Kopi hangat yang kuresap di kamar hotel, sama pahitnya dengan kenyataan bahwa Dinda sudah menghilang ketika aku membuka mataku lagi. Situasi mendadak menjadi tidak menentu. Perginya Dinda tanpa sepengetahuanku adalah ambigu.Setelah apa yang terjadi di antara kita, rasanya seperti mustahil untuk dia pergi meninggalkanku begitu saja. Apalagi, tanpa penjelasan. Memang, aku baru muncul di hadapannya tadi malam. Tapi aku bisa melihat dan merasakan dengan sangat jelas, bagaimana dia yang awalnya jaga jarak, perlahan mendekat, lalu membuka dirinya padaku. Bahkan, lebih dari yang aku pernah bayangkan sebelumnya.Dengan segala upaya, aku sudah berusaha untuk bisa mengendalikan hasratku. Tapi, jika aku harus jujur, itu bukan hal yang mudah. Kedua matanya yang indah dan sorotnya yang lembut, seakan mengatakan kebaikan. Mengatakan kalau hatinya tidak suka pertikaian. Ditambah, kilau rambut hitamnya, lengkungan senyumnya yang menggoda, lekuk tubuhnya dengan bagian dada dan pinggul yang cukup beri
Rangga benar. Tentang fotografer senior yang bernama Sang Chul Kim, yang juga merupakan salah satu orang penting di dalam proses casting kali ini. Bahkan menurutku, beliau lebih menyebalkan daripada penjelasan Rangga sebelumnya. Karena dua belas perempuan cantik yang menggunakan lingerie, berdiri sejajar di satu ruangan, dan hal pertama yang Pak Kim lakukan adalah, menatap sekilas ke arah kita semua dengan tatapan yang menghina dan kecewa. Seolah tidak ada satu pun di antara kita yang terlihat sesuai seperti ekspektasinya.+Stay calm, Dinda… Nggak apa-apa.Ini bukan pertama kalinya lo ketemu orang yang sok banget lagaknya kayak dia.Jangan terpengaruh. Keep your posture right. Lo pasti bisa!+Kata-kata positif aku ucapkan secara berulang kali di dalam hati, sambil menunggu Pak Kim yang sedang sibuk memeriksa portofolio milikku dan sebelas model lainnya. Secara hati-hati, aku memperhatikan beliau yang sedang berdiskusi dengan seorang pria, dan menggunakan bahasa yang aku tidak pahami
Rangga lalu menyebutkan enam nama yang kemudian diarahkan untuk bersiap ke tahapan selanjutnya. Namaku termasuk ke dalam kelompok yang harus mempersiapkan diri karena sebentar lagi casting akan segera dimulai. Dan tanpa bertanya pun, aku sudah bisa membaca situasinya sekarang seperti apa. Enam model yang namanya tidak disebut oleh Rangga, langsung masuk ke dalam kategori tidak lolos.Proses seleksi kali ini, tidak seperti proses seleksi pada umumnya. Atau minimal, tidak sama dengan yang sudah pernah aku jalani sebelumnya. Biasanya para model yang berhadapan dengan casting team atau casting directors, mereka masih harus melakukan beberapa gerakan jalan atau pose foto terlebih dahulu, sebelum dicoret dari daftar kandidat. Tapi, jika kuingat lagi kata-kata Rangga sebelumnya mengenai Pak Kim, sekaligus berdasarkan perangai Pak Kim sejak awal kemunculannya, mungkin saja fast selection adalah hal yang sifatnya biasa dan sering dilakukan oleh beliau.“Nggak bisa gitu dong!” Mendadak teriakan
“Henny, clear your mess and get out!” Bentak Pak Kim sambil menatap Bu Henny dengan penuh amarah.+Buset dah, nih cewek bener-bener ya…Pak Kim yang tadi aja udah nyeremin... Ini mau mulai, ehh malah ditambahin emosinya jadi tingkat tinggi…Tapi kalo Pak Kim dari tadi kayak singa yang mau cabik-cabik Bu Henny, kemungkinan dia juga tau deh ini, ada permainan jalur orang dalem yang dilakuin sama Bu Henny…+Aku benar-benar tidak habis pikir lagi dengan keegoisan perempuan yang berwajah eurasia tersebut. Dia telah membuat suasana menjadi semakin tidak nyaman bagi kita semua yang ada di dalam ruangan. Tingkahnya benar-benar menyebalkan, dan tidak memikirkan orang lain yang juga terkena imbas dari perbuatannya.+Sebenernya kalo dipikir-pikir lagi nih ya, Pak Kim sama tuh cewek ada mirip-miripnya sih…Sebelas, dua belas…Semacam serupa tapi tak sama…+Bu Henny dan Rangga tidak menyerah begitu saja. Mereka masih berusaha membujuk perempuan itu untuk tetap tenang dan segera pergi ke luar d
Suasana di dalam studio sekarang benar-benar sunyi, setelah kepergian Bu Henny dengan perempuan tadi. Semua orang kembali fokus dengan tugasnya masing-masing, dan bergerak dengan sangat cekatan. Rangga tadi sudah menjelaskan beberapa hal yang perlu kita lakukan selanjutnya. Dan sekarang, kita berenam sedang duduk di sisi samping ruangan. Sementara Pak Kim dan dua pria lainnya, duduk berjejer di bagian tengah, seperti juri di sebuah ajang pencarian bakat. Rangga meminta kita berenam untuk menunggu terlebih dahulu, sampai dia memanggil nama kita secara bergantian, untuk berjalan dan berpose di bagian tengah, di depan Pak Kim dan dua orang pria lainnya, yang aku tidak kenal sama sekali.+Sumpah ya, gue belum pernah se-nervous ini sebelumnya…Mana Pak Kim wajahnya masih keliatan emosi tingkat tinggi pula…Gimana caranya gue bisa tunjukin sisi perempuan yang sensual di depan orang yang ekspresinya udah kayak mau ngawasin ujian nasional itu?Ini bisa nggak ya gue?Aduh! Pake acara deg-deg’
“She’s the last candidate, Mister Kim.” Kata Rangga yang mengingatkan Pak Kim, karena beliau meminta model selanjutnya untuk berjalan ke tengah.“Last?” Pak Kim menatap Rangga dengan sorot mata yang tidak percaya. Beliau kemudian menanyakan kepada Rangga, apakah Rangga memiliki calon kandidat lain dari Arutala yang siap untuk casting. Ketika Rangga menjelaskan yang sebenarnya, Pak Kim justru mengeluh karena waktunya sudah terbuang banyak, dan tidak ada satu pun kandidat yang sesuai dengan harapan dia.Selain itu, Pak Kim juga kembali berkomentar dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Dan karena suasana menjadi sangat canggung untukku, aku memutuskan untuk lebih baik segera bergegas pergi dan meninggalkan ruangan casting. Daripada aku harus mendengar keluhan beliau, atau malah, bisa saja aku yang sesudah ini terkena omelannya.Akan tetapi, Pak Kim mendadak memintaku untuk berhenti berjalan, dan kembali berdiri di tempatku semula. Sejujurnya, aku sangat tidak mengerti dengan tujuan dari
“What’s your name again?” Pak Kim memecah keheningan seluruh isi ruangan, sambil menatap ke arahku dengan tatapan yang seolah sedang memendam perasaan jengkel.+Duh, Pak, bukan cuma bapak doang yang bisa jengkel…+“Adinda, Sir.” Jawabku dengan lugas.+Ngadepin cowok modelan kayak Pak Kim gini, paling aman memang jangan pernah tunjukin kondisi perasaan dan pikiran kita yang sebenernya. Selain itu, kalo kita sampe terlihat seperti sedang terintimidasi, yang ada kita bisa jadi sasaran empuk buat dia. Karena dia jadi punya banyak cara untuk semakin seenaknya sama kita…+“You are pretty and sexy, but empty.”+Wow, dari tadi gue disuruh nunggu sampe kedinginan, sekarang gue dikatain nggak ada isinya. Mantep bener dah...Oke, tenang. Jangan kepancing, Dinda. Santai aja.At least dia bilang lo cantik dan sexy.Be careful ya, Dinda… Use your mind…+“Diandra has strong characteristic and personality. Not just face and body. That’s why she’s irreplaceable. And I can see that you are trying
Sudah sekitar dua puluh lima menit, aku menunggu di ruang istirahat dan duduk di sofa, sambil meluruskan kedua kakiku yang lumayan terasa pegal. Kedua telapak tanganku sengaja aku tempelkan ke gelas plastik yang telah aku isi dengan air hangat. Mantel dan selimut yang berbahan cukup tebal juga menyelimuti tubuhku yang tadi sempat kedinginan. Karena hampir tiga jam, aku berada di dalam ruangan dengan suhu rendah dan hanya mengenakan lingerie.Lingerie yang kupakai sejak tadi juga belum aku lepas. Aku belum berganti ke pakaianku yang sebelumnya, karena aku hanya ingin berjaga saja. Sewaktu-waktu, aku masih bisa dipanggil untuk kembali masuk ke ruangan casting. Meskipun sejujurnya, aku merasa tidak yakin akan kembali masuk lagi ke ruangan tersebut. Akan tetapi, aku tetap ingin menunggu dan masih dalam keadaan yang siap.Tak lama kemudian, salah satu yang aku tunggu, akhirnya muncul, membuka pintu ruang istirahat, lalu berjalan menghampiriku. “Sori. Lama.”Gelas plastik yang tadi kupegang
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…