"Ini pil apa, Lan? Siapa yang minum ini? Kamu?" Daffa bertanya pada istrinya dengan urat wajah yang menegang dan wajah merah padam.
Bulan yang tertangkap basah mengkonsumsi pil KB tanpa sepengetahuan suaminya jadi salah tingkah. Ia pura-pura sibuk melipat pakaian. Pura-pura tidak mendengar pertanyaan suaminya. "Aku ngomong sama kamu, Lan, bukan sama tembok!""Itu vitamin, Daf. Akhir-akhir ini kesehatanku terganggu, jadinya ya aku konsumsi vitamin," jawab Bulan tanpa berani menatap wajah suaminya."Aku ini apoteker lho, apa kamu lupa?! Apa kamu kira aku nggak tau kalau ini pil KB?!" tanyanya dengan suara yang mulai meninggi."Ak ....""Apa?! Kamu mau alasan apa?!" Tanpa sadar, Daffa bicara dengan nada tinggi. "Shit!" Ia melempar lampu belajar ke lantai.Bulan terperanjat karena tidak menyangka suaminya akan berbuat kasar seperti ini. Ia pikir, Daffa adalah pria tenang yang tidak mudah tersulut emosi. Perempuan tiga puluh dua tahun itu meraup pakaian yang belum selesai ia lipat, lalu menaruhnya asal ke keranjang pakaian. Ia hendak kabur keluar kamar. Tapi sebelum itu terjadi, Daffa sudah menarik tangannya dengan kasar."Mau ke mana kamu?! Jangan kabur! Jelaskan dulu ke aku apa maksud dari semua ini? Apa kamu menganggap pernikahan ini cuma mainan, Bulan?!" bentak Daffa dengan penuh emosi.Daffa memang memiliki kesulitan dalam mengendalikan emosi. Selama ini, ia dan Bulan hanya berteman biasa, bukan teman dekat apalagi sahabat, sehingga mereka belum pernah terlibat konflik seperti sekarang ini. Selama ini hubungan mereka damai, tanpa konflik sama sekali. Sehingga selama mereka dekat, Daffa belum pernah menunjukkan sisi dirinya yang sesungguhnya. Ya, watak asli seseorang baru akan terlihat setelah ia mengalami masalah, bukan?"Jawab, Bulan! Jangan cuma nangis!" Daffa menyentak tangan mungil Bulan yang ada di genggamannya. "Kasih aku penjelasan yang paling masuk akal! Apa maksud kamu minum pil KB?! Apa, Bulan?! Apa?!"Bulan yang semakin ketakutan, hanya bisa menunduk dalam-dalam. Tangannya dipegang erat oleh Daffa, sehingga ia tidak bisa kabur."Apa kamu lupa kalau aku selalu ngomong pengin segera punya anak?! Apa kamu lupa itu, Bulan?!""Daffa, tolong jangan teriak-teriak. Aku takut," lirih Bulan dengan diiringi isak tangis. Ia benar-benar takut. "Apa kamu sengaja melakukan ini karena memang sejak awal kamu nggak cinta sama aku? Kamu mau nikah dengan aku karena terpaksa? Kamu bingung mau nyari jodoh di mana karena terlalu sibuk kerja, akhirnya saat aku datang, kamu langsung iyain aja tanpa pikir panjang? Atau karena faktor usia yang sudah nggak lagi muda dan mulai bosan diteror pertanyaan kapan nikah akhirnya membuat kamu mau menerima lamaranku? Iya, Bulan?" Daffa mulai menurunkan sedikit volume suaranya. Bukan kasihan dengan wajah Bulan yang ketakutan, tapi karena malu jika didengar tetangga."Aku ... aku nggak seburuk yang kamu kira, Daf. Aku nggak kayak gitu. Aku benar-benar mencintai kamu. Daffa!" Bulan teriak keras saat Daffa menggenggam tangannya dengan sangat erat."Cinta kamu bilang, eh?! Cinta apa ini, Bulan?! Kalau kamu benar-benar cinta aku, kamu nggak akan KB tanpa persetujuan aku! Kamu nggak akan KB saat usia pernikahan kita masih dalam hitungan hari! Kita baru nikah lima hari, Bulan! Lima hari!" Daffa kembali bicara dengan nada tinggi."Maaf, Daf," sesal Bulan. Ia mengelus tangannya yang tadi diremas Daffa dan akhirnya dilepaskan dengan kasar. Sekarang ia sudah bebas dari Daffa. Jika ia ingin kabur, itu bisa saja dilakukan. Tapi ia berubah pikiran. Ia ingin menyelesaikan masalah ini dan tidak ingin lari dari masalah."Kamu pikir maaf bisa menyelesaikan semua ini, Bulan? Kamu pikir maaf bisa mengobati sakit hati aku? Aku nyesal nikah dengan kamu, Bulan! Kamu nggak bisa ngerti aku, kamu pembohong, kamu mengecewakan!”Daffa mulai frustrasi. Ia duduk di lantai sambil bersandar pada dinding. Hatinya benar-benar sakit dengan ini semua. Bulan---istri tercintanya tega melakukan ini. Padahal sebelumnya, ia sudah sangat sering mengatakan pada Bulan kalau dirinya sudah tidak sabar ingin memiliki anak. Usia mereka berdua sudah tidak lagi muda. Mereka sudah berusia tiga puluh dua tahun. Sudah saatnya mereka memiliki anak, bukan?"Aku belum siap punya anak, Daf. Maaf. Maaf banget kalau pernyataan aku ini buat kamu kecewa. Maaf, Daf," sesal Bulan seraya bersimpuh di kaki suaminya. "Kenapa, Bulan?! Kenapa baru ngomong sekarang?! Apa kamu kira pernikahan ini hanya main-main?! Apa kamu nggak pernah serius dengan pernikahan kita?!" bentak Daffa sambil menendang Bulan yang memegangi kakinya. Bulan yang tidak siap mendapat perlakuan kasar seperti itu, terdorong ke belakang hingga kepalanya membentur kaki meja. Ia meringis kesakitan sambil menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Ia sungguh benar-benar tidak menyangka Daffa tega melakukan kekerasan seperti ini.Daffa melakukan itu secara refleks, tidak sengaja. Ia menyesal telah menendang Bulan, tapi gengsi untuk meminta maaf. Sehingga yang bisa ia lakukan hanya diam saja dan tidak bereaksi apapun. Padahal sebenarnya, Bulan ingin Daffa meminta maaf dan mengelus kepalanya. Nyatanya Daffa hanya diam saja seperti patung.Bulan benar-benar marah pada Daffa. Ia mengambil tas jinjing, dan lalu memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalamnya. Setelah itu, ia keluar kamar dengan langkah lebar.Lagi-lagi, Bulan ingin dikejar oleh Daffa, tapi nyatanya Daffa tidak melakukan itu. Daffa malah diam saja di dalam kamar. Bulan benar-benar kecewa pada Daffa.“Aku punya trauma masa lalu, Daf. Aku takut punya anak,” ujar Bulan dalam hati. Ia berjalan sambil terus menerus menyeka air mata yang mengalir tiada henti.Bulan berjalan ke luar gang untuk mencari angkutan umum. Ia akan pulang ke rumah orangtuanya di Kecamatan Tembesi. Saat ini dirinya tinggal di Kecamatan Muara Bulian, di rumah mertuanya. Rumah mereka berada di satu kabupaten yang sama, Kabupaten Batang Hari, Jambi. Mereka hanya beda kecamatan saja.Saking kacaunya Bulan, ia bahkan tidak sempat pamitan pada mertuanya. Entahlah, ia pasrah saja jika nanti dicap buruk oleh mertuanya. Ia benar-benar kecewa pada Daffa yang tega menendangnya, sehingga nekat kabur seperti sekarang ini.Sementara itu di rumah, Daffa ditegur oleh ibunya karena teriak-teriak. "Rumah tangga itu memang nggak mungkin tanpa masalah, tapi apa ya kamu harus teriak-teriak gitu? Malu didengar tetangga, Daf. Kirain nikah sudah tua bikin kamu bersikap dewasa, nyatanya usia nggak ngaruh apapun ke kamu."Daffa yang sedang kecewa pada Bulan, tidak bisa mendengar nasihat ibunya. Ia malah mengusir ibunya. Ia ingin menenangkan diri. Ingin sendirian di dalam kamar."Mama, keluar! Aku lagi nggak mau diganggu!" ***"Mana suamimu?" tanya Sri sambil celingak-celinguk melihat ke arah luar sambil memegang daun pintu yang terbuka separuh.Bulan tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan ibunya, lalu setelah itu bergegas masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu duduk termenung di sisi ranjang."Heh, ditanya itu jawab, Bulan!" ujar Sri yang menyusul putrinya ke dalam kamar. "Kenapa kamu? Pulang sendiri, mata bengkak, hidung apa lagi, kayak jambu bol. Kenapa?""Mak, aku lagi pingin sendiri," jawab Bulan dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan penuh permohonan."Sebenarnya ada apa, Bulan? Jangan bilang kamu berbuat ulah?" tuduh Sri. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam. Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia dan ibunya sejak dulu tidak pernah akur. Jika Bulan terlibat dalam suatu masalah, pasti ibunya akan langsung berburuk sangka pada Bulan, padahal tidak selamanya Bulan yang s
"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa."Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan."Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan."Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu."Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga i
"Kak Bulan, nanti malam kita maraton drakor, yuk!" ujar Shalfa. Gadis tujuh belas tahun itu sengaja mengganti topik pembicaraan agar Bulan tidak canggung dengan celetukan Sintia yang tidak ada akhlak.Bulan menanggapi ajakan adik iparnya dengan anggukan dan tersenyum lebar. Ia bersyukur memiliki adik ipar sebaik Shalfa. Tidak semua orang seberuntung dirinya bisa memiliki ipar yang baik.Setelah tiga hari di rumah orang tuanya, akhirnya Bulan kembali lagi ke rumah mertuanya. Sebenarnya kalau ibunya tidak berisik dan ngomel-ngomel, ia belum ingin pulang ke sini."Bulan, Mama Papa duluan, ya. Sebentar lagi jam ngantor dimulai," ujar Wisnu seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangannya."Iya, Ma, Pa. Hati-hati," jawab Bulan sambil tersenyum."Aku juga, Kak. Takut telat. Bisa gawat, alamat manjat pagar kalau sampai terlambat," ujar Shalfa dan di-iyakan oleh Bulan. Bulan dan Daffa masih memiliki masa cuti selama satu minggu. Walaupun mereka tidak melakukan honeymoon ke luar kota, tapi
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk
"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi."Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?" Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis. Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya
"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa. Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah. "Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik ko
"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Daf, menurutku kamu tadi sangat keterlaluan lho. Kasihan Shalfa, kayaknya dia takut banget. Badannya sampai gemetaran." Bulan menegur Daffa dengan nada rendah.Daffa yang berbaring di sebelah Bulan, menghela napas panjang. "Aku kesal aja dengan mereka. Aku ngerasa terganggu," ujarnya.Bulan tidak langsung menjawab pernyataan suaminya. Sebelumnya, Bulan dan Daffa adalah teman biasa saat SMA. Tidak dekat sama sekali, sehingga Bulan tidak tahu bagaimana sifat asli Daffa. Tapi setelah ia hidup beberapa hari dengan Daffa, perlahan-lahan ia mulai bisa mengenali sifat Daffa, bahwasanya Daffa tempramental. Mudah tersulut emosi.Hujan di luar sana sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik halus saja. Sonya dan Wisnu sudah kembali ke kamar, sedangkan Sri dan Prabu juga sudah tertidur lagi. Tapi pasangan pengantin baru itu masih terjaga. Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 12.35. Mata mereka masih terang benderang, belum mengantuk sama sekali. Sejak tadi mereka hanya saling diam, a
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa. Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah. "Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik ko
"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi."Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?" Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis. Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk
"Kak Bulan, nanti malam kita maraton drakor, yuk!" ujar Shalfa. Gadis tujuh belas tahun itu sengaja mengganti topik pembicaraan agar Bulan tidak canggung dengan celetukan Sintia yang tidak ada akhlak.Bulan menanggapi ajakan adik iparnya dengan anggukan dan tersenyum lebar. Ia bersyukur memiliki adik ipar sebaik Shalfa. Tidak semua orang seberuntung dirinya bisa memiliki ipar yang baik.Setelah tiga hari di rumah orang tuanya, akhirnya Bulan kembali lagi ke rumah mertuanya. Sebenarnya kalau ibunya tidak berisik dan ngomel-ngomel, ia belum ingin pulang ke sini."Bulan, Mama Papa duluan, ya. Sebentar lagi jam ngantor dimulai," ujar Wisnu seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangannya."Iya, Ma, Pa. Hati-hati," jawab Bulan sambil tersenyum."Aku juga, Kak. Takut telat. Bisa gawat, alamat manjat pagar kalau sampai terlambat," ujar Shalfa dan di-iyakan oleh Bulan. Bulan dan Daffa masih memiliki masa cuti selama satu minggu. Walaupun mereka tidak melakukan honeymoon ke luar kota, tapi
"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa."Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan."Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan."Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu."Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga i
"Mana suamimu?" tanya Sri sambil celingak-celinguk melihat ke arah luar sambil memegang daun pintu yang terbuka separuh.Bulan tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan ibunya, lalu setelah itu bergegas masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu duduk termenung di sisi ranjang."Heh, ditanya itu jawab, Bulan!" ujar Sri yang menyusul putrinya ke dalam kamar. "Kenapa kamu? Pulang sendiri, mata bengkak, hidung apa lagi, kayak jambu bol. Kenapa?""Mak, aku lagi pingin sendiri," jawab Bulan dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan penuh permohonan."Sebenarnya ada apa, Bulan? Jangan bilang kamu berbuat ulah?" tuduh Sri. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam. Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia dan ibunya sejak dulu tidak pernah akur. Jika Bulan terlibat dalam suatu masalah, pasti ibunya akan langsung berburuk sangka pada Bulan, padahal tidak selamanya Bulan yang s