1 bab lagi tamat ya ♡♡ makasih buat yg masih bacaa ♡♡
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Apa kamu masih suka saat lehermu dicium seperti dulu, Mika?" Pertanyaan berupa bisikan di telinga yang menjurus ke arah yang tak sopan itu, seketika membuat manik bening beriris sehitam malam milik Mika membelalak lebar karena terkejut.Ia benar-benar tak menyangka jika pria yang sedang berdiri di belakangnya itu ternyata lancang sekali!Mika pun sontak menjauhkan wajahnya dari sosok menyebalkan yang kini tersenyum penuh arti ke arahnya. Sial, kenapa senyum itu masih sama tampannya seperti tiga tahun yang lalu?!"Jangan macam-macam, Raf," cetus Mika seraya melayangkan tatapan kesal. Bukan saja kesal dengan mantan suaminya yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja hadir di hadapannya, tapi juga karena bisikan lelaki itu di telinganya tadi yang sesungguhnya diam-diam telah membuatnya merinding serasa hingga ke tulang.Tiga tahun mereka telah berpisah secara hukum, tiga tahun sama sekali tidak pernah berjumpa, dan kini... seorang Arrafka Adhyatama mendadak kembali ke dalam hidu
"Halo." "Halo, Mika. Apa acaranya sudah selesai?" Mika tersenyum saat mendengar suara familier yang menyapanya lembut melalui sambungan telepon selular."Ya, ini baru saja selesai dan sekarang aku sedang bersiap untuk pulang. ""Lalu bagaimana tadi? Semuanya lancar? Apa ada kendala?""Syukurlah semuanya aman, Van. Sekarang hanya bisa berdoa saja semoga besok Dazzle mendapatkan ulasan positif dari media dan publik.""That's great, Mika. Aku senang sekali mendengarnya. Aku sangat yakin Dazzle akan mendapat pujian. Kamu sudah bekerja sangat keras, dan gaun hasil rancanganmu juga sangat indah," puji Ervan sembari menghela napas berat sesudahnya."Aku menyesal sekali tidak bisa hadir di sana untuk menemani kamu. Maaf ya?" Mika tertawa kecil. "Tidak masalah, Van. Tidak usah dipikirkan. Oh iya, gimana perkembangan kasusnya? Sudah ada titik terang?" Selanjutnya Mika mendengar Ervan yang bercerita tentang kasus suap di sebuah Departemen Pemerintahan yang sedang ia tangani tuntutannya. Sebe
"Dasar diktator. Tukang paksa. Ancaman kamu norak, Raf!" Meskipun pelan, namun sebenarnya Rafka dapat mendengar semua rentetan gerutuan mantan istrinya yang sangat jelas ditujukan kepada dirinya, namun ia pun memutuskan untuk mengabaikannya. Sangat wajar sebenarnya jika Mika kesal, karena Rafka yang telah mengancam akan menciumnya jika Mika tidak menurut. "Ya, memang norak. Tapi berhasil, kan?" Cetus Rafka sembari menyeringai samar. "Terpaksa." Mika menyahut sambil membuang muka ke arah jalanan, mencoba mengusir sisa-sisa desiran halus yang sejak tadi tak jua sirna dari dadanya, karena perkataan mantan suami menyebalkan ini.'Argh, kenapa pula jantungku jadi berdebar tak tahu malu mendengar ancaman itu??'Ia sadar bahwa ia tak seharusnya masih menyimpan nama Arrafka Adhyatama jauh di dalam sana. Rafka sudah membuang dirinya, itulah kenyataan yang terus menerus Mika tanamkan di dalam dirinya, mencoba membangun benteng ego yang seharusnya hadir. Namun tidak, Mika yang begitu bodoh
"Raaf..."Perkataan Mika tertelan oleh ciuman Rafka yang ganas dan datang dengan bertubi-tubi.Wanita bersurai panjang itu mencoba untuk berontak, namun Rafka telah mengunci semua pergerakannya. Rafka menekan tubuhnya ke dinding lift yang terasa dingin hingga Mika tak berkutik, juga mencengkram kedua pergelangan tangannya di atas kepala."Mmmp..."Kembali Mika berusaha untuk berbicara, namun lagi-lagi ia gagal karena Rafka yang tengah menjajah dan menguasai bibirnya. Pria itu seolah sedang berpesta pora dengan mulut Mika dan seluruh isi di dalamnya.Rafka mengobrak-abrik dengan lidahnya yang bergerak liar di dalam mulut Mika, lalu menyesap kuat lidah wanita itu. "Sstoopmmmh..." Lift yang membawa mereka terus bergerak naik, terlihat tak berhenti di satu lantai pun. Membuat Rafka merasa beruntung karena tak terganggu saat sedang menikmati Mika.Ya, menikmati Mika.Jika satu kata yang dapat ia gambarkan tentang perasaannya kepada Mika, itu adalah benci.Ia benci dengan wanita ini, ben
Alunan suara percintaan yang keras menggema membuat udara semakin pekat dan berat untuk Mika, yang sudah sejak tadi tubuhnya terus dipacu tanpa henti oleh Rafka."Ungghh..." Rafka menyunggingkan seringai tipis penuh makna, kala mendengar lenguhan seksi yang lolos dari bibir sensual Mika. Ah, dia sendiri pun sesungguhnya tak mampu mengendalikan rasa lapar dan dahaga yang membabi-buta ini kepada tubuh indah mantan istrinya.Mika masih tetap sempurna, sama seperti 3 tahun yang lalu. Kulit seputih dan selembut kapas tanpa cela, pinggul dan dadda yang bulat ideal dan wajah cantik seperti bidadari.Rafka menggeretakkan gerahamnya ketika serbuan gelora kembali membakar tubuhnya dari dalam. Damned.Meski enggan mengakui, namun pada hakikatnya memang hanya Mika yang mampu membuatnya hasratnya membumbung tinggi tanpa tahu apakah bisa turun kembali.Ia mengangkat kaki kedua kaki jenjang Mika semakin ke atas, lalu kembali menghujam dengan semakin keras. Rintihan Mika yang berulang kali terden
Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
Mika membuka kedua matanya dengan perlahan, saat ia merasakan sebuah benda lembut dan hangat yang menyentuh bibirnya. Ia baru menyadari bahwa saat ini tengah berbaring di atas ranjang super besar yang empuk, di sebuah kamar luas yang tidak ia kenali sama sekali. Mungkinkah Rafka membawanya ke sebuah hotel? Perasaan nyaman pun serta merta menyerbu benaknya, ketika melihat manik biru kristal yang teduh itu yang telah menyambut dirinya kala membuka mata. "Rafka..." Wanita itu pun tak lagi dapat menahan seluruh isak tangis yang terkumpul berat serta sangat menyesakkan dada, ketika akhirnya segalanya telah usai. Atau... benarkah ini sudah usai? Ah, dia tak peduli lagi. Yang terpenting di dalam pikiran Mika saat ini adalah dirinya yang berada di dalam pelukan erat Rafka. Ini sungguh sepadan, karena dunia dan isinya tak kan mampu membahagiakannya seperti Rafka yang telah menggenggam hatinya sejak dulu, hingga hingga akhir nanti. "Jangan menangis lagi, Mimi. Katakan, apa
"Selamat pagi, Dokter Ruby." Ruby mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang ia pandangi sejak tadi karena sedang membaca sebuah e-mail penting. 'Ah, kenapa harus bertemu dengan mereka lagi sih?' erangnya dalam hati, meski dengan lihainya ia tutupi dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Irna," sahutnya sambil berdiri untuk menyalami wanita itu. "Oh iya, ini Elsy adiknya Ervan," ucap Irna sembari menarik tangan putrinya agar lebih mendekat. "Yang sopan, Elsy!" desisnya, ketika melihat gadis itu tampak enggan untuk berjabat tangan dengan Ruby. "Halo, Elsy." Ruby menyapa gadis yang wajahnya ditekuk dan tampak tidak menyukainya, meskipun sejujurnya Ruby pun juga tidak peduli jika dirinya tidak disukai. "Silahkan duduk," ajak Ruby kepada ibu dan putrinya itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Saat ini adalah jam kerjanya sebagai Psikiater, dan sebenarnya Ruby juga sudah menebak kalau Irna dan Elsy sama sekali bukan datang untuk sesi konsultasi. "Eh... sebenarnya...
Ruby pun serta merta terbangun saat mendengar suara ponselnya berdenting pelan pertanda ada notifikasi pesan yang baru masuk. Sambil mengusap wajahnya yang lelah dan masih mengantuk, wanita itu mengedarkan matanya yang sayu ke sekitarnya. Ah ya, ia masih berada di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Ervan. "Sudah bangun?" Ruby menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, yaitu Ervan yang tersenyum kepadanya. Pria itu sedang berdiri tak jauh darinya, sedang menuangkan segelas air ke dalam cangkir kopi, lalu memberikannya kepada Ruby. "Ini, minumlah. Kamu pasti sangat haus karena terus-menerus menjerit sepanjang kita bercinta semalam." Sembari meraih gelas air yang disodorkan padanya, Ruby pun hanya berdecak pelan mendengar ledekan Ervan. Wanita itu pun menghabiskan airnya hingga tandas, sebelum kemudian ia pun baru menyadari sesuatu. "Jam berapa sekarang??" tanya Ruby kepada Ervan yang sejak tadi tak lepas menatap dirinya. "Baru jam 6 pagi. Kenapa?" sahut Ervan. Oh,
Perkataan dan sikap provokatif wanita itu adalah hal yang telah membuat kekacauan masif di dalam otak Ervan bagai angin ribut yang memporak-porandakan segalanya menjadi chaos. Yang ada dalam benaknya sekarang hanyalah Ruby, dan bibir berlipstik merahnya yang sensual. Dadanya yang menggiurkan. Kulitnya yang sehalus beledu. Aroma seluruh tubuhnya yang manis sekaligus menggairahkan. Suara kursi yang jatuh berdebam karena Ervan yang berdiri dengan gerakan yang sangat tiba-tiba, membuat Ruby sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian ledakan euforia pun menghampirinya, ketika pria tampan di hadapannya yang mendadak menyergap bibirnya dengan ganas dan penuh gairah. Kedua tangan Ervan terulur untuk menangkap wajah Ruby, memerangkapnya dalam dekapan telapak tangan pria itu yang lebar dan hangat. Lidah Ervan bergerilya dengan liar di dalam mulutnya, yang dibalas oleh Ruby dengan tak kalah bergelora. Ruby mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu, saat satu tangan Ervan berg
"Apa kamu sudah minum obat?" Tanya Ruby sebelum melepaskan dirinya dari pelukan erat Ervan. "Pasti belum, itu sebabnya kamu mengajukan penawaran yang menggelikan itu kan?" Ervan mendengus menahan tawanya, merasa lucu mendengar pertanyaannya yang meledek serta melihat wajah Ruby yang berjengit jijik saat ia mengucapkan kata "Pernikahan". "Kenapa, Ruby? Apa kamu tidak ingin menikah, hm?" "Bukankah aku sudah pernah bilang sejak pertama kali kita tidur bersama, Ervan? Aku bukan tipe wanita yang menyukai berada dalam suatu hubungan!" cetus Ruby tegas. "Lalu bagaimana mungkin kamu bisa mengajukan penawaran pernikahan yang menggelikan itu kepadaku?!" "Well..." Perlahan Ervan menggerakkan jemarinya dari pinggang ramping menyusuri punggung wanita itu, dan berhenti ketika kedua ibu jarinya berada tepat di bawah lekukan dada Ruby. "Kurasa prinsipmu itu harus dipikirkan kembali, Dokter. Kenapa? Apa kamu takut dikekang? Atau tidak ingin dikontrol oleh pria? Alpha-female sepertimu t
BRAAKK!!! Suara pintu yang dibuka dari arah luar itu membuat manik gelap Ervan pun sontak beralih ke sana. Seulas senyum samar pun terlukis di wajahnya, ketika melihat sosok wanita seksi yang tampak sedang kesal membuka pintu kamar rawatnya dengan cara yang bar-bar. "Kamu sudah datang? Hm... tepat waktu sekali," Ervan melirik sekilas jam mahal yang melingkari pergelangannya. Ruby melipat tangannya menyilang di dada, seraya melayangkan tatapan tajam ke arah pria yang masih tampak duduk santai di kursinya itu. Ada laptop yang terbuka di atas meja di depan Ervan, kelihatannya dia sedang bekerja. Tapi... bukankah sekarang waktu sudah hampir tengah malam?? Kenapa Ervan masih berkutat dengan pekerjaan?? Apalagi tubuhnya yang masih belum 100% pulih, seharusnya pria ini lebih banyak beristirahat alih-alih bekerja. Bagaimana pun ia masih menjadi pasien VVIP di rumah sakit ini kan?? 'Lalu kenapa pula aku harus peduli?' rutuk Ruby dalam hati. Biarkan saja jika Ervan ingin bekerja