"Sebaiknya kita pulang ke Jakarta malam itu juga, aku sudah tidak sanggup lagi meneruskan penguntitan itu." pinta Amy kepada Ade.Hujan air mata membuat batinnya semakin membeku, tidak ada yang tersisa kecuali rasa sakit. Bahkan sakitnya tidak lagi dapat digambarkan dengan kata-kata."Kamu yakin?" tanya Ade.Amy mengangguk, dari alun-alun kota Ade mengarahkan mobil kembali ke hotel, mereka berbenah dan mengganti mobil lalu pulang ke Jakarta."Janji ya, kamu gak akan macam-macam," ujar Ade selama mereka dalam perjalanan."Memangnya kamu pikir aku mau apa?" tanya Amy dingin."Hem ... Aku khawatir kamu bunuh diri," gumam Ade."Gila apa?!" sentak Amy.Ade menghela napas panjang, "Syukurlah kalau pikiranmu tidak sependek itu.""Aku sayang dengan Tesla, tetapi aku lebih sayang dengan diriku sendiri. Kalau Tesla pergi, aku masih bisa mencari ganti yang lebih lagi. Hanya saja aku perlu waktu untuk me
"Pagi, Sayang." Sapa Tesla.Amy menoleh sekilas terlihat suaminya sudah rapi dengan pakaian kerja, Tesla mengecup puncak kepala istrinya sebelum duduk di kursi yang biasa didudukinya."Sepertinya aku akan memulai bekerja kembali," ucap Amy membuka obrolan pagi ini.Tesla menatap sang istri, dengan sepasang alis nyaris menyatu."Katanya mau adopsi anak, kok malah berencana kerja? Terus nanti kalau ada anaknya siapa yang urus?" tanya Tesla."Kalau nanti ada, kita pikirkan nanti saja. Sekarang aku jenuh terus menerus di rumah, sementara kamu sibuk di luaran sana." Sindir Amy.Tesla menghela napas panjang, "Kamu masih marah, soal tidak aku aja ke Jogja? Maaf ya, Sayang bukan aku ....""Tidak apa, aku tau kamu bekerja, dan mungkin besok-besok aku juga bisa pergi sendiri dengan alasan pekerjaan juga." Amy menukas kata-kata suaminya.Tesla terdiam, dan akhirnya mereka sarapan dengan saling diam."Oh ya, soal kamu mau kerja, memangnya kamu sudah ditetima di perusahaan mana?" tany Tesla, setela
"Amy, dengarkan aku, ini semua salah paham," panggil Tesla.Menggelegak darah Amy dibuatnya, sudah jelas-jelas terpampang di dalam gambar itu, Tesla tanpa sehelai benang menutupi badan. Tengah mendekap tubuh seorang perempuan yang juga bugil, dan sekarang dengan entengnya lelaki itu berkata semua salah paham.Amy tidak mau lagi berdebat, karena menurutnya itu percuma. Wanita muda yang belum genap kepala tiga itu, memilih untuk membenamkan kepalanya ke bantal dan terlelap dalam tangis kecewa."Amy, buka pintunya Sayang. Kamu ikut aku ke rumah sakit gak? Papa masuk rumah sakit!" jeritan disertai gedoran keras pada pintu kamar, membangunkan Amy.Seperti bermimpi, Amy bangkit dan mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan Tesla barusan."Amy, aku pergi ya."Mendengar itu Amy cepat turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu, sempat diliriknya jam yang tergantung di dinding. Jarum pendek jam menunjuk ke angka sepuluh."Tesla, tunggu!" panggil Amy, disambarnya jaket yang tergantung di pi
17.Selepas pemakaman Furqon, Tesla duduk sendiri di ruang kerja papanya. Lelaki itu berulang kali menghela napas panjang, ada sesal yang menyelinap di hati atas apa yang telah terjadi.Pertama berita penggerebekan Arem bersama seorang lelaki di sebuah kamar hotel, lalu sekarang papanya meninggal."Siapa yang melakukan ini?" gumam Tesla, dia memperhatikan selembar foto, yang menampilkan dirinya dan Arem. Tesla ingat betul, gambar itu diambil di kamar hotel yang ada di Jogja. "Apa aku laporkan saja manajemen hotel tersebut?" Tesla meraba dagunya sendiri, kebimbangan melanda diri. Satu sisi dia merasa dipecundangi oleh pihak hotel, yang mengambil gambar pribadinya. Namun di sisi yang lain, dia meragu untuk menyeret kasus ini ke muka hukum, mengingat Arem baru saja tertangkap dengan kasus yang sama. Tesla khawatir kemunculannya akan menjadikan berita tentang Arem kembali memanas, dan dia ikut terbawa-bawa."Tapi siapa yang iseng meletakkan kamera di kamar hotel itu? Dan siapa pula yan
"Mengapa, Ma? Memang benar kan Arem itu seorang pelacur? semua orang tahu itu," balas Amy, sambil berbalik menatap Dialin. "Aku penasaran, apa sih alasan Mama menyuruh Tesla menikah lagi?" tanyanya"Aku inginkan cucu, dan kau ... kau tidak bisa memberi itu, kau perempuan mandul!"Kata-kata Dialin bagaikan suara petir, yang menghujam gendang telinga Amy. Air matanya luruh membasahi pipi, tidak menyangka Dialin sanggup mengatakan hal itu kepadanya.Amy menggeleng berulang kali sebagai usaha mengendalikan diri, agar lidahnya tidak lancang mengungkap fakta yang sebenarnya."Maka itu sadarlah Amy, kau tidak punya pilihan lain. Terima Arem sebagai madu atau minta cerai sekarang juga dari Tesla!" Dialin pergi begitu saja setelah menyemburkan kata-kata berbisa, meninggalkan Amy yang terpuruk dengan luka batin nan menganga.Luka Amy semakin dalam, kala Tesla lebih memilih mengejar Dialin daripada menenangkan Amy yang tergugu oleh kata-kata k
"Amy benar-benar keterlaluan, tega dia memfitnah Arem." Dialin mengomel sepanjang perjalanan.Sedangkan Tesla diam saja, otaknya sedang kalut memikirkan suara rekaman yang diperdengarkan Amy tadi."Andri ... Dari mana Amy bisa mengetahui tentang dia?" tanya Tesla dalam hati.Sudah lama dia mengetahui perihal hubungan Arem dan Andri, tetapi semenjak Arem dekat dengannya gadis itu mengaku hubungan dengan Andri telah diakhiri."Ma, kalau benar yang dikatakan Andri, berarti janin Arem itu belum tentu anakku. Benar kata Amy, sebaiknya lakukan tes DNA terlebih dulu, untuk memastikannya." "Halah ku itu kok ya percaya sama omongan Amy, jelas-jelas dia itu tidak mau kehilangan kamu, tidak mau berbagi, melakukan segala cara supaya kamu meninggalkan Arem." balas Dialin sengit.Sejujurnya dia tidak rela, kalau Tesla sampai melepaskan Arem. Dialin yakin 100% kalau janin yang ada di kandungan Arem adalah benih Tesla."Kita sudah sampai, Ma." Tesla menghentikan mobilnya, tapi dia tidak beranjak dari
Tesla membelai tangan Amy yang melingkar di lehernya, lalu dia mengecup mesra jari jemari wanita itu. Akhir-akhir ini Tesla memang sering ke luar kota, bagi Amy hal itu bukan lagi masalah. Ada atu tanpa Tesla di rumah, sama saja, bahkan kalau mau jujur dia malah merasa lebih merdeka apabila Tesla sedang tidak di rumah.Setelah mengantarkan Tesla ke bandara, Amy meluncur menuju tempat kos Ade Irma. Sekarang Ade adalah orang terdekat, yang paling bisa membuatnya nyaman. Bersama si tomboy Amy bisa menumpahkan semua uneg-unegnya, dan dengan sabar Ade menjadi pendengar setia.Sampai di tempat kos Ade, Amy mendapati Si tomboy tengah termenung dan wajahnya sedikit kusut."Kenapa kamu?" tanya Amy heran.Ade mengeluh sambil menyodorkan ponselnya pada Amy.Mata Amy terbelalak, membaca pesan chat yang ada di ponsel si tomboy.“Ini serius?” tanyanya.Ade mengangguk lemah, sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran tempat tidur. Mata menatap kosong jauh ke depan, menembus batas terjauh yang dapat d
Mentari menyapa pagi di villa taman bunga Puncak Cipanas, cahayanya memantul kilau pada titik air di ujung daun pohon palem yang semalam tertimpa hujan. Dering ponsel mengalunkan nada akustik aransemen ulang tembang kenangan, sebagai tanda panggilan masuk dari Tesla.“Halo Sayang,” sapa Amy“Kamu di mana?” Tanya Tesla dari seberang sana.“Masih di puncak, maaf semalam gak ngabarin kamu. Amy ketiduran,” jelas Amy.“Ya sudah, pokoknya yang terpenting hati-hati dan jangan telat makan,” pesan Tesla penuh perhatian, tapi terdengar garing di telinga Amy.Setelah panggilan berakhir, diletakkan kembali pada tempat yang semestinya. Amy menggeliat bak penari balet, meregangkan badan yang masih tergolek di pembaringan. Suara gemeretak dari persendian terdengar indah tertangkap pendengarannya.Sosok tubuh lain yang tadi masih terlelap tenang, kini mulai terusik dengan semua kebisingan tanpa suara, yang tercipta hanya dari gerakan saja.Kelopak mata itu membuka seulas senyum ia sunggingkan, sebag