Hening. Dan ketika aku menoleh ke arah Dinda lagi, dia ternyata masih menatapku. Posisinya masih sama seperti sebelumnya, hanya saja kali ini, Dinda tersenyum manis. “Let me guess… Kamu suka yang feminine colors kan? Like pink and rose gold. Am I right?” “Yes, you are…” Jawab Dinda. “Pink and rose gold. Cuma aku nggak suka yang terlalu mencolok di mata kayak warna stabilo gitu…” Selama perjalanan pulang menuju ke apartemen Dinda, aku sengaja menggiring topik pembicaraan kita ke arah yang ringan, karena Dinda terlihat lumayan letih. Aku bahkan harus mengurungkan niatku terlebih dahulu untuk bertanya mengenai pekerjaan yang mendadak terlalu menguras perhatian kekasihku itu. Situasinya masih belum tepat. Hampir seharian Dinda menghabiskan waktu dengan pekerjaannya. Jadi di waktu luangnya, aku ingin Dinda bisa lebih relax dan berhenti memikirkan pekerjaan. “Sayang... kamu kapan terakhir servis mobil?” “Aku lupa deh, terakhir itu kapan. Udah lumayan lama sih kayaknya... Kenapa memangn
“Sebentar lagi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang penasaran. Namun aku hanya tersenyum dan diam saja, sambil terus berjalan dan merangkul pinggangnya.“Ini kita mau ke mana ya? Kok malah masuk ke private lift?” Dinda masih saja berusaha mengorek jawaban dariku, namun aku masih tetap tidak ingin memberi tahu dia terlebih dahulu. “Kamu mau ajak aku ke tempat siapa?”Aku tersenyum santai. “Like I said, sebentar lagi juga kamu tau.”Dinda menatapku dengan sorot mata yang bingung, bercampur dengan penasaran. Dan, lagi-lagi, aku masih tidak ingin mengungkapkan apa pun. Aku sengaja membiarkannya menebak dan menunggu terlebih dahulu.“No way!” Kedua mata Dinda terbelalak.“Kamu mikir apa?” Tanyaku sambil tersenyum geli karena aku rasa Dinda sudah menemukan jawabannya.“Aku nggak mau jawab sekarang. My mind is blown away...” Jawaban Dinda barusan, membuatku tertawa geli. Dan aku yakin, Dinda sudah bisa menebak jawabannya dengan benar. “Ini beneran ya? Mungkin nggak sih? Ini kayak yang la
“Oke, kalo yang itu…” Aku tersenyum nyengir. “…jujur, aku memang sengaja ngikutin kamu. Tapi dengerin dulu… Hari itu sebenernya aku lagi ada business dinner sama Papa dan beberapa koleganya, di hotel yang sama. Makanya pakaianku waktu itu kelewat formal buat ‘Bear and Bar’. Pas di ‘Bear and Bar’ dan ngeliat kamu lagi sibuk ngobrol, aku juga sengaja perhatiin kamu. Karena, ya… nyari kesempatan aja biar bisa deketin kamu.”“Ohh…” Dinda kemudian kembali memelukku lagi. “Jadi kamu memang udah lebih dulu ada rencana buat deketin aku nih?”+Hmm, masih belum bisa gue kasih tau sekarang kalo gue udah lama suka sama Dinda...+“Kamu kalo pulang besok pagi gimana?”“Kamu minta aku tidur di sini?” Dinda meregangkan pelukannya lagi dan kembali menatapku.“Iya. Tinggal jalan kaki dan pindah lift doang kan? Besok pagi, aku temenin balik ke apartemen, biar kamu bisa siap-siap.”“Ya… asal kita beneran tidur sih, aku nggak masalah ya. Aku lumayan ngantuk soalnya.”“Oke. Kita beneran tidur aja dulu...
***Mine – Sayangku:Udah terbiasa belum pake si Paul?===Don’t underestimate me, gentleman.I already ride the owner…===Can you ride me too?===I don’t think so.My bf is a lil bit bitey…===Is he the famous Salvatore?===Close enough…===Does he suck you dry too?===Well, depends on the occasion…===Do you like that?***+++Chat gue masih belum di-read dari satu setengah jam yang lalu…Lagi apa ya, Dinda?Udah kangen aja gue…+++“Bubu!” Suara Rika yang begitu jelas di kedua telingaku, membuatku harus segera menutup aplikasi obrolan yang ada di ponselku. “Weekend ini ikut gue ke Bali yuk!” Ajaknya lalu duduk di kursi sebelah kiriku. “Lo bisa nggak, manggil gue yang normal dikit?” Tanyaku ketus.“Nggak bisa.” Rika tersenyum lebar. “Sabtu besok ikut ya?”Aku mendengus pelan. “Ogah.” Jawabku sambil membuka salah satu aplikasi mobile game.“Yakin nggak mau? Gue udah sewa villa loh… Lo beneran nggak kepengen apa? Kita udah terlalu lama banget loh nggak ngelakuinnya…”“Gue udah
Pintu kelas mendadak terbuka, dan Bu Putri, salah satu staff admin yang biasa mengurus kegiatan perkuliahan, masuk ke dalam ruang kelasku sambil membawa buku absensi seperti biasanya. Dia lalu meminta semua murid untuk segera tertib dan kembali duduk di kursi masing-masing.Bu Putri lalu menerangkan bahwa kegiatan perkuliahan Prof. Petra, mulai hari ini, sudah tidak lagi ditangani oleh asisten dosen seperti tiga hari sebelumnya. Melainkan, akan ditangani langsung oleh dosen psikologi dari pihak pascasarjana.“Tuh kan! Apa gue bilang! Ganteng banget dosennya! Keren banget lagi! Semoga dia masih single dan mau sama mahasiswi...”+Berisik amat dah si Desi ini…+Sebelum berpamitan untuk meninggalkan ruang kelas, Bu Putri sempat mengecek beberapa kesiapan hal-hal yang sifatnya teknis. Dia juga sekali lagi mengingatkan kita semua yang ada di dalam kelas, untuk tetap menjaga suasana kelas yang kondusif.Sekitar sepuluh menit setelah kepergian Bu Putri, pintu kelas kemudian terbuka lagi da
Dinda kemudian memencet remote untuk menyalakan proyektor kelas, lalu telunjuknya mengutak-atik tablet yang dipegangnya dengan cepat. Tidak dibutuhkan waktu yang lama, mendadak di layar depan kelas, muncul riwayat studi dan data mahasiswa atas nama Ahmad Mirza Alkatiri.“Ahmad Mirza Alkatiri…” Suasana kelas mendadak hening. “Belum pernah melakukan cuti semester dan sudah berada di tahun ketujuh.” Kata Dinda sambil menunjuk ke arah layar dengan laser pointer berwarna biru. Dia kemudian kembali menatap Mirza. “Skripsi kamu sudah sampai mana?”“Nunggu judul di-acc, Bu.”Dinda tersenyum kecil. “Mungkin kamu melupakan satu hal selama kuliah di sini... Jadi perlu saya ingatkan sekali lagi bahwa, di tempat kamu berkuliah, ada satu kebijakan yang bernama ‘Drop Out’.” Dinda menjelaskan dengan santai, namun sorot matanya penuh ketegasan. “Kamu masih bisa mengerti maksud saya kan?” Tanya Dinda sambil tersenyum kecil. Kedua matanya fokus menatap Mirza yang mendadak terdiam dan tidak berkutik itu.
“Eee, Yanti, sama satu lagi dong… Saya ada pertanyaan. Kalau misalnya, saya minta tukar kelas sama Pak Erwin, masih bisa nggak ya kira-kira?”“Bisa, Bu Dinda. Tapi, kalau mau tukar kelas, harus dalam satu mata kuliah yang sama... Bu Dinda mau tukar kelas?”“Eee, prosedurnya itu gimana ya, Yan?” Tanyaku sambil mengecek data mahasiswa atas nama Aldeo Fernando.“Kalau prosedurnya harus mengulang dari awal sih, Bu. Jadi, harus buat surat permohonan dulu, beserta lampiran info perkuliahan dari mata kuliah yang mau ditukar… Lalu, pengajuan untuk persetujuan harus ke ke Ketua Program Studi dulu, setelah itu ke pihak Dekan, setelah itu tanda tangan terakhir dikirim ke pihak Rektorat… Setelah disetujui, pihak Rektorat kirim surat khusus ke Ketua Program Studi, baru setelah itu ke saya. Setelah itu, baru saya bisa akses ke sistem untuk menukar dosen pengajar.”+Buset dah! Ribet amat administrasinya. Banyak banget lagi pintu acc-nya. Kalopun gue jabanin juga bakalan makan waktu banget sih ini…
“Ini…” Deo duduk di depanku, lalu memberi buku absen kepadaku. “…mau ngumpulin absen.”"Ini sudah lengkap dan sesuai semuanya?" Tanyaku sambil mengecek terlebih dahulu daftar kehadiran mahasiswa tersebut. Aku juga harus memastikan tidak ada mahasiswa yang berbuat curang dengan cara titip absen.“Udah semua. Aku yang terakhir tanda tangan… Sayang…”“Aldeo, kamu di sini mahasiswa saya.” Aku memotong kalimat Deo dengan sangat cepat. “Jadi tolong, jangan bawa urusan pribadi selama kita berada di lingkungan kampus, dan selama saya menjadi dosen pengajar kamu.”Deo terlihat seperti sedikit terkejut dengan responku yang cukup ketus ini. Dia menatapku dan terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Deo lalu terlihat seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tidak jadi dia ungkapkan sama sekali. “Baik, Bu Dinda.” Katanya kemudian dengan intonasi yang sangat jauh berbeda dari biasanya.“Dan saya minta tolong ke kamu satu hal…” Aku menghela nafas sejenak sambil melirik ke arah pintu ruang