleh salah satu pekerja Arya. Tiara menerimanya dengan tangan gemetar. Cincin yang dia pilih. Setelah salah seorang anak buah Arya mendatangi dan memperlihatkan kepadanya beberapa model."Ibu ...," lirih Tiara pedih.Semua wanita ingin menikah, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Namun, Arya telah berjanji tak akan
Sebuah ketukan membangunkan lelapnya. Arya menggeliat kerena tubuh yang terasa pegal. Malam panasnya bersama sang kekasih membuat lelaki itu enggan bangun. Matanya mengerjap beberapa kali. Lalu, dengan perlahan lelaki itu duduk. Entah jam berapa kekasihnya pulang. Dia bahkan tak sadar saat wanita itu meninggalkan kamar. "Siapa?" teriaknya kesal.Tak ada jawaban hingga Arya berjalan membuka pintu dengan malas. Lelaki itu tersentak saat mendapati siapa sosok di baliknya. Seperti biasa, tatapan sinisnya begitu kentara.Tiara berdiri sembari menunduk. Gadis itu memakai kaus longgar dan rok batik. Selama berada di sini dia tak diperkenankan memakai pakaian bagus. "Ada apa?""Katanya saya diminta membersihkan kamar Den Arya," jawab Tiara jujur. "Oh, ya. Masuk."Arya membuka pintu lebih lebar dan memberikan kode agar Tiara segara masuk. Lelaki itu menyusul di belakang dengan tetap membiarkan pintunya terbuka. Untuk sesaat, Tiara tertegun melihat isinya. Seumur hidup gadis itu belum perna
Ningsih merengut saat Karjo memberitahunya tentang tugas Tiara yang baru. Wanita paruh baya itu merasa tak terima karena ada pekerja yang di anak emaskan. Apalagi itu pendatang baru dan masih muda. Jiwa bersaing muncul seketika di hati Ningsih. Padahal dialah yang paling lama mengabdi di kediaman keluarga Baskoro. Harusnya pekerjaan wanita itu lebih ringan mengingat usia yang semakin renta. "Apa Tiara pakai pelet untuk memikat Mas Arya? Kok bisa-bisanya dia yang diminta membersihkan kamar."Ningsih sengaja memancing Karjo untuk bercerita. Sebagai wanita lanjut usia pada umumnya, bergosip adalah salah satu hiburan selain menonton televisi. "Maksudmu apa?"Karjo mengatakan itu sembari menyeruput kopi panas. Sepotong pisang goreng langsung tandas di mulutnya karena kelaparan. Sejak tadi lelaki itu menunggu Ningsih selesai masak. "Sama seperti ibunya. Melet juragan kita biar dapat kemewahan."Ningsih mencibir saat mengingat Darsih. Ibunya Tiara itu memang cantik walau memasuki usia emp
Ningsih menegur Tiara yang sedang menyapu lantai. Sejak kemarin sore hingga pagi ini, sikap gadis itu berubah. Biasanya terlihat bugar, tapi sekarang tampak lemas. "Kenapa kamu masih di sini? Kamar Den Arya belum dibereskan dari tadi."Biasanya Tiara akan banyak bicara dan menjawab omelan Ningsih. Namun, seharian ini dia hanya diam dengan wajah murung."Kamu kenapa, sakit?"Ningsih mendekati Tiara dan meraba dahinya. Lalu, dia terkejut saat merasakan panas yang cukup tinggi."Ya ampun kamu demam."Ningsih mengambil sapu yang dipegang Tiara dan menuntun wanita itu duduk di kursi. Dengan cepat dia mengambil air putih dan menyodorkan sepiring kue."Makan!" perintahnya. Tiara menggeleng lalu melipat tangannya di meja. Gadis itu mencari posisi yang nyaman, lalu meletakkan kepala dan memejamkan mata."Makan dulu supaya bisa minum obat," paksa Ningsih.Lagi-lagi Tiara menggeleng. Gadis bahkan mendorong piringnya karena tak berselera makan. Rasanya dia ingin beristirahat saja seharian. "Duh
Tiara menggigil di balik selimut. Wanita itu bahkan tak bisa makan sama sekali. Sejak tadi dia muntah dan diare. Obat yang diberikan Ningsih tak berpengaruh apa apa."Ibu, ibu--" lirihnya.Sudah dua hari kondisi Tiara begini dan tak ada perubahan. Tak ada juga orang yang merawatnya. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Kamu apakan Tiara sampai begitu?" tanya Karjo. "Ndak ada, sumpah," jawab Ningsih jujur."Jangan-jangan ndak dikasih makan," tuduh Karjo."Enak saja, dia makan 3 kali sehari. Lauknya bebas, boleh milih yang ada dipanci.""Pasti kamu paksa kerja rodi," lanjut Karjo.Mata Ningsih mendelik tak terima. Sekalipun tak suka dengan Tiara, wanita paruh baya itu tak mau sembarangan bertindak. Dia masih mau bekerja lama di sini. "Dia cuma membersihkan kamar Den Arya," sanggah Ningsih. Dia tak mau dituduh menyuruh Tiara mengerjakan pekerjaan berat. "Mungkin kerjaan terlalu banyak. Sementara fisiknya ndak kuat," tebak Karjo."Nah, mungkin. Dia kan ndak pernah jadi babu maca
"Kemasi barangmu!"Karjo masuk ke ruang rawat inap begitu saja tanpa mempedulikan kondisi Tiara yang masih lemah."Kata dokter saya belum boleh pulang," tolak Tiara. Jangankan pulang, berdiri saja tubuhnya limbung. "Jangan membantah. Ini perintah Den Arya."Tiara terdiam dan tak mau berdebat. Namun, ketika seorang perawat datang dan mencabut infus, dia tahu bahwa tenaga medis di rumah sakit inipun tak bisa berbuat apa-apa."Bisa bantu saya berdiri?" pinta Tiara dengan wajah memelas. Setidaknya ada orang yang membantunya di saat seperti ini. "Tentu saja." Perawat itu memegang tangan Tiara dan menuntunnya di kursi roda. Wajahnya tampak iba, tetapi tak berani melawan."Biar aku saja," ucap Karjo sembari mengambil alih kursi roda dan mendorong Tiara keluar. "Tunggu!" Ucapan perawat itu menghentikan langkah Karjo. Lelaki itu tampak beringas sehingga membuat si perawat ketakutan."Barang-barangnya ketinggalan.," ucap perawat sembari menyodorkan sebuah ras kumal. "Tidak perlu. Itu cuma sa