(Dylan)
"Bersulang!!!"
Aku dan kedua temanku mengangkat gelas masing-masing. Baru kemarin sampai ke Jakarta, dua sahabatku itu sudah mengajakku keluar. Sebenarnya aku ingin berisitirahat saja, karena mereka memaksa, mau tidak mau aku harus pergi.
Alunan musik bertempo cepat memantik para pengunjung club untuk bersenang-senang. Ingar bingar terhelat jelas, bahkan ada yang terang-terangan melancarkan ciuman panas tanpa tahu tempat.
Aku menyapu pandangan, benar-benar ramai tempat ini. Sudah lama sekali sejak terakhir aku datang kemari, nuansanya juga berbeda dari tiga tahun yang lalu. Mungkin sudah direnovasi, karena itu penataannya lebih menarik.
"Lan, udah nemu seseorang? Atau mau aku kenalin yang paling hot?" Daniel sedikit berteriak.
Aku menggeleng, meneguk perlahan minuman milikku.
"Ish ... nggak gentle banget sih! Masa minumnya cola mulu. Sekali-kali nyoba yang baru, yang bergairah gitu!" Raka ikut menimpali.
Dia benar-benar cerewet.
"Aku ke sini bawa mobil. Kalian aja yang minum!"
"Alasan! Bilang aja nggak kuat minum!" celutuk Daniel, dia mengerling ke arahku.
Aku hanya tersenyum. Pandanganku sejak tadi mengarah pada seorang wanita yang duduk di depan konter bar.
"Gimana dengan kerjaan? Mau tetap di sini atau kembali berkeliling lagi?" Daniel bertanya.
Aku mengalihkan atensiku. "Rencananya sih mau ke Paris, ikut pameran di sana. Tapi aku masih mau cari objek yang menarik dulu."
"Modelnya pakai aku aja, pas banget dengan wajah tampan aku yang fotogenik. Kamu nggak bakalan rugi!" cetus Raka menyombongkan diri.
"Jangan, Lan! Yang ada ntar lensa kameranya langsung pecah saking buriknya wajah si Raka!" Daniel menyela.
"Sialan!" umpat Raka.
Daniel tergelak, membuat Raka makin kesal.
"Ayo, Lan. Musiknya pas banget nih!" Daniel mengajakku.
"Lihat tuh, Lan, si montok udah nungguin!" Raka ikut menyahut.
"Kalian aja, aku lagi mode santai."
Aku memilih duduk dan tidak ingin mengikuti mereka yang bersenang-senang di bawah lampu disko. Sebenarnya bukan itu alasannya. Sejak tadi aku penasaran dengan wanita itu, entah kenapa dia berhasil mengalihkan perhatianku. Sudah lama berlalu tak ada seorang pun yang menghampirinya. Haruskah aku mendekatinya? Tapi jika dia mengusirku, apa yang akan kulakukan?
Aku berdiri dari tempatku dan memilih mendekat, sayangnya langkahku tertahan ketika melihat teman wanita itu datang.
Raka dan Daniel tiba-tiba menarikku lagi, aku kembali menolak mereka dan sudah bisa ditebak, mereka berdua mendengus kesal padaku.
Aku mengamati wanita itu dengan temannya. Tak lama kemudian, temannya pergi. Mataku membulat saat melihat sebotol minuman yang sudah kosong. Wanita itu benar-benar kuat minum. Rasa penasaranku makin membuncah saat melihat dia mencoba berdiri. Tentu saja itu membuatku takjub karena dia masih bisa mengontrol diri padahal sudah sangat mabuk. Namun, tanpa sengaja pandanganku tertuju pada seorang pria yang terus menatap intens padanya. Ingin rasanya aku melayangkan tinju di wajah bedebah itu. Mereka bahkan tidak melewatkan kesempatan melihat wanita itu dengan tatapan liar.
Kenapa juga dia datang ke tempat ini dengan pakaian seminim itu?! Astaga, aku jadi frustasi sendiri.
Tanpa pikir panjang, aku memilih mengikutinya. Aku harus memastikan dia pulang dengan aman. Entah ke mana pergi temannya tadi. Sudah hampir sepuluh menit, batang hidung teman wanita itu tidak terlihat sama sekali.
Jarak kami sekitar tujuh langkah. Aku terus mengikutinya hingga menuju ke arah pintu keluar. Langkahku tertahan sejenak, hampir saja lupa mengabari Daniel dan Raka. Aku mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan pada Daniel bahwa aku pulang lebih dulu.
Setelah kami sampai di luar, kulihat dari kejauhan, dia sedang mengeluarkan isi tasnya begitu saja di atas mobil. Mungkin dia sedang mencari kunci. Aku memilih menunggu dan melihat apa yang akan dilakukan wanita itu.
Aku terkejut ketika mendengar bunyi alarm dari mobil. Apa dia semabuk itu sampai salah mobil? Tanpa sadar aku tersenyum melihat tingkah konyolnya.
Tiba-tiba, kulihat kedua pria berbadan kekar mendekati wanita itu. Wajah mereka tampak garang ketika berbicara padanya. Aku langsung berlari mendekat dan merangkul bahunya dengan cepat.
"Sayang, kamu salah mobil!" Aku menyergah. Setidaknya aku mengambil tindakan cepat dari kedua pria itu.
Dia menatapku dengan bingung. Semoga dia tidak mengira aku orang gila atau pria mesum dan membuat keadaan makin runyam.
"Maaf, ya, Pak. Pacar saya mabuk dan mengira ini mobilnya." aku berdalih, agar segera pergi dari sana.
"Ini bukan mobil kamu, untung aja aku datang tepat waktu. Yuk, pulang!" Aku mengajaknya menjauh dan mendekati ke salah satu mobil yang entah punya siapa sebagai pengalihan karena mobilku jauh terparkir di sebelah sana.
Baru saja aku ingin memastikan keadaannya, dia mendorongku dengan keras hingga aku meringis pelan karena telapak tanganku terasa perih saat menyentuh permukaan tanah. Wanita itu memiliki tenaga yang kuat walau dalam keadaan mabuk.
"Kamu?!" Dia menunjuk dengan ekspresi wajah terlihat jelas tidak bersahabat padaku.
Aku sedikit terkejut saat melihat dia jatuh tak sadarkan diri. Dengan panik aku memastikan keadaannya. Dia sudah sangat mabuk dan pingsan begitu saja. Aku membuka jaket dan menutupi sebagian tubuhnya yang mengundang gairah. Aku menggeleng, mencoba membuat diriku tidak dikuasai nafsu.
Aku memeriksa tasnya, mengambil ponsel agar bisa menghubungi temannya, berharap teman wanita itu ada di daftar panggilan terakhir. Aku menghela pelan, ponselnya dilindungi kata sandi, aku berdecak, bingung dengan apa yang akan kulakukan. Aku kembali memeriksa tasnya dan menemukan dompet lalu mengeluarkan kartu identitasnya.
Nama wanita itu, Naya. Nama yang cantik seperti orangnya. Aku berpikir sejenak mencari alternatif lain. Aku mendapatkan ide dan segera mengangkat Naya masuk ke dalam mobil. Setelah sampai di depan pintu utama hotel, aku menggendong Naya ala bridal style. Dia sungguh berat, seperti mengangkat karung beras 50kg, padahal tubuhnya kecil. Makan apa saja Naya sampai seberat itu?
Tak berlama-lama, aku mengambil langkah cepat untuk memesan kamar terbaik untuknya. Setelah mendapat kamar, aku menuju lift dengan sedikit sempoyongan, tubuhku hampir saja tidak kuat mengangkatnya.
Baru saja sampai di depan pintu lift, Naya mendadak bergerak dan membuka mata, tatapan kami mengunci sesaat sebelum akhirnya dia mengeluarkan cairan anyir yang bercampur dengan sisa makanan begitu saja. Aku memejamkan mata, mencoba menahan diri untuk tetap menggendongnya.
Naya meluncur turun, mengulas senyum dengan wajah tak berdosa, dia melihat jejak cairan yang dimuntahkan pada pakaianku. Aku menghela napas, lalu menahan tubuh Naya yang hampir saja terjatuh. Wanita ini sungguh luar biasa, dan entah kenapa aku tidak marah, aku malah tersenyum melihatnya.
Aku dengan cepat membawanya masuk saat pintu lift terbuka, beberapa pasang mata tertuju ke arah kami. Aku memilih acuh dan memapah Naya agar tidak terjatuh. Setelah sampai di lantai kamar yang akan aku tuju, Naya memilih jalan sendiri. Aku membiarkannya, takut dia merasa risi karena tidak mengenalku. Aku terus berjalan di belakangnya. Mendadak, Naya tidak sengaja menyenggol troli saji yang didorong keluar dari salah satu kamar. Sialnya, bagian paha sebelah kanan Naya sedikit tergores terkena ujung pisau dan membuat darah segar mengalir begitu saja.
Aku seketika panik dan cepat-cepat membawa Naya masuk ke kamar agar segera menghentikan pendarahannya. Belum juga sempat aku lakukan, Naya sudah lebih dulu melepas pakaian membuatku menegang di tempat. Aku meneguk ludah dan berbalik memunggunginya. Tentu saja gejolak sebagai lelaki meronta-ronta, aku menahan diri dan memilih untuk pergi sebelum pikiran liar menguasai diriku. Semoga dia tidak salah paham ketika sadar nanti.
(Dylan)Aku bangun lebih pagi. Semalam tidak bisa tidur karena memikirkan wanita bernama Naya itu. Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya saat bangun nanti?! Semua pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. Belum lagi semalam aku tidak sengaja mendengar beberapa orang mengatakan kalau Naya adalah seorang artis. Mungkinkah nanti jadi pemicu berita aneh yang akan jadi topik hangat? Memikirkannya saja membuatku pusing.Aku lagi-lagi menghela napas saat duduk di meja makan untuk sarapan. Kulihat ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sebelum akhirnya aku memilih beranjak dan memtuskan bertemu dengan sepupu Daniel sesuai janji."Bu, aku langsung berangkat, ya. Buru-buru!" kataku seraya mencium punggung tangan ibuku untuk pamit."Sarapan dulu, Lan!" Ibuku berseru."Nanti aja, Bu. Dylan berangkat, ya!"Aku memacu mobilku keluar dari parkiran. Masih ada setengah jam lagi untuk bertemu dengan Wira. Aku menginjak pedal gas menambah
(Naya)Setelah berendam cukup lama, aku segera menyelesaikan ritual mandi dan keluar. Gea yang sudah menungguku sejak tadi tengah berselancar dengan ponselnya."Mana baju aku?" tanyaku seraya mengeringkan rambut."Tuh di paper bag!" jawab Gea tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Aku menghela pelan, mengeluarkan pakaian yang dibeli Gea. Pakaian semalam aku berencana membuangnya saja. Beberapa saat lalu sebelum Gea datang aku hampir seperti orang tidak waras. Pikiran menakutkan yang sempat bersemayam membuatku frustasi. Untunglah aku menyadari itu bukan darah seperti yang aku takutkan, melainkan dari sayatan luka di bagian paha sebelah kanan. Sialnya, aku juga tidak mengingat dari mana asal luka ini.Aku terus memutar otak mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatanku terekam jelas saat aku dan Gea berada di club malam itu. Setelahnya, samar-samar aku mengingat kejadian yang terpotong-potong.Lalu, aku teringat ada sosok p
(Naya) Aku merasa begitu antusias untuk memulai pekerjaan hari ini. Beberapa jadwal syuting sengaja aku undur dan itu membuat ayahku marah besar. Aku tidak peduli, ini duniaku. Ayah tidak bisa mengaturku sesuka hatinya, tidak lagi. Aku akan menikmati hasil jerih payahku dengan pekerjaan ini. Aku segera turun dari kamar, kulihat ayah memandangku dengan penuh selidik. Di sana bukan hanya ayah, ibu dan anak juga turut serta duduk berkumpul di ruang tengah. Aku memilih acuh, tidak ingin merusak mood bahagiaku di pagi hari. Baru saja aku hendak keluar, Raina—anak kesayangan ayah memanggilku. "Kak Naya!" "Kamu mau ke lokasi syuting 'kan?" Suara ayah lebih dulu menginterupsi. Aku menahan langkah, menoleh dengan senyuman di wajahku. "Naya tunda dulu, mau pemotretan!" "Sudah berapa kali ayah bilang, kamu harus syuting hari ini!" Ayah meninggikan suaranya. "Produser aja ngizin Naya untuk break. Kenapa
(Dylan)Aku mematut diriku di cermin, memeriksa penampilanku dari atas sampai bawah. Senyumku tersungging seraya meraih kamera milikku yang ada di atas meja.Aku sangat tak sabar memulai pekerjaan ini. Jantungku terus saja berdebar, membayangkan hal menarik yang akan terjadi di sana.Setelah menyereput kopi hitamku beberapa kali, aku lantas beranjak menuju parkiran. Kunyalakan mesin mobil, melaju sedang keluar dari kompleks perumahan. Jaraknya cukup jauh ke lokasi pemotretan. Itu sebabnya aku sengaja berangkat lebih awal agar tepat waktu sampai di sana. Kulirik jam di pergelangan tanganku, arah jarum menunjuk di angka delapan. Kakiku menekan pedal gas menambah laju mobil. Aku mengambil jalur bebas hambatan, kulihat masih cukup lenggang pagi ini.Akhirnya setelah berpacu dengan waktu, aku tiba di lokasi. Di sana sudah ada Wira dan kru sedang mempersiapkan segalanya. Aku mengedarkan pandangan, tampaknya Naya belum
(Naya)Suara alunan musik yang memekakkan telinga terdengar di sebuah club' malam di tengah kota. Muda-mudi tengah asyik menunjukkan kepiawan menari di bawah kelap-kelip lampu disko. Dentuman suara bass makin menggema membuat para pengunjung bersorak riuh.Seperti biasa, setiap akhir pekan dikala senggang aku selalu datang kemari untuk melepas penat dan bersenang-senang. Aku baru saja tiba langsung mendekat ke arah konter bar."Seperti biasa!" kataku seraya duduk di atas kursi.Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk pelan.Hari ini pikiranku sedang kacau karena perseteruan dengan ayah yang tak kunjung selesai. Ayah selalu egois dan terus memaksaku bekerja tanpa kenal lelah. Aku muak mengikuti semua perintahnya.Aku sudah menghubungi Gea untuk menemaniku dan mendengar curhatanku. Dia satu-satunya sahabat yang sangat dekat dan selalu ada di saat susah dan senang.Sambil menunggu Gea, aku mulai meneguk minuman den
(Dylan)Aku mematut diriku di cermin, memeriksa penampilanku dari atas sampai bawah. Senyumku tersungging seraya meraih kamera milikku yang ada di atas meja.Aku sangat tak sabar memulai pekerjaan ini. Jantungku terus saja berdebar, membayangkan hal menarik yang akan terjadi di sana.Setelah menyereput kopi hitamku beberapa kali, aku lantas beranjak menuju parkiran. Kunyalakan mesin mobil, melaju sedang keluar dari kompleks perumahan. Jaraknya cukup jauh ke lokasi pemotretan. Itu sebabnya aku sengaja berangkat lebih awal agar tepat waktu sampai di sana. Kulirik jam di pergelangan tanganku, arah jarum menunjuk di angka delapan. Kakiku menekan pedal gas menambah laju mobil. Aku mengambil jalur bebas hambatan, kulihat masih cukup lenggang pagi ini.Akhirnya setelah berpacu dengan waktu, aku tiba di lokasi. Di sana sudah ada Wira dan kru sedang mempersiapkan segalanya. Aku mengedarkan pandangan, tampaknya Naya belum
(Naya) Aku merasa begitu antusias untuk memulai pekerjaan hari ini. Beberapa jadwal syuting sengaja aku undur dan itu membuat ayahku marah besar. Aku tidak peduli, ini duniaku. Ayah tidak bisa mengaturku sesuka hatinya, tidak lagi. Aku akan menikmati hasil jerih payahku dengan pekerjaan ini. Aku segera turun dari kamar, kulihat ayah memandangku dengan penuh selidik. Di sana bukan hanya ayah, ibu dan anak juga turut serta duduk berkumpul di ruang tengah. Aku memilih acuh, tidak ingin merusak mood bahagiaku di pagi hari. Baru saja aku hendak keluar, Raina—anak kesayangan ayah memanggilku. "Kak Naya!" "Kamu mau ke lokasi syuting 'kan?" Suara ayah lebih dulu menginterupsi. Aku menahan langkah, menoleh dengan senyuman di wajahku. "Naya tunda dulu, mau pemotretan!" "Sudah berapa kali ayah bilang, kamu harus syuting hari ini!" Ayah meninggikan suaranya. "Produser aja ngizin Naya untuk break. Kenapa
(Naya)Setelah berendam cukup lama, aku segera menyelesaikan ritual mandi dan keluar. Gea yang sudah menungguku sejak tadi tengah berselancar dengan ponselnya."Mana baju aku?" tanyaku seraya mengeringkan rambut."Tuh di paper bag!" jawab Gea tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Aku menghela pelan, mengeluarkan pakaian yang dibeli Gea. Pakaian semalam aku berencana membuangnya saja. Beberapa saat lalu sebelum Gea datang aku hampir seperti orang tidak waras. Pikiran menakutkan yang sempat bersemayam membuatku frustasi. Untunglah aku menyadari itu bukan darah seperti yang aku takutkan, melainkan dari sayatan luka di bagian paha sebelah kanan. Sialnya, aku juga tidak mengingat dari mana asal luka ini.Aku terus memutar otak mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatanku terekam jelas saat aku dan Gea berada di club malam itu. Setelahnya, samar-samar aku mengingat kejadian yang terpotong-potong.Lalu, aku teringat ada sosok p
(Dylan)Aku bangun lebih pagi. Semalam tidak bisa tidur karena memikirkan wanita bernama Naya itu. Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya saat bangun nanti?! Semua pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. Belum lagi semalam aku tidak sengaja mendengar beberapa orang mengatakan kalau Naya adalah seorang artis. Mungkinkah nanti jadi pemicu berita aneh yang akan jadi topik hangat? Memikirkannya saja membuatku pusing.Aku lagi-lagi menghela napas saat duduk di meja makan untuk sarapan. Kulihat ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sebelum akhirnya aku memilih beranjak dan memtuskan bertemu dengan sepupu Daniel sesuai janji."Bu, aku langsung berangkat, ya. Buru-buru!" kataku seraya mencium punggung tangan ibuku untuk pamit."Sarapan dulu, Lan!" Ibuku berseru."Nanti aja, Bu. Dylan berangkat, ya!"Aku memacu mobilku keluar dari parkiran. Masih ada setengah jam lagi untuk bertemu dengan Wira. Aku menginjak pedal gas menambah
(Dylan)"Bersulang!!!"Aku dan kedua temanku mengangkat gelas masing-masing. Baru kemarin sampai ke Jakarta, dua sahabatku itu sudah mengajakku keluar. Sebenarnya aku ingin berisitirahat saja, karena mereka memaksa, mau tidak mau aku harus pergi.Alunan musik bertempo cepat memantik para pengunjung club untuk bersenang-senang. Ingar bingar terhelat jelas, bahkan ada yang terang-terangan melancarkan ciuman panas tanpa tahu tempat.Aku menyapu pandangan, benar-benar ramai tempat ini. Sudah lama sekali sejak terakhir aku datang kemari, nuansanya juga berbeda dari tiga tahun yang lalu. Mungkin sudah direnovasi, karena itu penataannya lebih menarik."Lan, udah nemu seseorang? Atau mau aku kenalin yang paling hot?" Daniel sedikit berteriak.Aku menggeleng, meneguk perlahan minuman milikku."Ish ... nggak gentle banget sih! Masa minumnya cola mulu. Sekali-kali nyoba yang baru, yang bergairah gitu!" Raka ikut menimpa
(Naya)Suara alunan musik yang memekakkan telinga terdengar di sebuah club' malam di tengah kota. Muda-mudi tengah asyik menunjukkan kepiawan menari di bawah kelap-kelip lampu disko. Dentuman suara bass makin menggema membuat para pengunjung bersorak riuh.Seperti biasa, setiap akhir pekan dikala senggang aku selalu datang kemari untuk melepas penat dan bersenang-senang. Aku baru saja tiba langsung mendekat ke arah konter bar."Seperti biasa!" kataku seraya duduk di atas kursi.Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk pelan.Hari ini pikiranku sedang kacau karena perseteruan dengan ayah yang tak kunjung selesai. Ayah selalu egois dan terus memaksaku bekerja tanpa kenal lelah. Aku muak mengikuti semua perintahnya.Aku sudah menghubungi Gea untuk menemaniku dan mendengar curhatanku. Dia satu-satunya sahabat yang sangat dekat dan selalu ada di saat susah dan senang.Sambil menunggu Gea, aku mulai meneguk minuman den