Rupanya Karjo, tangan kanan Arya yang paling ia percaya. Lelaki itu tampak marah dan kesal akan kejadian ini.
"Dasar gak tau diri. Syukur saja kamu masih hidup," umpat Ningsih sembari terengah-engah.
"Kamu jangan ganggu Tiara. Cuma Den Arya yang boleh menyentuhnya," bentak Karjo.
Ningsih berlalu sembari menggerutu. Sementara Tiara tertegun dengan apa yang baru saja Karjo ucapkan.
Menyentuh?
**
Malam mulai menyapa dengan hawa sejuk dan awan gelap di langit. Angin bertiup sepoi-sepoi dan suara guntur bersahut-sahutan. Gerimis mulai turun, tetapi hujan deras enggan menyapa.
Tiara menatap mas kawin yang tersemat di jarinya. Tadi dia memakainya sendiri, setelah diberikan oleh salah satu pekerja Arya.
Tiara menerimanya dengan tangan gemetar. Cincin yang dia pilih. Setelah salah seorang anak buah Arya mendatangi dan memperlihatkan kepadanya beberapa model.
"Ibu ...," lirih Tiara pedih.
Semua wanita ingin menikah, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Namun, Arya telah berjanji tak akan menyiksa ibu, jika dia menurut.
Tiara ingin marah dan berteriak, tetapi tak punya daya. Bahkan para aparat di luar sana adalah kaki tangan Tuan Baskoro, yang setelah tiada diambil alih oleh anaknya.
"Ibu hanya pemilik warung biasa. Dia bekerja untuk menyekolahkan aku."
Tiara benar-benar kebingungan dengan hal ini. Dia yang tak tahu menahu, kini harus menjadi korban.
Bukankah ibunya sudah mempertanggung jawabkan perbuatan? Dengan mendapat hukuman penjara seumur hidup. Lalu kengapa dia yang harus menjadi pengganti?
"Jika memang ibu menjadi simpanan Tuan Baskoro, kenapa ibu harus membunuhnya? Bukankah Tuan Baskoro sering memberi ibu uang?"
Tiara masih menduga-duga siapa sebenarnya dalang di balik ini semua. Namun, lamunan wanita itu terhenti saat pintu terbuka.
"Ini makananmu."
Tiara menatap nampan yang diletakkan di meja. Isinya lumayan banyak, ada beberapa jenis lauk. Lalu ada buah dan susu juga di tempat terpisah.
"Aku berbaik hati memberimu makan enak hari ini. Walaupun besok kamu harus bekerja di dapur untuk membantu kami. Setidaknya hari ini perutmu kenyang."
"Matur suwun," ucap Tiara kaku.
"Setelah selesai makan, bawa piringnya ke dapur dan cuci yang bersih. Ingat, jangan coba-coba membuka kulkas tanpa seizinku."
Pintu kembali ditutup saat sosok tambun itu keluar. Tiara segera menghampiri nampan dan takjub melihat makanannya.
Ada ayam dan ikan goreng lengkap dengan sayur dan lalapan sambal. Air liurnya hendak menetes. Setelah satu minggu disekap di kamar ini. Juga diberikan makanan ala kadarnya, hari ini dia benar-benar dimanusiakan.
"Bismillah."
Tiara mulai menyuap nasi. Tangannya gemetar saat lauk-lauk nikmat itu memasuki mulut. Air mata Tiara menetes saat sesuap demi sesuap makanan itu berpindah ke perutnya.
"Alhamdulillah."
Tiara mengucap syukur setelah semua nasi habis tak bersisa. Masih ada susu dan telur, mungkin dia akan memakannya nanti.
***
Tiara membawa nampan dan berjalan keluar. Wanita itu mengusap dada karena pintu tidak dikunci. Tenyata setelah menjadi istri Arya, dia dibebaskan.
"Sepi."
Tiara melihat sekeliling. Dia belum tahu dimana dapur berada. Tapi rasanya tak jauh dari sini. Melihat kamarnya sekarang, wanita itu yakin bahwa dia ditempatkan di belakang.
Benar saja, tak lama dia menemukan dapur. Tiara segera mencuci piring dan menaruhnya di rak.
"Di sebelah sana ruangan apa?"
Tiara ingin tahu, lalu mendekat ke arah pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba terdengar riuh orang yang sedang bercakap-cakap.
Tiara mengintip sedikit tanpa bersuara.Wanita itu terbelalak saat melihat ada tiga perempuan yang sedang memasak. Ternyata di balik sana ada dapur yang lebih besar.
"Oh, ternyata yang sana dapur kotor."
Tiara berdiam di balik dinding dan menajamkan pendengaran. Mereka sedang bercerita sembari mengupas bahan makanan. Ada banyak sayur dan bahan mentah di sekitarnya.
Tiara tak tahu jika di rumah ini, bahan makanan yang harus dimasak sebanyak itu. Pastilah ada banyak orang yang bekerja.
Tiara menjadi penasaran apa yang sedang diperbincangkan. Wanita itu menajamkan telinga untuk menguping.
"Darsih katanya dihukum penjara seumur hidup," ucap wanita bertubuh tambun.
"Ya bagus, toh. Biar kapok karena sudah membunuh Tuan," sahut temannya yang berbaju kuning.
"Padahal jadi gundik itu enak. Mana dia dapat transferan banyak," ucap yang memakai daster batik.
"Gak nyangka, ternyata bisa nyekolahkan anak di kota dari hasil menjual diri. Aku pikir warungnya laris bener," ejek si tambun.
"Kasihan Nyonya sampai stres begitu," lanjut si baju kuning.
"Padahal Tuan itu baik sekali. Semua orang kampung pernah ditolongnya."
Tiara merasakan nyeri di hati ketika mendengar ibunya dibicarakan seperti itu. Apalagi mereka seperti mensyukuri musibah dialami ibunya sekarang.
"Itu si Tiara enak bener dikasih kamar bagus. Kita satu kamar tempati bertiga," ucap si daster batik.
"Tapi dia ndak digaji. Dia kerja rodi."
"Hahaha."
Gelak tawa menggema. Tiara tak sanggup mendengarnya. Wanita itu bergegas keluar dengan air mata yang berlinangan.
"Jahat sekali mereka."
Tiara merasa semua orang di rumah ini membencinya. Namun, dia sudah terjebak dan tak bisa lari.
Dengan mengendap-endap, Tiara meninggalkan tempat itu. Dia hendak berbalik ke kamar ketika tak sengaja melihat ada jalan di samping, dan pintunya tak dikunci.
Tiara terkejut karena itu merupakan sebuah taman di sekeliling bangunan. Walaupun tak terlalu bagus, tetapi cukup rapi.
Ternyata rumah orang kaya begini adanya. Bahkan sampai belakang dan dapur semua tetata rapi. Tiara tak bisa membayangkan bagaimana bentuk ruangan lain di rumah ini, yang belum pernah dia lihat.
"Mungkin aku bisa bersantai sebentar di sini. Bukannya hari ini aku dibebaskan?"
Tiara duduk si kursi panjang sembari melihat ke langit. Wanita iru merasa damai daripada harus terkurung di dalam kamar yang sumpek.
"Enak juga di sini," lirihnya.
Tiara semakin penasaran. Dia berjalan menyusuri taman itu sampai ke depan. Cukup jauh hingga kakinya pegal. Wanita itu takjub ketika melihat pemandangannya.
Ternyata rumah ini terletak di tanah yang luas. Di depannya ada pepohonan yant lebat. Tiara tak tahu dimana pintu gerbangnya. Hanya deretan mobil terparkir di sana.
"Memangnya Tuan Baskoro punya usaha apa saja selain pabrik? Kenapa punya kediaman mewah begini."
Tiara bersembunyi di balik dinding dan mengintip. Wanita itu lupa kalau ada cctv yang mengawasi.
Tiara hendak berbalik saat sebuah mobil masuk dari balik pepohonan itu dan pengemudinya keluar.
"Den Arya?"
Tiara menutup mulut saat melihat ada seorang wanita cantik dengan pakaian mini, sedang bergelayut manja di lengan suaminya.
Sebuah ketukan membangunkan lelapnya. Arya menggeliat kerena tubuh yang terasa pegal. Malam panasnya bersama sang kekasih membuat lelaki itu enggan bangun. Matanya mengerjap beberapa kali. Lalu, dengan perlahan lelaki itu duduk. Entah jam berapa kekasihnya pulang. Dia bahkan tak sadar saat wanita itu meninggalkan kamar. "Siapa?" teriaknya kesal.Tak ada jawaban hingga Arya berjalan membuka pintu dengan malas. Lelaki itu tersentak saat mendapati siapa sosok di baliknya. Seperti biasa, tatapan sinisnya begitu kentara.Tiara berdiri sembari menunduk. Gadis itu memakai kaus longgar dan rok batik. Selama berada di sini dia tak diperkenankan memakai pakaian bagus. "Ada apa?""Katanya saya diminta membersihkan kamar Den Arya," jawab Tiara jujur. "Oh, ya. Masuk."Arya membuka pintu lebih lebar dan memberikan kode agar Tiara segara masuk. Lelaki itu menyusul di belakang dengan tetap membiarkan pintunya terbuka. Untuk sesaat, Tiara tertegun melihat isinya. Seumur hidup gadis itu belum perna
Ningsih merengut saat Karjo memberitahunya tentang tugas Tiara yang baru. Wanita paruh baya itu merasa tak terima karena ada pekerja yang di anak emaskan. Apalagi itu pendatang baru dan masih muda. Jiwa bersaing muncul seketika di hati Ningsih. Padahal dialah yang paling lama mengabdi di kediaman keluarga Baskoro. Harusnya pekerjaan wanita itu lebih ringan mengingat usia yang semakin renta. "Apa Tiara pakai pelet untuk memikat Mas Arya? Kok bisa-bisanya dia yang diminta membersihkan kamar."Ningsih sengaja memancing Karjo untuk bercerita. Sebagai wanita lanjut usia pada umumnya, bergosip adalah salah satu hiburan selain menonton televisi. "Maksudmu apa?"Karjo mengatakan itu sembari menyeruput kopi panas. Sepotong pisang goreng langsung tandas di mulutnya karena kelaparan. Sejak tadi lelaki itu menunggu Ningsih selesai masak. "Sama seperti ibunya. Melet juragan kita biar dapat kemewahan."Ningsih mencibir saat mengingat Darsih. Ibunya Tiara itu memang cantik walau memasuki usia emp
Ningsih menegur Tiara yang sedang menyapu lantai. Sejak kemarin sore hingga pagi ini, sikap gadis itu berubah. Biasanya terlihat bugar, tapi sekarang tampak lemas. "Kenapa kamu masih di sini? Kamar Den Arya belum dibereskan dari tadi."Biasanya Tiara akan banyak bicara dan menjawab omelan Ningsih. Namun, seharian ini dia hanya diam dengan wajah murung."Kamu kenapa, sakit?"Ningsih mendekati Tiara dan meraba dahinya. Lalu, dia terkejut saat merasakan panas yang cukup tinggi."Ya ampun kamu demam."Ningsih mengambil sapu yang dipegang Tiara dan menuntun wanita itu duduk di kursi. Dengan cepat dia mengambil air putih dan menyodorkan sepiring kue."Makan!" perintahnya. Tiara menggeleng lalu melipat tangannya di meja. Gadis itu mencari posisi yang nyaman, lalu meletakkan kepala dan memejamkan mata."Makan dulu supaya bisa minum obat," paksa Ningsih.Lagi-lagi Tiara menggeleng. Gadis bahkan mendorong piringnya karena tak berselera makan. Rasanya dia ingin beristirahat saja seharian. "Duh
Tiara menggigil di balik selimut. Wanita itu bahkan tak bisa makan sama sekali. Sejak tadi dia muntah dan diare. Obat yang diberikan Ningsih tak berpengaruh apa apa."Ibu, ibu--" lirihnya.Sudah dua hari kondisi Tiara begini dan tak ada perubahan. Tak ada juga orang yang merawatnya. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing."Kamu apakan Tiara sampai begitu?" tanya Karjo. "Ndak ada, sumpah," jawab Ningsih jujur."Jangan-jangan ndak dikasih makan," tuduh Karjo."Enak saja, dia makan 3 kali sehari. Lauknya bebas, boleh milih yang ada dipanci.""Pasti kamu paksa kerja rodi," lanjut Karjo.Mata Ningsih mendelik tak terima. Sekalipun tak suka dengan Tiara, wanita paruh baya itu tak mau sembarangan bertindak. Dia masih mau bekerja lama di sini. "Dia cuma membersihkan kamar Den Arya," sanggah Ningsih. Dia tak mau dituduh menyuruh Tiara mengerjakan pekerjaan berat. "Mungkin kerjaan terlalu banyak. Sementara fisiknya ndak kuat," tebak Karjo."Nah, mungkin. Dia kan ndak pernah jadi babu maca
"Kemasi barangmu!"Karjo masuk ke ruang rawat inap begitu saja tanpa mempedulikan kondisi Tiara yang masih lemah."Kata dokter saya belum boleh pulang," tolak Tiara. Jangankan pulang, berdiri saja tubuhnya limbung. "Jangan membantah. Ini perintah Den Arya."Tiara terdiam dan tak mau berdebat. Namun, ketika seorang perawat datang dan mencabut infus, dia tahu bahwa tenaga medis di rumah sakit inipun tak bisa berbuat apa-apa."Bisa bantu saya berdiri?" pinta Tiara dengan wajah memelas. Setidaknya ada orang yang membantunya di saat seperti ini. "Tentu saja." Perawat itu memegang tangan Tiara dan menuntunnya di kursi roda. Wajahnya tampak iba, tetapi tak berani melawan."Biar aku saja," ucap Karjo sembari mengambil alih kursi roda dan mendorong Tiara keluar. "Tunggu!" Ucapan perawat itu menghentikan langkah Karjo. Lelaki itu tampak beringas sehingga membuat si perawat ketakutan."Barang-barangnya ketinggalan.," ucap perawat sembari menyodorkan sebuah ras kumal. "Tidak perlu. Itu cuma sa
Dengan langkah gontai, Tiara mengambil vacum cleaner untuk membersihkan kamar Arya. Pintu kamarnya diketuk pada pukul lima pagi. Sehinggga gadis itu terpaksa bangun dengan kondisi tubuh yang payah. "Bantu-bantu kami di dapur. Habis itu bersihkan kamar Mas Arya."Tiara tak mau berdebat dengan Ningsih. Jika saja kondisi tubuhnya lebih baik, mungkin gadis itu akan membalasnya. Namun dia menahan diri. Sakit dan tidak ada yang peduli itu menyakitkan."Den Arya sudah berangkat dari pagi," ucap Ningsih saat melihat Tiara mengeluarkan vacum cleaner dari lemari penyimpanan barang. "Iya, Bik.""Mungkin nanti sore dia akan pulang.""Aku tau," jawab Tiara cepat. "Jadi baiknya kamu berhati-hati. Jangan sampai ada barang yang hilang. Cukup ibumu saja yang jadi pembunuh. Jangan sampai anaknya ikutan maling."Rasanya Tiara ingin menyedot mulut Ningsih dengan alat ini. Apalagi saat mengucapkan hinaan, bibir tuanya itu ikut mencebik dengan mata melotot. Dalam hatinya berkata, andai saja dia sudah se
"Jadi, apa yang sudah kau saksikan sejak tadi?"Tiara mengakat bantal yang menutupi telinganya. Gadis itu menatap Arya dengan wajah pucat. Tubuhnya gemetaran, seolah-olah memohon ampunan. Jangan sampai Arya murka lagi akibat perbuatannya. "Kau memang lancang seperti ibumu!" bentak Arya."Maaf, Den," ujar Tiara sembari menunduk. "Keluar!"Arya menarik Tiara dan membawanya keluar dari walk in closet. Dia mendorong si mungil itu hingga terjatuh di sofa kamar, lalu menarik leher baju istrinya. "Apa yang kau lakukan di kamarku?" ucapnya dengan penuh amarah. "Saya .... saya membersihkannya," jawab Tiara terbata-bata. Tiara menunduk, tak berani menatap mata Arya yang begitu buas. "Kenapa begitu lama?"Arya benar-benar malu karena aktivitas intimnya bersama Clarisa diketahui orang lain. Apalagi orang itu adalah Tiara, makhluk di muka bumi ini yang paling dibencinya. Arya memang menjalani hubungan bebas sejak mereka berpacaran. Namun, keduanya tak pernah mengumbar kemesraan yang berlebiha
Tiara mondar mandir mengambil balanjaan yang diturunkan dari pick up. Sejak subuh mereka semua tampak sibuk di dapur. Bahkan kamar-kamar yang tadinya kosong kini terisi.Hari ini tepat 100 hari wafatnya Tuan Baskoro. Sehingga keluarga Diningrat akan mengadakan acara. Tak tanggung-tanggung, semua keluarga akan hadir. Bahkan ada yang datang jauh-jauh hari karena berasal dari luar kota. Selama satu minggu ini tugas mereka bertambah. Tiara tak lagi membersihkan kamar Arya, tetapi kamar-kamar kosong itu. Dia bahkan melayani semua kebutuhan mereka, mulai dari makan minum dan mencuci pakaian."Bawa ini ke dapur."Tiara termenung saat salah satu pengawal Arya menunjuk beberapa tabung gas berwarna hijau itu. Gadis itu memasang wajah memelas. Tega sekali mereka menyuruh seorang wanita mengangkatnya. "Apalagi? Cepat angkat. Ibu-ibu di dapur mau masak!"Tiara terdiam lalu dengan enggan mengangkat tabung-tabung itu walau kepayahan. Dia sudah lelah dari subuh dan tak sanggup mengangkat barang bera