"Semudah itu kamu pergi dari semua kenangan di masa lalu, hm? So tell me, Mika. Where shall I go? To the left, where there's nothing right? Or to the right, where there's nothing left?"Mika diam termangu dengan netranya yang masih saling beradu tatap dengan Rafka, dengan bola mata sebiru kristal yang selalu berhasil membuatnya seolah terpaku di dinding setiap kali menyorotnya seperti ini.Pertanyaan pria itu yang diucapkan dengan nada sendu membuat batinnya terbetik. Perasaan tak nyaman seketika memenuhi dirinya.Kenapa Rafka mengucapkan kalimat sedih yang membuat hatinya yang pernah patah kembali berdarah?Mika sadar jika perceraian 3 tahun lalu bukan hanya membuat dirinya yang terluka, tapi juga Rafka. Hanya saja pria ini terlalu pintar untuk menyembunyikannya, dan angkuh untuk memperlihatkannya."Ikut aku." Tiba-tiba Rafka menarik tangan Mika, namun wanita itu menahan langkahnya hingg membuat Rafka menatapnya."Raf?" Mika menggeleng pelan. "Aku tidak bisa.""Kenapa? Karena ada Erv
Mungkin sudah ribuan kali Mika menghela napas pelan hari ini. Lebih tepatnya, sejak ia bertemu dengan Rafka tadi pagi.Wanita itu kini sedang sibuk menyiapkan sarapan sederhana dan cepat, yaitu pancakes saus madu, jus jeruk dan sup asparagus. Maniknya melirik Rafka yang sejak tadi mengawasinya tanpa bergeming dari kursi meja makan. Mika bahkan bisa merasakan tatapan setajam sinar laser yang seolah menembus punggungnya, membuat wanita itu rikuh dan gugup. "Daripada hanya duduk, bagaimana jika kamu ikut membantu?" Untuk beberapa saat, Rafka hanya diam dengan manik biru kristal yang tertuju lekat kepada mantan istrinya yang barusan berkata."Sudah 3 tahun, dan kamu masih saja membutuhkan bantuan untuk memasak?" Olok Rafka, mengingatkan di masa lalu tentang Mika yang tidak mahir di dapur. Pria itu pun bangkit dari kursinya, berjalan menuju ke arah kitchen island dimana Mika sedang mengaduk adonan pancake di dalam mangkuk.Rafka mencelupkan satu jari telunjuk ke dalam adonan berwarna
Sementara itu di apartemen Mika, Ervan terlihat masih asyik berdiskusi dengan kolega hukumnya melalui telepon.Pria itu baru tersadar ketika tanpa sengaja menatap jam dinding dan menyadari bahwa satu jam lebih telah berlalu, namun Mika belum juga kembali ke apartemen.Apa memang butuh waktu selama ini hanya untuk membeli kopi dan beberapa camilan di minimarket lantai bawah?"Maaf Pak Gio, saya pamit dulu. Bagaimana kalau besok kita lanjutkan lagi diskusi ini?" Akhirnya karena tidak fokus memikirkan Mika, Ervan pun memutuskan untuk menyudahi pembicaraannya. Ada sekelumit rasa bersalah juga karena ia mengabaikan Mika demi menerima telepon, padahal hari ini adalah hari libur, apalagi semalam ia tidak hadir pada acara fashion show brand milik wanita itu."Baik, Pak. Terima kasih untuk sharingnya. Selamat pagi juga." Ervan menutup sambungan telepon itu sambil menghela napas. Semula ia hendak menelepon Mika, namun pria itu pun mengurungkan niatnya.Bukankah Mika hanya ke lantai bawah? Mu
"Kamu siapa?!" Tante Irna mengangkat telunjuknya, menuding ke arah Rafka. "Dan kenapa bisa Mika ada bersama kamu?!" "Ma, jangan begitu. Itu tidak sopan," Elsy menyentuh tangan ibunya untuk menurunkan dari depan wajah Rafka."Dia itu Bapak Arrafka Adhyatama, CEO Shootingstar," bisik Elsy di telinga mamanya, yang sontak membuat mata Tante Irna membulat mendengarnya karena mendengar nama perusahaan e-commerce terbesar di negara ini. "Selain itu dia juga mantan suami Kak Mika," tambah Elsy sambil menatap Rafka dengan penuh kekaguman seperti seorang penggemar yang menatap idolanya."Apa?!" bisik balik ibunya sambil mendelik kepada Elsy. "Jadi dia itu mantan suami Mika?! Lalu apa yang mereka lakukan berdua saat kakakmu dicelakai hingga koma?!""Tante Irna, aku minta maaf." Mika pun akhirnya bersuara setelah beberapa saat ibu dan putrinya itu saling berbisik. "Tante benar. Seharusnya saat itu aku bersama Ervan, dan bukan malah meninggalkannya begitu saja hingga terjadi peristiwa ini. Maaf
"Terima kasih atas bantuanmu, Ruby." Mika tersenyum kepada wanita itu, yang dibalas dengan kibasan santai tangan Ruby dari kursi penumpang depan.Rafka menelepon ajudannya dan juga Ruby temannya, untuk membantu mereka keluar dari kantor polisi dengan aman dan tanpa gangguan. Tak lama kemudian ajudan beserta sekretaris Rafka pun datang dengan membawakan topi, kaca mata hitam dan masker serta mantel panjang untuk menutupi baju yang mereka kenakanLalu sang ajudan sendiri juga mengenakan benda-benda yang sama persis, begitu pun sekretaris Rafka. Mereka bedua akan menjadi kamuflase, menyamar menjadi Rafka dan Mika palsu yang akan keluar dari pintu depan, sementara yang asli akan keluar dari pintu belakang dan langsung masuk ke dalam mobil Ruby yang sudah stand by di sana."It's fine, Mika." Ruby menyunggingkan senyum yang terpantul dari kaca spion depan, karena baik Mika dan Rafka yang duduk di kursi belakang."Seru juga main kucing-kucingan begini dengan wartawan," cetus wanita bersura
"Kamu kira aku tidak menyelidiki peristiwa sialan 3 tahun yang lalu itu, Ruby?! Aku tidak sebodoh itu!!" Sentak Rafka gusar. Manik biru kristalnya terlihat berkilat-kilat penuh amarah. Dadanya selalu bergejolak setiap kali mengingat hal menjijikkan yang tepampang di depan matanya, meskipun rasa itu agak berkurang sekarang. Sedikit, hanya sedikit."Aku sudah mencari tahu segalanya! Bahkan foto-foto bukti bahwa selama ini Mika berselingkuh di belakangku pun telah diperiksa dengan seksama, dan ternyata bukanlah rekayasa!!" Bentak Rafka. "Kalau begitu coba ulangi lagi!" Bentak Ruby tak kalah keras. "Ulangi lagi semua penyelidikan itu, Raf! Firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang janggal di sini. Tidak mungkin Mika-mu itu melakukan hal seperti itu dibelakangmu, aku yakin sekali." "Bodoh. Secepat itu kamu percaya padanya, Ruby? Kamu baru bertemu Mika sekali ini setelah tiga tahun kan? Atau sebelumnya kalian diam-diam telah bertemu dan Mika berhasil meyakinkan kamu?" "KAMU YANG BODOH
"Ma... dimana Mika?" Tante Irna yang baru saja memberikan minum kepada putranya, hanya bisa menghela napas mendengar Ervan yang sejak tadi terus menerus bertanya soal Mika. "Kamu masih perlu istirahat, Van. Baru beberapa jam kamu sadar dari koma. Jangan dipaksakan untuk berpikir yang berat-berat dulu.""Aku hanya bertanya dimana Mika, bukan berpikir yang berat-berat, Ma. Kenapa Mika nggak ke sini?" "Kak Mika udah ke sini tadi, Kak. Tapi diusir sama Mama." Celetukan itu berasal dari Elsy, yang akhirnya malah mendapatkan satu delikan marah dari mamanya."Diusir?" ulang Ervan yang terkejut. "Kenapa, Ma? Apa salah Mika?" "Sudah mama bilang kamu nggak usah banyak berpikir dulu. Nanti akan mama ceritakan semuanya ya?" Ervan menggeleng pelan, lalu pria itu menggerakkan tubuhnya yang masih lemah dan pucat untuk duduk."Ervan! Kamu tidak boleh banyak bergerak dulu!" pekik mamanya histeris, terutama ketika melihat putranya itu seperti hendak mencabut infusnya.Untung saja Elsy bergerak cep
[Cari siapa pemilik nomor ini segera. Lalu tangkap dan interogasi dia!]***Usai mengirimkan pesan berupa sederet kalimat perintah kepada bawahannya, Rafka masih belum menaruh kembali alat komunikasi milik Mika.Pria itu masih terdiam, dengan manik biru kristalnya yang mengamati dengan lekat ponsel yang sedang berada di dalam genggamannya. Berulang kali ia membaca pesan ancaman untuk Mika, yang kemungkinan besar telah membuktikan bahwa si pengirim adalah orang yang sama dengan pelaku penusukan Ervan Dewandaru. Lalu kenapa Mika malah merahasiakan semua ini? Seharusnya tadi Mika bisa melaporkannya saat mereka sedang berada di kantor polisi!Rafka juga membaca kembali beberapa pesan sebelumnya yang masuk di ponsel Mika, dan ternyata beddebah yang mengancam mantan istrinya itu juga pernah mengirim satu pesan ancaman sebelumnya. Dengan waktu di pagi hari tadi, setelah ia pergi dari apartemen Mika, dan sebelum peristiwa Ervan terjadi. Hal ini tak pelak membuat pikiran Rafka pun teringa
Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
Mika membuka kedua matanya dengan perlahan, saat ia merasakan sebuah benda lembut dan hangat yang menyentuh bibirnya. Ia baru menyadari bahwa saat ini tengah berbaring di atas ranjang super besar yang empuk, di sebuah kamar luas yang tidak ia kenali sama sekali. Mungkinkah Rafka membawanya ke sebuah hotel? Perasaan nyaman pun serta merta menyerbu benaknya, ketika melihat manik biru kristal yang teduh itu yang telah menyambut dirinya kala membuka mata. "Rafka..." Wanita itu pun tak lagi dapat menahan seluruh isak tangis yang terkumpul berat serta sangat menyesakkan dada, ketika akhirnya segalanya telah usai. Atau... benarkah ini sudah usai? Ah, dia tak peduli lagi. Yang terpenting di dalam pikiran Mika saat ini adalah dirinya yang berada di dalam pelukan erat Rafka. Ini sungguh sepadan, karena dunia dan isinya tak kan mampu membahagiakannya seperti Rafka yang telah menggenggam hatinya sejak dulu, hingga hingga akhir nanti. "Jangan menangis lagi, Mimi. Katakan, apa
"Selamat pagi, Dokter Ruby." Ruby mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang ia pandangi sejak tadi karena sedang membaca sebuah e-mail penting. 'Ah, kenapa harus bertemu dengan mereka lagi sih?' erangnya dalam hati, meski dengan lihainya ia tutupi dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Irna," sahutnya sambil berdiri untuk menyalami wanita itu. "Oh iya, ini Elsy adiknya Ervan," ucap Irna sembari menarik tangan putrinya agar lebih mendekat. "Yang sopan, Elsy!" desisnya, ketika melihat gadis itu tampak enggan untuk berjabat tangan dengan Ruby. "Halo, Elsy." Ruby menyapa gadis yang wajahnya ditekuk dan tampak tidak menyukainya, meskipun sejujurnya Ruby pun juga tidak peduli jika dirinya tidak disukai. "Silahkan duduk," ajak Ruby kepada ibu dan putrinya itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Saat ini adalah jam kerjanya sebagai Psikiater, dan sebenarnya Ruby juga sudah menebak kalau Irna dan Elsy sama sekali bukan datang untuk sesi konsultasi. "Eh... sebenarnya...
Ruby pun serta merta terbangun saat mendengar suara ponselnya berdenting pelan pertanda ada notifikasi pesan yang baru masuk. Sambil mengusap wajahnya yang lelah dan masih mengantuk, wanita itu mengedarkan matanya yang sayu ke sekitarnya. Ah ya, ia masih berada di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Ervan. "Sudah bangun?" Ruby menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, yaitu Ervan yang tersenyum kepadanya. Pria itu sedang berdiri tak jauh darinya, sedang menuangkan segelas air ke dalam cangkir kopi, lalu memberikannya kepada Ruby. "Ini, minumlah. Kamu pasti sangat haus karena terus-menerus menjerit sepanjang kita bercinta semalam." Sembari meraih gelas air yang disodorkan padanya, Ruby pun hanya berdecak pelan mendengar ledekan Ervan. Wanita itu pun menghabiskan airnya hingga tandas, sebelum kemudian ia pun baru menyadari sesuatu. "Jam berapa sekarang??" tanya Ruby kepada Ervan yang sejak tadi tak lepas menatap dirinya. "Baru jam 6 pagi. Kenapa?" sahut Ervan. Oh,
Perkataan dan sikap provokatif wanita itu adalah hal yang telah membuat kekacauan masif di dalam otak Ervan bagai angin ribut yang memporak-porandakan segalanya menjadi chaos. Yang ada dalam benaknya sekarang hanyalah Ruby, dan bibir berlipstik merahnya yang sensual. Dadanya yang menggiurkan. Kulitnya yang sehalus beledu. Aroma seluruh tubuhnya yang manis sekaligus menggairahkan. Suara kursi yang jatuh berdebam karena Ervan yang berdiri dengan gerakan yang sangat tiba-tiba, membuat Ruby sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian ledakan euforia pun menghampirinya, ketika pria tampan di hadapannya yang mendadak menyergap bibirnya dengan ganas dan penuh gairah. Kedua tangan Ervan terulur untuk menangkap wajah Ruby, memerangkapnya dalam dekapan telapak tangan pria itu yang lebar dan hangat. Lidah Ervan bergerilya dengan liar di dalam mulutnya, yang dibalas oleh Ruby dengan tak kalah bergelora. Ruby mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu, saat satu tangan Ervan berg
"Apa kamu sudah minum obat?" Tanya Ruby sebelum melepaskan dirinya dari pelukan erat Ervan. "Pasti belum, itu sebabnya kamu mengajukan penawaran yang menggelikan itu kan?" Ervan mendengus menahan tawanya, merasa lucu mendengar pertanyaannya yang meledek serta melihat wajah Ruby yang berjengit jijik saat ia mengucapkan kata "Pernikahan". "Kenapa, Ruby? Apa kamu tidak ingin menikah, hm?" "Bukankah aku sudah pernah bilang sejak pertama kali kita tidur bersama, Ervan? Aku bukan tipe wanita yang menyukai berada dalam suatu hubungan!" cetus Ruby tegas. "Lalu bagaimana mungkin kamu bisa mengajukan penawaran pernikahan yang menggelikan itu kepadaku?!" "Well..." Perlahan Ervan menggerakkan jemarinya dari pinggang ramping menyusuri punggung wanita itu, dan berhenti ketika kedua ibu jarinya berada tepat di bawah lekukan dada Ruby. "Kurasa prinsipmu itu harus dipikirkan kembali, Dokter. Kenapa? Apa kamu takut dikekang? Atau tidak ingin dikontrol oleh pria? Alpha-female sepertimu t
BRAAKK!!! Suara pintu yang dibuka dari arah luar itu membuat manik gelap Ervan pun sontak beralih ke sana. Seulas senyum samar pun terlukis di wajahnya, ketika melihat sosok wanita seksi yang tampak sedang kesal membuka pintu kamar rawatnya dengan cara yang bar-bar. "Kamu sudah datang? Hm... tepat waktu sekali," Ervan melirik sekilas jam mahal yang melingkari pergelangannya. Ruby melipat tangannya menyilang di dada, seraya melayangkan tatapan tajam ke arah pria yang masih tampak duduk santai di kursinya itu. Ada laptop yang terbuka di atas meja di depan Ervan, kelihatannya dia sedang bekerja. Tapi... bukankah sekarang waktu sudah hampir tengah malam?? Kenapa Ervan masih berkutat dengan pekerjaan?? Apalagi tubuhnya yang masih belum 100% pulih, seharusnya pria ini lebih banyak beristirahat alih-alih bekerja. Bagaimana pun ia masih menjadi pasien VVIP di rumah sakit ini kan?? 'Lalu kenapa pula aku harus peduli?' rutuk Ruby dalam hati. Biarkan saja jika Ervan ingin bekerja