***Mine – Sayangku:Udah terbiasa belum pake si Paul?===Don’t underestimate me, gentleman.I already ride the owner…===Can you ride me too?===I don’t think so.My bf is a lil bit bitey…===Is he the famous Salvatore?===Close enough…===Does he suck you dry too?===Well, depends on the occasion…===Do you like that?***+++Chat gue masih belum di-read dari satu setengah jam yang lalu…Lagi apa ya, Dinda?Udah kangen aja gue…+++“Bubu!” Suara Rika yang begitu jelas di kedua telingaku, membuatku harus segera menutup aplikasi obrolan yang ada di ponselku. “Weekend ini ikut gue ke Bali yuk!” Ajaknya lalu duduk di kursi sebelah kiriku. “Lo bisa nggak, manggil gue yang normal dikit?” Tanyaku ketus.“Nggak bisa.” Rika tersenyum lebar. “Sabtu besok ikut ya?”Aku mendengus pelan. “Ogah.” Jawabku sambil membuka salah satu aplikasi mobile game.“Yakin nggak mau? Gue udah sewa villa loh… Lo beneran nggak kepengen apa? Kita udah terlalu lama banget loh nggak ngelakuinnya…”“Gue udah
Pintu kelas mendadak terbuka, dan Bu Putri, salah satu staff admin yang biasa mengurus kegiatan perkuliahan, masuk ke dalam ruang kelasku sambil membawa buku absensi seperti biasanya. Dia lalu meminta semua murid untuk segera tertib dan kembali duduk di kursi masing-masing.Bu Putri lalu menerangkan bahwa kegiatan perkuliahan Prof. Petra, mulai hari ini, sudah tidak lagi ditangani oleh asisten dosen seperti tiga hari sebelumnya. Melainkan, akan ditangani langsung oleh dosen psikologi dari pihak pascasarjana.“Tuh kan! Apa gue bilang! Ganteng banget dosennya! Keren banget lagi! Semoga dia masih single dan mau sama mahasiswi...”+Berisik amat dah si Desi ini…+Sebelum berpamitan untuk meninggalkan ruang kelas, Bu Putri sempat mengecek beberapa kesiapan hal-hal yang sifatnya teknis. Dia juga sekali lagi mengingatkan kita semua yang ada di dalam kelas, untuk tetap menjaga suasana kelas yang kondusif.Sekitar sepuluh menit setelah kepergian Bu Putri, pintu kelas kemudian terbuka lagi da
Dinda kemudian memencet remote untuk menyalakan proyektor kelas, lalu telunjuknya mengutak-atik tablet yang dipegangnya dengan cepat. Tidak dibutuhkan waktu yang lama, mendadak di layar depan kelas, muncul riwayat studi dan data mahasiswa atas nama Ahmad Mirza Alkatiri.“Ahmad Mirza Alkatiri…” Suasana kelas mendadak hening. “Belum pernah melakukan cuti semester dan sudah berada di tahun ketujuh.” Kata Dinda sambil menunjuk ke arah layar dengan laser pointer berwarna biru. Dia kemudian kembali menatap Mirza. “Skripsi kamu sudah sampai mana?”“Nunggu judul di-acc, Bu.”Dinda tersenyum kecil. “Mungkin kamu melupakan satu hal selama kuliah di sini... Jadi perlu saya ingatkan sekali lagi bahwa, di tempat kamu berkuliah, ada satu kebijakan yang bernama ‘Drop Out’.” Dinda menjelaskan dengan santai, namun sorot matanya penuh ketegasan. “Kamu masih bisa mengerti maksud saya kan?” Tanya Dinda sambil tersenyum kecil. Kedua matanya fokus menatap Mirza yang mendadak terdiam dan tidak berkutik itu.
“Eee, Yanti, sama satu lagi dong… Saya ada pertanyaan. Kalau misalnya, saya minta tukar kelas sama Pak Erwin, masih bisa nggak ya kira-kira?”“Bisa, Bu Dinda. Tapi, kalau mau tukar kelas, harus dalam satu mata kuliah yang sama... Bu Dinda mau tukar kelas?”“Eee, prosedurnya itu gimana ya, Yan?” Tanyaku sambil mengecek data mahasiswa atas nama Aldeo Fernando.“Kalau prosedurnya harus mengulang dari awal sih, Bu. Jadi, harus buat surat permohonan dulu, beserta lampiran info perkuliahan dari mata kuliah yang mau ditukar… Lalu, pengajuan untuk persetujuan harus ke ke Ketua Program Studi dulu, setelah itu ke pihak Dekan, setelah itu tanda tangan terakhir dikirim ke pihak Rektorat… Setelah disetujui, pihak Rektorat kirim surat khusus ke Ketua Program Studi, baru setelah itu ke saya. Setelah itu, baru saya bisa akses ke sistem untuk menukar dosen pengajar.”+Buset dah! Ribet amat administrasinya. Banyak banget lagi pintu acc-nya. Kalopun gue jabanin juga bakalan makan waktu banget sih ini…
“Ini…” Deo duduk di depanku, lalu memberi buku absen kepadaku. “…mau ngumpulin absen.”"Ini sudah lengkap dan sesuai semuanya?" Tanyaku sambil mengecek terlebih dahulu daftar kehadiran mahasiswa tersebut. Aku juga harus memastikan tidak ada mahasiswa yang berbuat curang dengan cara titip absen.“Udah semua. Aku yang terakhir tanda tangan… Sayang…”“Aldeo, kamu di sini mahasiswa saya.” Aku memotong kalimat Deo dengan sangat cepat. “Jadi tolong, jangan bawa urusan pribadi selama kita berada di lingkungan kampus, dan selama saya menjadi dosen pengajar kamu.”Deo terlihat seperti sedikit terkejut dengan responku yang cukup ketus ini. Dia menatapku dan terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Deo lalu terlihat seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tidak jadi dia ungkapkan sama sekali. “Baik, Bu Dinda.” Katanya kemudian dengan intonasi yang sangat jauh berbeda dari biasanya.“Dan saya minta tolong ke kamu satu hal…” Aku menghela nafas sejenak sambil melirik ke arah pintu ruang
Ponselku yang ada di atas meja kerjaku, mendadak bergetar dan menyala karena Deo yang mengirimiku pesan.***Aldeo Fernando:Sayang, aku tau kamu marah.Let’s talk at home as soon as possible.Nanti pulang kabarin aku ya?Kita masih bisa pulang bareng.Aku janji nggak akan nungguin atau jemput kamu di kampus.===Nggak usah. Aku bisa naik taksi sendiri.Hari ini jg aku masih ada janji.===Ke Arutala kan?Kamu kabarin aku ya?Nanti aku anterin ke Arutala.===Nggak usah. Aku naik taksi.***+Deo kok bisa tau gue mau ke Arutala dari mana ya? Bukannya kita berdua rencananya baru mau bahas jadwal masing-masing itu besok Sabtu ya? Apa gue yang secara nggak sadar udah ngomong sama dia?Aduh, Dinda! Lo mendingan buruan pikirin solusinya sekarang deh.Ini harus gimana? Lo udah terlanjur pacaran sama Deo, tapi lo juga nggak bisa egois! Masa depan Deo yang jadi taruhannya sekarang. Buruan, pikirin jalan keluarnya!+Pintu ruanganku mendadak diketuk lagi.+Kenapa lagi nih Deo?+Belum sempat
“Lo ngapain, makan sambil baca buku peraturan kampus?” Tanya Gagas yang mendadak duduk di depanku sambil membawa nampan yang berisi makanannya.+Aduh, Gagas ini kadang-kadang suka muncul di saat yang nggak tepat. Gue lagi butuh konsentrasi dan sendiri, malah gabung di meja gue…Eh, tapi nggak apa-apa juga lah... Kalo ada Gagas, nggak akan ada yang curigain gue, kalo sebenernya gue lagi pengen duduk sambil ngeliatin Dinda. Biarpun yang keliatan cuma punggungnya aja...+“Buat kebutuhan skripsi gue…” Jawabku sekenanya.“Sebel banget deh gue. Bener-bener lagi nggak beruntung hari ini…” Desi dan Rika juga mendadak muncul untuk bergabung di mejaku. “Iri banget gue sama kelas A.”+Buseeeett. Kenapa teteh kunti dua ini sering banget ikutan nimbrung tanpa gue undang?+“Lu kenapa sih, Des?” Tanya Gagas. “Ngomel mulu dari tadi…”“Jadi, Pak Erwin si dosen ganteng yang gantiin Prof. Petra itu ternyata ngajar lebih dulu di kelas A. Bukan di kelas kita.”“Ya, baguslah.” Kata Gagas. “Kalo nggak g
“Ah, nggak juga, Rik…” Kevin membela Dinda. “Tadi, selama gue konsultasi, Bu Dinda orangnya baik kok. Lebih ngebantuin gue banget malah, ketimbang Prof. Petra. Dia kalo ngoreksi itu nggak asal nyoret-nyoret doang. Udah gitu, sabar lagi. Gue bener-bener dijelasin sampe gue paham. Trus gue juga dikasih tau buku-buku yang bisa gue jadiin bahan acuan buat skripsi gue itu apa aja.”“Ya, itu mah, karena lo ganteng aja. Makanya dia baik.”+Tuh! Giliran sama Kevin bisa baik dan sabar. Kenapa sama pacar sendiri malah diambekin sih, sayang?Padahal juga gantengan aku daripada Kevin…+“Jadi menurut lo, gue ganteng nih? Deo lo kemanain?”“Ya, lo memang ganteng. Tapi yang di hati gue itu tetep Deo dong...”+Rika kalo bukan cewek, udah gue bentak dari kemaren-kemaren…Ini salah gue juga sih ini. Kalo dulu nggak gue iyain, mungkin dia nggak akan terus-terusan berharap lebih.+“Bu Dinda umurnya berapa ya?” Tanya Gagas kepada kita semua. “Lo pada tau nggak?”“Dua lapan.” Jawab Kevin dengan cepat.
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…