"Apa kamu masih suka saat lehermu dicium seperti dulu, Mika?"
Pertanyaan berupa bisikan di telinga yang menjurus ke arah yang tak sopan itu, seketika membuat manik bening beriris sehitam malam milik Mika membelalak lebar karena terkejut.Ia benar-benar tak menyangka jika pria yang sedang berdiri di belakangnya itu ternyata lancang sekali!Mika pun sontak menjauhkan wajahnya dari sosok menyebalkan yang kini tersenyum penuh arti ke arahnya.Sial, kenapa senyum itu masih sama tampannya seperti tiga tahun yang lalu?!"Jangan macam-macam, Raf," cetus Mika seraya melayangkan tatapan kesal.Bukan saja kesal dengan mantan suaminya yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja hadir di hadapannya, tapi juga karena bisikan lelaki itu di telinganya tadi yang sesungguhnya diam-diam telah membuatnya merinding serasa hingga ke tulang.Tiga tahun mereka telah berpisah secara hukum, tiga tahun sama sekali tidak pernah berjumpa, dan kini... seorang Arrafka Adhyatama mendadak kembali ke dalam hidupnya.Mika benci mengakui bahwa ada sebagian perasaannya yang belum mati untuk pria ini, perasaan yang semestinya telah sirna dan musnah, seiring dengan keputusan kejam Rafka yang telah menceraikannya secara sepihak tiga tahun yang lalu."Nice show," Rafka membalas perkataan Mika dengan santai, sembari melayangkan sekilas tatapannya ke seluruh penjuru area bagian belakang panggung.Area ini sedang dipenuhi oleh para supermodel yang mengenakan gaun malam hasil rancangan Mika, dan bersiap untuk tampil di atas panggung catwalk.Lalu ketika bola mata beriris sebiru kristal itu kembali menatapnya, Mika bisa melihat sesuatu yang berkilau sekilas berkelebat di dalam manik Rafka."Ternyata kamu hebat juga. Mimpimu untuk menjadi desainer dan menyelenggarakan fashion show tunggal akhirnya terwujud, ya? Selamat, Mika."Mika pun terdiam mendengarnya. Kilau di dalam manik Rafka tadi juga kalimatnya barusan... apakah pria ini sedang menyatakan sebuah perasaan bangga kepada dirinya?Rafka memang paling tahu mengenai cita-citanya untuk menjadi seorang fashion designer, dan Mika pun berusaha menepis perasaan menggebu penuh suka cita yang mendadak terasa memenuhi dadanya.Tidak, tidak mungkin. Terakhir kalinya mereka bertemu tiga tahun yang lalu, Rafka jelas sekali menyatakan kebencian yang mendalam kepada dirinya.Seolah setiap sel dalam tubuh Mika sangat menjijikkan bagi pria itu, seolah keberadaannya adalah sebuah noda yang nista bagi sosok sempurna Rafka yang tanpa cela.Seolah setahun berusaha keras menjadi istri yang sempurna untuk Rafka, tak ada artinya bagi pria itu.Mika bahkan masih ingat kalimat yang diucapkan mantan suaminya itu saat hakim telah mengetukkan palu dan mereka resmi bercerai."Kita memang tak lagi menjadi suami dan istri, tapi kamu tahu? Kamu tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan dan melupakan aku, Mika. Karena cuma aku satu-satunya pria yang akan kamu cintai untuk selamanya!"Kalimat itu bahkan lebih mirip sebuah kutukan penuh dendam dari Rafka.Kutukan yang ingin sekali Mika patahkan, hingga akhirnya ia pun berhasil meskipun penuh perjuangan.Mungkin Mika pernah berada di posisi yang hancur karena Rafka, namun kini hidupnya sangat sempurna dengan karir impian yang telah tercapai dan seorang calon suami rupawan dan penuh perhatian di sisinya.Jadi kutukan Rafka sama sekali tidak terbukti, dan yang perlu Mika lakukan sekarang hanyalah mengabaikan sosok menyebalkan yang mendadak muncul tanpa permisi ini.Malam ini seharusnya menjadi salah satu malam paling membahagiakan bagi Mikayla Carissa, karena brand pakaian miliknya, Dazzle, mendapatkan kesempatan untuk menggelar peragaan busana tunggal yang cukup meriah dan sukses, yang diselenggarakan di sebuah gedung hotel bintang lima.Lalu ketika acara fashion show itu hendak dimulai, tiba-tiba saja seseorang yang sangat tak terduga hadir di tengah-tengah mereka.Tak terduga bagi Mika, tentu saja."Kenapa?" Kembali suara berat bernada husky voice itu terdengar lagi, saat Mika tak menjawab perkataan pria itu sebelumnya."Apa kamu terlalu terpukau melihatku, Mika? Menyesal karena telah menyia-nyiakan pria sesempurna diriku?" Cetus Rafka pongah, membuat Mika memutar kedua bola matanya."Sepertinya kamu lupa siapa yang menyia-nyiakan siapa. Kamulah yang menggugat cerai, Rafka! Jangan playing victim lagi!" Desis wanita bersurai panjang itu."But I am the victim," sergah Rafka tidak mau kalah."Kamulah sepertinya yang lupa, Mika. Kamu selingkuh. Tepat di depanku, dan tanpa tahu malu," tandas lelaki itu telak, yang membuat Mika seolah tertampar kembali oleh masa lalu yang tidak ingin ia ingat karena sangat menyakitkan.Mika mengepalkan kedua tangan yang berada di samping tubuhnya dengan erat ketika mendengar kalimat tuduhan itu lagi.Dengan berani, ia membalas tatapan tajam manik biru kristal milik mantan suaminya itu.Dulu Mika sangat mengagumi dan menganggap Rafka memiliki bola mata terindah di dunia, yang diwariskan dari ibunya yang keturunan Amerika."Aku tidak pernah selingkuh, Rafka! Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mengakui perbuatan yang memang tidak aku lakukan!"Rafka menatap datar pada wajah cantik namun terlihat sangat gusar di depannya ini. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya. Mika ternyata masih sama ketika sedang marah.Manik beningnya yang besar itu terlihat semakin besar, dengan semburat merah jingga yang mewarnai pipinya."Maaf jika aku pun tidak akan pernah percaya, jika bukti yang sangat jelas telah terpampang dengan begitu nyata, Mika. Kamu berada di ranjang yang sama dengan lelaki lain, tanpa pakaian pula. Yang begitu kamu bilang tidak selingkuh, hm?"Kali ini Mika memejamkan matanya sembari menghela napas mendengar nada sedingin es yang membeku dari bibir Rafka.Entah berapa juta kali ia mengatakan bahwa dirinya telah dijebak oleh salah satu karyawan butiknya sendiri, yang tanpa sepengetahuan Mika telah membubuhkan obat tidur di dalam minumannya.Mika sama sekali tidak tahu jika selama ini karyawannya itu menyukai dirinya, dan akhirnya melakulan perbuatan bejat untuk mendapatkan Mika. Berkaca dari kejadian itu, kini bahkan Mika tak lagi menerima karyawan berjenis kelamin selain wanita di butiknya.Saat itu ia benar-benar terkejut ketika terbangun dan berada di dalam dekapan lelaki yang bukan suaminya. Belum sempat Mika mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba saja Rafka datang dan memergokinya.Hal yang Mika ingat setelah itu adalah bagaimana mantan suaminya itu memukuli lelaki yang telah memperdayanya hingga babak belur.Mika yang shock hanya bisa menangis, tak tahu harus berbuat apa. Meskipun menurut pengakuan lelaki jahanan itu dia belum sempat bercinta dengan Mika, namun Rafka sama sekali tidak percaya.Pria itu yakin jika selama ini Mika pasti telah sering berselingkuh di belakangnya.Mika menggeleng pelan seraya mendesah. "Tak ada gunanya lagi masa lalu diungkit-ungkit. Toh semuanya pun telah usai, kan?" Cetus wanita itu akhirnya.Rafka itu sama kerasnya seperti batu karang, egois dan arogan. Ia tidak akan pernah berubah pendirian dan sulit memaafkan kesalahan seseorang.Seberapa kuatnya Mika selalu berusaha meyakinkan pria itu bahwa dirinya tak bersalah, semuanya akan berakhur dengan percuma saja.Mika berusaha menepis kenangan masa lalu yang menyedihkan saat ia memohon-mohon sambil menangis kepada Rafka agar mempercayainya.Tapi yang pria itu lakukan adalah langsung menceraikan dirinya dan pergi begitu saja. Meninggalkan Mika yang hancur dan sendirian dalam sepi dan benci pada diri sendiri."Jadi sebenarnya apa sih yang kamu lakukan di sini?" Tanya Mika heran, sembari berusaha untuk tidak terbawa pada kenangan pahit yang terlintas di benaknya.Setahu Mika, pria itu telah pindah ke kota Bern, Swiss, beberapa hari setelah cerai. Lalu kenapa tiba-tiba saja Rafka kembali berada di Indonesia?"Tak ada. Hanya ingin main-main saja," sahutnya santai. Satu jemarinya terulur ke wajah Mika untuk menyelipkan sejumput rambut hitam yang jatuh di pipi putih Mika ke balik telinga wanita itu. "Aku sedang bosan, sebenarnya.""Kalau begitu bermainlah di tempat lain, Raf!" Geram Mika sambil menjauhkan wajahnya yang hendak kembali disentuh oleh Rafka.Kenapa pria masa lalunya ini malah datang di saat yang tidak tepat sih?? Rafka benar-benar berani mendatanginya ke belakang panggung seperti ini!Tapi jika dipikir-pikir lagi, Rafka memang begitu. Tak pernah peduli dengan apa kata orang dan selalu bersikap semaunya.Mika pun melirik was-was ke arah karyawannya dan para model yang sejak tadi diam-diam menatap mereka berdua, dan seketika membuang wajah mereka ketika ketahuan oleh Mika.Bukan rahasia umum jika Arrafka Adhyatama adalah mantan suaminya, karena semua karyawannya telah mengenal Rafka.Sebenarnya mungkin malah tak kan ada yang tak mengenal pria itu, karena Rafka adalah CEO dari Shootingstar, perusahaan e-commerce terbesar se-Asia. Yang beberapa kali pernah mendapatkan penghargaan sebagai Best E-Commerce dari berbagai media bisnis dan ekonomi."Ck. Apa tidak boleh aku mengunjungi mantan istri sekedar untuk bersilaturrahmi?" Cetus Rafka sambil berdecak kecil. "Lagipula, mana mungkin aku melewatkan ini semua, Mika. Malam ini pasti sangat berarti bagimu, kan?"'Ya, sebelum mantan suami yang tak diharapkan tiba-tiba datang dan mengacaukan malam yang sempurna ini,' dengus Mika dalam hati."By the way, dimana dia? Apa dia tidak datang?" Rafka tersenyum mengejek saat menanyakan seseorang."Ervan Dewandaru. Kenapa calon suamimu yang seorang Jaksa itu tidak hadir di saat momen pentingmu ini, hm? Apa dia terlalu sibuk? Apa kasus-kasusnya jauh lebih penting darimu?" Cela lelaki itu lagi, dengan sengaja menyindir ketidakhadiran Ervan malam ini."Bukan urusanmu, Tuan Arrafka Adhyatama," balas Mika dingin. Meladeni Rafka tidak akan ada habisnya, dan hanya akan menguras emosi serta jiwanya, meskipun Mika sebenarnya sedikit terkejut, karena ternyata Rafka ternyata mengetahui kabar tentang rencana pernikahannya dengan Ervan.Mika bermaksud pergi meninggalkan pria itu untuk memeriksa gaun-gaun yang dikenakan para modelnya, namun tiba-tiba sebuah cengkeraman erat di pinggangnya disertai kecupan singkat di ubun-ubun kepalanya seketika membuat wanita itu mematung karena kaget."Kamu bisa lari, sembunyi, bahkan kamu pun bisa berpura-pura mencintai lelaki lain dan menganggap lelaki itu adalah aku, Mikayla Carissa. Tapi aku berjanji akan membuatmu percaya... bahwa sesungguhnya hanya AKU, yang bisa memiliki kamu," cetus lelaki itu, sebelum ia melepaskan Mika lalu melangkah pergi entah kemana."Halo." "Halo, Mika. Apa acaranya sudah selesai?" Mika tersenyum saat mendengar suara familier yang menyapanya lembut melalui sambungan telepon selular."Ya, ini baru saja selesai dan sekarang aku sedang bersiap untuk pulang. ""Lalu bagaimana tadi? Semuanya lancar? Apa ada kendala?""Syukurlah semuanya aman, Van. Sekarang hanya bisa berdoa saja semoga besok Dazzle mendapatkan ulasan positif dari media dan publik.""That's great, Mika. Aku senang sekali mendengarnya. Aku sangat yakin Dazzle akan mendapat pujian. Kamu sudah bekerja sangat keras, dan gaun hasil rancanganmu juga sangat indah," puji Ervan sembari menghela napas berat sesudahnya."Aku menyesal sekali tidak bisa hadir di sana untuk menemani kamu. Maaf ya?" Mika tertawa kecil. "Tidak masalah, Van. Tidak usah dipikirkan. Oh iya, gimana perkembangan kasusnya? Sudah ada titik terang?" Selanjutnya Mika mendengar Ervan yang bercerita tentang kasus suap di sebuah Departemen Pemerintahan yang sedang ia tangani tuntutannya. Sebe
"Dasar diktator. Tukang paksa. Ancaman kamu norak, Raf!" Meskipun pelan, namun sebenarnya Rafka dapat mendengar semua rentetan gerutuan mantan istrinya yang sangat jelas ditujukan kepada dirinya, namun ia pun memutuskan untuk mengabaikannya. Sangat wajar sebenarnya jika Mika kesal, karena Rafka yang telah mengancam akan menciumnya jika Mika tidak menurut. "Ya, memang norak. Tapi berhasil, kan?" Cetus Rafka sembari menyeringai samar. "Terpaksa." Mika menyahut sambil membuang muka ke arah jalanan, mencoba mengusir sisa-sisa desiran halus yang sejak tadi tak jua sirna dari dadanya, karena perkataan mantan suami menyebalkan ini.'Argh, kenapa pula jantungku jadi berdebar tak tahu malu mendengar ancaman itu??'Ia sadar bahwa ia tak seharusnya masih menyimpan nama Arrafka Adhyatama jauh di dalam sana. Rafka sudah membuang dirinya, itulah kenyataan yang terus menerus Mika tanamkan di dalam dirinya, mencoba membangun benteng ego yang seharusnya hadir. Namun tidak, Mika yang begitu bodoh
"Raaf..."Perkataan Mika tertelan oleh ciuman Rafka yang ganas dan datang dengan bertubi-tubi.Wanita bersurai panjang itu mencoba untuk berontak, namun Rafka telah mengunci semua pergerakannya. Rafka menekan tubuhnya ke dinding lift yang terasa dingin hingga Mika tak berkutik, juga mencengkram kedua pergelangan tangannya di atas kepala."Mmmp..."Kembali Mika berusaha untuk berbicara, namun lagi-lagi ia gagal karena Rafka yang tengah menjajah dan menguasai bibirnya. Pria itu seolah sedang berpesta pora dengan mulut Mika dan seluruh isi di dalamnya.Rafka mengobrak-abrik dengan lidahnya yang bergerak liar di dalam mulut Mika, lalu menyesap kuat lidah wanita itu. "Sstoopmmmh..." Lift yang membawa mereka terus bergerak naik, terlihat tak berhenti di satu lantai pun. Membuat Rafka merasa beruntung karena tak terganggu saat sedang menikmati Mika.Ya, menikmati Mika.Jika satu kata yang dapat ia gambarkan tentang perasaannya kepada Mika, itu adalah benci.Ia benci dengan wanita ini, ben
Alunan suara percintaan yang keras menggema membuat udara semakin pekat dan berat untuk Mika, yang sudah sejak tadi tubuhnya terus dipacu tanpa henti oleh Rafka."Ungghh..." Rafka menyunggingkan seringai tipis penuh makna, kala mendengar lenguhan seksi yang lolos dari bibir sensual Mika. Ah, dia sendiri pun sesungguhnya tak mampu mengendalikan rasa lapar dan dahaga yang membabi-buta ini kepada tubuh indah mantan istrinya.Mika masih tetap sempurna, sama seperti 3 tahun yang lalu. Kulit seputih dan selembut kapas tanpa cela, pinggul dan dadda yang bulat ideal dan wajah cantik seperti bidadari.Rafka menggeretakkan gerahamnya ketika serbuan gelora kembali membakar tubuhnya dari dalam. Damned.Meski enggan mengakui, namun pada hakikatnya memang hanya Mika yang mampu membuatnya hasratnya membumbung tinggi tanpa tahu apakah bisa turun kembali.Ia mengangkat kaki kedua kaki jenjang Mika semakin ke atas, lalu kembali menghujam dengan semakin keras. Rintihan Mika yang berulang kali terden
BRAAKKK!!!Ferarri hitam mengkilat yang melaju dengan kecepatan sedang itu kini menghantam pagar sebuah rumah dengan keras, mengakibatkan bagian depan mobil mewah itu ringsek parah begitu pun dengan pagar besi rumah itu.Keributan itu tentu saja memancing orang yang berada di dalam rumah itu untuk keluar dan melihat apa yang terjadi."Tuan Rafka!!" "Ya Tuhan!!""Itu mobil Tuan Rafka!!""Bantu dia keluar!!"Teriakan panik para pelayan dan penjaga rumah mewah itu pun terdengar saling bersahutan di udara, dibarengi dengan beberapa lelaki yang berlari menghambur ke arah mobil yang mengeluarkan asap itu.Mereka berupaya keras membuka pintu yang dikunci dari dalam, untung saja akhirnya mereka bisa membukanya dengan memecahkan kaca jendela bagian penumpang.Asap hitam yang semakin menebal dari kap mobil depan membuat semua orang panik dan cemas. Beberapa pelayan mengguyur asap itu menggunakan selang penyemprot tanaman, sebagai tindakan pencegahan jika api keluar dari sana.Tiga orang lelaki
"Apa kamu baru saja bermalam dengan mantan suamimu, Mika? Ouch. Kamu nakal sekali, Cantik. Haruskan aku memberitahu Ervan bahwa tunangannya telah berselingkuh dengan mantan suaminya?" Serasa kepalanya diguyur oleh air es yang sangat dingin, itulah yang Mika rasakan sekarang. Kepalanya mendadak pusing dan pandangannya menggelap selama beberapa detik, membuatnya berpegangan menumpu pada meja agar tidak terjatuh. Suara tawa dingin yang terdengar dari seberang sana membuat Mika semakin merasa merinding."Kenapa diam? Apa kamu terkejut karena aku mengetahuinya? Ya, aku memang tahu segalanya tentang kamu, Mika. Oh iya, kamu sudah terima bunganya, kan? Apa kamu suka, Mika?"Lagi-lagi Mika terkesiap, ternyata penelepon misterius ini orang yang sama dengan yang mengirimnya bunga beserta puisi anehnya barusan!"Kamu siapa sih? Jangan bercanda, akan aku tutup telepon ini sekarang juga!" gertak Mika geram."Silahkan tutup telepon ini, tapi kamu akan menyesal, Cantik. Aku akan memberikan pesan u
"Semudah itu kamu pergi dari semua kenangan di masa lalu, hm? So tell me, Mika. Where shall I go? To the left, where there's nothing right? Or to the right, where there's nothing left?"Mika diam termangu dengan netranya yang masih saling beradu tatap dengan Rafka, dengan bola mata sebiru kristal yang selalu berhasil membuatnya seolah terpaku di dinding setiap kali menyorotnya seperti ini.Pertanyaan pria itu yang diucapkan dengan nada sendu membuat batinnya terbetik. Perasaan tak nyaman seketika memenuhi dirinya.Kenapa Rafka mengucapkan kalimat sedih yang membuat hatinya yang pernah patah kembali berdarah?Mika sadar jika perceraian 3 tahun lalu bukan hanya membuat dirinya yang terluka, tapi juga Rafka. Hanya saja pria ini terlalu pintar untuk menyembunyikannya, dan angkuh untuk memperlihatkannya."Ikut aku." Tiba-tiba Rafka menarik tangan Mika, namun wanita itu menahan langkahnya hingg membuat Rafka menatapnya."Raf?" Mika menggeleng pelan. "Aku tidak bisa.""Kenapa? Karena ada Erv
Mungkin sudah ribuan kali Mika menghela napas pelan hari ini. Lebih tepatnya, sejak ia bertemu dengan Rafka tadi pagi.Wanita itu kini sedang sibuk menyiapkan sarapan sederhana dan cepat, yaitu pancakes saus madu, jus jeruk dan sup asparagus. Maniknya melirik Rafka yang sejak tadi mengawasinya tanpa bergeming dari kursi meja makan. Mika bahkan bisa merasakan tatapan setajam sinar laser yang seolah menembus punggungnya, membuat wanita itu rikuh dan gugup. "Daripada hanya duduk, bagaimana jika kamu ikut membantu?" Untuk beberapa saat, Rafka hanya diam dengan manik biru kristal yang tertuju lekat kepada mantan istrinya yang barusan berkata."Sudah 3 tahun, dan kamu masih saja membutuhkan bantuan untuk memasak?" Olok Rafka, mengingatkan di masa lalu tentang Mika yang tidak mahir di dapur. Pria itu pun bangkit dari kursinya, berjalan menuju ke arah kitchen island dimana Mika sedang mengaduk adonan pancake di dalam mangkuk.Rafka mencelupkan satu jari telunjuk ke dalam adonan berwarna
Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
Mika membuka kedua matanya dengan perlahan, saat ia merasakan sebuah benda lembut dan hangat yang menyentuh bibirnya. Ia baru menyadari bahwa saat ini tengah berbaring di atas ranjang super besar yang empuk, di sebuah kamar luas yang tidak ia kenali sama sekali. Mungkinkah Rafka membawanya ke sebuah hotel? Perasaan nyaman pun serta merta menyerbu benaknya, ketika melihat manik biru kristal yang teduh itu yang telah menyambut dirinya kala membuka mata. "Rafka..." Wanita itu pun tak lagi dapat menahan seluruh isak tangis yang terkumpul berat serta sangat menyesakkan dada, ketika akhirnya segalanya telah usai. Atau... benarkah ini sudah usai? Ah, dia tak peduli lagi. Yang terpenting di dalam pikiran Mika saat ini adalah dirinya yang berada di dalam pelukan erat Rafka. Ini sungguh sepadan, karena dunia dan isinya tak kan mampu membahagiakannya seperti Rafka yang telah menggenggam hatinya sejak dulu, hingga hingga akhir nanti. "Jangan menangis lagi, Mimi. Katakan, apa
"Selamat pagi, Dokter Ruby." Ruby mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang ia pandangi sejak tadi karena sedang membaca sebuah e-mail penting. 'Ah, kenapa harus bertemu dengan mereka lagi sih?' erangnya dalam hati, meski dengan lihainya ia tutupi dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Irna," sahutnya sambil berdiri untuk menyalami wanita itu. "Oh iya, ini Elsy adiknya Ervan," ucap Irna sembari menarik tangan putrinya agar lebih mendekat. "Yang sopan, Elsy!" desisnya, ketika melihat gadis itu tampak enggan untuk berjabat tangan dengan Ruby. "Halo, Elsy." Ruby menyapa gadis yang wajahnya ditekuk dan tampak tidak menyukainya, meskipun sejujurnya Ruby pun juga tidak peduli jika dirinya tidak disukai. "Silahkan duduk," ajak Ruby kepada ibu dan putrinya itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Saat ini adalah jam kerjanya sebagai Psikiater, dan sebenarnya Ruby juga sudah menebak kalau Irna dan Elsy sama sekali bukan datang untuk sesi konsultasi. "Eh... sebenarnya...
Ruby pun serta merta terbangun saat mendengar suara ponselnya berdenting pelan pertanda ada notifikasi pesan yang baru masuk. Sambil mengusap wajahnya yang lelah dan masih mengantuk, wanita itu mengedarkan matanya yang sayu ke sekitarnya. Ah ya, ia masih berada di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Ervan. "Sudah bangun?" Ruby menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, yaitu Ervan yang tersenyum kepadanya. Pria itu sedang berdiri tak jauh darinya, sedang menuangkan segelas air ke dalam cangkir kopi, lalu memberikannya kepada Ruby. "Ini, minumlah. Kamu pasti sangat haus karena terus-menerus menjerit sepanjang kita bercinta semalam." Sembari meraih gelas air yang disodorkan padanya, Ruby pun hanya berdecak pelan mendengar ledekan Ervan. Wanita itu pun menghabiskan airnya hingga tandas, sebelum kemudian ia pun baru menyadari sesuatu. "Jam berapa sekarang??" tanya Ruby kepada Ervan yang sejak tadi tak lepas menatap dirinya. "Baru jam 6 pagi. Kenapa?" sahut Ervan. Oh,
Perkataan dan sikap provokatif wanita itu adalah hal yang telah membuat kekacauan masif di dalam otak Ervan bagai angin ribut yang memporak-porandakan segalanya menjadi chaos. Yang ada dalam benaknya sekarang hanyalah Ruby, dan bibir berlipstik merahnya yang sensual. Dadanya yang menggiurkan. Kulitnya yang sehalus beledu. Aroma seluruh tubuhnya yang manis sekaligus menggairahkan. Suara kursi yang jatuh berdebam karena Ervan yang berdiri dengan gerakan yang sangat tiba-tiba, membuat Ruby sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian ledakan euforia pun menghampirinya, ketika pria tampan di hadapannya yang mendadak menyergap bibirnya dengan ganas dan penuh gairah. Kedua tangan Ervan terulur untuk menangkap wajah Ruby, memerangkapnya dalam dekapan telapak tangan pria itu yang lebar dan hangat. Lidah Ervan bergerilya dengan liar di dalam mulutnya, yang dibalas oleh Ruby dengan tak kalah bergelora. Ruby mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu, saat satu tangan Ervan berg
"Apa kamu sudah minum obat?" Tanya Ruby sebelum melepaskan dirinya dari pelukan erat Ervan. "Pasti belum, itu sebabnya kamu mengajukan penawaran yang menggelikan itu kan?" Ervan mendengus menahan tawanya, merasa lucu mendengar pertanyaannya yang meledek serta melihat wajah Ruby yang berjengit jijik saat ia mengucapkan kata "Pernikahan". "Kenapa, Ruby? Apa kamu tidak ingin menikah, hm?" "Bukankah aku sudah pernah bilang sejak pertama kali kita tidur bersama, Ervan? Aku bukan tipe wanita yang menyukai berada dalam suatu hubungan!" cetus Ruby tegas. "Lalu bagaimana mungkin kamu bisa mengajukan penawaran pernikahan yang menggelikan itu kepadaku?!" "Well..." Perlahan Ervan menggerakkan jemarinya dari pinggang ramping menyusuri punggung wanita itu, dan berhenti ketika kedua ibu jarinya berada tepat di bawah lekukan dada Ruby. "Kurasa prinsipmu itu harus dipikirkan kembali, Dokter. Kenapa? Apa kamu takut dikekang? Atau tidak ingin dikontrol oleh pria? Alpha-female sepertimu t
BRAAKK!!! Suara pintu yang dibuka dari arah luar itu membuat manik gelap Ervan pun sontak beralih ke sana. Seulas senyum samar pun terlukis di wajahnya, ketika melihat sosok wanita seksi yang tampak sedang kesal membuka pintu kamar rawatnya dengan cara yang bar-bar. "Kamu sudah datang? Hm... tepat waktu sekali," Ervan melirik sekilas jam mahal yang melingkari pergelangannya. Ruby melipat tangannya menyilang di dada, seraya melayangkan tatapan tajam ke arah pria yang masih tampak duduk santai di kursinya itu. Ada laptop yang terbuka di atas meja di depan Ervan, kelihatannya dia sedang bekerja. Tapi... bukankah sekarang waktu sudah hampir tengah malam?? Kenapa Ervan masih berkutat dengan pekerjaan?? Apalagi tubuhnya yang masih belum 100% pulih, seharusnya pria ini lebih banyak beristirahat alih-alih bekerja. Bagaimana pun ia masih menjadi pasien VVIP di rumah sakit ini kan?? 'Lalu kenapa pula aku harus peduli?' rutuk Ruby dalam hati. Biarkan saja jika Ervan ingin bekerja