“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
Ada banyak hal mengenai akhir dari hubunganku dengan Gani yang masih belum bisa aku ceritakan secara jelas kepada kedua teman baikku saat ini. Bukan karena aku tidak bisa mempercayai Salma dan Kartika, tapi kondisi pikiran dan hatiku sampai detik ini masih berantakan, sampai aku sendiri pun bingung harus menjelaskan kepada mereka dari mana, dan bagaimana aku bisa putus dengan mantan pacarku tersebut.“Din?” Salma berusaha menyela diamku. “Jadi gimana lo sama Gani?” Dan dia mengulang pertanyaan yang sama untuk yang ketiga kalinya, karena aku belum memberikan jawaban selain ‘ya, gitu’.“Gue bingung mesti cerita ke kalian dari mana…” Jawabku pelan sambil menatap ke arah langit-langit apartemenku.“Gimana kalo lo coba ungkapin, apa aja yang sekarang lagi ada di pikiran sama hati lo?” Saran Kartika.Aku terdiam dan merenung sejenak. Hal pertama yang saat ini bisa aku ungkapkan adalah pikiran dan hatiku yang sedang kacau, terlalu banyak, rancu, dan berdesakkan. Sampai aku sendiri pun bingun
Asumsi dari Salma barusan, cukup membuatku lumayan terkejut. “Enak aja ya! Gue nggak bego tau...” “Lah terus, ngapain lo tiba-tiba bisa ngebahas soal pernikahan sama Gani?” “Ya kan kita pacaran serius udah lama, Saaall... Wajar dong kalo gue kepengen tau, sebenernya hubungan kita itu mau dibawa ke arah yang mana. Lagian, gue juga nggak yang tiba-tiba ngebahas soal pernikahan ke Gani kok... Kita tuh sebenernya udah mulai bahas di awal-awal pacaran malah. Dan gue bahkan nggak pernah ngeburu-buru, atau maksa Gani buat nikahin gue. Gue tuh simply, cuma pengen nanya lagi aja, soal kejelasan hubungan kita itu bakalan kayak gimana nantinya.” “Cuma gara-gara pembahasan itu, Gani minta putus sama lo?” Tanya Salma sekali lagi. Aku mengangguk pelan. “Gani bilang, dia butuh waktu buat ngerenungin semuanya. Hidup dia, gue, hubungan kita…” “Merenung harus banget ya, pake acara kalian udahan dulu segala?” Salma mendengus kesal, lalu menggelengkan kepalanya. Dia melipat kedua tangannya dan menyil
“Gue lagi nggak mood, Sal…” Kataku dengan malas. “Justru itu. Gue bakalan bantuin lo buat balikin mood lo yang acak kadut nggak jelas ini.” “Dugem nggak akan bisa ngebalikin mood gue ya...” Salma mendengus geli. “Memangnya siapa yang mau ngajakin lo clubbing sih, Din? Tempat dugem juga belum ada yang buka kali. Orang masih terang, bersinar nan benderang kayak begini juga…” Ekspresi berlebihan Salma membuatku tertawa. “Lo sama Salma, pergi ke spa dulu aja mendingan…” Kata Kartika sambil membuka tasnya. “Nih, buat kalian berdua…” Kartika lalu menyerahkan beberapa lembar voucher diskon kepadaku sambil menjelaskan. “Yang ini, khusus buat perawatan wajah sama badan. Terus yang ini, buat kalian belanja. Masing-masing potongan tiga puluh lima persen. Lumayan kan, bisa buat beli tas, baju, atau apa pun yang kalian mau… Pokoknya, gue mau lo seneng-seneng hari ini. Putus dari Gani bukan berarti lo jadi berlarut-larut nggak mood dan ngurung diri sampe semingguan lebih.” “Masih seminggu juga.
Salah satu tanda dari seorang perempuan yang hendak memasuki usia kepala tiga adalah, ketika pijat dan spa menjadi hal yang lebih menyenangkan dan mewah daripada nongkrong di kafe yang Instagramable dan kekinian. Bukti nyatanya aku rasakan saat ini. Selesai pijat dan perawatan seluruh badan, rasanya tubuhku menjadi lebih ringan, pikiranku jadi lebih santai, dan hatiku juga jadi lebih tenang. Bahkan, aroma terapi khas bahan-bahan alami Indonesia yang aku hirup pun, sanggup membuatku lebih relax. Dan untuk pertama kalinya setelah putus dari Gani, aku bisa merasakan tidur nyenyak, meskipun hanya sekitar dua jam saja. “Lebih enak kan badan lo?” Tanya Salma sambil melirikku melalui cermin yang ada di depan kita. Aku tersenyum mengangguk. “Agak nyesel gue, kenapa nggak dari awal aja gue pergi ke spa. Kayaknya gue mulai sekarang bakalan jadwalin buat rutin pergi ke spa deh…” “Gue bilang juga apa… Wajah lo juga jadi lebih keliatan seger tuh… Nggak sekucel dan sesurem tadi.” Salma bercermin
“Ini kenapa jadi kita yang malah lari dan sembunyi sih?” Protes Salma sambil terus mengawasi ke arah pintu kaca untuk memantau pergerakan Gani dan perempuan yang berjalan di sebelahnya tersebut. “Kan kita nggak punya salah apa pun, ngapain malah kita yang kayak takut ketemu Gani?” “Gue…” Mendadak aku terdiam dan sadar, karena tidak seharusnya aku lari dan sembunyi seperti orang yang sedang ketakutan atau merasa bersalah. “Kalo kita… ikutin mereka diem-diem gitu gimana?” Tanyaku dengan intonasi ragu. “Aneh nggak menurut lo?” Salma diam saja dan menatapku untuk beberapa detik. Dia kemudian bergegas dan meninggalkanku yang masih berdiri di belakangnya. “Buruan! Sebelum kita kehilangan jejak mereka.” Desisnya tegas. Hatiku berdegup dengan sangat kencang. Langkahku harus kupercepat supaya bisa mengimbangi langkah kaki Salma, yang secara hati-hati mengikuti dua orang yang masih sibuk bercengkerama dan tertawa, sambil berjalan beberapa langkah di depan kita. Dari belakang, aku bisa mengen
+ Dasar nyebelin! Jahat banget tau nggak! Bilangnya butuh waktu sendiri dulu buat mikir! Taunya udah sama cewek baru! Gue kurang pengertian apa lagi coba? + Aku rasa, yang aku lihat barusan, sudah cukup menjawab semua pertanyaanku beberapa hari belakangan ini. Hubungan kita benar-benar sudah selesai, Gani sudah move on, dan itulah kenyataan yang sudah aku saksikan sendiri. Sesakit dan sesedih apa pun perasaanku, aku harus bisa, dan mulai belajar untuk berhenti berharap pada mantan kekasihku itu. “Dinda…” Suara Salma yang memanggilku, terdengar cukup lembut. Lalu terdengar suara ketukan sebanyak tiga kali pada pintu bilik yang ada di depanku. “Toilet-nya udah sepi. Udah gue tutup pintu masuknya. Nggak akan ada yang berani masuk dulu. Ke luar, please… Ngobrol sama gue, Din…” Aku mengusap air mataku dengan cepat, lalu bergegas ke luar dari bilik persembunyianku. Belum sempat aku berdiri di depan westafel untuk cuci tangan, air mataku sudah mengalir lagi dengan sendirinya. “My Go
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…