"Tuhan … apa jadinya kalau Tesla tau hal yang sebenarnya?" gumam Amy dalam hati.
"Dokter Dira menyuruh kita makan-makanan bergizi dan vitamin, mudah-mudahan secepatnya aku hamil," jawab Amy, "Sayang, aku mandi ya," pamitnya tanpa menunggu tanggapan dari Tesla.Amy terpaksa berdusta dan buru-buru menghindar, sungguh dirinya tidak sanggup mengatakan hal yang sebenarnya. Biarlah dia saja yang merasakan perih ini, jangan Tesla.Andai Tesla tahu hal yang sebenarnya, Amy tidak sanggup bila harus melihat sinar kekecewaan dari sorot mata suaminya. Untuk sementara biarlah dia simpan saja cerita yang sesungguhnya, sementara itu dia akan terus berusaha dan berharap. Dia yakin suatu hari nanti Tuhan akan menjawab doa-doanya.Bukan tidak mungkin, sekarang Tuhan sedang mengujinya, agar semakin dekat dengan sang pencipta. Lebih taat lagi dalam menjalankan perintah-Nya, dan pelan-pelan meninggalkan segala larangan-Nya.***Pukul enam pagi.Amy melangkahkan kaki menuju warung Morina—wanita berdarah batak, yang setiap hari berdagang sayuran segar di komplek perumahan mereka. Saat dia sampai di sana, warung sudah ramai oleh ibu-ibu yang juga ingin berbelanja."Eh, Jeung Amy, apa kabar?" sapa Julie—tetangganya yang warga keturunan.Julie memang ramah dan mudah sekali membaur dengan masyarakat sekitar. Tidak seperti kebanyakan warga keturunan pada umumnya, yang selalu berjarak dengan warga pribumi."Baik Ce, Alhamdulillah," jawab AmyJulie tersenyum, dan kembali asyik mengumpulkan bahan belanjaan."Jeung Amy, belum hamil juga ya?"Pertanyaan itu sontak membuat Amy menoleh, Siti—tetangga tiga rumah dari rumahnya tampak tersenyum simpul.Amy membalasnya dengan senyum dan anggukan kepala, Siti memang begitu setiap kali bertemu Amy pasti bertanya apakah sudah hamil atau belum?"Waduh kok belum hamil juga Jeung Amy? Apa gak pengen atuh punya anak kayak kita-kita ini?" Sambung Siti tanpa perasaan.Amy masih tersenyum dan tetap diam, dia bingung mau menjawab apa sekaligus juga bosan dengan pertanyaan yang sama setiap kali berbelanja."Memang sudah berapa lama nikahnya?" tanya seorang tetangga yang lain.Amy menoleh untuk melihat siapa gerangan yang bertanya, rupanya ia Rina—teman karib Siti. Amy memang tidak terlalu mengenal Rina, karena setahunya wanita itu merupakan warga baru di komplek mereka."Eh udah lama dia mah nikahnya, iyakan Jeung Amy ya? Kalau tidak salah ingat, waktu itu Jeung Amy bilang udah lima tahun lebih ya?" tanya Siti.Amy tetap diam membiarkan mereka berghibah di depannya."Wah, apa gak rewel tu suaminya? Aku dulu pas masih beberapa bulan nikah tapi belum telat juga, ya ampun suami rewelnya gak ketulungan. Sampai-sampai aku disuruh vakum bekerja, biar bisa cepat hamil," ujar Rina curhat."Hati-hati loh Jeung, nanti suamimu berpoligami, kalau kamu tidak hamil-hamil."Seperti ada yang menyentak urat syarafnya, ketika Amy mendengar kata poligami. Sungguh, selama ini dia tidak berpikir sampai sejauh itu, dia yakin Tesla akan tetap setia meski seumur hidup mereka tidak memiliki anak."Ini togenya segar kali, Dek Amy, ambillah, kau buat sayur lodeh campur tahu enak kali ini," tawar Morina sambil membolak-balikkan sayuran toge segar dagangannya.Suara Morina yang besar membuyarkan lamunan Amy, entah karena terkejut atau bagaimana tanpa diperintah otak, tangannya sigap mengambil sayur toge yang ditawarkan."Iya Jeung Amy, sayur toge bagus itu untuk kesuburan," sambar Siti, yang ditimpali tawa cekikikan teman-temannya.Mungkin bagi mereka candaan itu terdengar lucu, tetapi bagi Amy semua itu seperti hantaman ribuan paku. Rasanya sakit, perih, menusuk-nusuk hati. Amy ingin menangis tetapi air mata enggan menetes, dia ingin berteriak marah tetapi logikanya mencegah.Marah sama saja dengan mempermalukan diri sendiri, biarlah mereka tertawa karena mereka tidak pernah berada pada posisinya, wajar saja kalau mereka tidak memikirkan luka yang Amy rasakan."Kasian kamu jeung Amy, sudah lima tahun menikah belum punya anak. Itu loh anak si Kokom baru satu tahun setengah sudah mau dua, anaknya."Amy tidak sempat memperhatikan, siapa yang barusan bicara. Dia sibuk menenangkan gejolak amarah, yang membuncah di dalam dada."Jangan membanding-bandingkan orang begitu, Bu. Setiap orang menjalani takdir sendiri-sendiri," bantah Julie.Cepat-cepat Amy kumpulkan barang belanjaannya, dan minta Morina menghitung semua. Dia ingin segera enyah dari tempat ini, terlalu lama di sini hanya akan merusak mentalnya saja."Jeung Amy!" terdengar seseorang memanggilnya, ketika dia melangkah cepat meninggalkan warung Morina.Amy menoleh dan melihat Julie berjalan tergesa menyusulnya, "Jangan dipikirkan apa yang mereka katakan, orang-orang itu sibuk menjaga penampilan, tetapi lupa menjaga lisan," ujar Julie.Amy tersenyum mengangguk, kata-kata Julie terdengar bagus di telinganya. Memang benar sekali menurutnya, zaman sekarang banyak sekali orang yang selalu berusaha menjaga penampilan agar terlihat cantik dan modis, tetapi lupa menjaga lisan agar tetap santun dan tidak melukai orang.Rombongan Siti sala sedikitnya, mereka selalu tampak rapi dan cantik. Namun kerapian dan kecantikan, tidak diikuti dengan keindahan lisan.Mereka mungkin tidak sadar telah membuat Amy terluka, dari mereka Amy belajar bahwa pentingnya menjaga lidah."Sebagai manusia ada baiknya kita gunakan lidah yang berprikemanusiaan. Jangan memakai lidah ular, tiap terjulur selalu mengandung bisa yang mematikan." ujar Julie lagi.***Siang hari.Setelah jam makan siang, Amy kembali mendengar tawa renyah kelompok Siti. Dia menyingkap sedikit tirai tipis yang melapisi kaca jendela, untuk mengintip sedang apa mereka?Siti dan rombongan tengah berkumpul di pos kamling, yang berada tidak jauh dari rumah Amy. Mereka tengah membuat dan menikmati rujak, Amy melihat ada wajah baru di antara mereka."Siapakah itu? Tetangga baru kah?" tanya Amy dalam hati.Dia belum mendengar cerita, kalau ada penghuni baru di komplek ini.Kring kring kring!Dering telepon memanggil dan memaksanya untuk meninggalkan jendela, guna menghampiri meja di mana ponselnya tergeletak."Hallo Sayang," sapa Amy penuh cinta.Tentu saja itu telepon dari Tesla, lelaki yang namanya menghuni relung dada Amy, dan mengalir dalam aliran darah. Lelaki yang rela membanting tulang, memeras pikiran siang dan malam, demi menafkahi Amy—wanita asing yang menjadi istrinya."Sayang, sore ini aku berangkat ke Bengkulu. Ada undangan untuk mengisi seminar kepenulisan di salah satu kampus yang ada di sana," jelas Tesla."Kok mendadak?" protes Amy."Iya maaf, Sayang. Undangannya baru terbaca sekarang," sesal lelaki ituApa mau dikata, meski berat Amy terpaksa menyetujui kepergian suaminya.Tok tok tok ....Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Amy, dia melangkah cepat untuk melihat siapa yang datang.Wajah Dialin tampak sumringah berdiri di ambang pintu berhadapan dengan sang menantu, Amy segera menyalami mama mertuanya itu dan mempersilahkan beliau masuk."Amy, perkenalkan ini Arem. dia tetanggamu sekaligus anak sahabat mama." Dialin memperkenalkan wanita muda yang datang bersamanya kepada Amy.Amy menyalami wanita bernama Arem itu, dia ingat sesuatu. Wanita bernama Arem ini adalah salah satu orang, yang tadi berkumpul dengan kelompok Siti."Kamu yang tadi berkumpul dengan bu Siti, bukan?" tanya Amy ingin memastikanArem tersenyum lalu mengangguk, " Mbak, kok gak ada tadi?" dia balik bertanya.Amy tertawa, "Rencana baru mau keluar eh udah pada bubar," jawab Amy sekenanya.Dia kemudian berjalan ke belakang, mengambilkan minuman dingin untuk Arem."Tesla belum pulang?" tanya Dialin, saat Amy kembali."Tesla langsung ke Bengkulu, Ma. Ada pekerjaan di sana," jawab Amy sambil mempersilahkan Arem untuk minum."Berapa hari?" tanya Dialin lagi.Amy diam sejenak, tadi Tesla tidak mengatakan kepadanya berapa hari suaminya itu di luar kota."Mungkin dua hari, Ma," jawab Amy sekenanya. "Mama nginap di sini ya, temani Amy," pintanya."Makanya punya anak, biar kamu gak kesepian kalau suamimu sedang tugas luar."Mendengar kata-kata Dialin, mata Amy terbelalak, mulut ternganga seakan hendak berteriak kencang di hadapan mertuanya."Kenapa, kamu tersinggung?" tanya Dialin, sambil menatap tajam ke arah Amy yang masih belum dapat menguasai diri atas perkataan Dialin sebelumnya.Perlahan sinar mata Amy meredup, ditariknya napas panjang untuk meredakan gejolak amarah yang membara di dalam dada."Kata Tesla, kemarin kalian periksa ke dokter kandungan, lalu apa hasilnya?" tanya Dialin masih dengan tatapan penuh intimidasi."Ba ... baik, baik-baik aja kok Ma," jawab Amy tergagap.Dialin melirik menantunya itu, "Jadi kapan kamu akan hamil?" tanyanya. Amy kembali menelan ludah dibuatnya, sungguh pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Bagaimana dia mengetahui kapan dirinya akan hamil?"Eng ... gak tau Ma, mudah-mudahan secepatnya," jawab Amy."Ah bosan mendengar kata secepatnya-secepatnya, dari dulu selalu bilang begitu, nyatanya sampai kini belum hamil juga," keluhan Dialin kembali menusuk perasaan Amy."Astaghfirullah, mohon beri hamba kesabaran ya Allah ... beri hamba kekuatan, untuk tidak menangis dan meluapkan kemara
Panggilan Amy sontak membuat sepasang anak manusia itu terperanjat, Tesla langsung menggeser posisi duduknya sementara Arem langsung berdiri."A … Aku pul ...pulang ya," ucap wanita muda itu tergagap.Tanpa menunggu jawaban dari Amy ataupun Tesla, Arem langsung pergi saja. Kini Amy menatap Tesla dengan tatapan tajam dan penuh selidik, menyadari sang istri didera api cemburu Tesla langsung mendekat dan merangkul perempuan itu. Amy memberontak, dia dorong Tesla dengan kasar agar menjauh darinya. Hari sudah larut dan ada mama mertua yang menginap, karena itu Amy memilih untuk tidak meneruskan keributan. Dia berbalik dan melangkah cepat menuju kamar, meninggalkan Tesla yang tengah menutup pintu utama.Amy berbaring membelakangi tempat biasa Tesla merebahkan badan, sejenak kemudian dia mendengar lelaki itu masuk ke peraduan. Tesla menyentuh pundaknya, meremas pelan dan mendekatkan bibirnya ke telinga Amy."Kamu jangan salah paham, Sayang," ujar lelaki itu pelan.Mendengar itu air mata A
Pukul lima sore, mobil Tesla memasuki halaman rumah. Amy menghampiri sang suami, yang turun dari sisi kemudi. Tesla tersenyum dan langsung memeluk wanita itu sambil berbisik, "Bersiaplah, aku mau ajak kamu makan malam di luar."Amy menurut, sambil suaminya mandi Amy berhias diri di depan cermin meja riasnya. Pukul tujuh malam dia duduk dengan tenang, di sebelahnya Tesla mengemudikan mobil membelah jalanan ibu kota."Kita mau ke mana?" tanya Amy sambil menoleh kepada sang suami.Tesla tersenyum mesra, "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," jawab Tesla, sambil mengarahkan mobil menuju arah Lodan Jakarta Timur. Tebakan Amy, Tesla akan membawanya ke restoran pinggir pantai lagi.Restoran Sagara menjadi pilihan Tesla. Tempat yang khusus menyajikan menu ala barat itu, terlihat tidak terlalu banyak pengunjung.Pelayan membawa mereka ke meja yang telah dipesan oleh Tesla, hamparan pemandangan lautan menyegarkan mata.Amy menatap semburat warna jingga dari mentari, yang hampir tenggelam. Terl
"Woi, bengong aja!" Amy terperanjat saat si tomboy menepuk pelan pipinya, telapak tangan Ade terasa dingin dan rupanya si tomboy baru saja selesai mandi. Wangi aroma sabun mandi, yang dipakainya menguar memenuhi ruangan kamar. Semakin pekat saat aroma deodoran dan lotion badan, yang kini dioleskan ke ketiak dan seluruh tubuh. Sepuluh menit kemudian, Ade selesai berpakaian. Amy memperhatikan penampilan si tomboy, gadis itu masih nyaman dengan jeans dan kemeja longgar. Meski rambutnya sekarang sudah agak lebih panjang, kesan maskulin tetap terlihat pada tampilannya."Yuk buruan, aku udah lapar nih!" rengek Ade.Tas punggung kecil disandang sebagai pelengkap penampilan, sekaligus juga tempat menyimpan dompet dan segala peralatan.Dengan mobil milik kantornya, Ade mengajak Amy ke salah satu restoran yang ada di daerah Kemayoran. Suasana jalan tidak terlalu ramai, karena sudah lewat jam makan siang."Aku masih penasaran,
Pagi hari seperti biasa, Amy sibuk menyiapkan sarapan untuk dirinya dan suami tersayang. Mencoba melupakan kejadian tadi malam, dan melupakan usul Dialin kepada Tesla. Mencoba percaya pada janji Tesla, yang tidak akan menggantikannya dengan siapapun juga. "Assalamualaikum …." Sapaan itu memaksa Amy untuk menoleh. Tidak diduga Arem sudah berdiri di ambang pintu pembatas antara ruang keluarga dengan dapur."Eh, ada apa pagi-pagi?" tanya Amy heran.Perasaan dongkol kembali menguasai, tetapi dicobanya bersikap biasa."Bang Tesla mana ya?" tanya Arem santai."'Bang Tesla' sejak kapan dia punya sapaan itu kepada suamiku?" Amy membatin sendiri. "Ada perlu apa ya?" selidiknya."Itu ruang makanku semalam kemasukan air hujan, mau minta tolong Abang betulkan. Mungkin ada yang bocor," papar Arem santai."Apa?! dia menyuruh suamiku membetulkan atap rumah yang bocor? Lima tahun menikah, belum sekalipun aku menyuruh Tesla m
"Kamu kalau di depan Amy jangan terlalu lincah kayak semalam dong," tegur Tesla."Loh kenapa, perasaan semalam aku gak ngapa-ngapain deh," protes Arem, keduanya berjalan beriringan meninggalkan ruang kelas."Itu semalam, kamu menuangkan air ke gelasku, apa kamu tidak lihat perubahan wajah Amy.""Kenapa sih Abang takut banget sama Mbak Amy, Tante Dialin bilang sama aku biasa aja gak usah takut sama Mbak Amy.""Bukannya takut, bagaimanapun dia itu istriku, aku berkewajiban menjaga perasaannya.""Jadi menurut Abang, perasaan aku tidak perlu dijaga?""Bukan begitu ... kok jadi ribet begini sih Rem?""Abang yang bikin semuanya jadi ribet!" Arem melangkah lebih cepat meninggalkan Tesla."Rem, Arem, tunggu dulu!" Tesla berseru, tetapi perempuan itu sudah menghilang di tikungan.Tesla memilih untuk tidak mengejar, karena di saat yang sama ponselnya berdering. Dari ringtone yang terdengar, sangat jelas panggilan itu berasal dari nomor Amy."Ya Sayang," sapa Tesla."Kamu di mana?" tanya Amy d
Amy sesenggukan menahan tangis, sesuatu yang sejak pagi mengganjal di hati kini terungkap sudah. Apa yang terlihat seakan menjawab segala tanya.Tesla telah berbohong kepadanya, lelaki itu tidak ke Jogja melainkan sedang berdua-duaan dengan janda kembang tetangga rumah. Sungguh komposisi yang serasi, lelaki penulis roman bertemu wanita pelakon sandiwara. Dicomblangi ibunda tercinta untuk berpaling dari pernikahan yang telah terbina, sungguh naif si istri yang selalu berpikir suaminya lelaki setia.Amy menggeleng lemah mencoba menolak kenyataan, yang tadi terlihat di depan mata. Namun semakin dia menolak, semakin pula hatinya terluka. Seperti terkurung di rumpun duri, sekuat apa usaha untuk membebaskan diri, sebanyak itu pula luka yang menggores kulit."Tuhan ... mengapa aku seperti manusia bodoh? Begitu mudah tertipu dengan janji manis lelaki itu, berpikir dia setia ternyata Tesla seorang pembohong? Apa kekuranganku sehingga pantas diperlakukan seperti ini? Tidak bisakah dia
Amy membuka mata, dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan bernuansa coklat terang."Di mana aku?" tanyanya dalam hati, "siapa, yang membawaku ke tempat ini?"Dia bangkit dan kembali mengawasi sekitar, sambil mengingat kejadian terakhir yang dialaminya."Elu udah sadar?" tanya seseorang.Tubuh kurus langsing dengan tampilan acak-acakan itu dapat Amy kenali."Ade, kok kamu ada di sini? Di mana kita?" tanya Amy lemah.Si tomboy melangkah mendekat, dia mengambil piring dan gelas yang ada di atas nakas."Sebaiknya kamu makan dulu deh, biar gak pingsan lagi, sumpah badan kamu berat banget!" ujarnya.Ade menyendok makanan di piring dan menyuapkan ke mulut sahabatnya. Terdorong perasaan lapar, Amy makan dengan lahap dan cepat."Tesla mana? Tadi aku ngikutin dia, dan kamu 'kan aku tinggalin di rumah, kok bisa sekarang kita bersama?" cercanya sambil terus mengunyah.Ade meletakkan ujung telunjuk ke bibir, dan kembali menyuapi makanan ke mulut Amy.Selesai makan si tomboy menyuruh sahaba