“Din, gue kalo jadi lo juga udah pasti akan marah dan cemburu sih. Lebih parah malahan! Percuma ganteng kalo kelakuannya nyakitin hati cewek aja. Cowok tipe kayak Gani itu, minta gue sakitin balik, berkali-kali lipat lebih parah dari yang pernah dia lakuin. Gue bakalan hajar habis-habisan dan tendang tuh selangkangan mantan lo yang nyebelin itu!” Kata Salma dengan penuh penekanan emosi, hingga membuatku tertawa geli sambil menghapus air mataku.
“Pacaran serius udah lama banget, minta putus karena alesan sepele! Bilangnya masih sayang! Sayang, sayang, pala lo peyang! Mana buktinya? Kok enak bener dia, udah jalan sama yang baru. Kan berengsek juga tuh cowok!"
"Kalo dia memang beneran mau putus, alesannya yang jelas kek! Jangan malah ngomong butuh waktu dan malah kasih lo harapan yang dia sendiri nggak bisa penuhi! Jahat banget tau nggak sih! Mainin perasaan cewek doang bisanya!"
Kayaknya aja tiga tahun lebih tua dari lo, tapi kelakuannya kayak anak kecil. Sumpah! Emosi banget gue sama cowok-cowok modelan begini.” Salma mendengus kesal. “Liat aja ya, gue sumpahin burung dia nggak akan kuat bertahan di atas satu menit! Biar tau rasa nanti dia ditinggalin cewek barunya!”
Salma mengatur nafasnya sebentar dan kita berdua bertatapan satu sama lain. Beberapa detik kemudian, tawa kita berdua meledak secara bersamaan. Entah mengapa, aku bisa merasa jauh lebih lega daripada sebelumnya. Padahal baru beberapa menit yang lalu, aku menangis lagi karena sedih. Namun, setelah mendengarkan semua perkataan yang penuh emosi dari Salma, perasaan sedihku menjadi berkurang secara drastis.
“Lo jujur deh sama gue…” Kata Salma setelah kita mulai berhenti tertawa. “Selama kalian pacaran, lo pernah ngerasa Gani selingkuh nggak? Atau pernah pergokin dia selingkuh gitu?”
+
Selingkuh?
+
“Jujur aja, kalo pergokin itu nggak pernah. Gue tau, dia client dan temen ceweknya banyak. Tapi, selama kita pacaran, Gani selalu make sure, gue nggak perlu curiga sama siapa pun. Dia selalu kabarin dan kasih jadwalnya ke gue. Dia juga sering kenalin gue ke client dan temen-temennya sebagai pacar. Bahkan, tanpa gue minta pun, dia kasih gue akses buat bisa ngecek semua sosmed dan hape dia. Tapi memang nggak pernah gue cek sama sekali, biarpun dia kasih izin.”
“Lo beneran yakin nggak ada yang mencurigakan sedikit pun?”
“Ya… sebenernya, gue mulai ngerasain curiga itu tuh pas awal-awal Gani mulai kayak jaga jarak sama gue…”
“Pas dia jaga jarak sama lo itu, lo mencium gelagat dia main sama cewek lain nggak?”
“Jujur, gue sempet kepikiran kayak gitu sih, Sal. Tapi gue berusaha buat positive thinking dan tetep percaya sama Gani.”
Salma mendengus kesal. “Menurut gue, lo tuh, termasuk cewek yang peka dan pinter baca situasi dan karakter seseorang… Tapi, dalam kasus ini, lo tuh kelewat percaya sama Gani… Lo terlalu pengertian dan terlalu baik sama Gani, sampe-sampe semua hal tentang dia lo maklumi. Soalnya hubungan lo sama Gani itu bener-bener aneh banget, tau nggak sih?”
“Aneh gimana maksud lo?”
“Ya, menurut gue, alesan kalian putus itu sebenernya terlalu nggak jelas banget, Din. Sepele, dan bahkan nggak masuk akal banget. Nggak mungkin kan, cuma karena kepengen mikir, dia sampe mutusin lo? Kalo dia beneran sayang ke lo, kayak yang selama ini dia tunjukkin ke kita-kita juga, mestinya nggak gitu lah caranya. Gue yakin banget, pasti ada hal lain yang jadi pemicu dia buat akhirnya minta udahan sama lo…”
Selain pemicu lain yang aku belum ketahui secara pasti, sebenarnya aku tahu ada faktor trauma yang juga memicu ketakutan dan kekhawatiran Gani itu apa. Namun, semarah dan sekecewa apa pun aku dengan Gani, aku tetap tidak bisa menceritakan privasi hidup dia ke orang lain. Bahkan ke teman baikku sendiri. “Kalo Gani bilangnya ke lo itu butuh mikir, tapi kenyataannya malah dia sekarang udah enak-enakan sama yang baru… Berarti, antara dia yang proses mikirnya udah selesai, atau selama ini tuh, Gani sebenernya cuma sengaja bikin alesan aja. Dia kepengen putus dari lo, tapi bingung caranya gimana. Makanya kan, dia ngebohongin lo dengan alesan yang goblok banget!” Mungkin memang benar bahwa proses berpikir Gani sudah selesai dan dia memutuskan untuk move on. Akan tetapi, jika ternyata benar bahwa dia cuma mencari alasan hanya untuk bisa putus denganku, di mana letak kesalahanku sampai dia memilih untuk menyudahi hubungan kita? “Din…” Intonasi suara dan raut wajah Salma mendadak berubah. Sep
Dan nggak perlu lo perpanjang lagi. Lo nggak perlu berharap untuk bisa balikan lagi sama Gani. Lo nggak perlu mikirin dia lagi. Udah nggak ada gunanya. Lagian, kalau sampe Gani beneran selingkuh, memangnya lo mau pacaran sama cowok yang pernah nyelingkuhin lo? Nggak mau kan? Kalo udah selesai, ya berarti jelas, memang udah selesai. Nggak usah lo berharap lagi! Kalopun Gani nggak selingkuh sama sekali, omongan Salma ada benernya. Meskipun lo paham soal latar belakang dan trauma Gani kayak gimana, tetep aja, kalo Gani itu beneran sayang sama lo, harusnya dia nggak ngelepasin lo gitu aja. Harusnya dia mau berjuang dan hadapi ketakutannya. Lagian, malah bagus kan kalo Gani minta putus? Kalo nggak gini kan lo jadi nggak sadar. Lo bakalan tetep jalan terus sama cowok yang nggak beneran sayang sama lo. Udah jelas sekarang semuanya gimana. Nggak perlu lo sesali, nggak perlu lo tangisi lagi. Fokus sama hidup lo dan kebahagiaan lo sendiri aja. Cowok kalo bisanya cuma nyakitin, jangan lo ka
“Lo bilang ke Mira ya, Din, kalo kita mau ke ‘Bear and Bar’?” Tanya Salma ketika aku sedang berganti pakaian di salah satu bilik toilet umum yang ada di sebuah hotel. “Iya. Kok lo bisa tau?” “Ini, ada notif masuk di hape lo. Nggak sengaja gue baca…” “Ohh… Bales apa lagi dia?” “Cuma bilang jaga diri doang sih ini… Tumben ya, nih anak nggak cerewet? Biasanya kan lamaan dia ngomelnya, ketimbang Kartika…” “Ya kan dia di Sydney, Sal… Dia pasti juga mikir kali. Bakalan percuma ngomelin kita yang jaraknya jauh dari dia…” Jawabku yang kemudian ke luar dari bilik dan menghampiri Salma yang sedang memakai blush on di kedua pipinya. “Gue yakin banget sih ini, kalo misalnya Kartika sama Mira ada di sini sekarang, mereka bakalan nyuruh lo balik ke apartemen dan kasih lo seribu satu pertanyaan…” Aku tersenyum geli di depan cermin. “Iya, bener banget. Gue bisa bayangin mereka ngomelnya gimana lagi…” Kataku sambil mengamati tubuhku yang dibalut dengan mini dress berwarna biru tua, yang baru saj
“Lo ngasih kondom se-box buat gue?” Tanyaku dengan ekspresi bingung. “Ya iyalah, oneng! Buat siapa lagi memangnya? Kartika?” Aku mengamati tanggal kadaluarsa yang ada di bagian bawah box. “Kapan lo belinya?” Tanyaku dengan heran karena sejak tadi, aku dan Salma sama sekali tidak memasuki apotek atau toko obat-obatan. “Tadi. Pas lo lagi sibuk milih-milih baju, gue melipir sebentar…” Jawab Salma sambil mencari sesuatu di dalam tasnya lagi. “Vaksin lo gimana?” “Vaksin?” “HPV, DPT, dan kawan-kawannya.” Jawab Salma dengan tidak sabar. “Udah lengkap semua.” “Lo masih rutin minum pil nggak?” Tanya Salma sambil menunjukkan kotak kontrasepsi kepadaku. “Pil tiap hari. Kan sekalian buat ngatur mens gue juga.” Dalam kondisi aktif, atau tidak aktif secara seksual, aku memang setiap hari mengkonsumsi pil kontrasepsi yang diresepkan khusus oleh dokter. Selain untuk mencegah kehamilan pada saat aku sedang aktif dengan Gani secara seksual, pil tersebut juga berfungsi untuk mengatur siklus men
*** Miranda Rineke: How’s there? === I think I wanna go home deh ini :( === What’s going on? === Idk. Maybe I’m too old for bear n bar... Lumayan ngantuk & mau rebahan di kasur === LoL. Salma gmn? === Udah foreplay sama cowok baru... *** “Dinda!” Aku mendongak dan tersenyum ke arah sosok yang menyapaku barusan. “Lo di sini juga...” Kataku sambil menyimpan ponselku ke dalam tas lagi. Rangga duduk di sebelahku. Ia kemudian memajukan wajahnya dan mendekat ke arah telingaku supaya aku bisa mendengar suaranya dengan lebih jelas lagi. “Gue padahal besok minggu mau hubungin lo tau. Eh, udah ketemu di sini aja.” Aku bergantian mendekatkan wajahku ke dekat telinga Rangga. “Ada job apa lagi?” Tanyaku langsung, karena sudah hafal dengan kebiasaan Rangga yang lebih sering meneleponku hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemotretan. “Tau aja lo.” Rangga menepuk lututku pelan sambil tersenyum manis. “Bentar. Gue mesen dulu.” Ia lalu memanggil salah seorang bartender dan meme
Kedua kakiku melangkah santai melewati lorong untuk menuju ke pintu keluar. Kedua mataku fokus pada layar ponselku sendiri, karena aku harus secara rutin membaca beberapa e-mail yang baru masuk dan belum sempat aku buka. Namun, tiba-tiba saja tubuhku terdorong dari arah belakang, diikuti dengan suara beberapa perempuan yang juga merintih kesakitan sekaligus tertawa geli. Tubuhku terpojok jatuh ke tembok sisi kiri. Tangan kiriku langsung bersandar pada tembok, dan di saat yang bersamaan, tangan kananku dan kedua lututku bersentuhan dengan lantai untuk menahan tubuhku. Tidak ada yang luka sampai berdarah ataupun lecet dari tubuhku. Tapi tetap saja, jatuh itu sakit. Dan sekarang aku juga tidak tahu ponselku terlempar ke sebelah mana. “Kamu nggak apa-apa?” Tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba saja muncul, entah dari mana. Dia kemudian setengah berjongkok di sampingku, sambil mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Tangan kirinya bergerak dari arah belakang untuk menggenggam bahuku yang
Aku terus berjalan dan laki-laki itu juga ikut berjalan di sampingku. Bahkan ikut berhenti saat aku berhenti, dan ikut berdiri di depan pintu lift yang masih tertutup bersama denganku.“Kamu nggak lagi ngikutin saya kan ya ini?” Tanyaku sambil menoleh dan menatap kedua matanya. Aku sengaja tidak memencet tombol lift untuk memastikan keamananku terlebih dahulu.Salah satu tips ketika menghadapi orang asing yang sedang mendekati kita adalah, tunjukkan ke mereka kalau kita punya keberanian dan kepercayaan diri yang kuat. Karena kita tidak bisa menebak niat hati seseorang, jadi jangan biarkan mereka bisa merasakan atau membaca ketakutan dan kekhawatiran kita sedikit pun.“Aku memang lagi ngikutin kamu.” Jawab dia santai. Tanpa ada rasa bersalah di wajahnya.+Wah, gila ini orang! Pede banget lagi gayanya…Keren sih dia… Keliatan macho juga…Oh, NO! No ya, Dinda! Ati-ati!Zaman sekarang, penjahat itu ada aja bentukannya.Jadi jangan terpengaruh sama penampilan dia.+“Alasan kamu ngikutin
+Fix, ini gue kualat beneran deh kayaknya...Gara-gara tadi bohong dan bilang cari angin, sekarang gue jadi kena angin beneran kan...Ya… biarpun cuma kiasan, tetep aja kan gue bohong tadi…Buset, lumayan juga dinginnya ya… Mana baju gue lumayan kebuka dan serba minim begini pula...Eh, tapi kan, gue tadi bohongnya demi kebaikan sendiri… Mestinya nggak harus sampe kualat dong ya?+“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi.” Kata Deo setelah pramusaji selesai mencatat pesanan kita dan bergegas pergi.“Yang mana?” Aku tidak yakin karena Deo memberiku banyak pertanyaan, yang memang sengaja belum aku jawab semuanya.“Soal nama kamu.”“Dinda.”“Nama lengkap?”Aku menatap Deo yang duduk di sebelahku untuk beberapa detik. “Adinda Kelsey Hardana.” Deo mengembangkan senyum manisnya ketika mendengarkan jawabanku. “Kalo aku kurang ajar dan jahatin kamu, kamu juga bisa dengan gampang penjarain aku.” Dan sekarang dia tersenyum geli karena aku meniru inti dari kalimat yang dia ucapkan sebelumnya.Deo m
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…