"Raaf..."
Perkataan Mika tertelan oleh ciuman Rafka yang ganas dan datang dengan bertubi-tubi.Wanita bersurai panjang itu mencoba untuk berontak, namun Rafka telah mengunci semua pergerakannya.Rafka menekan tubuhnya ke dinding lift yang terasa dingin hingga Mika tak berkutik, juga mencengkram kedua pergelangan tangannya di atas kepala."Mmmp..."Kembali Mika berusaha untuk berbicara, namun lagi-lagi ia gagal karena Rafka yang tengah menjajah dan menguasai bibirnya. Pria itu seolah sedang berpesta pora dengan mulut Mika dan seluruh isi di dalamnya.Rafka mengobrak-abrik dengan lidahnya yang bergerak liar di dalam mulut Mika, lalu menyesap kuat lidah wanita itu."Sstoopmmmh..."Lift yang membawa mereka terus bergerak naik, terlihat tak berhenti di satu lantai pun. Membuat Rafka merasa beruntung karena tak terganggu saat sedang menikmati Mika.Ya, menikmati Mika.Jika satu kata yang dapat ia gambarkan tentang perasaannya kepada Mika, itu adalah benci.Ia benci dengan wanita ini, benci dengan pengkhiatan Mika hingga di ubun-ubun dan ingin Mika menderita!Tapi sebenci-bencinya Rafka, ia tak bisa memungkiri jika Mika... sangat nikmat. Wanita ini, masih sama nikmatnya seperti dulu.Pria itu menyukai bagaimana rasa mulut Mika masih sama manisnya seperti tiga tahun yang lalu. Bagaimana ledakan rasa bibir lembut itu memenuhi mulutnya, dan semakin membuatnya lapar.Rafka menyesap seluruh rasa manis Mika dengan rakus, seperti seorang pengemis yang kelaparan.Suara denting pelan menandakan pintu yang telah terbuka di lantai unit apartemen Mika, membuat Rafka tersadar dan melepaskan pagutannya.Segaris seringai tipis mewarnai wajah tampan lelaki itu, ketika menyadari bahwa Mika pun tengah terseret ke dalam arus gairah yang sama seperti dirinya.Manik gelap wanita itu terlihat dipenuhi oleh kabut gelap, dengan wajah yang merona karena hasrat.Rafka menarik tangan mantan istrinya itu keluar dari lift untuk berjalan menuju unitnya Mika berada. Rafka membanting tubuh Mika tepat di depan pintu unit, membuat wanita itu menjerit pelan."Kamu masih ingat..." cetus Mika pelan, saat Rafka kembali mengungkung tubuhnya yang menempel di depan pintu dan mendongakkan wajah wanita itu.Unit apartemen Mika ini adalah properti yang sama persis seperti yang dimiliki oleh wanita itu sebelum ia menikah dengan Rafka.Saat Rafka menceraikannya dan pergi ke Bern, Swiss, Mika membeli lagi apartemen yang dulu pernah ia jual setelah menikah. Untungnya unit ini sedang kosong tidak ditempati siapa pun, hingga Mika pun segera pindah ke sini pasca bercerai."Kedengarannya mungkin menyedihkan, tapi aku memang tak bisa melupakan satu hal pun tentangmu," bisik Rafka di atas bibir Mika yang basah dan lembab akibat ulahnya.Pengakuan itu adalah penutup dari percakapan singkat mereka, karena Rafka kembali menyerang bibir Mika dengan sama ganasnya seperti sebelumnya.Pria itu sengaja mencumbu Mika di depan pintu unitnya, setelah memastikan bahwa ada kamera CCTV yang tepat menyorot posisi ini.Seringai tipis diam-diam mewarnai wajah Rafka, saat Mika perlahan mulai membalas cumbuannya. Kedua tangan wanita itu kini telah terangkat dan mengalung di leher Rafka, bibirnya yang mulai membuka, lidahnya yang mulai aktif ikut bergerak.Dan tubuhnya yang mulai bergetar diliputi gelora.'Hanya aku yang tahu bagaimana memancing gairahmu dan membuatnya keluar melesat secepat kilat, Mika,' bisik pongah Rafka dalam hati dengan penuh kemenangan."Ah!"Mika menjerit kaget ketika Rafka tiba-tiba saja membalikkan tubuhnya, hingga kini satu sisi wajah wanita itu menempel di pintu, dan bagian belakang tubuhnya menempel pada Rafka.Mika menggigit bibirnya saat merasakan jemari Rafka yang meraba-raba area pinggangnya yang ramping, lalu turun hingga bulatan pinggulnya yang sensual.Rasanya seperti gila.Mika tak bisa menahan desahannya saat jemari pria itu mulai bergerilya di bawah tubuhnya untuk mengusap area sensitifnya dari balik gaunnya.Seharusnya Mika menepis tangan kurang ajar itu, seharusnya Mika tak membiarkan dirinya dilecehkan dan diperlakukan seperti jalang oleh mantan suaminya sendiri.Tapi Mika bahkan tidak mengerti dengan reaksi tubuhnya sendiri terhadap sentuhan Rafka. Mika membenci sebagian dari dirinya yang ternyata masih sangat merindukan Rafka dan saat ini malah sedang bersorak gembira."Aaa... hen-tikaan..." kuku Mika mencakar permukaan pintu unit apartemennya, sebagai pelampiasan rasa frustasi seksuall yang dihembuskan Rafka kepadanya.Mika terisak lirih dan memejamkan mata, saat bibir Rafka kini mulai menyerang lehernya dari belakang, titik sensitifnya yang sangat Rafka hapal. Membuat lututnya yang sejak tadi gemetar kini sudah benar-benar lemas.Mika tak sanggup lagi berdiri, dan ia hampir saja merosot jatuh ke lantai jika Rafka tidak segera meraih pinggangnya."Buka pintunya, Mimi," bisik Rafka dengan nada seduktif di telinga Mika. Ujung lidah lelaki itu keluar untuk menjilat ringan telinga Mika, membuat suara kesiap pelan lolos dari bibir wanita itu."Ayo kita lanjutkan di dalam."***Suara jeritan Mika yang berulangkali menguar di udara, terdengar sangat manis di telinga Rafka.Ia suka 'menyiksa' wanita ini, yang ternyata masih sama menyenangkannya seperti dulu. Mika-nya yang lembut dan polos di luar, namun sangat sensual dan seksi di atas ranjang.Mika merintih lirih. Ia sungguh sudah tidak tahan lagi, karena Rafka dan lidahnya yang mahir sejak tadi terus memporak-porandakan dirinya di bawah sana tanpa henti.Semua akal sehat dan logikanya telah sirna entah kemana. Kendali dan harga dirinya sebagai seorang wanita pun kini seolah tak lagi berharga.Mika bahkan sudah tidak memilikinya lagi di detik Rafka melucuti gaunnya dan membaringkannya di atas ranjang.Otaknya serasa meledak ketika Rafka mengecup seluruh kulit di tubuhnya, sebelum kepala bersurai coklat itu turun dan mulai bergerilya di antara kedua pahanya.Rafka benar-benar membuatnya tersiksa dan tenggelam dalam kenikmatan, sama seperti dulu. Semua yang Rafka lakukan persis seperti dulu. Selalu berhasil membuat Mika terhanyut seperti dulu.Mika kembali menjerit saat pelepasan luar biasa kembali menderanya, entah untuk yang keberapa kalinya dalam setengah jam ini.Suaranya telah berubah serak, seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali akibat dahsyatnya hantaman orgassme yang baru ia rasakan, serta gulungan hasrat yang semakin lama semakin membutakan.Di antara ribuan kunang-kunang yang serasa beterbangan di dalam kepalanya, sayup Mika mendengar suara tegukan pelan berkali-kali di bawah tubuhnya.Wanita itu masih berjuang mengatur napasnya yang pecah tak beraturan, saat wajah Rafka muncul kembali ke hadapan setelah puas mereguk cairan cinta yang keluar dari tubuh Mika."Rasanya masih sama lezatnya," guman serak pria itu dengan suaranya yang semakin berat karena gelora. Manik biru kristal lelaki itu kini telah menggelap bagai ditutup oleh awan mendung hitam yang menatap tubuh sensual Mika dengan penuh nafsu.Rafka tersenyum penuh arti melihat wajah Mika yang tak berdaya karena perbuatan bejatnya. Seperti yang ia duga, mantan istrinya ini tak kan sanggup menolak gairahnya.Gairah yang serupa hewan predator buas yang bertemu dengan mangsanya yang lemah, lalu memakannya hidup-hidup.Dulu Mika adalah kelemahannya. Hanya dengan melihat wajah cantik ini tersenyum, Rafka sudah tak mampu mengontrol sisi liarnya yang ingin menyantap Mika saat itu juga. Membuat Mika takluk dalam setiap sentuhannya.Rafka menjilati kulit Mika yang lembab karena keringat, hingga akhirnya ia sampai di dua bulatan lembut dengan bentuknya yang sempurna. Lalu meraupnya dengan rakus ke dalam mulutnya."Aah!!" Mika mendesah keras dan menutup kedua matanya dengan satu punggung tangan, saat Rafka menggigit pelan puncaknya yang merah muda menggemaskan.Manik biru kristal lelaki itu mengamati ekspresi mantan istrinya yang larut dalam gairah, dan Rafka pun merasakan sensasi sensual yang perlahan memenuhi seluruh pembuluh darahnya.Rafka melepaskan bibirnya dari dadda Mika, untuk menghidu leher wanita itu yang telah dipenuhi oleh beberapa jejak cinta merah gelap akibat perbuatan beringasnya.Selama beberapa saat, Rafka hanya menghirup kulit leher, wajah dan rambut hitam Mika yang berantakan namun sangat seksi.Ia baru sadar, jika ia sangat merindukan aroma ini. Aroma percintaannya dengan Mika, yang rasanya sangat berbeda jika ia bercinta dengan wanita lain.Aroma yang lembut dan manis, seperti vanilla bercampur musk.Mika-lah yang membuatnya berbeda, dan kenyataan itu membuat Rafka merasa seolah seseorang sedang menendang dirinya.Tidak. Tidak mungkin ia masih mencintai wanita ini!!Rahang tegas lelaki itu terlihat bergerak-gerak menahan amarah. Sangat bodoh dan sangat dungu jika ia masih menyimpan rasa untuk Mika, wanita yang telah membuatnya berkubang dalam penderitaan selama 3 tahun terakhir ini!Satu-satunya alasan dirinya kembali ke Indonesia kali ini tak lebih hanya untuk balas dendam, untuk menghancurkan Mika agar mantan istrinya ini sedikit merasakan apa yang ia rasakan.'Ya, itu yang harus kamu lakukan, Rafka. Hancurkan Mika! Bukan terpengaruh pada kenangan manis di masa lalu, lalu melupakan perbuatan menjijikkan wanita ini yang tidur dengan lelaki lain di belakangmu!'Rafka datang ke hadapan Mika dengan sejuta rencana yang telah tersusun rapi di otaknya, dan perlahan dilaksanakan satu persatu dengan sempurna.Ia akan melakukan itu semua, meskipun pada akhirnya Rafka tak jua mampu menyangkal keberadaan hewan ganas yang ada di dalam dirinya, yang mengaum dan meloncat keluar setiap kali berada di dekat Mika.Rafka menyapukan lidahnya di sepanjang tulang selangka Mika yang menyembul cantik, sebelum menyunggingkan senyuman samar dan menatap wajah cantik yang sayu di bawahnya."Enak, Mimi?" bisiknya lembut di telinga Mika sebelum kemudian dia mengulum bagian lembutnya.Mika yang sedang berada di kondisi trans antara sadar dan tidak akibat terjangan hasrat berkali-kali yang menerpanya, hanya bisa menjawab dengan gumanan serak yang tak jelas."Jangan pingsan dulu, Sayang. Kita baru mau memulai hidangan utamanya. Dan jangan minta berhenti, karena aku tak yakin akan bisa berhenti," bisik Rafka lagi sambil menggigit pundak Mika, dan membuka lebar pahanya.***Alunan suara percintaan yang keras menggema membuat udara semakin pekat dan berat untuk Mika, yang sudah sejak tadi tubuhnya terus dipacu tanpa henti oleh Rafka."Ungghh..." Rafka menyunggingkan seringai tipis penuh makna, kala mendengar lenguhan seksi yang lolos dari bibir sensual Mika. Ah, dia sendiri pun sesungguhnya tak mampu mengendalikan rasa lapar dan dahaga yang membabi-buta ini kepada tubuh indah mantan istrinya.Mika masih tetap sempurna, sama seperti 3 tahun yang lalu. Kulit seputih dan selembut kapas tanpa cela, pinggul dan dadda yang bulat ideal dan wajah cantik seperti bidadari.Rafka menggeretakkan gerahamnya ketika serbuan gelora kembali membakar tubuhnya dari dalam. Damned.Meski enggan mengakui, namun pada hakikatnya memang hanya Mika yang mampu membuatnya hasratnya membumbung tinggi tanpa tahu apakah bisa turun kembali.Ia mengangkat kaki kedua kaki jenjang Mika semakin ke atas, lalu kembali menghujam dengan semakin keras. Rintihan Mika yang berulang kali terden
BRAAKKK!!!Ferarri hitam mengkilat yang melaju dengan kecepatan sedang itu kini menghantam pagar sebuah rumah dengan keras, mengakibatkan bagian depan mobil mewah itu ringsek parah begitu pun dengan pagar besi rumah itu.Keributan itu tentu saja memancing orang yang berada di dalam rumah itu untuk keluar dan melihat apa yang terjadi."Tuan Rafka!!" "Ya Tuhan!!""Itu mobil Tuan Rafka!!""Bantu dia keluar!!"Teriakan panik para pelayan dan penjaga rumah mewah itu pun terdengar saling bersahutan di udara, dibarengi dengan beberapa lelaki yang berlari menghambur ke arah mobil yang mengeluarkan asap itu.Mereka berupaya keras membuka pintu yang dikunci dari dalam, untung saja akhirnya mereka bisa membukanya dengan memecahkan kaca jendela bagian penumpang.Asap hitam yang semakin menebal dari kap mobil depan membuat semua orang panik dan cemas. Beberapa pelayan mengguyur asap itu menggunakan selang penyemprot tanaman, sebagai tindakan pencegahan jika api keluar dari sana.Tiga orang lelaki
"Apa kamu baru saja bermalam dengan mantan suamimu, Mika? Ouch. Kamu nakal sekali, Cantik. Haruskan aku memberitahu Ervan bahwa tunangannya telah berselingkuh dengan mantan suaminya?" Serasa kepalanya diguyur oleh air es yang sangat dingin, itulah yang Mika rasakan sekarang. Kepalanya mendadak pusing dan pandangannya menggelap selama beberapa detik, membuatnya berpegangan menumpu pada meja agar tidak terjatuh. Suara tawa dingin yang terdengar dari seberang sana membuat Mika semakin merasa merinding."Kenapa diam? Apa kamu terkejut karena aku mengetahuinya? Ya, aku memang tahu segalanya tentang kamu, Mika. Oh iya, kamu sudah terima bunganya, kan? Apa kamu suka, Mika?"Lagi-lagi Mika terkesiap, ternyata penelepon misterius ini orang yang sama dengan yang mengirimnya bunga beserta puisi anehnya barusan!"Kamu siapa sih? Jangan bercanda, akan aku tutup telepon ini sekarang juga!" gertak Mika geram."Silahkan tutup telepon ini, tapi kamu akan menyesal, Cantik. Aku akan memberikan pesan u
"Semudah itu kamu pergi dari semua kenangan di masa lalu, hm? So tell me, Mika. Where shall I go? To the left, where there's nothing right? Or to the right, where there's nothing left?"Mika diam termangu dengan netranya yang masih saling beradu tatap dengan Rafka, dengan bola mata sebiru kristal yang selalu berhasil membuatnya seolah terpaku di dinding setiap kali menyorotnya seperti ini.Pertanyaan pria itu yang diucapkan dengan nada sendu membuat batinnya terbetik. Perasaan tak nyaman seketika memenuhi dirinya.Kenapa Rafka mengucapkan kalimat sedih yang membuat hatinya yang pernah patah kembali berdarah?Mika sadar jika perceraian 3 tahun lalu bukan hanya membuat dirinya yang terluka, tapi juga Rafka. Hanya saja pria ini terlalu pintar untuk menyembunyikannya, dan angkuh untuk memperlihatkannya."Ikut aku." Tiba-tiba Rafka menarik tangan Mika, namun wanita itu menahan langkahnya hingg membuat Rafka menatapnya."Raf?" Mika menggeleng pelan. "Aku tidak bisa.""Kenapa? Karena ada Erv
Mungkin sudah ribuan kali Mika menghela napas pelan hari ini. Lebih tepatnya, sejak ia bertemu dengan Rafka tadi pagi.Wanita itu kini sedang sibuk menyiapkan sarapan sederhana dan cepat, yaitu pancakes saus madu, jus jeruk dan sup asparagus. Maniknya melirik Rafka yang sejak tadi mengawasinya tanpa bergeming dari kursi meja makan. Mika bahkan bisa merasakan tatapan setajam sinar laser yang seolah menembus punggungnya, membuat wanita itu rikuh dan gugup. "Daripada hanya duduk, bagaimana jika kamu ikut membantu?" Untuk beberapa saat, Rafka hanya diam dengan manik biru kristal yang tertuju lekat kepada mantan istrinya yang barusan berkata."Sudah 3 tahun, dan kamu masih saja membutuhkan bantuan untuk memasak?" Olok Rafka, mengingatkan di masa lalu tentang Mika yang tidak mahir di dapur. Pria itu pun bangkit dari kursinya, berjalan menuju ke arah kitchen island dimana Mika sedang mengaduk adonan pancake di dalam mangkuk.Rafka mencelupkan satu jari telunjuk ke dalam adonan berwarna
Sementara itu di apartemen Mika, Ervan terlihat masih asyik berdiskusi dengan kolega hukumnya melalui telepon.Pria itu baru tersadar ketika tanpa sengaja menatap jam dinding dan menyadari bahwa satu jam lebih telah berlalu, namun Mika belum juga kembali ke apartemen.Apa memang butuh waktu selama ini hanya untuk membeli kopi dan beberapa camilan di minimarket lantai bawah?"Maaf Pak Gio, saya pamit dulu. Bagaimana kalau besok kita lanjutkan lagi diskusi ini?" Akhirnya karena tidak fokus memikirkan Mika, Ervan pun memutuskan untuk menyudahi pembicaraannya. Ada sekelumit rasa bersalah juga karena ia mengabaikan Mika demi menerima telepon, padahal hari ini adalah hari libur, apalagi semalam ia tidak hadir pada acara fashion show brand milik wanita itu."Baik, Pak. Terima kasih untuk sharingnya. Selamat pagi juga." Ervan menutup sambungan telepon itu sambil menghela napas. Semula ia hendak menelepon Mika, namun pria itu pun mengurungkan niatnya.Bukankah Mika hanya ke lantai bawah? Mu
"Kamu siapa?!" Tante Irna mengangkat telunjuknya, menuding ke arah Rafka. "Dan kenapa bisa Mika ada bersama kamu?!" "Ma, jangan begitu. Itu tidak sopan," Elsy menyentuh tangan ibunya untuk menurunkan dari depan wajah Rafka."Dia itu Bapak Arrafka Adhyatama, CEO Shootingstar," bisik Elsy di telinga mamanya, yang sontak membuat mata Tante Irna membulat mendengarnya karena mendengar nama perusahaan e-commerce terbesar di negara ini. "Selain itu dia juga mantan suami Kak Mika," tambah Elsy sambil menatap Rafka dengan penuh kekaguman seperti seorang penggemar yang menatap idolanya."Apa?!" bisik balik ibunya sambil mendelik kepada Elsy. "Jadi dia itu mantan suami Mika?! Lalu apa yang mereka lakukan berdua saat kakakmu dicelakai hingga koma?!""Tante Irna, aku minta maaf." Mika pun akhirnya bersuara setelah beberapa saat ibu dan putrinya itu saling berbisik. "Tante benar. Seharusnya saat itu aku bersama Ervan, dan bukan malah meninggalkannya begitu saja hingga terjadi peristiwa ini. Maaf
"Terima kasih atas bantuanmu, Ruby." Mika tersenyum kepada wanita itu, yang dibalas dengan kibasan santai tangan Ruby dari kursi penumpang depan.Rafka menelepon ajudannya dan juga Ruby temannya, untuk membantu mereka keluar dari kantor polisi dengan aman dan tanpa gangguan. Tak lama kemudian ajudan beserta sekretaris Rafka pun datang dengan membawakan topi, kaca mata hitam dan masker serta mantel panjang untuk menutupi baju yang mereka kenakanLalu sang ajudan sendiri juga mengenakan benda-benda yang sama persis, begitu pun sekretaris Rafka. Mereka bedua akan menjadi kamuflase, menyamar menjadi Rafka dan Mika palsu yang akan keluar dari pintu depan, sementara yang asli akan keluar dari pintu belakang dan langsung masuk ke dalam mobil Ruby yang sudah stand by di sana."It's fine, Mika." Ruby menyunggingkan senyum yang terpantul dari kaca spion depan, karena baik Mika dan Rafka yang duduk di kursi belakang."Seru juga main kucing-kucingan begini dengan wartawan," cetus wanita bersura
Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
Mika membuka kedua matanya dengan perlahan, saat ia merasakan sebuah benda lembut dan hangat yang menyentuh bibirnya. Ia baru menyadari bahwa saat ini tengah berbaring di atas ranjang super besar yang empuk, di sebuah kamar luas yang tidak ia kenali sama sekali. Mungkinkah Rafka membawanya ke sebuah hotel? Perasaan nyaman pun serta merta menyerbu benaknya, ketika melihat manik biru kristal yang teduh itu yang telah menyambut dirinya kala membuka mata. "Rafka..." Wanita itu pun tak lagi dapat menahan seluruh isak tangis yang terkumpul berat serta sangat menyesakkan dada, ketika akhirnya segalanya telah usai. Atau... benarkah ini sudah usai? Ah, dia tak peduli lagi. Yang terpenting di dalam pikiran Mika saat ini adalah dirinya yang berada di dalam pelukan erat Rafka. Ini sungguh sepadan, karena dunia dan isinya tak kan mampu membahagiakannya seperti Rafka yang telah menggenggam hatinya sejak dulu, hingga hingga akhir nanti. "Jangan menangis lagi, Mimi. Katakan, apa
"Selamat pagi, Dokter Ruby." Ruby mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang ia pandangi sejak tadi karena sedang membaca sebuah e-mail penting. 'Ah, kenapa harus bertemu dengan mereka lagi sih?' erangnya dalam hati, meski dengan lihainya ia tutupi dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Irna," sahutnya sambil berdiri untuk menyalami wanita itu. "Oh iya, ini Elsy adiknya Ervan," ucap Irna sembari menarik tangan putrinya agar lebih mendekat. "Yang sopan, Elsy!" desisnya, ketika melihat gadis itu tampak enggan untuk berjabat tangan dengan Ruby. "Halo, Elsy." Ruby menyapa gadis yang wajahnya ditekuk dan tampak tidak menyukainya, meskipun sejujurnya Ruby pun juga tidak peduli jika dirinya tidak disukai. "Silahkan duduk," ajak Ruby kepada ibu dan putrinya itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Saat ini adalah jam kerjanya sebagai Psikiater, dan sebenarnya Ruby juga sudah menebak kalau Irna dan Elsy sama sekali bukan datang untuk sesi konsultasi. "Eh... sebenarnya...
Ruby pun serta merta terbangun saat mendengar suara ponselnya berdenting pelan pertanda ada notifikasi pesan yang baru masuk. Sambil mengusap wajahnya yang lelah dan masih mengantuk, wanita itu mengedarkan matanya yang sayu ke sekitarnya. Ah ya, ia masih berada di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Ervan. "Sudah bangun?" Ruby menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, yaitu Ervan yang tersenyum kepadanya. Pria itu sedang berdiri tak jauh darinya, sedang menuangkan segelas air ke dalam cangkir kopi, lalu memberikannya kepada Ruby. "Ini, minumlah. Kamu pasti sangat haus karena terus-menerus menjerit sepanjang kita bercinta semalam." Sembari meraih gelas air yang disodorkan padanya, Ruby pun hanya berdecak pelan mendengar ledekan Ervan. Wanita itu pun menghabiskan airnya hingga tandas, sebelum kemudian ia pun baru menyadari sesuatu. "Jam berapa sekarang??" tanya Ruby kepada Ervan yang sejak tadi tak lepas menatap dirinya. "Baru jam 6 pagi. Kenapa?" sahut Ervan. Oh,
Perkataan dan sikap provokatif wanita itu adalah hal yang telah membuat kekacauan masif di dalam otak Ervan bagai angin ribut yang memporak-porandakan segalanya menjadi chaos. Yang ada dalam benaknya sekarang hanyalah Ruby, dan bibir berlipstik merahnya yang sensual. Dadanya yang menggiurkan. Kulitnya yang sehalus beledu. Aroma seluruh tubuhnya yang manis sekaligus menggairahkan. Suara kursi yang jatuh berdebam karena Ervan yang berdiri dengan gerakan yang sangat tiba-tiba, membuat Ruby sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian ledakan euforia pun menghampirinya, ketika pria tampan di hadapannya yang mendadak menyergap bibirnya dengan ganas dan penuh gairah. Kedua tangan Ervan terulur untuk menangkap wajah Ruby, memerangkapnya dalam dekapan telapak tangan pria itu yang lebar dan hangat. Lidah Ervan bergerilya dengan liar di dalam mulutnya, yang dibalas oleh Ruby dengan tak kalah bergelora. Ruby mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu, saat satu tangan Ervan berg
"Apa kamu sudah minum obat?" Tanya Ruby sebelum melepaskan dirinya dari pelukan erat Ervan. "Pasti belum, itu sebabnya kamu mengajukan penawaran yang menggelikan itu kan?" Ervan mendengus menahan tawanya, merasa lucu mendengar pertanyaannya yang meledek serta melihat wajah Ruby yang berjengit jijik saat ia mengucapkan kata "Pernikahan". "Kenapa, Ruby? Apa kamu tidak ingin menikah, hm?" "Bukankah aku sudah pernah bilang sejak pertama kali kita tidur bersama, Ervan? Aku bukan tipe wanita yang menyukai berada dalam suatu hubungan!" cetus Ruby tegas. "Lalu bagaimana mungkin kamu bisa mengajukan penawaran pernikahan yang menggelikan itu kepadaku?!" "Well..." Perlahan Ervan menggerakkan jemarinya dari pinggang ramping menyusuri punggung wanita itu, dan berhenti ketika kedua ibu jarinya berada tepat di bawah lekukan dada Ruby. "Kurasa prinsipmu itu harus dipikirkan kembali, Dokter. Kenapa? Apa kamu takut dikekang? Atau tidak ingin dikontrol oleh pria? Alpha-female sepertimu t
BRAAKK!!! Suara pintu yang dibuka dari arah luar itu membuat manik gelap Ervan pun sontak beralih ke sana. Seulas senyum samar pun terlukis di wajahnya, ketika melihat sosok wanita seksi yang tampak sedang kesal membuka pintu kamar rawatnya dengan cara yang bar-bar. "Kamu sudah datang? Hm... tepat waktu sekali," Ervan melirik sekilas jam mahal yang melingkari pergelangannya. Ruby melipat tangannya menyilang di dada, seraya melayangkan tatapan tajam ke arah pria yang masih tampak duduk santai di kursinya itu. Ada laptop yang terbuka di atas meja di depan Ervan, kelihatannya dia sedang bekerja. Tapi... bukankah sekarang waktu sudah hampir tengah malam?? Kenapa Ervan masih berkutat dengan pekerjaan?? Apalagi tubuhnya yang masih belum 100% pulih, seharusnya pria ini lebih banyak beristirahat alih-alih bekerja. Bagaimana pun ia masih menjadi pasien VVIP di rumah sakit ini kan?? 'Lalu kenapa pula aku harus peduli?' rutuk Ruby dalam hati. Biarkan saja jika Ervan ingin bekerja