"Mana suamimu?" tanya Sri sambil celingak-celinguk melihat ke arah luar sambil memegang daun pintu yang terbuka separuh.
Bulan tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan ibunya, lalu setelah itu bergegas masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu duduk termenung di sisi ranjang."Heh, ditanya itu jawab, Bulan!" ujar Sri yang menyusul putrinya ke dalam kamar. "Kenapa kamu? Pulang sendiri, mata bengkak, hidung apa lagi, kayak jambu bol. Kenapa?""Mak, aku lagi pingin sendiri," jawab Bulan dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan penuh permohonan."Sebenarnya ada apa, Bulan? Jangan bilang kamu berbuat ulah?" tuduh Sri. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam.Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia dan ibunya sejak dulu tidak pernah akur. Jika Bulan terlibat dalam suatu masalah, pasti ibunya akan langsung berburuk sangka pada Bulan, padahal tidak selamanya Bulan yang salah."Jangan macam-macam kamu, Bulan! Pernikahan kamu baru berjalan lima hari. Belum ada seminggu, tapi kamu sudah berulah kayak gini. Pokoknya Mamak nggak mau tau, nanti malam kamu harus balik ke rumah Daffa dan minta maaf sama Daffa!" ujar Sri tegas.Bulan tidak berniat menanggapi kata-kata ibunya, ia mengambil sapu tangan dari laci nakas, lalu menyeka air bening yang mengalir di pipinya. Ia membuang wajah dari ibunya, tak kuasa menatap ibu yang selalu menyalahkannya.Sri masih terus mengoceh, membuat kepala Bulan serasa akan pecah. Bulan yang sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan dari ibunya, segera berdiri dan mendorong ibunya untuk keluar dari kamar. Setelah itu, ia mengunci pintu kamarnya dan lantas menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.Dari luar kamar, Sri masih terus mengomel. Wanita paruh baya itu terus menyalahkan putrinya yang kabur dari rumah suami.Bulan yang tidak tahan mendengar ocehan ibunya, segera menggunakan headset dan memutar lagu dengan volume full. Ia tidak peduli dengan gendang telinganya yang mungkin bisa rusak karena mendengarkan lagu dengan volume penuh, yang penting ia tidak bisa lagi mendengar ocehan ibunya.Kadang ia sering bertanya-tanya sendiri. Apakah ia anak tiri? Tapi faktanya ia anak kandung. Ia pernah diam-diam melakukan tes DNA, dan hasilnya mengatakan mereka adalah ibu dan anak biologis.Sebenarnya Sri berbuat seperti itu bukan hanya kepada Bulan, tapi kepada dua kakak Bulan juga. Ya, tiga anaknya mendapatkan perlakuan yang sama. Sama-sama selalu disalahkan dalam segala hal.Sementara itu di rumahnya, Daffa tengah menimbang-nimbang smartphone-nya. Ia ingin menghubungi Bulan untuk meminta maaf, tapi gengsi. Ia ingin berbicara baik-baik dengan Bulan mengenai anak. Ia ingin tahu alasan Bulan melakukan KB. Ia ingin tahu mengapa Bulan belum siap memiliki anak. Ia juga ingin tahu, mengapa sebelum menikah, Bulan tidak berterus terang jika ia belum siap untuk memiliki anak."Bulan .... Sebenarnya ada apa sih dengan kamu?" Daffa bermonolog sambil menatap layar smartphone-nya yang menampilkan nomor kontak Bulan.***"Lan, aku minta maaf. Aku kemarin nggak sengaja mendorong kamu sampai kamu kena kaki meja. Aku beneran nggak sengaja, aku minta maaf, Lan," sesal Daffa yang tengah bersimpuh di hadapan istrinya.Malam ini Daffa tengah berada di rumah Bulan. Ia menyesal telah melakukan kekerasan, dan ingin memperbaiki kekacauan yang telah terjadi. Ia ingin mengajak Bulan untuk pulang ke rumahnya lagi."Lan, aku mohon. Plis, maafin aku." Sekali lagi Daffa memohon permintaan maaf dari istrinya.Bulan masih marah, sehingga ia tidak menjawab apapun. Ia hanya diam saja sambil membuang pandang dari suaminya. Selain sakit hati karena didorong hingga mengenai kaki meja, ia juga sakit hati karena dibentak-bentak."Bulan," panggil Daffa dengan nada rendah.Hening. Masih tidak ada jawaban apapun dari Bulan. Perempuan itu masih duduk di sofa sambil membuang pandang dari suaminya.Daffa yang lelah bersimpuh di hadapan istrinya, memutuskan untuk duduk. Ia mendaratkan bokongnya di sofa tunggal. Sehingga sekarang ini posisinya mereka berhadap-hadapan.Sri yang sejak tadi mengintip mereka berdua, menjadi gemas sendiri dengan putrinya. Ia menyayangkan sikap putrinya yang sok jual mahal. Wanita paruh baya itu ingin nimbrung dan memberikan petuah kenapa anak bungsunya, tapi ia masih memiliki malu. Nanti saja kalau Daffa sudah pulang, ia akan menceramahi putrinya panjang lebar."Daffa, mending kamu pulang. Aku masih pingin sendiri. Aku mau nenangin diri. Jangan ganggu aku." Setelah hanya diam saja sejak tadi, akhirnya Bulan mengeluarkan suaranya juga."Sampai kapan kamu mau di sini? Apa nanti kata orang tua kita? Kata tetangga kita? Kita baru menikah lima hari lho. Malu ketahuan bertengkar kayak begini," ujar Daffa yang mulai lelah. Pria tempramental itu hampir tersulut emosi karena istrinya tidak mau diajak pulang. Hampir saja ia bicara dengan nada tinggi."Jadi kamu jemput aku cuma karena malu dengan tetangga? Bukan karena kamu nyesal sudah kasar sama aku?" tanya Bulan dengan suara yang agak meninggi. Ia benar-benar kecewa dengan sikap suaminya."Bu-bukan gitu maksud aku, Lan. Kamu salah paham. Aku beneran nyesal sudah kasar sama kamu. Aku ...." Daffa kehilangan kata-kata. Ia merutuki dirinya yang tidak bisa menjaga lidah sehingga salah bicara.Selama ini Daffa tidak pernah pacaran, sehingga ia kurang referensi tentang menghadapi perempuan marah.Bulan menatap suaminya dengan urat-urat yang menyembul di lehernya. "Pergi kamu, Daffa! Pergi! Aku benci sama kamu!" teriaknya sambil menunjuk pintu keluar."Oke. Mungkin kamu memang butuh waktu untuk sendiri. Aku kasih kamu waktu dua hari. Hari ini dan besok. Setelah itu, kalau kamu nggak mau juga pulang, aku bakal jemput kamu secara paksa," ujar Daffa pada akhirnya.Daffa lantas memanggil ibu mertuanya, ia hendak berpamitan pulang. Malam ini ia menyerah. Ia mengakui dirinya gagal membawa istrinya pulang.Tanpa mengatakan apapun, Bulan segera masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu membanting pintu kamarnya dengan keras. Setelah itu menguncinya agar ibunya tidak bisa masuk."Tolong maafkan, Bulan, Ya, Daffa. Mamak janji, bakal bantu membujuk Bulan supaya mau diajak Daffa pulang. Mungkin saat ini Bulan lagi PMS, jadi emosinya nggak terkontrol," ujar Sri penuh penyesalan.Sri sengaja mencari berbagai alasan kemungkinan Bulan bisa semarah ini. Sebagai ibu, ia sangat malu atas sikap putrinya. Ia merasa gagal mendidik anak."Ya, mungkin, Mak. Daffa pulang dulu, ya. Salam untuk Ayah," pamit Daffa dan di-angguki oleh Sri.Saat ini ayah Bulan sedang menghadiri acara tahlilan di rumah tetangganya. Hanya ada Bulan dan Sri saja di rumah itu.Daffa melangkah gontai keluar dari rumah mertuanya. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan rendah. Ia sedang tidak fokus, sehingga akan berbahaya jika memaksa mengendarai dengan kecepatan tinggi.Laki-laki itu memutuskan untuk pulang dan tidak menginap di rumah mertuanya. Karena percuma saja. Di sana pasti ia tidak akan diterima oleh Bulan."Mungkin Mamak benar, Bulan lagi PMS. Nanti kalau dia sudah selesai PMS, pasti baik lagi," gumam Daffa.Setelah Daffa pulang, Sri langsung menggedor pintu kamar putrinya. Ia menggedor sambil ngomel-ngomel khas seperti biasanya."Jangan sok jual mahal, Bulan! Masih untung Daffa mau jemput kamu ke sini, nggak nyari istri baru. Kalau sampai Daffa nyari istri baru dan nggak peduli lagi dengan kamu, bakalan nangis darah kamu.""Hih! Berisik!" ujar Bulan seraya mengambil headset dan memutar lagu dengan volume full. Ia malas mendengar ocehan ibunya. Pusing.***"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa."Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan."Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan."Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu."Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga i
"Kak Bulan, nanti malam kita maraton drakor, yuk!" ujar Shalfa. Gadis tujuh belas tahun itu sengaja mengganti topik pembicaraan agar Bulan tidak canggung dengan celetukan Sintia yang tidak ada akhlak.Bulan menanggapi ajakan adik iparnya dengan anggukan dan tersenyum lebar. Ia bersyukur memiliki adik ipar sebaik Shalfa. Tidak semua orang seberuntung dirinya bisa memiliki ipar yang baik.Setelah tiga hari di rumah orang tuanya, akhirnya Bulan kembali lagi ke rumah mertuanya. Sebenarnya kalau ibunya tidak berisik dan ngomel-ngomel, ia belum ingin pulang ke sini."Bulan, Mama Papa duluan, ya. Sebentar lagi jam ngantor dimulai," ujar Wisnu seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangannya."Iya, Ma, Pa. Hati-hati," jawab Bulan sambil tersenyum."Aku juga, Kak. Takut telat. Bisa gawat, alamat manjat pagar kalau sampai terlambat," ujar Shalfa dan di-iyakan oleh Bulan. Bulan dan Daffa masih memiliki masa cuti selama satu minggu. Walaupun mereka tidak melakukan honeymoon ke luar kota, tapi
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk
"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi."Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?" Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis. Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya
"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa. Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah. "Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik ko
"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Daf, menurutku kamu tadi sangat keterlaluan lho. Kasihan Shalfa, kayaknya dia takut banget. Badannya sampai gemetaran." Bulan menegur Daffa dengan nada rendah.Daffa yang berbaring di sebelah Bulan, menghela napas panjang. "Aku kesal aja dengan mereka. Aku ngerasa terganggu," ujarnya.Bulan tidak langsung menjawab pernyataan suaminya. Sebelumnya, Bulan dan Daffa adalah teman biasa saat SMA. Tidak dekat sama sekali, sehingga Bulan tidak tahu bagaimana sifat asli Daffa. Tapi setelah ia hidup beberapa hari dengan Daffa, perlahan-lahan ia mulai bisa mengenali sifat Daffa, bahwasanya Daffa tempramental. Mudah tersulut emosi.Hujan di luar sana sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik halus saja. Sonya dan Wisnu sudah kembali ke kamar, sedangkan Sri dan Prabu juga sudah tertidur lagi. Tapi pasangan pengantin baru itu masih terjaga. Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 12.35. Mata mereka masih terang benderang, belum mengantuk sama sekali. Sejak tadi mereka hanya saling diam, a
"Daf, menurutku kamu tadi sangat keterlaluan lho. Kasihan Shalfa, kayaknya dia takut banget. Badannya sampai gemetaran." Bulan menegur Daffa dengan nada rendah.Daffa yang berbaring di sebelah Bulan, menghela napas panjang. "Aku kesal aja dengan mereka. Aku ngerasa terganggu," ujarnya.Bulan tidak langsung menjawab pernyataan suaminya. Sebelumnya, Bulan dan Daffa adalah teman biasa saat SMA. Tidak dekat sama sekali, sehingga Bulan tidak tahu bagaimana sifat asli Daffa. Tapi setelah ia hidup beberapa hari dengan Daffa, perlahan-lahan ia mulai bisa mengenali sifat Daffa, bahwasanya Daffa tempramental. Mudah tersulut emosi.Hujan di luar sana sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik halus saja. Sonya dan Wisnu sudah kembali ke kamar, sedangkan Sri dan Prabu juga sudah tertidur lagi. Tapi pasangan pengantin baru itu masih terjaga. Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 12.35. Mata mereka masih terang benderang, belum mengantuk sama sekali. Sejak tadi mereka hanya saling diam, a
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa. Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah. "Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik ko
"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi."Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?" Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis. Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk
"Kak Bulan, nanti malam kita maraton drakor, yuk!" ujar Shalfa. Gadis tujuh belas tahun itu sengaja mengganti topik pembicaraan agar Bulan tidak canggung dengan celetukan Sintia yang tidak ada akhlak.Bulan menanggapi ajakan adik iparnya dengan anggukan dan tersenyum lebar. Ia bersyukur memiliki adik ipar sebaik Shalfa. Tidak semua orang seberuntung dirinya bisa memiliki ipar yang baik.Setelah tiga hari di rumah orang tuanya, akhirnya Bulan kembali lagi ke rumah mertuanya. Sebenarnya kalau ibunya tidak berisik dan ngomel-ngomel, ia belum ingin pulang ke sini."Bulan, Mama Papa duluan, ya. Sebentar lagi jam ngantor dimulai," ujar Wisnu seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangannya."Iya, Ma, Pa. Hati-hati," jawab Bulan sambil tersenyum."Aku juga, Kak. Takut telat. Bisa gawat, alamat manjat pagar kalau sampai terlambat," ujar Shalfa dan di-iyakan oleh Bulan. Bulan dan Daffa masih memiliki masa cuti selama satu minggu. Walaupun mereka tidak melakukan honeymoon ke luar kota, tapi
"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa."Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan."Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan."Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu."Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga i
"Mana suamimu?" tanya Sri sambil celingak-celinguk melihat ke arah luar sambil memegang daun pintu yang terbuka separuh.Bulan tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan ibunya, lalu setelah itu bergegas masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu duduk termenung di sisi ranjang."Heh, ditanya itu jawab, Bulan!" ujar Sri yang menyusul putrinya ke dalam kamar. "Kenapa kamu? Pulang sendiri, mata bengkak, hidung apa lagi, kayak jambu bol. Kenapa?""Mak, aku lagi pingin sendiri," jawab Bulan dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan penuh permohonan."Sebenarnya ada apa, Bulan? Jangan bilang kamu berbuat ulah?" tuduh Sri. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam. Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia dan ibunya sejak dulu tidak pernah akur. Jika Bulan terlibat dalam suatu masalah, pasti ibunya akan langsung berburuk sangka pada Bulan, padahal tidak selamanya Bulan yang s