(Naya)
Aku merasa begitu antusias untuk memulai pekerjaan hari ini. Beberapa jadwal syuting sengaja aku undur dan itu membuat ayahku marah besar. Aku tidak peduli, ini duniaku. Ayah tidak bisa mengaturku sesuka hatinya, tidak lagi. Aku akan menikmati hasil jerih payahku dengan pekerjaan ini.
Aku segera turun dari kamar, kulihat ayah memandangku dengan penuh selidik. Di sana bukan hanya ayah, ibu dan anak juga turut serta duduk berkumpul di ruang tengah.
Aku memilih acuh, tidak ingin merusak mood bahagiaku di pagi hari. Baru saja aku hendak keluar, Raina—anak kesayangan ayah memanggilku.
"Kak Naya!"
"Kamu mau ke lokasi syuting 'kan?" Suara ayah lebih dulu menginterupsi.
Aku menahan langkah, menoleh dengan senyuman di wajahku.
"Naya tunda dulu, mau pemotretan!"
"Sudah berapa kali ayah bilang, kamu harus syuting hari ini!" Ayah meninggikan suaranya.
"Produser aja ngizin Naya untuk break. Kenapa Ayah malah ngotot?" aku menekankan ucapanku dengan intonasi suara yang pelan tapi menusuk.
Ayah menatapku nyalang. Terlihat jelas asap kemarahan mengepul di matanya.
"Kamu mau membantah ayah, hah? Tugas kamu itu nyari uang buat keluarga kita, bukan ngatur diri sendiri!"
"Ngatur diri sendiri? Emang Ayah ngasih Naya kebebasan? Nggak kan! Malah Ayah terus nuntut hak tapi nggak pernah tunaikan kewajiban. Harusnya Ayah yang nyari uang untuk kami, bukan Naya yang kerja keras!" kataku lantas berbalik pergi.
"Anak nggak tahu diri! Sudah untung ayah besarkan kamu. Kamu itu harusnya bersyukur, ayah mau nampung kamu dan ngasih tempat tinggal. Seenggaknya kamu kerja keras untuk balas semua itu!"
Aku kembali menahan langkah. Ucapan itu yang terus-menerus ayah lontarkan. Rasanya begitu sakit dan menusuk. Hanya karena aku anak tiri, bukan berarti aku diperlakukan berbeda. Jika saja bisa anak memilih siapa orang tuanya, aku lebih memilih jadi yatim piatu daripada punya orang tua yang bersikap tirani macam kamu, ayah!
Aku melanjutkan langkah, menutup rapat kedua telingaku dan bersikap acuh. Bagaimana tidak, tetangga depan rumahku juga mendengar ucapan ayah tadi. Mereka menatap iba padaku. Cepat-cepat aku masuk ke dalam mobil dan memacu keluar dari halaman rumah.
Air mataku tak henti menetes, setiap kali mengingat perkataan ayah, aku selalu merindukan ibuku. Jika ibu masih ada, mungkin rasanya takkan sesakit ini.
Aku melaju di atas kecepatan rata-rata membela jalan bebas hambatan. Aku harus cepat sampai dan mekakukan pkerjaanku. Setidaknya dengan bekerja, beban itu bisa sedikit teralihkan.
Setelah sejam mengendara, aku sampai di lokasi pemotretan. Di sana Wira dan Dylan sudah menungguku. Aku memperbaiki riasanku, menarik napas panjang sebelum keluar.
"Ayo Nay, segera bersiap!" ajak Wira menuntunku masuk ke ruang ganti.
Harus kuakui, penataan konsep yang diusungkan Dylan benar-benar sempurna. Dia punya mata yang jeli dan sangat terampil. Dylan mengarahkan aku dengan pose terbaik. Senyum Dylan juga terus mengembang saat melihat hasil potretnya.
Setelah pengambilan gambar. Wira meminta kami untuk istirahat sejenak. Aku lantas mendekat ke arah Dylan yang memulai mengedit hasil potret tadi. Dia pria berbakat, dengan lihai Dylan menggerakkan jemarinya memberikan sentuhan akhir.
"Wah, kamu emang luar biasa, Lan! Ini perfect!" Wira tak henti-hentinya memuji. Aku juga sependapat.
Begitu selesai, Wira menyajikan beberapa santapan untuk kami.
Dylan mendekat, mengambil tempat duduk di sampingku.
"Buat kamu!" Dylan memberikan coffee cup yang masih hangat padaku.
"Makasih!" kataku yang lantas menyeruput dengan perlahan.
"Ini enak! Beli di mana?" tanyaku ingin tahu.
Dylan tersenyum. "Itu buatan adikku. Mereka baru aja buka usaha kopi. Ini hadiah kecil untuk Wira dan timnya karena menawariku pekerjaan. Sekalian buat testi katanya! Kalau ada waktu nanti mampir ke sana."
"Wah, recommended banget. Aku bakal mampir nanti!" Aku kembali meneguk dengan nikmat. Ekstrak vanila sangat berasa dan sesuai dengan seleraku.
"Apa kamu sedang ada masalah?"
Aku menoleh kaget. Bagaimana dia tahu?
"Terlihat jelas di wajah kamu!" Dylan kembali berujar.
Aku menghela pelan. Lalu menggeleng kemudian. Kulihat Dylan hanya diam tidak lagi berkata apa pun.
"Sudah berapa lama kamu jadi fotografer?" tanyaku mengalihkan topik.
"Sejak SMA. Awalnya hanya iseng sekedar untuk senang-senang aja. Saat teman aku melihat hasil potretku, dia nyaranin aku untuk menekuni dunia fotografer. Makanya aku ambil jurusan seni kreatif dan desain di Aussie waktu kuliah dulu."
"Kalau kamu? Kenapa memilih jadi artis?"
"Ini bukan kemauan aku! Ayahku yang memaksaku untuk terjun ke dunia ini saat aku masih remaja. Aku nggak pengen jadi artis, maunya jadi pengacara." Aku menyandarkan punggung, ada perasaan lega saat menceritakan hal itu. Selain Gea, Dylan orang pertama yang aku beritahu tentang keinginanku.
"Kenapa nggak coba sampein keinginan kamu? Mungkin kamu bisa kuliah sambil kerja?! Who knows!"
Aku tersenyum kecut, mendengar ucapan Dylan membuatku sedikit terharu. Andai saja ayahku punya pemikiran seperti Dylan.
"Ayah nggak ngizinin aku lakuin apa pun kecuali kerja."
Aku menarik napas panjang, berusaha untuk tidak menangis. Dylan menatapku dengan diam. Entah apa yang dia pikirkan, tangannya lantas memegang pundakku.
"Apa karena itu kamu banyak minum di club waktu itu?"
Aku tersentak. Dylan, pria yang menolongku?
"Jadi kamu yang nolongin aku? Pantesan waktu itu kita sempat berpapasan di hotel!" Aku benar-benar tidak percaya jika Dylan orangnya.
"Benar. Aku ke sana mau mastiin keadaan kamu. Saat aku melihatmu, kupikir kau mengingatku, ternyata kamu nggak ingat apa-apa. Makanya waktu bertemu di cafe kemarin aku hanya diam saja!" Dylan menjelaskan.
"Kenapa nggak bilang? Aku berusaha mengingat kamu agar bisa berterima kasih. Aku sampai nanyain ke resepsionis tapi nggak ada petunjuk apa pun tentang kamu."
Dylan tertawa pelan. "Kamu benar-benar nggak ingat sama sekali?"
Aku kembali mengingat hal memalukan itu. Kuarahkan pandanganku pada kerah kemeja Dylan. Aku menggigit bibir, aku memuntahkan isi perutku di pakaian Dylan.
"Pakaian kamu, aku mengingat itu!" kataku akhirnya. Aku sangat malu, ingin rasanya aku menghempaskan diriku saat itu juga.
"Oh iya, kamu juga sedikit tergores waktu itu. Apa luka itu sudah lebih baik?" Dylan kembali menyergah, membuatku mendadak lemas.
Luka itu, aku tertawa sumbang mengingatnya.
"Sudah lebih baik, hanya sedikit tergores. Aku bahkan tidak mengingat bagaimana sampai mendapatkan luka itu!"
"Luka itu didapat dari ujung pisau saat kamu nggak sengaja nabrak troli saji yang didorong keluar dari sebelah kamar kamu." Dylan kembali menjelaskan.
Aku menggaruk kepalaku dengan kikuk. Sepertinya aku harus berhenti minum. Memalukan sekali!
"Dan ...." Dylan menggantung kalimatnya. Dia melirik padaku.
"Dan apa?" Aku menunggu dengan penasaran.
Wajahku mendadak memerah. Pasti soal aku yang tidak memakai sehelai benang saat bangun. Ya ampun, jangan bilang aku sendiri yang melepasnya di depan Dylan?
"Itu kamu yang melepas sendiri, aku langsung keluar dari kamar. Jadi kamu nggak usah khawatir!"
Seakan Dylan tahu apa yang aku pikirkan, dia lebih dulu menjelaskan.
"Maaf sudah merepotkan kamu malam itu, dan terima kasih udah nolongin aku." Aku tidak kuat lagi menahan rasa malu.
"Sebaiknya kamu nggak usah minum lagi. Nggak baik buat kesehatan! Setiap ada masalah, jangan lampiasin ke minuman. Minta solusi pada sang pemilik kehidupan, karena hanya pada-Nya lah kamu bisa mendapat jalan keluar atas setiap masalah yang kamu hadapi."
Aku tertegun mendengar ucapan Dylan. Perkataannya menyentuh hatiku. Selain berbakat, dia juga pria yang baik.
"Aku sungguh beruntung bisa bertemu dengan kamu malam itu."
"Mungkin karena takdir yang mempertemukan kita. Bisa jadi kita jodoh!" Dylan mengulas senyum, menoleh sekilas ke arahku.
"Aku nggak mungkin jodoh kamu! Kita hanya kebetulan bertemu."
"Kamu percaya takdir?"
Aku mengangguk, mengiyakan.
Lagi-lagi Dylan tersenyum. Dia membalikkan badannya menatapku lebih dekat.
"Aku yakin kamu jodoh aku, karena takdir mempertemukan kita dengan menyamar sebagai kebetulan."
Aku bergeming, tidak bisa berkata-kata.
(Dylan)Aku mematut diriku di cermin, memeriksa penampilanku dari atas sampai bawah. Senyumku tersungging seraya meraih kamera milikku yang ada di atas meja.Aku sangat tak sabar memulai pekerjaan ini. Jantungku terus saja berdebar, membayangkan hal menarik yang akan terjadi di sana.Setelah menyereput kopi hitamku beberapa kali, aku lantas beranjak menuju parkiran. Kunyalakan mesin mobil, melaju sedang keluar dari kompleks perumahan. Jaraknya cukup jauh ke lokasi pemotretan. Itu sebabnya aku sengaja berangkat lebih awal agar tepat waktu sampai di sana. Kulirik jam di pergelangan tanganku, arah jarum menunjuk di angka delapan. Kakiku menekan pedal gas menambah laju mobil. Aku mengambil jalur bebas hambatan, kulihat masih cukup lenggang pagi ini.Akhirnya setelah berpacu dengan waktu, aku tiba di lokasi. Di sana sudah ada Wira dan kru sedang mempersiapkan segalanya. Aku mengedarkan pandangan, tampaknya Naya belum
(Naya)Suara alunan musik yang memekakkan telinga terdengar di sebuah club' malam di tengah kota. Muda-mudi tengah asyik menunjukkan kepiawan menari di bawah kelap-kelip lampu disko. Dentuman suara bass makin menggema membuat para pengunjung bersorak riuh.Seperti biasa, setiap akhir pekan dikala senggang aku selalu datang kemari untuk melepas penat dan bersenang-senang. Aku baru saja tiba langsung mendekat ke arah konter bar."Seperti biasa!" kataku seraya duduk di atas kursi.Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk pelan.Hari ini pikiranku sedang kacau karena perseteruan dengan ayah yang tak kunjung selesai. Ayah selalu egois dan terus memaksaku bekerja tanpa kenal lelah. Aku muak mengikuti semua perintahnya.Aku sudah menghubungi Gea untuk menemaniku dan mendengar curhatanku. Dia satu-satunya sahabat yang sangat dekat dan selalu ada di saat susah dan senang.Sambil menunggu Gea, aku mulai meneguk minuman den
(Dylan)"Bersulang!!!"Aku dan kedua temanku mengangkat gelas masing-masing. Baru kemarin sampai ke Jakarta, dua sahabatku itu sudah mengajakku keluar. Sebenarnya aku ingin berisitirahat saja, karena mereka memaksa, mau tidak mau aku harus pergi.Alunan musik bertempo cepat memantik para pengunjung club untuk bersenang-senang. Ingar bingar terhelat jelas, bahkan ada yang terang-terangan melancarkan ciuman panas tanpa tahu tempat.Aku menyapu pandangan, benar-benar ramai tempat ini. Sudah lama sekali sejak terakhir aku datang kemari, nuansanya juga berbeda dari tiga tahun yang lalu. Mungkin sudah direnovasi, karena itu penataannya lebih menarik."Lan, udah nemu seseorang? Atau mau aku kenalin yang paling hot?" Daniel sedikit berteriak.Aku menggeleng, meneguk perlahan minuman milikku."Ish ... nggak gentle banget sih! Masa minumnya cola mulu. Sekali-kali nyoba yang baru, yang bergairah gitu!" Raka ikut menimpa
(Dylan)Aku bangun lebih pagi. Semalam tidak bisa tidur karena memikirkan wanita bernama Naya itu. Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya saat bangun nanti?! Semua pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. Belum lagi semalam aku tidak sengaja mendengar beberapa orang mengatakan kalau Naya adalah seorang artis. Mungkinkah nanti jadi pemicu berita aneh yang akan jadi topik hangat? Memikirkannya saja membuatku pusing.Aku lagi-lagi menghela napas saat duduk di meja makan untuk sarapan. Kulihat ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sebelum akhirnya aku memilih beranjak dan memtuskan bertemu dengan sepupu Daniel sesuai janji."Bu, aku langsung berangkat, ya. Buru-buru!" kataku seraya mencium punggung tangan ibuku untuk pamit."Sarapan dulu, Lan!" Ibuku berseru."Nanti aja, Bu. Dylan berangkat, ya!"Aku memacu mobilku keluar dari parkiran. Masih ada setengah jam lagi untuk bertemu dengan Wira. Aku menginjak pedal gas menambah
(Naya)Setelah berendam cukup lama, aku segera menyelesaikan ritual mandi dan keluar. Gea yang sudah menungguku sejak tadi tengah berselancar dengan ponselnya."Mana baju aku?" tanyaku seraya mengeringkan rambut."Tuh di paper bag!" jawab Gea tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Aku menghela pelan, mengeluarkan pakaian yang dibeli Gea. Pakaian semalam aku berencana membuangnya saja. Beberapa saat lalu sebelum Gea datang aku hampir seperti orang tidak waras. Pikiran menakutkan yang sempat bersemayam membuatku frustasi. Untunglah aku menyadari itu bukan darah seperti yang aku takutkan, melainkan dari sayatan luka di bagian paha sebelah kanan. Sialnya, aku juga tidak mengingat dari mana asal luka ini.Aku terus memutar otak mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatanku terekam jelas saat aku dan Gea berada di club malam itu. Setelahnya, samar-samar aku mengingat kejadian yang terpotong-potong.Lalu, aku teringat ada sosok p
(Dylan)Aku mematut diriku di cermin, memeriksa penampilanku dari atas sampai bawah. Senyumku tersungging seraya meraih kamera milikku yang ada di atas meja.Aku sangat tak sabar memulai pekerjaan ini. Jantungku terus saja berdebar, membayangkan hal menarik yang akan terjadi di sana.Setelah menyereput kopi hitamku beberapa kali, aku lantas beranjak menuju parkiran. Kunyalakan mesin mobil, melaju sedang keluar dari kompleks perumahan. Jaraknya cukup jauh ke lokasi pemotretan. Itu sebabnya aku sengaja berangkat lebih awal agar tepat waktu sampai di sana. Kulirik jam di pergelangan tanganku, arah jarum menunjuk di angka delapan. Kakiku menekan pedal gas menambah laju mobil. Aku mengambil jalur bebas hambatan, kulihat masih cukup lenggang pagi ini.Akhirnya setelah berpacu dengan waktu, aku tiba di lokasi. Di sana sudah ada Wira dan kru sedang mempersiapkan segalanya. Aku mengedarkan pandangan, tampaknya Naya belum
(Naya) Aku merasa begitu antusias untuk memulai pekerjaan hari ini. Beberapa jadwal syuting sengaja aku undur dan itu membuat ayahku marah besar. Aku tidak peduli, ini duniaku. Ayah tidak bisa mengaturku sesuka hatinya, tidak lagi. Aku akan menikmati hasil jerih payahku dengan pekerjaan ini. Aku segera turun dari kamar, kulihat ayah memandangku dengan penuh selidik. Di sana bukan hanya ayah, ibu dan anak juga turut serta duduk berkumpul di ruang tengah. Aku memilih acuh, tidak ingin merusak mood bahagiaku di pagi hari. Baru saja aku hendak keluar, Raina—anak kesayangan ayah memanggilku. "Kak Naya!" "Kamu mau ke lokasi syuting 'kan?" Suara ayah lebih dulu menginterupsi. Aku menahan langkah, menoleh dengan senyuman di wajahku. "Naya tunda dulu, mau pemotretan!" "Sudah berapa kali ayah bilang, kamu harus syuting hari ini!" Ayah meninggikan suaranya. "Produser aja ngizin Naya untuk break. Kenapa
(Naya)Setelah berendam cukup lama, aku segera menyelesaikan ritual mandi dan keluar. Gea yang sudah menungguku sejak tadi tengah berselancar dengan ponselnya."Mana baju aku?" tanyaku seraya mengeringkan rambut."Tuh di paper bag!" jawab Gea tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Aku menghela pelan, mengeluarkan pakaian yang dibeli Gea. Pakaian semalam aku berencana membuangnya saja. Beberapa saat lalu sebelum Gea datang aku hampir seperti orang tidak waras. Pikiran menakutkan yang sempat bersemayam membuatku frustasi. Untunglah aku menyadari itu bukan darah seperti yang aku takutkan, melainkan dari sayatan luka di bagian paha sebelah kanan. Sialnya, aku juga tidak mengingat dari mana asal luka ini.Aku terus memutar otak mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatanku terekam jelas saat aku dan Gea berada di club malam itu. Setelahnya, samar-samar aku mengingat kejadian yang terpotong-potong.Lalu, aku teringat ada sosok p
(Dylan)Aku bangun lebih pagi. Semalam tidak bisa tidur karena memikirkan wanita bernama Naya itu. Apa dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya saat bangun nanti?! Semua pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. Belum lagi semalam aku tidak sengaja mendengar beberapa orang mengatakan kalau Naya adalah seorang artis. Mungkinkah nanti jadi pemicu berita aneh yang akan jadi topik hangat? Memikirkannya saja membuatku pusing.Aku lagi-lagi menghela napas saat duduk di meja makan untuk sarapan. Kulihat ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sebelum akhirnya aku memilih beranjak dan memtuskan bertemu dengan sepupu Daniel sesuai janji."Bu, aku langsung berangkat, ya. Buru-buru!" kataku seraya mencium punggung tangan ibuku untuk pamit."Sarapan dulu, Lan!" Ibuku berseru."Nanti aja, Bu. Dylan berangkat, ya!"Aku memacu mobilku keluar dari parkiran. Masih ada setengah jam lagi untuk bertemu dengan Wira. Aku menginjak pedal gas menambah
(Dylan)"Bersulang!!!"Aku dan kedua temanku mengangkat gelas masing-masing. Baru kemarin sampai ke Jakarta, dua sahabatku itu sudah mengajakku keluar. Sebenarnya aku ingin berisitirahat saja, karena mereka memaksa, mau tidak mau aku harus pergi.Alunan musik bertempo cepat memantik para pengunjung club untuk bersenang-senang. Ingar bingar terhelat jelas, bahkan ada yang terang-terangan melancarkan ciuman panas tanpa tahu tempat.Aku menyapu pandangan, benar-benar ramai tempat ini. Sudah lama sekali sejak terakhir aku datang kemari, nuansanya juga berbeda dari tiga tahun yang lalu. Mungkin sudah direnovasi, karena itu penataannya lebih menarik."Lan, udah nemu seseorang? Atau mau aku kenalin yang paling hot?" Daniel sedikit berteriak.Aku menggeleng, meneguk perlahan minuman milikku."Ish ... nggak gentle banget sih! Masa minumnya cola mulu. Sekali-kali nyoba yang baru, yang bergairah gitu!" Raka ikut menimpa
(Naya)Suara alunan musik yang memekakkan telinga terdengar di sebuah club' malam di tengah kota. Muda-mudi tengah asyik menunjukkan kepiawan menari di bawah kelap-kelip lampu disko. Dentuman suara bass makin menggema membuat para pengunjung bersorak riuh.Seperti biasa, setiap akhir pekan dikala senggang aku selalu datang kemari untuk melepas penat dan bersenang-senang. Aku baru saja tiba langsung mendekat ke arah konter bar."Seperti biasa!" kataku seraya duduk di atas kursi.Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk pelan.Hari ini pikiranku sedang kacau karena perseteruan dengan ayah yang tak kunjung selesai. Ayah selalu egois dan terus memaksaku bekerja tanpa kenal lelah. Aku muak mengikuti semua perintahnya.Aku sudah menghubungi Gea untuk menemaniku dan mendengar curhatanku. Dia satu-satunya sahabat yang sangat dekat dan selalu ada di saat susah dan senang.Sambil menunggu Gea, aku mulai meneguk minuman den