(Dylan)
Aku bangun lebih pagi. Semalam tidak bisa tidur karena memikirkan wanita bernama Naya itu. Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya saat bangun nanti?! Semua pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. Belum lagi semalam aku tidak sengaja mendengar beberapa orang mengatakan kalau Naya adalah seorang artis. Mungkinkah nanti jadi pemicu berita aneh yang akan jadi topik hangat? Memikirkannya saja membuatku pusing.
Aku lagi-lagi menghela napas saat duduk di meja makan untuk sarapan. Kulihat ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sebelum akhirnya aku memilih beranjak dan memtuskan bertemu dengan sepupu Daniel sesuai janji.
"Bu, aku langsung berangkat, ya. Buru-buru!" kataku seraya mencium punggung tangan ibuku untuk pamit.
"Sarapan dulu, Lan!" Ibuku berseru.
"Nanti aja, Bu. Dylan berangkat, ya!"
Aku memacu mobilku keluar dari parkiran. Masih ada setengah jam lagi untuk bertemu dengan Wira. Aku menginjak pedal gas menambah kecepatan. Aku memutuskan untuk pergi ke hotel semalam, entah kenapa aku ingin memastikan kondisi Naya yang membuatku terus memikirkannya. Mataku penuh konsentrasi. Kedua tanganku memegang kemudi dengan erat.
Aku tiba di depan lobi hotel. Setelah turun dari mobil, tidak lupa aku memakai kaca mata hitam, alih-alih menyembunyikan wajahku takut ada yang mengenali, mungkin saja ada paparazi yang tiba-tiba memotret karena aku sendiri juga seorang fotografer, aku bisa tahu dari gerak-gerik yang mencurigakan.
Aku mengambil langkah cepat, berharap bisa bertemu Naya dan melihatnya. Belum lagi langkahku mencapai meja resepsionis, aku melihat Naya bersama temannya yang waktu itu sedang berdiri di sana. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, terlihat biasa saja. Naya juga tampak santai. Aku malah sibuk sendiri memikirkan paparazi.
Aku melepas kacamataku, memastikan apa Naya mengenal diriku yang menolongnya atau tidak. Kulangkahkan kaki dengan perlahan saat melihat Naya dan temannya berbalik hendak keluar. Naya sibuk berbicara dengan temannya, aku terus memandangi Naya berharap dia melihatku. Jarak kami makin dekat, Naya melempar pandangan sekilas ke arahku. Senyumku hampir tersungging, mendadak sirna saat dia tampak acuh begitu melewatiku. Aku sedikit kesal, melihat punggungnya yang terus menjauh menuju pintu keluar. Naya tidak mengingatku, sama sekali.
Ah, sial. Harapanku sia-sia. Bagai pungguk merindukan bulan, sungguh tidak beruntung diriku. Bela-bela datang ke sini sampai harus menempuh jarak yang cukup jauh, bahkan aku harus memutar arah hanya untuk memastikannya.
Aku mendesah pasrah, sudut bibirku sedikit terangkat merutuki sikapku. Aku segera beranjak karena Wira sudah dalam perjalanan menemuiku.
***
Wira melambaikan tangan saat melihatku dari kejauhan. Kami bertemu di salah satu cafe yang banyak diminati pengunjung. Kebetulan aku juga sudah lapar, sekalian saja mengisi perutku. Sejak tadi sudah minta jatah.
"Maaf, ya, lama nunggu!" kataku seraya menarik kursi di depan Wira.
"Aku juga baru sampai."
"Kamu mau pesan apa?" Wira bertanya padaku dengan menyodorkan buku menu.
"Menu yang paling laris aja. Aku denger kopi di sini sangat enak!" Aku tersenyum dan menyandarkan punggungku pada sandaran kursi.
Wira memilih outdoor untuk tempat duduk kami. Tempatnya sangat asri dengan konsep yang unik. Aku mengamati sekeliling, banyak muda-mudi yang datang sekedar bersantai untuk bercengkerama.
"Kamu lagi nggak sibuk kan? Atau ada tawaran lain untuk jasa kamu nggak?" Wira memulai pembicaraan setelah pesanan kami diantar.
"Nggak juga, aku pulang karena peringatan hari kematian papa aku. Itu pun rencananya Minggu depan aku bakal balik ke Aussie." Aku menyereput kopi miliku.
"Baguslah, aku mau kontrak kamu selama lima hari untuk peluncuran pakaian terbaru. Bisa nggak?" Wira menawarkan dengan penuh harap.
Aku menimbang sejenak, kulihat Wira mengeluarkan surat kontrak dengan bonus yang tertera. Dia bahkan memberi harga tinggi yang bagiku terlalu berlebihan.
"Ini terlalu banyak, kalau cuma motret model untuk peluncuran pakaian kasih setengah aja," tolakku merasa tidak enak. Walau Wira mengakui sentuhanku yang mengesankan, itu harga yang terlalu fantastis bagiku. Setidaknya aku menentukan tarifku sesuai tingkat kesulitan objek.
"Ini harga yang sesuai buat kamu, karena aku tau gimana hasil foto kamu nanti." Wira memujiku.
Aku mengangguk mengiyakan. Wira bersikeras, aku pun tidak bisa menolak.
"Baiklah. Lalu, siapa yang jadi modelnya?" tanyaku sembari mengeluarkan kamera milikku.
"Kebetulan sekali dia baru aja datang!" Wira mengarahkan pandangannya pada seseorang yang mendekat dari arah belakang.
"Ini dia, model pilihan aku!"
Aku mengangkat muka melihat siapa model pilihan Wira. Betapa terkejutnya hingga membuatku bergeming di tempat. Ternyata dia adalah Naya. Sungguh takdir tidak sekebetulan itu hingga membuatku bertemu lagi dengan Naya. Dia tersenyum manis padaku dengan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
"Hai, aku Naya!"
Aku mendadak canggung, kuulurkan tanganku menyalami tangan Naya yang terasa lembut dan hangat. Jantungku terus berdebar saat tatapan kami beradu pandang. Aku melempar pandangan lebih dulu dan memperkenalkan diri dengan tenang.
"Dylan!"
Naya melepas tangannya. Dia menarik kursi dan duduk di sebelahku. Jantungku seakan melompat keluar dari tempatnya saat kulihat senyum Naya kembali terukir. Rasa canggung ini membuatku gugup setengah mati. Naya memesan kopi. Belum ada pembicaraan, aku memilih diam dan melihatnya dengan ekor mata.
"Wira pasti nggak salah pilih, kayaknya kamu profesional. Apa boleh aku lihat hasil potret kamu?" Pandangan Naya mengarah pada kamera yang ada di atas pangkuanku.
Aku menoleh canggung. Wira menatapku dengan bingung saat melihat aku tidak merespons.
"Oh, boleh-boleh." Aku terjebak dengan rasa canggungku sendiri. Astaga, aku kebingungan untuk menyikapi diriku.
Aku mengambil napas pelan, kuarahkan kameraku pada objek yang bagiku menarik. Namun, Naya menahan pergerakanku.
"Fotoin aku aja!" Naya mengusulkan dirinya.
Aku sedikit kaget mendengar ucapan Naya. Dengan senang hati, kuarahkan lensa kamera padanya. Aku makin bersemangat saat melihat hasil potretku terlihat alami. Selain lokasi tempat serta efek cahaya yang sempurna, ditambah lagi dengan pose dan ekspresi wajah Naya membuatku begitu terkesan. Dia bisa memposisikan dirinya sesuai dengan apa yang aku inginkan. Wanita ini sudah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Gimana hasilnya?" Suara Naya menginterupsi diriku.
Aku segera memperlihatkan hasilnya. Naya dan Wira memandangku dengan takjub. Naya tidak menyangka jika dia bisa berpose sebagus itu.
"Kamu emang profesional. Pantes aja Wira begitu memuji kamu saat nawarin aku jadi model," kata Naya sambil melihat-lihat hasil potret dirinya.
"Aku emang nggak salah pilih. Jadi gimana? Deal?!" Wira mengulurkan tangannya padaku dengan penuh semangat.
Tentu saja, aku menyambutnya dengan hal yang sama. Bahkan lebih bersemangat.
"Deal!"
(Naya)Setelah berendam cukup lama, aku segera menyelesaikan ritual mandi dan keluar. Gea yang sudah menungguku sejak tadi tengah berselancar dengan ponselnya."Mana baju aku?" tanyaku seraya mengeringkan rambut."Tuh di paper bag!" jawab Gea tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Aku menghela pelan, mengeluarkan pakaian yang dibeli Gea. Pakaian semalam aku berencana membuangnya saja. Beberapa saat lalu sebelum Gea datang aku hampir seperti orang tidak waras. Pikiran menakutkan yang sempat bersemayam membuatku frustasi. Untunglah aku menyadari itu bukan darah seperti yang aku takutkan, melainkan dari sayatan luka di bagian paha sebelah kanan. Sialnya, aku juga tidak mengingat dari mana asal luka ini.Aku terus memutar otak mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatanku terekam jelas saat aku dan Gea berada di club malam itu. Setelahnya, samar-samar aku mengingat kejadian yang terpotong-potong.Lalu, aku teringat ada sosok p
(Naya) Aku merasa begitu antusias untuk memulai pekerjaan hari ini. Beberapa jadwal syuting sengaja aku undur dan itu membuat ayahku marah besar. Aku tidak peduli, ini duniaku. Ayah tidak bisa mengaturku sesuka hatinya, tidak lagi. Aku akan menikmati hasil jerih payahku dengan pekerjaan ini. Aku segera turun dari kamar, kulihat ayah memandangku dengan penuh selidik. Di sana bukan hanya ayah, ibu dan anak juga turut serta duduk berkumpul di ruang tengah. Aku memilih acuh, tidak ingin merusak mood bahagiaku di pagi hari. Baru saja aku hendak keluar, Raina—anak kesayangan ayah memanggilku. "Kak Naya!" "Kamu mau ke lokasi syuting 'kan?" Suara ayah lebih dulu menginterupsi. Aku menahan langkah, menoleh dengan senyuman di wajahku. "Naya tunda dulu, mau pemotretan!" "Sudah berapa kali ayah bilang, kamu harus syuting hari ini!" Ayah meninggikan suaranya. "Produser aja ngizin Naya untuk break. Kenapa
(Dylan)Aku mematut diriku di cermin, memeriksa penampilanku dari atas sampai bawah. Senyumku tersungging seraya meraih kamera milikku yang ada di atas meja.Aku sangat tak sabar memulai pekerjaan ini. Jantungku terus saja berdebar, membayangkan hal menarik yang akan terjadi di sana.Setelah menyereput kopi hitamku beberapa kali, aku lantas beranjak menuju parkiran. Kunyalakan mesin mobil, melaju sedang keluar dari kompleks perumahan. Jaraknya cukup jauh ke lokasi pemotretan. Itu sebabnya aku sengaja berangkat lebih awal agar tepat waktu sampai di sana. Kulirik jam di pergelangan tanganku, arah jarum menunjuk di angka delapan. Kakiku menekan pedal gas menambah laju mobil. Aku mengambil jalur bebas hambatan, kulihat masih cukup lenggang pagi ini.Akhirnya setelah berpacu dengan waktu, aku tiba di lokasi. Di sana sudah ada Wira dan kru sedang mempersiapkan segalanya. Aku mengedarkan pandangan, tampaknya Naya belum
(Naya)Suara alunan musik yang memekakkan telinga terdengar di sebuah club' malam di tengah kota. Muda-mudi tengah asyik menunjukkan kepiawan menari di bawah kelap-kelip lampu disko. Dentuman suara bass makin menggema membuat para pengunjung bersorak riuh.Seperti biasa, setiap akhir pekan dikala senggang aku selalu datang kemari untuk melepas penat dan bersenang-senang. Aku baru saja tiba langsung mendekat ke arah konter bar."Seperti biasa!" kataku seraya duduk di atas kursi.Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk pelan.Hari ini pikiranku sedang kacau karena perseteruan dengan ayah yang tak kunjung selesai. Ayah selalu egois dan terus memaksaku bekerja tanpa kenal lelah. Aku muak mengikuti semua perintahnya.Aku sudah menghubungi Gea untuk menemaniku dan mendengar curhatanku. Dia satu-satunya sahabat yang sangat dekat dan selalu ada di saat susah dan senang.Sambil menunggu Gea, aku mulai meneguk minuman den
(Dylan)"Bersulang!!!"Aku dan kedua temanku mengangkat gelas masing-masing. Baru kemarin sampai ke Jakarta, dua sahabatku itu sudah mengajakku keluar. Sebenarnya aku ingin berisitirahat saja, karena mereka memaksa, mau tidak mau aku harus pergi.Alunan musik bertempo cepat memantik para pengunjung club untuk bersenang-senang. Ingar bingar terhelat jelas, bahkan ada yang terang-terangan melancarkan ciuman panas tanpa tahu tempat.Aku menyapu pandangan, benar-benar ramai tempat ini. Sudah lama sekali sejak terakhir aku datang kemari, nuansanya juga berbeda dari tiga tahun yang lalu. Mungkin sudah direnovasi, karena itu penataannya lebih menarik."Lan, udah nemu seseorang? Atau mau aku kenalin yang paling hot?" Daniel sedikit berteriak.Aku menggeleng, meneguk perlahan minuman milikku."Ish ... nggak gentle banget sih! Masa minumnya cola mulu. Sekali-kali nyoba yang baru, yang bergairah gitu!" Raka ikut menimpa
(Dylan)Aku mematut diriku di cermin, memeriksa penampilanku dari atas sampai bawah. Senyumku tersungging seraya meraih kamera milikku yang ada di atas meja.Aku sangat tak sabar memulai pekerjaan ini. Jantungku terus saja berdebar, membayangkan hal menarik yang akan terjadi di sana.Setelah menyereput kopi hitamku beberapa kali, aku lantas beranjak menuju parkiran. Kunyalakan mesin mobil, melaju sedang keluar dari kompleks perumahan. Jaraknya cukup jauh ke lokasi pemotretan. Itu sebabnya aku sengaja berangkat lebih awal agar tepat waktu sampai di sana. Kulirik jam di pergelangan tanganku, arah jarum menunjuk di angka delapan. Kakiku menekan pedal gas menambah laju mobil. Aku mengambil jalur bebas hambatan, kulihat masih cukup lenggang pagi ini.Akhirnya setelah berpacu dengan waktu, aku tiba di lokasi. Di sana sudah ada Wira dan kru sedang mempersiapkan segalanya. Aku mengedarkan pandangan, tampaknya Naya belum
(Naya) Aku merasa begitu antusias untuk memulai pekerjaan hari ini. Beberapa jadwal syuting sengaja aku undur dan itu membuat ayahku marah besar. Aku tidak peduli, ini duniaku. Ayah tidak bisa mengaturku sesuka hatinya, tidak lagi. Aku akan menikmati hasil jerih payahku dengan pekerjaan ini. Aku segera turun dari kamar, kulihat ayah memandangku dengan penuh selidik. Di sana bukan hanya ayah, ibu dan anak juga turut serta duduk berkumpul di ruang tengah. Aku memilih acuh, tidak ingin merusak mood bahagiaku di pagi hari. Baru saja aku hendak keluar, Raina—anak kesayangan ayah memanggilku. "Kak Naya!" "Kamu mau ke lokasi syuting 'kan?" Suara ayah lebih dulu menginterupsi. Aku menahan langkah, menoleh dengan senyuman di wajahku. "Naya tunda dulu, mau pemotretan!" "Sudah berapa kali ayah bilang, kamu harus syuting hari ini!" Ayah meninggikan suaranya. "Produser aja ngizin Naya untuk break. Kenapa
(Naya)Setelah berendam cukup lama, aku segera menyelesaikan ritual mandi dan keluar. Gea yang sudah menungguku sejak tadi tengah berselancar dengan ponselnya."Mana baju aku?" tanyaku seraya mengeringkan rambut."Tuh di paper bag!" jawab Gea tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Aku menghela pelan, mengeluarkan pakaian yang dibeli Gea. Pakaian semalam aku berencana membuangnya saja. Beberapa saat lalu sebelum Gea datang aku hampir seperti orang tidak waras. Pikiran menakutkan yang sempat bersemayam membuatku frustasi. Untunglah aku menyadari itu bukan darah seperti yang aku takutkan, melainkan dari sayatan luka di bagian paha sebelah kanan. Sialnya, aku juga tidak mengingat dari mana asal luka ini.Aku terus memutar otak mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatanku terekam jelas saat aku dan Gea berada di club malam itu. Setelahnya, samar-samar aku mengingat kejadian yang terpotong-potong.Lalu, aku teringat ada sosok p
(Dylan)Aku bangun lebih pagi. Semalam tidak bisa tidur karena memikirkan wanita bernama Naya itu. Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya saat bangun nanti?! Semua pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. Belum lagi semalam aku tidak sengaja mendengar beberapa orang mengatakan kalau Naya adalah seorang artis. Mungkinkah nanti jadi pemicu berita aneh yang akan jadi topik hangat? Memikirkannya saja membuatku pusing.Aku lagi-lagi menghela napas saat duduk di meja makan untuk sarapan. Kulihat ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sebelum akhirnya aku memilih beranjak dan memtuskan bertemu dengan sepupu Daniel sesuai janji."Bu, aku langsung berangkat, ya. Buru-buru!" kataku seraya mencium punggung tangan ibuku untuk pamit."Sarapan dulu, Lan!" Ibuku berseru."Nanti aja, Bu. Dylan berangkat, ya!"Aku memacu mobilku keluar dari parkiran. Masih ada setengah jam lagi untuk bertemu dengan Wira. Aku menginjak pedal gas menambah
(Dylan)"Bersulang!!!"Aku dan kedua temanku mengangkat gelas masing-masing. Baru kemarin sampai ke Jakarta, dua sahabatku itu sudah mengajakku keluar. Sebenarnya aku ingin berisitirahat saja, karena mereka memaksa, mau tidak mau aku harus pergi.Alunan musik bertempo cepat memantik para pengunjung club untuk bersenang-senang. Ingar bingar terhelat jelas, bahkan ada yang terang-terangan melancarkan ciuman panas tanpa tahu tempat.Aku menyapu pandangan, benar-benar ramai tempat ini. Sudah lama sekali sejak terakhir aku datang kemari, nuansanya juga berbeda dari tiga tahun yang lalu. Mungkin sudah direnovasi, karena itu penataannya lebih menarik."Lan, udah nemu seseorang? Atau mau aku kenalin yang paling hot?" Daniel sedikit berteriak.Aku menggeleng, meneguk perlahan minuman milikku."Ish ... nggak gentle banget sih! Masa minumnya cola mulu. Sekali-kali nyoba yang baru, yang bergairah gitu!" Raka ikut menimpa
(Naya)Suara alunan musik yang memekakkan telinga terdengar di sebuah club' malam di tengah kota. Muda-mudi tengah asyik menunjukkan kepiawan menari di bawah kelap-kelip lampu disko. Dentuman suara bass makin menggema membuat para pengunjung bersorak riuh.Seperti biasa, setiap akhir pekan dikala senggang aku selalu datang kemari untuk melepas penat dan bersenang-senang. Aku baru saja tiba langsung mendekat ke arah konter bar."Seperti biasa!" kataku seraya duduk di atas kursi.Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk pelan.Hari ini pikiranku sedang kacau karena perseteruan dengan ayah yang tak kunjung selesai. Ayah selalu egois dan terus memaksaku bekerja tanpa kenal lelah. Aku muak mengikuti semua perintahnya.Aku sudah menghubungi Gea untuk menemaniku dan mendengar curhatanku. Dia satu-satunya sahabat yang sangat dekat dan selalu ada di saat susah dan senang.Sambil menunggu Gea, aku mulai meneguk minuman den