Aku terus berjalan dan laki-laki itu juga ikut berjalan di sampingku. Bahkan ikut berhenti saat aku berhenti, dan ikut berdiri di depan pintu lift yang masih tertutup bersama denganku.“Kamu nggak lagi ngikutin saya kan ya ini?” Tanyaku sambil menoleh dan menatap kedua matanya. Aku sengaja tidak memencet tombol lift untuk memastikan keamananku terlebih dahulu.Salah satu tips ketika menghadapi orang asing yang sedang mendekati kita adalah, tunjukkan ke mereka kalau kita punya keberanian dan kepercayaan diri yang kuat. Karena kita tidak bisa menebak niat hati seseorang, jadi jangan biarkan mereka bisa merasakan atau membaca ketakutan dan kekhawatiran kita sedikit pun.“Aku memang lagi ngikutin kamu.” Jawab dia santai. Tanpa ada rasa bersalah di wajahnya.+Wah, gila ini orang! Pede banget lagi gayanya…Keren sih dia… Keliatan macho juga…Oh, NO! No ya, Dinda! Ati-ati!Zaman sekarang, penjahat itu ada aja bentukannya.Jadi jangan terpengaruh sama penampilan dia.+“Alasan kamu ngikutin
+Fix, ini gue kualat beneran deh kayaknya...Gara-gara tadi bohong dan bilang cari angin, sekarang gue jadi kena angin beneran kan...Ya… biarpun cuma kiasan, tetep aja kan gue bohong tadi…Buset, lumayan juga dinginnya ya… Mana baju gue lumayan kebuka dan serba minim begini pula...Eh, tapi kan, gue tadi bohongnya demi kebaikan sendiri… Mestinya nggak harus sampe kualat dong ya?+“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi.” Kata Deo setelah pramusaji selesai mencatat pesanan kita dan bergegas pergi.“Yang mana?” Aku tidak yakin karena Deo memberiku banyak pertanyaan, yang memang sengaja belum aku jawab semuanya.“Soal nama kamu.”“Dinda.”“Nama lengkap?”Aku menatap Deo yang duduk di sebelahku untuk beberapa detik. “Adinda Kelsey Hardana.” Deo mengembangkan senyum manisnya ketika mendengarkan jawabanku. “Kalo aku kurang ajar dan jahatin kamu, kamu juga bisa dengan gampang penjarain aku.” Dan sekarang dia tersenyum geli karena aku meniru inti dari kalimat yang dia ucapkan sebelumnya.Deo m
“Diet?” Tanya Deo sambil melirik ke arah pesananku.“Ada kerjaan.”Deo mengerutkan keningnya. “Kerjaan apa yang cuma ngebolehin kamu minum air putih doang?”“Ada casting buat photo-shoot.”“Majalah?”“Lingerie.”+Gotcha. Boys will be boys.+Dalam hitungan sepersekian detik, aku bisa membaca bahasa tubuh, perubahan ekspresi, dan pergerakan kedua mata Deo ketika aku menyebutkan kata ‘lingerie’. Kedua matanya bergerak dengan cepat untuk menatap tubuhku, seperti mesin scan yang sedang bergerak merekamku dari atas hingga ke bawah.Deo tersenyum. “I think you will get that.”“Who are you? A psychic?”Deo tertawa santai. “Maybe, it’s just my intuition.”“Ada belasan perempuan cantik yang ikut casting, dan yang dibutuhkan hanya satu orang. Menggantikan model yang lagi hamil. Dan kebetulan, model yang lagi hamil itu temen kuliahku dulu. Jadi aku tau persis standarnya kayak apa.”“Aku yakin kamu yang kepilih.”Aku mendengus geli dan melipat kedua tanganku di dada. Entah mengapa, aku merasa ti
Topik pembicaraanku dengan Deo akhirnya berkembang ke berbagai macam hal. Mulai dari hal yang paling sepele dan receh, sampai ke hal yang sifatnya lebih filosofis, dan juga ke beberapa hal tentang kehidupan kita masing-masing. Kita membicarakan beberapa topik yang sifatnya serius, namun kita juga masih bisa bercanda dan tertawa bersama. Komunikasi yang terjadi di antara kita berdua, bisa mengalir dari satu topik, ke topik lainnya dengan begitu lancar. Dan tidak ada kesan seperti sedang dipaksakan sedikit pun. Selain itu, hal baru yang bisa aku tangkap lagi dari Deo adalah, dia memanfaatkan dan mengembangkan hobi, sekaligus potensi yang dimilikinya dengan sangat maksimal. Berawal dari ketertarikannya dengan dunia game dan teknologi, kini dia sedang berusaha untuk menggabungkannya dengan dunia pendidikan. “Anak-anak sekarang itu, tumbuh di era, di mana teknologi sudah semakin canggih. Menurut riset yang aku dan tim pernah teliti, kebanyakan mereka lebih pilih main game daripada baca b
“Makasih ya…” Kata Deo kemudian setelah aku selesai meneguk minumanku.“Makasih untuk?” Tanyaku bingung.“Karena kamu udah bikin aku seneng.”Aku mendengus geli. “Aku bahkan nggak ngerasa udah ngelakuin sesuatu buat kamu.”“Pertanyaan kamu barusan bikin aku seneng. Aku ngerasa udah didengerin, dimengerti, dan dapet feedback yang priceless dari kamu… Kamu…” Mendadak angin berhembus lebih kencang di sekitar kita, dan kata-kata Deo terhenti sementara. Dia fokus merapikan sisi samping rambutku terlebih dahulu, karena helaiannya lumayan menutupi mataku yang sebelah kiri.Aroma maskulin dari tubuh Deo semakin tercium jelas. Mungkin karena hembusan angin, atau mungkin juga karena lengan kanannya yang sedikit terangkat. Kemeja putih yang ia kenakan, dengan dasi yang sedikit mengendur di lehernya, entah mengapa menjadi hal yang sangat menarik untuk kupandangi saat ini.Jantungku mendadak berdegup semakin kencang ketika jari-jemari Deo menyentuh helaian rambutku. Di dalam hatiku, aku berusaha m
Getaran ponselku menimbulkan suara yang sebenarnya tidak terlalu kencang, namun cukup menganggu tidur nyenyakku. Mataku masih terpejam dan tangan kiriku meraba permukaan nakas untuk mengambil ponselku. Belum sempat kusentuh ponselku, getarannya mendadak berhenti, dan tanganku kembali ke tempat tidur seperti semula.Mataku sebenarnya belum terbuka sama sekali, tapi pikiranku sudah terbangun dan aku tidak bisa melanjutkan tidurku lagi, meskipun aku sudah mencobanya beberapa kali. Akhirnya perlahan kubuka kedua mataku, sambil kuraba lagi permukaan nakas dengan tangan kiriku.Jam sembilan, lewat tiga puluh enam menit. Begitulah yang tertera di layar ponselku ketika kunyalakan. Mataku masih terasa sedikit pedih ketika aku mengecek notifikasi di ponselku, yang dipenuhi dengan bombardir chat dan panggilan telepon dari Rangga. Dia memintaku untuk segera menghubunginya, karena ada hal penting dan mendesak yang ingin dia sampaikan.Aku terdiam sejenak. Bingung dan tidak mengerti dengan hal pent
“Halo, Ngga, sori. Gue tadi masih tidur. Gimana? Ada apa?” Tanyaku pada Rangga, ketika aku baru saja duduk di kursi belakang, dan meminta supir taksi untuk mengantarkanku ke alamat gedung apartemenku.“Lo nggak kebanyakan minum atau mabuk kan semalem?” Tanya Rangga dengan intonasi yang sangat serius.“Nggak. Kenapa? Ada tes urin?”“Ada yang lebih menegangkan dari tes urin.” Jawab Rangga dengan intonasi suara yang dramatis. “Lo tau Sang Chul Kim nggak?”Aku mengeryitkan keningku karena nama yang disebutkan Rangga barusan sangat tidak familiar di telingaku. “Nggak tau. Kim siapa itu?”“Dia salah satu fotografer dari Seoul yang ada di bagian casting. Orangnya mendadak dateng dan ngubah-ubah jadwal sesuka hati dia. Jadi, lo mesti dateng ke kantor jam satu ini paling lambat. Soalnya jam tiga kita bakalan mulai. Jadwalnya sih barusan gue tau, seharusnya itu minggu depan baru mulai, tapi gue juga nggak tau kenapa Pak Kim mendadak minta langsung tes kamera sama seleksi hari ini.”“Ini yang lo
*** Miranda Rineke: Kenapa bingung? === Gw semalem ketemu cowok dan end up with sex immediately. Trs skg, gw nggak tau dia single atau ada pacar. Gmn kl dia malah udh punya anak & istri? Mana gw baru kepikirannya td pas udh bangun pula… === Kan blm tentu juga, Dinda… Knp nggak lo coba tanya langsung ke orgnya? === Kan nggak ngejamin dia bakalan jujur sama gw, Mira… Duh, gmn ya? Gw khawatir tau… Gmn kl tanpa gw sadari, gw udah nyakitin orang lain? Gw bakalan ngerasa bersalah bgt sih ini… === Kl ternyata dia single gmn? === Ya, oke. At least gw nggak nyakitin pihak lain yg gw nggak tau… Tapi gw bakalan tetep ngerasa bersalah sih. Jujur aja… Biarpun nggak sebanyak kl dia udah ada gandengan. === Kenapa ngerasa bersalah? === Gw td ninggalin dia di hotel gt aja. Sumpah, gw nggak maksud kurang ajar ya... Tdnya gw mikir mau bangunin dia. Tp nggak jd. Jd gw akhirnya buru2 kabur sebelum dia bangun. === Knp nggak jd lo bangunin? === Itu dia. Gw jg bingung. Gw pan
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…