“By the way… gue hampir aja lupa. Gue ke sini kan karena mau sekalian denger soal cowok misterius yang waktu itu lo ceritain…” “Lo nggak liat ini gue lagi apa?” Tanyaku sambil fokus bekerja di depan laptopku. “Ya, sambil cerita dong, Dinda… Atau cerita dulu juga boleh. Lo udah bikin gue penasaran soalnya, jadi sekarang, lo harus tanggung jawab ya!” “Mau gue ceritain yang bagian mana?” Tanyaku sambil fokus menatap layar laptopku. “Semuanya dong. Dari awal sampe akhir.” Kata Salma dengan intonasi yang terdengar seperti sudah tidak sabar lagi. “Namanya Aldeo…” Aku menyimpan file kerjaku terlebih dahulu, karena aku yakin bahwa aku tidak akan pernah bisa membagi konsentrasiku untuk pekerjaan dan Salma, di waktu yang bersamaan. Nanti, setelah menceritakan semuanya ke Salma, aku akan melanjutkan lagi pekerjaanku yang progress-nya masih sekitar delapan puluh lima persen ini. “Aldeo? Kayaknya gue nggak ada temen atau kenalan yang namanya Aldeo deh…” “Sama... Gue juga baru ketemu dia pas
Salma mendengus pelan. “Aduh, Dinda, Dinda… Ini kadang yang gue nggak suka dari lo. Lo memang pinter sih. Tapi kalo semuanya harus masuk logika dulu, itu nyebelin banget tau nggak sih...”“Kalo main perasaan doang dan nggak pake pikiran, yang ada nanti kita dibegoin dan dimanfaatin orang lain tau...”“Ya, oke, itu juga bener. Tapi, soal Deo ini, menurut gue nggak ada yang aneh kalo lo bisa ngerasa langsung klik sama dia. Kadang, bangun chemistry antara dua orang itu nggak butuh waktu yang lama. Mungkin aja, lo sama Deo itu satu frekuensi energy-nya, makanya kan bisa langsung cepet nyambungnya…”+Iya, juga ya… Kok gue baru kepikiran sekarang ya?Gue memang termasuk orang yang nggak gampang terbuka sama siapa pun, tapi nggak ada yang perlu gue heranin, dengan hubungan gue dan Deo yang bisa langsung cepet saling connect.+“Sebenernya… kita berdua udah lebih dari sekedar nyambung sih, Sal...”“Maksud lo?” Tanya Salma sambil menatapku dengan sorot mata yang serius.“Gue bisa yang langsun
“Nggak.” Aku menggelengkan kepalaku sekali lagi. “Untung aja, Deo sama sekali nggak kayak gitu. Satu hal kenapa sex sama Deo itu nyaman banget buat gue, karena dia bener-bener nggak egois. Bahkan cenderung ngutamain gue dulu, baru mikirin kita bareng-bareng, dan dirinya sendiri.”“Good! Di Indonesia, cowok yang kayak gitu populasinya langka banget soalnya.”“Oh, ya? Client lo memangnya ada yang sampe cerai cuma gara-gara masalah sex?”“Banyak! Bukan cuma ‘ada’, tapi banyak banget!” Jawab Salma dengan antusias yang penuh.“Satu hal penting yang wajib lo inget adalah, jangan pernah mau berhubungan sama laki-laki yang cuma bisa asal penetrasi, trus tinggal ejakulasi, dan molor gitu aja! Jangan mau sama kaum laki-laki yang hobinya cuma jadiin perempuan sebagai tempat pembuangan sperma doang! Mereka pasti suka berbuat seenaknya, sok paling berkuasa, dan nyebelin! Mereka itu tipe laki-laki yang otaknya mesum doang dan nggak paham sex itu apa! Pemikirannya pasti kolot, patriarki, dan misogin
Kangen.Satu kata yang saat ini paling tepat dalam menggambarkan isi hatiku untuk Deo, yang siang ini sedang dalam perjalanan pulang dari Singapura menuju ke Indonesia. Padahal, kita berdua sudah saling berusaha untuk meluangkan waktu, supaya kita tetap bisa menjaga komunikasi dengan baik. Akan tetapi, semuanya itu masih belum cukup untukku. Seringkali, aku masih ingin terus bercengkerama dengan Deo, namun selalu aku yang terlebih dahulu mengakhiri percakapan kita. Entah karena aku yang mendadak ketiduran dan meninggalkan Deo begitu saja, atau karena aku yang harus kembali fokus untuk menyelesaikan pekerjaanku.Pekerjaanku mendadak bertambah lebih banyak, semenjak Prof. Petra terkena musibah karena beliau mengemudi mobil dalam keadaan yang lelah dan mengantuk. Oleh karena itu, beberapa tugas dan tanggung jawab milik Prof. Petra yang sudah tidak bisa ditunda lagi, harus segera aku selesaikan dan wakilkan. Bahkan, beberapa kegiatan mengajar beliau pun juga akan segera aku gantikan. Tapi
“Permisi, Bu Dinda?” Terdengar suara ketukan pintu lagi, dan juga suara dari salah satu staff admin yang sangat aku kenali.Aku menoleh ke arah pintu ruanganku yang masih tertutup. “Masuk, Yan…”Yanti masuk ke dalam ruanganku, lalu duduk di kursi yang ada di depan meja kerjaku, setelah aku persilahkan. Dia kemudian memberikanku beberapa surat-surat perijinan yang harus aku tanda tangani, dan menjelaskan kepadaku beberapa hal penting yang terkait.“Jadwal kelas sudah kamu proses?” Tanyaku kemudian.“Sudah, Bu. Tinggal Bu Dinda sama Pak Erwin yang pilih kelas, setelah itu baru saya input ke sistem.”“Hmm…” Aku berpikir sejenak. “Ini Pak Erwin lagi beli makan siang, kalo nunggu beliau, nanti kamu yang terlalu lama nunggunya. Kelasnya masih sama yang waktu itu kamu bilang kan? Tinggal pilih kelompok kelasnya aja?”“Iya, Bu.”“Ya, udah. Tolong kamu aja yang bagi buat saya sama Pak Erwin ya, Yan? Laporannya harus segera keluar sebelum jam satu siang soalnya.”“Siap, Bu. Habis ini saya input
“Kamu udah nyampe Jakarta kan ini?” Tanyaku langsung pada Deo.“Ini lagi di jalan. Kamu udah makan?”“Ini mau makan...” Jawabku sambil menyandarkan punggungku ke kursi yang sedang aku duduki. “Aku baru aja mau text kamu, eh malah kamu yang telepon aku duluan.”“Mau ketemu sekarang nggak? Aku bisa samperin kamu dulu.”+Mau! Please…Kangen banget…+“Jangan deh. Kamu pasti capek. Lagian kalo kamu ke sini, kita nggak akan bisa ketemu lama.”“Jadi kalo sama aku, kamu sukanya yang lama nih?”+Deo kalo lagi iseng godain gini, kalimatnya suka multi tafsir…Bener-bener dah ya…+Aku mendengus geli. “Ada yang mau aku sampein, tapi kamu jangan marah ya?”“Oke. Tenang aja, aku nggak mau darah tinggi.”Aku menghela nafas sekali. “Aku bisa ketemu kamu malam ini, tapi kalo rencana dinner kita reschedule gimana? Aku tau, aku udah janji. Tapi, aku baru aja dapet kabar, meeting yang harusnya selesai jam lima, malah baru akan dimulai jam enam nanti. Jadi, kalo dinner-nya kita pindah ke weekend, kamu
“Tenang aja, pokoknya aku atur biar nggak ganggu jadwal kamu besoknya.”“Oke.” Kataku sambil tersenyum.“Kalo, Sabtu sama Minggu, kita full nge-date gimana? Jadwal kamu kosong nggak?”“Sabtu ada photo-shoot, dari pagi sampe sore. Sisanya aku kosong. Paling cuma nge-gym aja jadwalnya. Minggu-minggu ini aku banyak bolos soalnya.”“Oke, nanti kita bisa nge-gym bareng juga.”+Buset, pikiran gue kenapa malah ke arah yang lain ya ini…?+“Oke.” Kataku sambil tersenyum lagi.“Nanti aku jemput di kampus ya?”“Nggak usah. Aku bawa mobil kok ini. Kamu nanti jemput aku ke apartemen aja. Habis ini, aku kirimin alamatnya.”“Hmm… Oke. Ini beneran, kamu nggak mau kita ketemuan dulu?”“Iya, bener. Nanti aja ketemunya. Lagian, aku juga masih banyak kerjaan kok ini.”Aku sengaja berbohong lagi ke Deo mengenai hal tersebut. Jika menuruti keinginanku, sejujurnya aku ingin sekali bisa bertemu dengan Deo sekarang juga, meskipun hanya sebentar saja. Aku juga pasti akan berusaha untuk memanfaatkan waktu ist
“Deo?” Dinda menatapku dengan heran, seolah seperti tidak menyangka dengan kehadiranku di hadapannya saat ini. “Aku sengaja…” Kataku sambil tersenyum. “…pengen jemput kamu…” Lalu kedua tanganku bergerak memeluk Dinda untuk melepaskan kerinduanku. “Kamu ke sini naik apa?” Tanya Dinda sambil membalas pelukanku dengan erat. “Taksi online tadi.” “Dari kantor?” Tanya Dinda sambil meregangkan pelukannya supaya bisa menatap wajahku. “Nggak. Aku tadi ada meeting sama Papa di rumahnya.” Jawabku lalu mengecup kening Dinda. “Pulang sekarang yuk...” “Hmm, ayo…” Dinda lalu tersenyum dan mengangguk. “Sini tas kamu, biar aku yang bawa…” Aku kemudian mengulurkan tangan kananku untuk mengambil tas laptop milik Dinda yang ada di tangan kirinya. Dia tersenyum sekali lagi kepadaku, dan membiarkanku untuk membawa tas laptop tersebut. Sebuah bahasa tubuh yang terlihat sederhana di antara kita berdua, namun bagiku, penuh dengan makna. Aku mengambil tas laptop tersebut, bukan karena Dinda tidak bisa