Kedua tanganku kusandarkan di kitchen island, dan kutatap kedua mata Salma lagi. “Jadi kok. Cuma gue belum tau kapan waktu yang tepat. Di sisi lain, gue juga masih bingung sama diri gue sendiri…”“Bingung soal?”“Rencana gue selanjutnya setelah resign.” Jawabku sambil kembali fokus membuat sarapan untuk kita berdua.“Lo masih bingung ya, mau kerja apa?”“Iya, itu salah satu yang bikin gue bingung.”“Apa lagi yang lainnya?”“Lo tau kan, gue selama ini selalu nurutin rencana bokap gue… sampe-sampe, gue nggak ada waktu buat kasih kesempatan ke diri gue sendiri. Gue terlalu lama nurutin bokap, sampe keterusan dan lupa sama diri gue sendiri.”“Dan sekarang, gue lagi di titik yang bingung banget sama hidup gue… Gue masih belum tau, mau gue sebenernya apaan… Banyak hal yang masih gue pertanyakan, dan gue belum nemuin jawabannya. Banyak hal yang kepengen banget gue lakuin, tapi, gue juga nggak tau mesti mulai dari mana dan gimana caranya…”“Menurut lo, gue aneh nggak sih, Sal?” Tanyaku sambil
“By the way… gue hampir aja lupa. Gue ke sini kan karena mau sekalian denger soal cowok misterius yang waktu itu lo ceritain…” “Lo nggak liat ini gue lagi apa?” Tanyaku sambil fokus bekerja di depan laptopku. “Ya, sambil cerita dong, Dinda… Atau cerita dulu juga boleh. Lo udah bikin gue penasaran soalnya, jadi sekarang, lo harus tanggung jawab ya!” “Mau gue ceritain yang bagian mana?” Tanyaku sambil fokus menatap layar laptopku. “Semuanya dong. Dari awal sampe akhir.” Kata Salma dengan intonasi yang terdengar seperti sudah tidak sabar lagi. “Namanya Aldeo…” Aku menyimpan file kerjaku terlebih dahulu, karena aku yakin bahwa aku tidak akan pernah bisa membagi konsentrasiku untuk pekerjaan dan Salma, di waktu yang bersamaan. Nanti, setelah menceritakan semuanya ke Salma, aku akan melanjutkan lagi pekerjaanku yang progress-nya masih sekitar delapan puluh lima persen ini. “Aldeo? Kayaknya gue nggak ada temen atau kenalan yang namanya Aldeo deh…” “Sama... Gue juga baru ketemu dia pas
Salma mendengus pelan. “Aduh, Dinda, Dinda… Ini kadang yang gue nggak suka dari lo. Lo memang pinter sih. Tapi kalo semuanya harus masuk logika dulu, itu nyebelin banget tau nggak sih...”“Kalo main perasaan doang dan nggak pake pikiran, yang ada nanti kita dibegoin dan dimanfaatin orang lain tau...”“Ya, oke, itu juga bener. Tapi, soal Deo ini, menurut gue nggak ada yang aneh kalo lo bisa ngerasa langsung klik sama dia. Kadang, bangun chemistry antara dua orang itu nggak butuh waktu yang lama. Mungkin aja, lo sama Deo itu satu frekuensi energy-nya, makanya kan bisa langsung cepet nyambungnya…”+Iya, juga ya… Kok gue baru kepikiran sekarang ya?Gue memang termasuk orang yang nggak gampang terbuka sama siapa pun, tapi nggak ada yang perlu gue heranin, dengan hubungan gue dan Deo yang bisa langsung cepet saling connect.+“Sebenernya… kita berdua udah lebih dari sekedar nyambung sih, Sal...”“Maksud lo?” Tanya Salma sambil menatapku dengan sorot mata yang serius.“Gue bisa yang langsun
“Nggak.” Aku menggelengkan kepalaku sekali lagi. “Untung aja, Deo sama sekali nggak kayak gitu. Satu hal kenapa sex sama Deo itu nyaman banget buat gue, karena dia bener-bener nggak egois. Bahkan cenderung ngutamain gue dulu, baru mikirin kita bareng-bareng, dan dirinya sendiri.”“Good! Di Indonesia, cowok yang kayak gitu populasinya langka banget soalnya.”“Oh, ya? Client lo memangnya ada yang sampe cerai cuma gara-gara masalah sex?”“Banyak! Bukan cuma ‘ada’, tapi banyak banget!” Jawab Salma dengan antusias yang penuh.“Satu hal penting yang wajib lo inget adalah, jangan pernah mau berhubungan sama laki-laki yang cuma bisa asal penetrasi, trus tinggal ejakulasi, dan molor gitu aja! Jangan mau sama kaum laki-laki yang hobinya cuma jadiin perempuan sebagai tempat pembuangan sperma doang! Mereka pasti suka berbuat seenaknya, sok paling berkuasa, dan nyebelin! Mereka itu tipe laki-laki yang otaknya mesum doang dan nggak paham sex itu apa! Pemikirannya pasti kolot, patriarki, dan misogin
Kangen.Satu kata yang saat ini paling tepat dalam menggambarkan isi hatiku untuk Deo, yang siang ini sedang dalam perjalanan pulang dari Singapura menuju ke Indonesia. Padahal, kita berdua sudah saling berusaha untuk meluangkan waktu, supaya kita tetap bisa menjaga komunikasi dengan baik. Akan tetapi, semuanya itu masih belum cukup untukku. Seringkali, aku masih ingin terus bercengkerama dengan Deo, namun selalu aku yang terlebih dahulu mengakhiri percakapan kita. Entah karena aku yang mendadak ketiduran dan meninggalkan Deo begitu saja, atau karena aku yang harus kembali fokus untuk menyelesaikan pekerjaanku.Pekerjaanku mendadak bertambah lebih banyak, semenjak Prof. Petra terkena musibah karena beliau mengemudi mobil dalam keadaan yang lelah dan mengantuk. Oleh karena itu, beberapa tugas dan tanggung jawab milik Prof. Petra yang sudah tidak bisa ditunda lagi, harus segera aku selesaikan dan wakilkan. Bahkan, beberapa kegiatan mengajar beliau pun juga akan segera aku gantikan. Tapi
“Permisi, Bu Dinda?” Terdengar suara ketukan pintu lagi, dan juga suara dari salah satu staff admin yang sangat aku kenali.Aku menoleh ke arah pintu ruanganku yang masih tertutup. “Masuk, Yan…”Yanti masuk ke dalam ruanganku, lalu duduk di kursi yang ada di depan meja kerjaku, setelah aku persilahkan. Dia kemudian memberikanku beberapa surat-surat perijinan yang harus aku tanda tangani, dan menjelaskan kepadaku beberapa hal penting yang terkait.“Jadwal kelas sudah kamu proses?” Tanyaku kemudian.“Sudah, Bu. Tinggal Bu Dinda sama Pak Erwin yang pilih kelas, setelah itu baru saya input ke sistem.”“Hmm…” Aku berpikir sejenak. “Ini Pak Erwin lagi beli makan siang, kalo nunggu beliau, nanti kamu yang terlalu lama nunggunya. Kelasnya masih sama yang waktu itu kamu bilang kan? Tinggal pilih kelompok kelasnya aja?”“Iya, Bu.”“Ya, udah. Tolong kamu aja yang bagi buat saya sama Pak Erwin ya, Yan? Laporannya harus segera keluar sebelum jam satu siang soalnya.”“Siap, Bu. Habis ini saya input
“Kamu udah nyampe Jakarta kan ini?” Tanyaku langsung pada Deo.“Ini lagi di jalan. Kamu udah makan?”“Ini mau makan...” Jawabku sambil menyandarkan punggungku ke kursi yang sedang aku duduki. “Aku baru aja mau text kamu, eh malah kamu yang telepon aku duluan.”“Mau ketemu sekarang nggak? Aku bisa samperin kamu dulu.”+Mau! Please…Kangen banget…+“Jangan deh. Kamu pasti capek. Lagian kalo kamu ke sini, kita nggak akan bisa ketemu lama.”“Jadi kalo sama aku, kamu sukanya yang lama nih?”+Deo kalo lagi iseng godain gini, kalimatnya suka multi tafsir…Bener-bener dah ya…+Aku mendengus geli. “Ada yang mau aku sampein, tapi kamu jangan marah ya?”“Oke. Tenang aja, aku nggak mau darah tinggi.”Aku menghela nafas sekali. “Aku bisa ketemu kamu malam ini, tapi kalo rencana dinner kita reschedule gimana? Aku tau, aku udah janji. Tapi, aku baru aja dapet kabar, meeting yang harusnya selesai jam lima, malah baru akan dimulai jam enam nanti. Jadi, kalo dinner-nya kita pindah ke weekend, kamu
“Tenang aja, pokoknya aku atur biar nggak ganggu jadwal kamu besoknya.”“Oke.” Kataku sambil tersenyum.“Kalo, Sabtu sama Minggu, kita full nge-date gimana? Jadwal kamu kosong nggak?”“Sabtu ada photo-shoot, dari pagi sampe sore. Sisanya aku kosong. Paling cuma nge-gym aja jadwalnya. Minggu-minggu ini aku banyak bolos soalnya.”“Oke, nanti kita bisa nge-gym bareng juga.”+Buset, pikiran gue kenapa malah ke arah yang lain ya ini…?+“Oke.” Kataku sambil tersenyum lagi.“Nanti aku jemput di kampus ya?”“Nggak usah. Aku bawa mobil kok ini. Kamu nanti jemput aku ke apartemen aja. Habis ini, aku kirimin alamatnya.”“Hmm… Oke. Ini beneran, kamu nggak mau kita ketemuan dulu?”“Iya, bener. Nanti aja ketemunya. Lagian, aku juga masih banyak kerjaan kok ini.”Aku sengaja berbohong lagi ke Deo mengenai hal tersebut. Jika menuruti keinginanku, sejujurnya aku ingin sekali bisa bertemu dengan Deo sekarang juga, meskipun hanya sebentar saja. Aku juga pasti akan berusaha untuk memanfaatkan waktu ist
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…