‘Sialan, baru kali ini aku bingung gara-gara nentuin mana yang lebih menarik!’ batin Bastian sambil menertawakan dirinya sendiri. Sekali lagi dia melirik Naira.
Hati Bastian bergejolak, hasratnya menggelegak ketika melirik dada membusung Naira yang terlihat provokatif dari balik kemeja basah, sampai tercetak jelas bra merah yang dipakai gadis itu. Berulang kali dia meneguk salivanya gara-gara terpukau dan otaknya mulai memproses pikiran gila.
Tapi tak boleh! Dia tak bisa bersikap sembarangan ke anak kekasihnya. Maka, dia mengalihkan pandangan ke depan saja.
Sementara itu, Naira yang kini memandangi Bastian secara diam-diam. ‘Kenapa mami milih cowok yang lebih muda gini, sih? Aneh! Apalagi dia bosnya mami di kantor. Apa nggak digosipin ama karyawan lainnya?’
Sambil menyesap cokelat hangatnya, mata Naira mulai memindai Bastian, sama seperti yang dia lakukan di rumah waktu Bastian datang.
‘Ini cowok emang nggak jelek-jelek amat, sih! Mungkin ini yang bikin mami suka ama dia. Tapi cowok tipe begini, apa mami nggak makan ati, dah? Dia ganteng, muda, sukses … beneran tipe cowok yang susah dipercaya!’ Naira terus menilai Bastian.
Meski mengetahui dirinya sedang diamati, Bastian tetap memandang ke depan, berlagak tak tahu.
‘Anehnya, nih cowok keliatan dingin, keliatan cuek! Atau itu cuma kamuflase? Dih! Beneran harus waspada ama dia, deh!” Naira menatap remeh ke Bastian sebelum dia mengalihkan pandangan ke depan.
Suasana hujan di sore itu membuat perasaan Naira sedikit mengharu-biru ketika dia mengingat kenangan dia dan Emiliano, mantan pacarnya yang pernah berteduh di depan rumah kosong ketika hujan seperti ini saat mengantarnya pulang menggunakan motor.
“Ra, papimu meninggal karena kecelakaan tunggal di jalan, yah?” Bastian mencoba berbincang dengan Naira.
Bagaimanapun juga, Naira anak Elvita yang menjadi kekasihnya. Akan canggung apabila hubungan mereka kurang baik.
“Hm.” Naira memberikan jawaban singkat sambil mengangguk kecil dan menatap rinai hujan yang menutupi kaca depan.
“Waktu itu umurmu berapa?” Bastian menengok ke Naira yang masih memandang ke depan.
Dia tidak ingin mendapat jawaban pasif. Maka dari itu, dia mencari pertanyaan yang harus dijawab panjang oleh Naira.
“Lima.” Naira menjawab sesingkat mungkin.
Memangnya ada kewajiban baginya untuk menjabarkan sepanjang sungai A****n?
“Lima? Maksudnya?” Bastian sebenarnya sudah paham makna jawaban itu, tapi dia hanya ingin mendengar suara Naira lebih banyak.
Kesal karena pertanyaan Bastian, Naira menoleh disertai mata mengerling jengah.
“Om pastinya bukan orang bodoh, kan? Masa sih jawaban gitu aja nggak paham? Om lulus kuliah dulunya, kan?” Naira kesal dan itu sangat terwakilkan dengan nada bicara beserta jawaban yang diberikan.
Dia tidak peduli jika dirinya dianggap kurang ajar pada yang lebih tua, apalagi itu pacar maminya. Bagaimanapun juga, dia bukan jenis perempuan manis yang pandai membuat kata-kata indah. Jangan harap!
Alih-alih tersinggung, Bastian justru tersenyum tipis dan berkata singkat, “Oh.”
Satu hal yang dirasakan aneh bagi Bastian, dia yang dikenal dingin, kenapa memiliki keinginan untuk bisa mengakrabkan diri dengan putri kekasihnya? Harusnya dia tetap pada perasaannya terhadap Elvita, tapi pesona Naira … kenapa susah ditampik?
“Emang aku punya kewajiban bikin jawaban panjang?” Naira masih ketus.
Baginya, tak ada alasan untuk bersikap ramah ke orang yang baru dikenal, terlebih seorang lelaki, meski itu pacar maminya sekali pun!
Yang paling menyebalkan dari lelaki yang dikatakan sebagai pacar maminya adalah matanya yang membuat dia sedikit tak nyaman. Lagi-lagi dia harus membandingkan Bastian dengan Emiliano yang tidak memiliki tatapan tajam seperti Bastian.
“Nggak perlu.” Bastian kembalikan pandangannya ke depan, menatap rinai hujan yang menghempas kaca mobil.
Naira menoleh lagi ke Bastian, kali ini dengan sikap tegas dan tidak lagi sembunyi-sembunyi.
“Om, sejak kapan Om pacaran ama mami?” Dia masih saja tergelitik dengan kenyataan ibunya memacari pria tampan yang usianya lebih muda. Ini sungguh masih sulit dia percayai.
Sembari menoleh ke Naira dan memandang mata gadis itu, Bastian menjawab, “Pengin tahu, ya?”
Ada nuansa meledek dari pertanyaan balik Bastian. Ini membuat Naira kesal sendiri.
“Enggak! Dih! Pede amat, sih!” Naira segera melengos.
Baginya, menatap air hujan di kaca depan jauh lebih bermanfaat ketimbang berlama-lama menatap Bastian.
“Oke, kita pulang sekarang.” Bastian menaruh cup gelas kosong ke kantong plastik untuk dibuang nantinya.
Mobil mulai dilajukan meninggalkan area tersebut. Sesekali Naira akan melirik diam-diam ke Bastian, menatap wajah Bastian dari samping, lalu ke tangan maskulin Bastian yang mencengkeram setir dengan tegas sehingga otot-ototnya menyembul meski tidak berlebihan.
Tak sampai setengah jam, mereka tiba di rumah Naira. Bastian mengambil payung di kabin belakang.
“Tunggu sini!” Bastian keluar sambil menggunakan payung. Dia tak boleh membiarkan Naira kebasahan lagi akibat hujan.
Naira mengamati pergerakan Bastian dan kemudian keluar dari mobil setelah pria itu membukakan pintunya dan menaunginya dengan payung.
“Wah! Jalanannya banjir gini.” Naira memandangi genangan air setinggi pergelangan kaki begitu dia turun dari mobil.
Rupanya hujan deras yang cukup lama mengakibatkan air di jalanan kompleks rumahnya menggenang sampai setinggi itu.
“Cuma genangan.” Bastian menyahut sambil terus menaungi Naira dengan payung di tangan kanannya.
Baru saja mereka hendak menyeberang ke rumah Naira, mendadak ada motor melaju kencang di depan mereka.
Craaattt!
Air menciprat tinggi ke segala arah, termasuk ke Bastian dan Naira.
Bertindak cepat, tangan kiri Bastian merengkuh pinggang Naira dan memeluk gadis itu sambil memberikan punggungnya ke luar sehingga cipratan air mengenai dirinya, bukan Naira yang terlindung olehnya.
Naira melongo melihat adegan yang sangat cepat tersebut. Lebih kaget lagi, dia berada di pelukan Bastian, sampai bisa membaui harum parfum mahal beserta bau tubuh pria itu. Wangi dan menenangkan. Lalu, tatapan saling bertaut.
“A—apaan sih, Om! Jangan seenaknya main peluk!” Gugup, Naira mendorong Bastian dengan wajah merona dan berlari cepat ke rumahnya tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan Bastian begitu saja.
‘Hm … kenapa aku jadi makin penasaran ama kamu, Naira?’ Bastian membatin sambil menatap punggung Naira. “Kurasa otakku makin gila!” Bastian menggumam pelan seraya masuk kembali ke mobil dan melajukannya setelah Naira masuk ke rumah.Sepanjang semua kisah percintaan-nya, Bastian tidak pernah segila ini terpikat oleh ibu dan anak sekaligus. Ini adalah pertama kalinya Bastian sedilema ini.Sementara itu, di dalam kamarnya setelah malam menjelang, Naira gelisah berguling di tempat tidurnya. Dia masih belum bisa melupakan adegan tadi sore.‘Pelukan pacar mami … kencang juga. Apa dia biasa meluk mami kayak gitu, yah? Ah, sialan! Ngapain sih aku dari tadi rempong mikirin hal gak guna itu melulu!’ Naira malah berujung kesal sendiri dengan apa yang dia pikirkan.Namun, pikirannya berkhianat dan malah memutar adegan itu kembali.‘Bau om wangi. Ah! I—itu … itu pasti karena parfumnya mahal! Maklum, orang kaya!’ Menyadari dirinya masih saja memikirkan Bastian, Naira menyangkal dengan memikirkan top
Benar saja, Bastian memang berjalan ke arah kantin yang sedang dipakai Nora untuk bersantai menunggu jam kuliah berikutnya. Melihat kedatangan Bastian, Naira hanya memutar matanya. Malas sekaligus jengah dengan respon kawan-kawan perempuannya yang terlihat norak hanya karena ada bos ganteng dan sukses di umur 32 tahun."Teman-teman, perkenalkan, ini Pak Bastian dan timnya dari perusahaan Zilong E-First, hendak memberikan informasi kepada kalian." Salah satu staf kampus yang mendampingi Bastian pun berbicara di depan kantin yang sedang ramai penuh mahasiswa dan mahasiswi.Segera saja, semua mahasiswa dan mahasiswi di sana menoleh ke Bastian dan timnya. Terutama Bastian yang sangat menyita perhatian mata lawan jenis."Halo semuanya, saya Bastian Zilong, pendiri Zilong E-First. Izinkan saya dan tim saya menyampaikan sesuatu ke kalian." Setelah mengucapkan kalimat sapaan, Bastian menyuruh timnya untuk bicara mengenai maksud kedatangan mereka ke kampus.Dengan cermat, semua orang di kanti
Banyak anak Goldera yang berharap bisa bekerja di E-First.“Lah, kerja aja belum udah ditanyain begituan, hahaha!” Naira tertawa santai.“Yah, ‘kan kamu sempat interview di sana!” Helena cemberut.Sambil mengulum senyum, akhirnya Naira menjelaskan. “Di sana kayak satu kompleks gitu, sih Len. Ada 4 gedung yang melingkar mengitari gedung utama. Semuanya terpisah-pisah yang terhubungnya ama koridor khusus satu sama lain. Dan gedung pusatnya yang berbentuk lingkaran ada di tengah-tengah, lebih gede dan tinggi, sekitar 7 lantai.”“Emangnya yang 4 gedung berapa lantai masing-masingnya?” tanya Helena.“Untuk 4 gedung yang mengelilingi gedung utama sih masing-masing ada 4 lantai,” jawab Naira sambil mengingat-ingat.Raut wajah Helena semakin memelas karena ingin merasakan bekerja di E-First, salah satu perusahaan startup paling berkembang di negara Scarlet. Dia tidak lolos seleksi awal dikarenakan kurangnya nilai akademik.Sejak itu, Naira menjadi pegawai magang di anak perusahaan milik Bast
Yang lainnya tertawa. Naira tak banyak bersuara. Dia selesai membubuhkan lipgloss warna bibir yang tidak berlebihan."Iya, betul! Pak Bos Tian 'kan most wanted durenjir di kota Magnuma ini!" celetuk seseorang di dekat Naira yang baru saja membasuh muka untuk mengganti bedaknya."Apa itu durenjir?" Kawan di sampingnya bertanya sambil membenahi eyeshadows."Duda keren tajir! Hahaha!" Jawaban selengekan itu disahut tawa ceria yang lainnya di sana."Eh, tapi kasihan juga yah Pak Bos! Ditinggal mati istrinya yang melahirkan. Mana anaknya juga ikut mati." Mereka terus bergosip mengenai Bastian.Sebagai orang yang belum tahu banyak akan Bastian, Naira tentu saja asyik menyimak."Aku sih nggak kasihan. Karena siapa tahu aku bisa menjadi pelipur lara dan mengobati kesepiannya Pak Bos Tian, haha!" Ada yang cukup percaya diri mengatakan itu."Jadi kamu berharap bisa menggantikan istri Pak Bos, begitu?" Rekannya melirik dengan tatapan tak yakin."Kenapa enggak?" Yang dilirik hanya menjawab sambi
Menahan dongkol di hati, Naira keluar dari ruangan Bastian.“Dih! Emangnya kenapa kalo aku pake celana kayak gini? Toh ini setelan kerja juga! Sepatu kets aku juga nggak yang buluk-buluk amat! Kinclong dan bersih, elaahh!” Naira mengeluhkan itu ke Helena ketika dia bertelepon di malam harinya.“Hahaha! Nurut aja apa kata Bos, napa sih? Atau kamu maunya dispesialkan karena mamimu dekat ama Bos?” Helena tertawa santai.Mendengar ucapan Helena seakan itu merupakan sebuah sindiran bagi Naira. Baiklah, dia akan mencoba menyesuaikan diri seperti yang lainnya agar tidak dikira anak spesial di sana.Esok harinya, Amy menyapa Naira yang lebih dulu tiba di ruangannya, “Pagi, Naira! Wah, tumben nih, pakai rok dan … sepatu high heels? Wow! Aku pikir kamu tomboy.”‘Iya emang tomboy, sih! Tapi gak jadi gara-gara Bos sialan itu!’ rutuk Naira di hatinya.Kemarin dia terpaksa berbelanja setelan ker
Maka, besoknya, Naira benar-benar memakai sepatu chunky heels. Meski jalannya masih kaku dan aneh, setidaknya dia tidak takut kakinya terkilir saat melangkah.Mengabaikan pandangan geli orang-orang ke dirinya, Naira pergi ke ruangan Amy.“Fyuh! Akhirnya nyampe juga!” Naira seakan-akan baru saja berjuang di medan perang gara-gara high heels-nya.Baru saja Naira menjejakkan pantat di kursi sambil menunggu kedatangan Amy, sudah ada dering telepon di meja Amy. Sebagai asisten, dia juga bisa menerima telepon tersebut.“Ya, Kantor Bu Amy di sini.” Naira menjawab setelah mengangkat telepon.“Ra, ke ruanganku, sekarang juga! Aku kasi waktu 5 menit!” Setelah mengucapkan itu, Bastian menutup telepon.Hah?! Naira melongo sejenak untuk memproses apa yang baru dia dengar.“Bos sialan!” gerutu Naira di menit berikutnya sambil menggeram dan segera melangkah keluar ruangan dengan penuh perjuangan membaw
Sesampainya di toilet gedung GoodRead, Naira langsung memuntahkan makan siangnya tadi di salah satu biliknya.“Ih! Siapa, sih itu?” Terdengar suara karyawati lainnya yang sedang berdandan di depan kaca besar. “Hamil, ya?”“Iya, hamil petai!” jawab Naira sebelum muntah lagi.Karyawati yang sedang memegang kuas mascara hanya bisa memberikan wajah melongo sambil bergumam lirih, "Emangnya petai bisa bikin hamil, yah? Ya ampun! Aku butuh banyak baca, emang nih!"***Di hari lainnya, Bastian memberi perintah absurd yang bisa membuat Naira tercengang.“Tulis puisi yang isinya memuji aku dan perusahaan ini!” Demikian perintah Bastian usai jam makan siang di ruangan pribadinya setelah Naira datang sesuai perintahnya.“Hah?” Naira tak habis pikir. Senarsis itukah Bosnya? Pria yang terlihat dingin dan kaku ini ... ternyata narsistik?“Jangan hah doang, buruan tulis! A
Teriakan Naira sampai membuat Elvita bergegas lari ke depan. “Naira, ish!” Dia sambil menggoyangkan lengan putrinya.Naira cemberut dan merasa maminya sedang memberikan pembelaan ke Bastian ketimbang dirinya.“Mami tuh, yah! Dia ini sengaja bikin keki aku di kantor, Mih!” Naira sudah terlanjur kesal dan menudingkan jari ke Bastian. “Dianggepnya kantor tuh tempat ospek, apa?!”"Hus! Naira!" Elvita menegur putrinya.Melihat putrinya masih bersungut-sungut, Elvita meringis canggung. Sementara, Bastian justru menatap datar pada Naira yang kesal.“Ra, masuk kamar dulu, gih!” bujuk Elvita.Wajah cemberut Naira belum berubah.Sedangkan Bastian justru bicara, “Biarkan saja, Vi. Tak apa. Namanya juga masih anak-anak. Mungkin dia ingin perhatian lebih.”Mendengar apa yang dikatakan pacar ibunya, Naira semakin terbakar rasa kesal.“Kamu, yah! Sengaja bikin hidupku susah di kantor!” Mata melotot Naira semakin lebar, tapi Bastian tetap terlihat tenang. "Dasar bos edan!"Kekesalan Naira diungkapkan
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal