"Kamu siapa?"
Sore itu, seorang gadis berkulit putih membuka pintu rumah dengan ragu. Dia menatap tamunya yang merupakan seorang laki-laki asing.
"Kamu pasti Naira," ujar si pria menerka-nerka. "Aku Bastian Zilongーpacar Mami kamu. Boleh aku masuk?"
Naira Karl. Di negara Scarlet, Naira tampak berbeda. Pasalnya, gadis itu memiliki darah campuran Scarlet dari ibunya dan Raven dari ayahnya.
Negara Scarlet berada di bagian Timur. Maka warna rambut Naira coklat kehitaman seperti kebanyakan gadis pada umumnya. Sedangkan Negara Raven berada di bagian Barat yang identik dengan mata indah berwarna biru yang besar, kulit putih, dan hidung mancung.
Naira mendongakkan kepala menatap pria asing berwajah tampan dengan bibir tebal yang sedikit memerah. Rambut hitam si pria tertata rapi sehingga mampu memberikan kesan manis. Namun, ada aura dingin keluar dari pria tersebut.
"Kamu?! Pacar Mami?!" Seolah tidak percaya, Naira bertanya lagi, "Yang bener aja!"
Kedua mata Naira memandangi buket bunga mawar di tangan kanan Bastian. Kemudian, beralih memandangi kotak berbentuk hati di tangan kiri Bastian.
Bastian mengedikkan bahu, masih berdiri santai, dan membiarkan Naira menatap dirinya.
"Terserah. Boleh masuk, nggak?" Benar-benar nada dingin yang cukup mengagetkan bagi Naira.
Sorot mata tegas Bastian membuat Naira terkesiap. "Ya udah, masuk aja!" seru gadis itu.
Naira membuka lebar-lebar pintu rumah dengan kaki jenjangnya. Kelakuan Naira barusan tentu membuat Bastian kaget. Namun, pria bermata hitam itu diam-diam tersenyum tipis.
"Lagian siapa juga yang ngeliatin Om kayak kamu," sanggah Naira. "Aku cuma heran aja Mami punya pacar lebih muda!"
Bastian berjalan mengikuti Naira menuju ruang tamu. Lalu, dia memilih duduk di samping Naira.
"Elvita 47 tahun, aku 32 tahun. Umur cuma angka aja." Ada nada acuh tak acuh dari Bastian ketika membicarakan itu. Dia dengan cepat mengeluarkan ponselnya.
Naira tidak tertarik dengan jawaban Bastian. Dia juga mulai sibuk memainkan ponselnya.
Beberapa menit setelahnya, Bastian menoleh ke arah garasi. “Mamimu belum pulang?”
Dia baru menyadari mobil Evita tidak ada di garasi.
"Belum," sahut Naira. "Om ke sini mau ngerayain ulang tahun Mami, kan? Tadi Mami telepon, katanya kejebak macet."
Bastian angguk-angguk sambil matanya kembali fokus ke layar ponselnya.
Sementara itu, Naira di tempat duduknya meneliti kekasih ibunya dari atas sampai bawah dengan cepat. Mata Naira memindai cepat Bastian Zilong, pria yang terkesan dingin dan cuek.
'Baru kali ini aku ketemu pacar Mami. Tapi aku masih nggak percaya ama omongan dia,' kata Naira dalam hati.
Merasa dirinya sedang diperhatikan, Bastian mengalah untuk menghentikan fokusnya ke ponsel dan berniat mengakrabkan diri dengan Naira.
"Kamu baru pulang kuliah?" tanya Bastian mencoba bersikap ramah ke Naira yang sudah memalingkan pandangan darinya.
"Iya."
Hanya satu suku kata yang terucap dari mulut Naira sambil dia memainkan keypad ponselnya.
Bastian kembali menghela napas. Diam-diam, Bastian berseru di dalam hatinya, 'Hemm, tidak kusangka Naira jauh lebih menarik daripada Elvita!'
Sebagai pria dewasa normal, tentu wajar jika dia bisa menilai demikian.
"Kuliah prodi apa?"
Bastian memandangi setiap lekuk tubuh Naira yang terbungkus t-shirt ketat berwarna putih dipadu dengan hot pants biru navy.
"Bahasa Inggris."
Bastian hanya angguk-angguk. Dia menatap wajah cantik Naira yang berhasil membuatnya menelan ludah berulang kali.
'Alis tebal, pipi merah merona, hidung bangir dan bibir merah muda yang seksi. Sial! Dia benar-benar cantik!'
Kemudian, mata Bastian turun ke bagian tubuh Naira yang menonjol. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya.
'Kira-kira, berapa ukuran dada Naira? Oh, astaga otakku! Bahkan aku yakin, Naira masih perawan.'
Naira menyadari tatapan aneh Bastian. Dia meletakkan ponselnya di atas meja oval.
Naira menegur Bastian. "Om ngapain liat aku kayak gitu?! Hgh! Om mau minum?" Dia kesal dan ingin segera pergi menjauh dari Bastian.
"Nggak usah. Nanti aja ama Elvita," jawab Bastian sambil memalingkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Suara mesin mobil Elvita membuat Naira bisa bernapas lega. Dia berdiri menunggu Elvita datang.
Tidak sampai 10 menit, Elvita sudah berdiri di depan pintu. Dia tersenyum sumringah.
Elvita Moco. Janda anak satu berkebangsaan Scarlet. Dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan Naira sejak sang suami wafat karena kecelakaan tunggal.
"Mami!" panggil Naira. "Tuh, ada Om Bastian!"
Naira menunjuk Bastian yang masih duduk bersandar di sofa. Kemudian, dia melangkah pergi menuju kamarnya di lantai dua.
"Eh, Sayang mau ke mana? Ayo rayain ulang tahun Mami sama-sama, Naira!"
Naira menghentikan langkah. Dia berbalik dengan malas.
Naira melihat Bastian sedang mencium kedua pipi Elvita. Wajah Naira berubah masam. "Oke," katanya dengan terpaksa.
45 menit kemudian.
"Selamat ulang tahun, Mi," ucap Naira sembari membiarkan Elvita mencium pipinya.
"Makasih, Sayang." Elvita menerima kotak kecil dari Naira.
Pesta ulang tahun sederhana Elvita berjalan dengan sangat baik. Naira beberapa kali harus melihat adegan mesra Elvita dengan Bastian. Namun, Naira memiliki cara sendiri.
Naira menyibukkan diri dengan makan kue ulang tahun sambil melihat-lihat postingan di beranda akun sosial medianya.
"Naira, Om Tian ini seorang pebisnis sukses. Kamu tau perusahaan Zilong E-first, kan? Nah, itu punya Om Tian." Elvita berbicara ke putrinya.
Sambil melihat-lihat beberapa foto di sosial media, Naira bertanya, "Terus?"
"Kuliah kamu kan udah semester 7, gimana kalo nanti magang di perusahaan Om Tian aja?" Elvita bertanya dengan penuh semangat.
"Aku nggak tertarik," sahut Naira tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. "Aku mau ke kamar baca novel online."Naira bangkit dari duduk. Dia pergi ke kamarnya meninggalkan Elvita dan Bastian."Tapi, Naira, kalo kamuー"Menyadari situasi berubah menjadi canggung, Bastian segera menenangkan hati Elvita."Biarin aja, Vi! Pikiran Naira masih suka main-main.""Tapi, Naira udah 21 tahun, Tian!"Naira mendengar Elvita dan Bastian saling adu pendapat. Dia mengangkat kedua bahu sambil terus berjalan.Di kamarnya, Naira merasa gerah sendiri."Bosen banget di rumah! Ih, baru jam 8 malem! Mau ke luar ama temen-temen, ah!"Naira bangun dari tempat tidurnya dan memperhatikan pantulan dirinya di cermin besar. Setelah merasa rapi, dia segera pergi dari kamarnya.Dia menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati karena tidak ingin mengganggu acara ulang tahun Elvita."Ah, Tian ...."Naira mendengar sayup-sayup suara desahan Elvita dari ruang tengah. Suara itu semakin jelas ketika dia sampai di
"Len, aku duluan ya!" Naira berjalan membuntuti Bastian. Dia terlihat kesal."Om, emangnya Mami ke mana?" tanya Naira pada akhirnya. "Dia masih banyak kerjaan. Cepetan! Di luar masih hujan. Kamu punya payung?" Mau tak mau, Bastian berhenti menunggu Naira mensejajarinya."Nggak," jawab Naira singkat. Bastian mendengus dingin. "Kok bisa cewek nggak punya payung?" “Harus, gitu?” ketus Naira sambil melirik enggan ke Bastian di sampingnya.Tidak ingin berdebat dengan anak kekasihnya, Bastian memilih untuk menyudahi topik tak penting itu.Dia justru memberi ide, “Kita lari aja ke mobil! Kamu nggak lemah ama hujan, kan?” tanyanya sambil memberikan tatapan remeh ke Naira.Mendengar pertanyaan yang bernada seperti menantang dan tatapan meremehkan, Naira mana mungkin membiarkan kekasih maminya bisa seenaknya menjatuhkan penilaian rendah terhadap dirinya?“Huh! Baru ujan air doang, belum ujan batu, kan?” Naira menggunakan nada ketus menjawab Bastian.Sesudah menjawab, Naira bergegas berlari d
‘Sialan, baru kali ini aku bingung gara-gara nentuin mana yang lebih menarik!’ batin Bastian sambil menertawakan dirinya sendiri. Sekali lagi dia melirik Naira.Hati Bastian bergejolak, hasratnya menggelegak ketika melirik dada membusung Naira yang terlihat provokatif dari balik kemeja basah, sampai tercetak jelas bra merah yang dipakai gadis itu. Berulang kali dia meneguk salivanya gara-gara terpukau dan otaknya mulai memproses pikiran gila.Tapi tak boleh! Dia tak bisa bersikap sembarangan ke anak kekasihnya. Maka, dia mengalihkan pandangan ke depan saja.Sementara itu, Naira yang kini memandangi Bastian secara diam-diam. ‘Kenapa mami milih cowok yang lebih muda gini, sih? Aneh! Apalagi dia bosnya mami di kantor. Apa nggak digosipin ama karyawan lainnya?’Sambil menyesap cokelat hangatnya, mata Naira mulai memindai Bastian, sama seperti yang dia lakukan di rumah waktu Bastian datang.‘Ini cowok emang nggak jelek-jelek amat, sih! Mungkin ini yang bikin mami suka ama dia. Tapi cowok t
‘Hm … kenapa aku jadi makin penasaran ama kamu, Naira?’ Bastian membatin sambil menatap punggung Naira. “Kurasa otakku makin gila!” Bastian menggumam pelan seraya masuk kembali ke mobil dan melajukannya setelah Naira masuk ke rumah.Sepanjang semua kisah percintaan-nya, Bastian tidak pernah segila ini terpikat oleh ibu dan anak sekaligus. Ini adalah pertama kalinya Bastian sedilema ini.Sementara itu, di dalam kamarnya setelah malam menjelang, Naira gelisah berguling di tempat tidurnya. Dia masih belum bisa melupakan adegan tadi sore.‘Pelukan pacar mami … kencang juga. Apa dia biasa meluk mami kayak gitu, yah? Ah, sialan! Ngapain sih aku dari tadi rempong mikirin hal gak guna itu melulu!’ Naira malah berujung kesal sendiri dengan apa yang dia pikirkan.Namun, pikirannya berkhianat dan malah memutar adegan itu kembali.‘Bau om wangi. Ah! I—itu … itu pasti karena parfumnya mahal! Maklum, orang kaya!’ Menyadari dirinya masih saja memikirkan Bastian, Naira menyangkal dengan memikirkan top
Benar saja, Bastian memang berjalan ke arah kantin yang sedang dipakai Nora untuk bersantai menunggu jam kuliah berikutnya. Melihat kedatangan Bastian, Naira hanya memutar matanya. Malas sekaligus jengah dengan respon kawan-kawan perempuannya yang terlihat norak hanya karena ada bos ganteng dan sukses di umur 32 tahun."Teman-teman, perkenalkan, ini Pak Bastian dan timnya dari perusahaan Zilong E-First, hendak memberikan informasi kepada kalian." Salah satu staf kampus yang mendampingi Bastian pun berbicara di depan kantin yang sedang ramai penuh mahasiswa dan mahasiswi.Segera saja, semua mahasiswa dan mahasiswi di sana menoleh ke Bastian dan timnya. Terutama Bastian yang sangat menyita perhatian mata lawan jenis."Halo semuanya, saya Bastian Zilong, pendiri Zilong E-First. Izinkan saya dan tim saya menyampaikan sesuatu ke kalian." Setelah mengucapkan kalimat sapaan, Bastian menyuruh timnya untuk bicara mengenai maksud kedatangan mereka ke kampus.Dengan cermat, semua orang di kanti
Banyak anak Goldera yang berharap bisa bekerja di E-First.“Lah, kerja aja belum udah ditanyain begituan, hahaha!” Naira tertawa santai.“Yah, ‘kan kamu sempat interview di sana!” Helena cemberut.Sambil mengulum senyum, akhirnya Naira menjelaskan. “Di sana kayak satu kompleks gitu, sih Len. Ada 4 gedung yang melingkar mengitari gedung utama. Semuanya terpisah-pisah yang terhubungnya ama koridor khusus satu sama lain. Dan gedung pusatnya yang berbentuk lingkaran ada di tengah-tengah, lebih gede dan tinggi, sekitar 7 lantai.”“Emangnya yang 4 gedung berapa lantai masing-masingnya?” tanya Helena.“Untuk 4 gedung yang mengelilingi gedung utama sih masing-masing ada 4 lantai,” jawab Naira sambil mengingat-ingat.Raut wajah Helena semakin memelas karena ingin merasakan bekerja di E-First, salah satu perusahaan startup paling berkembang di negara Scarlet. Dia tidak lolos seleksi awal dikarenakan kurangnya nilai akademik.Sejak itu, Naira menjadi pegawai magang di anak perusahaan milik Bast
Yang lainnya tertawa. Naira tak banyak bersuara. Dia selesai membubuhkan lipgloss warna bibir yang tidak berlebihan."Iya, betul! Pak Bos Tian 'kan most wanted durenjir di kota Magnuma ini!" celetuk seseorang di dekat Naira yang baru saja membasuh muka untuk mengganti bedaknya."Apa itu durenjir?" Kawan di sampingnya bertanya sambil membenahi eyeshadows."Duda keren tajir! Hahaha!" Jawaban selengekan itu disahut tawa ceria yang lainnya di sana."Eh, tapi kasihan juga yah Pak Bos! Ditinggal mati istrinya yang melahirkan. Mana anaknya juga ikut mati." Mereka terus bergosip mengenai Bastian.Sebagai orang yang belum tahu banyak akan Bastian, Naira tentu saja asyik menyimak."Aku sih nggak kasihan. Karena siapa tahu aku bisa menjadi pelipur lara dan mengobati kesepiannya Pak Bos Tian, haha!" Ada yang cukup percaya diri mengatakan itu."Jadi kamu berharap bisa menggantikan istri Pak Bos, begitu?" Rekannya melirik dengan tatapan tak yakin."Kenapa enggak?" Yang dilirik hanya menjawab sambi
Menahan dongkol di hati, Naira keluar dari ruangan Bastian.“Dih! Emangnya kenapa kalo aku pake celana kayak gini? Toh ini setelan kerja juga! Sepatu kets aku juga nggak yang buluk-buluk amat! Kinclong dan bersih, elaahh!” Naira mengeluhkan itu ke Helena ketika dia bertelepon di malam harinya.“Hahaha! Nurut aja apa kata Bos, napa sih? Atau kamu maunya dispesialkan karena mamimu dekat ama Bos?” Helena tertawa santai.Mendengar ucapan Helena seakan itu merupakan sebuah sindiran bagi Naira. Baiklah, dia akan mencoba menyesuaikan diri seperti yang lainnya agar tidak dikira anak spesial di sana.Esok harinya, Amy menyapa Naira yang lebih dulu tiba di ruangannya, “Pagi, Naira! Wah, tumben nih, pakai rok dan … sepatu high heels? Wow! Aku pikir kamu tomboy.”‘Iya emang tomboy, sih! Tapi gak jadi gara-gara Bos sialan itu!’ rutuk Naira di hatinya.Kemarin dia terpaksa berbelanja setelan ker
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal