“Gue lagi nggak mood, Sal…” Kataku dengan malas.
“Justru itu. Gue bakalan bantuin lo buat balikin mood lo yang acak kadut nggak jelas ini.”
“Dugem nggak akan bisa ngebalikin mood gue ya...”
Salma mendengus geli. “Memangnya siapa yang mau ngajakin lo clubbing sih, Din? Tempat dugem juga belum ada yang buka kali. Orang masih terang, bersinar nan benderang kayak begini juga…” Ekspresi berlebihan Salma membuatku tertawa.
“Lo sama Salma, pergi ke spa dulu aja mendingan…” Kata Kartika sambil membuka tasnya. “Nih, buat kalian berdua…” Kartika lalu menyerahkan beberapa lembar voucher diskon kepadaku sambil menjelaskan. “Yang ini, khusus buat perawatan wajah sama badan. Terus yang ini, buat kalian belanja. Masing-masing potongan tiga puluh lima persen. Lumayan kan, bisa buat beli tas, baju, atau apa pun yang kalian mau… Pokoknya, gue mau lo seneng-seneng hari ini. Putus dari Gani bukan berarti lo jadi berlarut-larut nggak mood dan ngurung diri sampe semingguan lebih.”
“Masih seminggu juga. Dan gue biarpun putus, tapi masih bisa profesional kerja tau…”
“Ya, tapi kan, lo palingan cuma pergi kerja, nge-gym, balik apartemen, dan bergaul sama kita-kita doang kan?” Tanya Salma dengan intonasi meledek.
+
Iya juga sih...
+
“Gue ngobrol sama orang lain juga kok.” Kataku yang membela diri.
“Siapa?” Tanya Salma. “Selain orang kantor, palingan juga kita-kita doang yang lo ajak bicara.”
Aku diam saja, karena tanpa aku jawab pun, Salma dan Kartika juga sudah bisa menebak lingkaran pertemananku yang memang tidak terlalu besar.
“Tuh kan... Lo terlalu fokus pacaran sama Gani sih, jadi nggak punya temen cowok kan akhirnya…”
“Gue temen cowok ada kali, Sal…”
“Ya, kalo gitu, ajak dong salah satu dari mereka buat jalan sama kita hari ini. Atau dua orang juga boleh. Mumpung gue juga lagi free.”
“Salma, tujuan kita ke sini bukan buat ngelakuin hal gila ya.” Intonasi Kartika berubah menjadi tegas dan serius. “Temen lo baru putus, jangan malah lo suruh nyari laki yang baru.”
Aku tersenyum geli. “Marahin aja tuh, Kar. Salma memang rada-rada sukanya.”
“Lo juga ya, Dinda.” Kartika berbalik menatapku dengan sedikit kesal. “Berhenti mikirin Gani yang nggak jelas sama lo. Gue tau, putus itu nggak ada yang enak dan cuma bikin sedih doang, tapi jangan malah nyiksa diri lo sendiri kayak gini dong... Muka lo tuh sampe surem dan nggak enak banget dilihatnya!”
Salma gantian tersenyum dan meledekku. “Bener banget tuh. Kebanyakan nangis. Padahal yang ditangisin juga belum tentu nangisin dia balik. Jadi mendingan cari laki baru dong...”
Kartika melotot ke arah Salma, lalu berbalik menatapku secara serius lagi. “Gue nggak mau dengerin alesan lo yang nggak mood lagi ya, Dinda. Gue udah berusaha gimana caranya biar bisa ikut Salma buat datengin lo hari ini. Jadi lo mendingan mandi dulu deh! Siap-siap, terus buruan pergi sama Salma!”
“Iya, iya…” Jawabku setengah terpaksa, lalu duduk dengan posisi tegak. “Lo beneran nggak bisa ikutan?”
“Nggak bisa…” Suara Kartika berubah lagi menjadi lebih lembut. “Supir gue lagi nunggu di lobby. Gue mesti balik sebelum makan siang. Anak-anak nggak bisa gue titipin di neneknya terlalu lama, karena gue takut ngerepotin. Dan gue juga mau lunch sama Mas Andy.”
+
Ibu rumah tangga mah memang beda.
+
Akhir pekan seharusnya menjadi hari-hari yang sakral untuk Kartika, karena dia harus mendedikasikan waktunya untuk anak dan suaminya. Tapi kali ini, dia menyempatkan diri datang pagi-pagi sekali, dan membawa sarapan untuk kita berdua. Ditambah lagi, Kartika juga masih menyempatkan dirinya untuk bercengkerama, sekaligus mendengarkan kesedihanku. Mungkin itu kenapa, pada akhirnya, aku memilih untuk mengikuti ajakan dari dua temanku ini.
“Inget ya, Sal…” Kartika berbalik menatap ke arah Salma. “Temen lo lagi vulnerable, jadi jangan lo hasut yang aneh-aneh.”
“Ya ampun, Kartika… Gue? Ngehasut?” Salma malah tertawa geli seolah himbauan Kartika adalah sebuah lelucon baginya. “Di mata lo, gue sesetan apa sih, Kar?” Tanya Salma sambil menunjukkan ekspresi polosnya.
“Lo memang nggak nyampe ke level setan sih. Tapi, di antara semua temen-temen cewek gue, cuma lo doang yang suka ngide gila dan nekat.” Jawaban dari Kartika barusan justru membuat Salma semakin tertawa dengan bangganya.
Kartika sengaja menghiraukan Salma, untuk kemudian berbalik menatapku lagi. “Din, hari ini, lo pokoknya harus bisa hibur dan senengin diri lo sendiri… Coba lo mulai pikirin hidup lo tanpa Gani. Gue mau lo relax dan bener-bener renungin semuanya. Gue tau, putus memang nggak enak dan pasti bikin lo sedih. Tapi, please, mulai pikirin mana yang bener-bener terbaik buat lo…”
+
Iya, juga ya… Kartika bener…
Gue memang kangen sama Gani, dan masih bingung sama hubungan kita bakalan kayak gimana habis ini, tapi gue nggak bisa galau dan nggak jelas kayak gini terus-terusan…
Gue harus bisa merenungi semuanya. Ada, atau nggak ada Gani pun, gue tetep harus mikirin mana yang terbaik buat kehidupan gue.
Hffft… Kenapa gue baru nyadar sekarang ya?
+
“…Sori, gue nggak bisa ikutan. Tapi, kalian berdua wajib ya, buat kabarin gue kalo ada apa-apa…”
Aku mengangguk dan tersenyum kecil. “Iya, siap, bundaaaa… Thank you juga ya voucher-nya.” Lalu kuacungkan beberapa lembar voucher yang kupegang di tangan kananku.
Kartika mengangguk padaku, lalu kembali menatap Salma. “Jangan aneh-aneh ya, Sal... Gue mesti balik sekarang soalnya…” Katanya sambil mengecek layar ponselnya yang menyala. Dia bangkit berdiri, lalu aku dan Salma ikut beranjak berdiri dan mengikuti Kartika ke pintu keluar.
“Siap, bundaku sayang… Mau gue anterin turun nggak nih?”
“Nggak usah... Lo di sini aja. Pastiin tuh Dinda, biar nggak ngurung diri lagi...”
Salah satu tanda dari seorang perempuan yang hendak memasuki usia kepala tiga adalah, ketika pijat dan spa menjadi hal yang lebih menyenangkan dan mewah daripada nongkrong di kafe yang Instagramable dan kekinian. Bukti nyatanya aku rasakan saat ini. Selesai pijat dan perawatan seluruh badan, rasanya tubuhku menjadi lebih ringan, pikiranku jadi lebih santai, dan hatiku juga jadi lebih tenang. Bahkan, aroma terapi khas bahan-bahan alami Indonesia yang aku hirup pun, sanggup membuatku lebih relax. Dan untuk pertama kalinya setelah putus dari Gani, aku bisa merasakan tidur nyenyak, meskipun hanya sekitar dua jam saja. “Lebih enak kan badan lo?” Tanya Salma sambil melirikku melalui cermin yang ada di depan kita. Aku tersenyum mengangguk. “Agak nyesel gue, kenapa nggak dari awal aja gue pergi ke spa. Kayaknya gue mulai sekarang bakalan jadwalin buat rutin pergi ke spa deh…” “Gue bilang juga apa… Wajah lo juga jadi lebih keliatan seger tuh… Nggak sekucel dan sesurem tadi.” Salma bercermin
“Ini kenapa jadi kita yang malah lari dan sembunyi sih?” Protes Salma sambil terus mengawasi ke arah pintu kaca untuk memantau pergerakan Gani dan perempuan yang berjalan di sebelahnya tersebut. “Kan kita nggak punya salah apa pun, ngapain malah kita yang kayak takut ketemu Gani?” “Gue…” Mendadak aku terdiam dan sadar, karena tidak seharusnya aku lari dan sembunyi seperti orang yang sedang ketakutan atau merasa bersalah. “Kalo kita… ikutin mereka diem-diem gitu gimana?” Tanyaku dengan intonasi ragu. “Aneh nggak menurut lo?” Salma diam saja dan menatapku untuk beberapa detik. Dia kemudian bergegas dan meninggalkanku yang masih berdiri di belakangnya. “Buruan! Sebelum kita kehilangan jejak mereka.” Desisnya tegas. Hatiku berdegup dengan sangat kencang. Langkahku harus kupercepat supaya bisa mengimbangi langkah kaki Salma, yang secara hati-hati mengikuti dua orang yang masih sibuk bercengkerama dan tertawa, sambil berjalan beberapa langkah di depan kita. Dari belakang, aku bisa mengen
+ Dasar nyebelin! Jahat banget tau nggak! Bilangnya butuh waktu sendiri dulu buat mikir! Taunya udah sama cewek baru! Gue kurang pengertian apa lagi coba? + Aku rasa, yang aku lihat barusan, sudah cukup menjawab semua pertanyaanku beberapa hari belakangan ini. Hubungan kita benar-benar sudah selesai, Gani sudah move on, dan itulah kenyataan yang sudah aku saksikan sendiri. Sesakit dan sesedih apa pun perasaanku, aku harus bisa, dan mulai belajar untuk berhenti berharap pada mantan kekasihku itu. “Dinda…” Suara Salma yang memanggilku, terdengar cukup lembut. Lalu terdengar suara ketukan sebanyak tiga kali pada pintu bilik yang ada di depanku. “Toilet-nya udah sepi. Udah gue tutup pintu masuknya. Nggak akan ada yang berani masuk dulu. Ke luar, please… Ngobrol sama gue, Din…” Aku mengusap air mataku dengan cepat, lalu bergegas ke luar dari bilik persembunyianku. Belum sempat aku berdiri di depan westafel untuk cuci tangan, air mataku sudah mengalir lagi dengan sendirinya. “My Go
“Din, gue kalo jadi lo juga udah pasti akan marah dan cemburu sih. Lebih parah malahan! Percuma ganteng kalo kelakuannya nyakitin hati cewek aja. Cowok tipe kayak Gani itu, minta gue sakitin balik, berkali-kali lipat lebih parah dari yang pernah dia lakuin. Gue bakalan hajar habis-habisan dan tendang tuh selangkangan mantan lo yang nyebelin itu!” Kata Salma dengan penuh penekanan emosi, hingga membuatku tertawa geli sambil menghapus air mataku. “Pacaran serius udah lama banget, minta putus karena alesan sepele! Bilangnya masih sayang! Sayang, sayang, pala lo peyang! Mana buktinya? Kok enak bener dia, udah jalan sama yang baru. Kan berengsek juga tuh cowok!" "Kalo dia memang beneran mau putus, alesannya yang jelas kek! Jangan malah ngomong butuh waktu dan malah kasih lo harapan yang dia sendiri nggak bisa penuhi! Jahat banget tau nggak sih! Mainin perasaan cewek doang bisanya!" Kayaknya aja tiga tahun lebih tua dari lo, tapi kelakuannya kayak anak kecil. Sumpah! Emosi banget gue sam
Selain pemicu lain yang aku belum ketahui secara pasti, sebenarnya aku tahu ada faktor trauma yang juga memicu ketakutan dan kekhawatiran Gani itu apa. Namun, semarah dan sekecewa apa pun aku dengan Gani, aku tetap tidak bisa menceritakan privasi hidup dia ke orang lain. Bahkan ke teman baikku sendiri. “Kalo Gani bilangnya ke lo itu butuh mikir, tapi kenyataannya malah dia sekarang udah enak-enakan sama yang baru… Berarti, antara dia yang proses mikirnya udah selesai, atau selama ini tuh, Gani sebenernya cuma sengaja bikin alesan aja. Dia kepengen putus dari lo, tapi bingung caranya gimana. Makanya kan, dia ngebohongin lo dengan alesan yang goblok banget!” Mungkin memang benar bahwa proses berpikir Gani sudah selesai dan dia memutuskan untuk move on. Akan tetapi, jika ternyata benar bahwa dia cuma mencari alasan hanya untuk bisa putus denganku, di mana letak kesalahanku sampai dia memilih untuk menyudahi hubungan kita? “Din…” Intonasi suara dan raut wajah Salma mendadak berubah. Sep
Dan nggak perlu lo perpanjang lagi. Lo nggak perlu berharap untuk bisa balikan lagi sama Gani. Lo nggak perlu mikirin dia lagi. Udah nggak ada gunanya. Lagian, kalau sampe Gani beneran selingkuh, memangnya lo mau pacaran sama cowok yang pernah nyelingkuhin lo? Nggak mau kan? Kalo udah selesai, ya berarti jelas, memang udah selesai. Nggak usah lo berharap lagi! Kalopun Gani nggak selingkuh sama sekali, omongan Salma ada benernya. Meskipun lo paham soal latar belakang dan trauma Gani kayak gimana, tetep aja, kalo Gani itu beneran sayang sama lo, harusnya dia nggak ngelepasin lo gitu aja. Harusnya dia mau berjuang dan hadapi ketakutannya. Lagian, malah bagus kan kalo Gani minta putus? Kalo nggak gini kan lo jadi nggak sadar. Lo bakalan tetep jalan terus sama cowok yang nggak beneran sayang sama lo. Udah jelas sekarang semuanya gimana. Nggak perlu lo sesali, nggak perlu lo tangisi lagi. Fokus sama hidup lo dan kebahagiaan lo sendiri aja. Cowok kalo bisanya cuma nyakitin, jangan lo ka
“Lo bilang ke Mira ya, Din, kalo kita mau ke ‘Bear and Bar’?” Tanya Salma ketika aku sedang berganti pakaian di salah satu bilik toilet umum yang ada di sebuah hotel. “Iya. Kok lo bisa tau?” “Ini, ada notif masuk di hape lo. Nggak sengaja gue baca…” “Ohh… Bales apa lagi dia?” “Cuma bilang jaga diri doang sih ini… Tumben ya, nih anak nggak cerewet? Biasanya kan lamaan dia ngomelnya, ketimbang Kartika…” “Ya kan dia di Sydney, Sal… Dia pasti juga mikir kali. Bakalan percuma ngomelin kita yang jaraknya jauh dari dia…” Jawabku yang kemudian ke luar dari bilik dan menghampiri Salma yang sedang memakai blush on di kedua pipinya. “Gue yakin banget sih ini, kalo misalnya Kartika sama Mira ada di sini sekarang, mereka bakalan nyuruh lo balik ke apartemen dan kasih lo seribu satu pertanyaan…” Aku tersenyum geli di depan cermin. “Iya, bener banget. Gue bisa bayangin mereka ngomelnya gimana lagi…” Kataku sambil mengamati tubuhku yang dibalut dengan mini dress berwarna biru tua, yang baru saj
“Lo ngasih kondom se-box buat gue?” Tanyaku dengan ekspresi bingung. “Ya iyalah, oneng! Buat siapa lagi memangnya? Kartika?” Aku mengamati tanggal kadaluarsa yang ada di bagian bawah box. “Kapan lo belinya?” Tanyaku dengan heran karena sejak tadi, aku dan Salma sama sekali tidak memasuki apotek atau toko obat-obatan. “Tadi. Pas lo lagi sibuk milih-milih baju, gue melipir sebentar…” Jawab Salma sambil mencari sesuatu di dalam tasnya lagi. “Vaksin lo gimana?” “Vaksin?” “HPV, DPT, dan kawan-kawannya.” Jawab Salma dengan tidak sabar. “Udah lengkap semua.” “Lo masih rutin minum pil nggak?” Tanya Salma sambil menunjukkan kotak kontrasepsi kepadaku. “Pil tiap hari. Kan sekalian buat ngatur mens gue juga.” Dalam kondisi aktif, atau tidak aktif secara seksual, aku memang setiap hari mengkonsumsi pil kontrasepsi yang diresepkan khusus oleh dokter. Selain untuk mencegah kehamilan pada saat aku sedang aktif dengan Gani secara seksual, pil tersebut juga berfungsi untuk mengatur siklus men
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…