“Halo… Ada apa, Lista?”-Percakapanku dengan kekasihku mendadak harus terhenti sementara, karena ponselnya tadi berdering. Aku kembali menikmati tuna cheese whole wheat panini, sambil sesekali mengamati Dinda yang sedang duduk di depanku.-“Iya, oke, iya… iya, nggak apa-apa…”“Tenang aja, nggak apa-apa. Aku udah di airport kok ini…”“Iya, nggak apa-apa, Lista... Yang lain masih pada tidur kah?”“Ohh, oke… Iya… Oke… Iya, bisa… Udah aku tanda tangan sih kemarin… Iya, udah semua kok. Nggak ada yang ketinggalan…”“Oke… Hmm, nanti tolong bilangin ke Rangga ya, aku ke kantor hari Kamis… Iya, oke… Thank you, Lista…”-“Siapa?” Tanyaku ketika Dinda sudah mengakhiri panggilan teleponnya.“Ini, rekan kerja. Temen aku di agency. Dia minta maaf karena bangun kesiangan dan nanyain aku pulangnya gimana. Soalnya kan biasanya yang ngurus taksi itu dia. Dan karena aku pulang duluan, jadinya diaturnya memang beda sendiri.”“Ohh… Pantesan… Aku udah sempet mikir kenapa kamu pulang sendirian, padahal ka
“Sumpah ya, lo nyebelin banget jadi orang... Ditelepon berkali-kali nggak ada yang diangkat. Dipencet juga, lama banget bukannya. Pegel tau kaki gue nungguin lo buka pintu…”+Aduh…Hanna kalo nggak lagi hamil, udah gue suruh ke luar, dan gue larang masuk lagi…Demen amat gangguin orang tidur dah…Ini si Roy juga kemana lagi? Kenapa istrinya bisa balik lagi ke kamar gue?+“Salah lo sendiri, Han… Ngapain lo dateng pas gue lagi tidur?” Tanyaku sambil menguap.Hanna menatapku sambil menggelengkan kepalanya, seperti tidak habis pikir dengan kelakuanku. “Udah gue duga. Udah gue duga.”+Ngomel apaan lagi, ibu-ibu hamil satu ini?+“Roy ada di mana?” Tanyaku sambil menguap lagi, dan berjalan ke arah kulkas mini untuk mengambil kopi hitamku.“Lagi beli makan. Lumayan ngantrinya, jadi gue ke sini duluan deh.”Aku langsung menoleh ke arah Hanna. “Tumben lo nggak ikutan makan?”Hanna mendengus pelan. “Kan Roy lagi pesen. Trus, nanti di bawa ke sini, jadi kita bisa makan berempat bareng-bareng.
“Iya. Kalo gue nggak salah ngitung ya sekitar setengah limaan lah. Cuma gue nggak yakin ya. Nggak merhatiin jam.”Kedua mata Hanna langsung melotot. “Lo berdua udaaahhh…?”“Udah." Jawabku langsung tanpa menunggu Hanna untuk menyelesaikan kalimatnya. "Makanya gue tidur cuma satu jam.”Lagi-lagi, Hanna membuka mulutnya dengan sangat lebar dan membuatku tertawa geli. “Biasa aja kagetnya… Itu anak lo bisa ada di perut lo juga, artinya karena lo keseringan main sama Roy.”Hanna terdiam sejenak. “Kayaknya nggak mungkin deh, kalo cewek kayak Adinda bisa langsung cepet mau sama lo…”“Tapi, kenyataannya mungkin tuh. Lagian, gue juga ganteng, keren, pinter, baik hati, penyayang, tulus sama dia... Apa lagi yang kurang?”Hanna masih menatapku secara serius. Dia lalu mendengus pelan. “Yo, tapi lo tetep harus ati-ati loh... Kalo sampe Adinda tau track record lo sama perempuan kayak apa, bisa jadi masalah besar nanti…”“Gue udah cerita kok. Sebelum gue nembak dia.”“Serius lo?” Lagi-lagi Hanna terli
“SURPRISE!!”“Buset dah, lo ngagetin gue banget tau, Saall...” Kataku sambil mengelus dadaku yang sebelah kiri. Aku kemudian mempersilahkan Salma masuk ke dalam apartemenku.“Gue fresh from the airport nih, langsung ke sini…” Kata Salma sambil meletakkan koper besarnya di sisi pinggir, dekat sofa ruang tamu.“Lo di Bali, nggak pernah lupa pake yang ‘SPF 50 plus’ terus kan, Sal?” Tanyaku sambil mengamati kulit Salma secara menyeluruh.“Pake terus dong! Makin keren kan kulit gue sekarang?”“Iya, makin mengkilap dan eksotis…”Salma tertawa geli. “Kalo buat kulit, istilahnya itu glowing, Dindaaa… Bukan mengkilap… Lo kata gue piring prasmanan?”“Ya, itu lah istilahnya. Sama aja artinya…” Kataku sambil berjalan menuju ke dapur. “Gue mau lanjut bikin sandwich sama yogurt buah dulu. Lo mau sekalian nggak?”“Boleh deh! Tadi gue nggak sempet sarapan soalnya…” Jawab Salma sambil mengikutiku ke dapur. “Gue beli wine nih buat lo, sekalian buat kita rumpi-rumpi manja hari ini…” Salma kemudian menga
Kedua tanganku kusandarkan di kitchen island, dan kutatap kedua mata Salma lagi. “Jadi kok. Cuma gue belum tau kapan waktu yang tepat. Di sisi lain, gue juga masih bingung sama diri gue sendiri…”“Bingung soal?”“Rencana gue selanjutnya setelah resign.” Jawabku sambil kembali fokus membuat sarapan untuk kita berdua.“Lo masih bingung ya, mau kerja apa?”“Iya, itu salah satu yang bikin gue bingung.”“Apa lagi yang lainnya?”“Lo tau kan, gue selama ini selalu nurutin rencana bokap gue… sampe-sampe, gue nggak ada waktu buat kasih kesempatan ke diri gue sendiri. Gue terlalu lama nurutin bokap, sampe keterusan dan lupa sama diri gue sendiri.”“Dan sekarang, gue lagi di titik yang bingung banget sama hidup gue… Gue masih belum tau, mau gue sebenernya apaan… Banyak hal yang masih gue pertanyakan, dan gue belum nemuin jawabannya. Banyak hal yang kepengen banget gue lakuin, tapi, gue juga nggak tau mesti mulai dari mana dan gimana caranya…”“Menurut lo, gue aneh nggak sih, Sal?” Tanyaku sambil
“By the way… gue hampir aja lupa. Gue ke sini kan karena mau sekalian denger soal cowok misterius yang waktu itu lo ceritain…” “Lo nggak liat ini gue lagi apa?” Tanyaku sambil fokus bekerja di depan laptopku. “Ya, sambil cerita dong, Dinda… Atau cerita dulu juga boleh. Lo udah bikin gue penasaran soalnya, jadi sekarang, lo harus tanggung jawab ya!” “Mau gue ceritain yang bagian mana?” Tanyaku sambil fokus menatap layar laptopku. “Semuanya dong. Dari awal sampe akhir.” Kata Salma dengan intonasi yang terdengar seperti sudah tidak sabar lagi. “Namanya Aldeo…” Aku menyimpan file kerjaku terlebih dahulu, karena aku yakin bahwa aku tidak akan pernah bisa membagi konsentrasiku untuk pekerjaan dan Salma, di waktu yang bersamaan. Nanti, setelah menceritakan semuanya ke Salma, aku akan melanjutkan lagi pekerjaanku yang progress-nya masih sekitar delapan puluh lima persen ini. “Aldeo? Kayaknya gue nggak ada temen atau kenalan yang namanya Aldeo deh…” “Sama... Gue juga baru ketemu dia pas
Salma mendengus pelan. “Aduh, Dinda, Dinda… Ini kadang yang gue nggak suka dari lo. Lo memang pinter sih. Tapi kalo semuanya harus masuk logika dulu, itu nyebelin banget tau nggak sih...”“Kalo main perasaan doang dan nggak pake pikiran, yang ada nanti kita dibegoin dan dimanfaatin orang lain tau...”“Ya, oke, itu juga bener. Tapi, soal Deo ini, menurut gue nggak ada yang aneh kalo lo bisa ngerasa langsung klik sama dia. Kadang, bangun chemistry antara dua orang itu nggak butuh waktu yang lama. Mungkin aja, lo sama Deo itu satu frekuensi energy-nya, makanya kan bisa langsung cepet nyambungnya…”+Iya, juga ya… Kok gue baru kepikiran sekarang ya?Gue memang termasuk orang yang nggak gampang terbuka sama siapa pun, tapi nggak ada yang perlu gue heranin, dengan hubungan gue dan Deo yang bisa langsung cepet saling connect.+“Sebenernya… kita berdua udah lebih dari sekedar nyambung sih, Sal...”“Maksud lo?” Tanya Salma sambil menatapku dengan sorot mata yang serius.“Gue bisa yang langsun
“Nggak.” Aku menggelengkan kepalaku sekali lagi. “Untung aja, Deo sama sekali nggak kayak gitu. Satu hal kenapa sex sama Deo itu nyaman banget buat gue, karena dia bener-bener nggak egois. Bahkan cenderung ngutamain gue dulu, baru mikirin kita bareng-bareng, dan dirinya sendiri.”“Good! Di Indonesia, cowok yang kayak gitu populasinya langka banget soalnya.”“Oh, ya? Client lo memangnya ada yang sampe cerai cuma gara-gara masalah sex?”“Banyak! Bukan cuma ‘ada’, tapi banyak banget!” Jawab Salma dengan antusias yang penuh.“Satu hal penting yang wajib lo inget adalah, jangan pernah mau berhubungan sama laki-laki yang cuma bisa asal penetrasi, trus tinggal ejakulasi, dan molor gitu aja! Jangan mau sama kaum laki-laki yang hobinya cuma jadiin perempuan sebagai tempat pembuangan sperma doang! Mereka pasti suka berbuat seenaknya, sok paling berkuasa, dan nyebelin! Mereka itu tipe laki-laki yang otaknya mesum doang dan nggak paham sex itu apa! Pemikirannya pasti kolot, patriarki, dan misogin