"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.
Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa."Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan."Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan."Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu."Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga ia selalu menjawab semua pertanyaan Sintia tanpa curiga sama sekali."Pulang ke rumah orang tuanya? Ish! Malu-maluin perempuan aja lho. Dulu aku waktu masih punya suami, aku nggak pernah pulang ke rumah Papa Mama tuh kalau lagi bertengkar dengan suami. Kok bisa sih kamu dapat istri kayak gitu, Daf? Nemu di mana perempuan kayak gitu?" Sintia berbicara sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya agar tercampur dengan sambal dan lauk pauk."Masing-masing orang punya psikologis yang berbeda, keleus. Jadi jangan suka membanding- bandingkan orang," sahut Shalfa dengan ketus."Shalfa makin hari mulutnya semakin pedas, ya. Siapa sih yang ngajarin? Kamu cewek lho, jadi harus jaga sikap, jangan judes-judes, nanti nggak laku," ujar Sintia sambil tersenyum mengejek Shalfa."Situ juga sebagai perempuan harusnya bisa dong jangan kecentilan. Suami orang pun mau diembat.""Weh, Shalfa omongannya benar-benar pedas."Dua sepupu perempuan itu saling melemparkan kata-kata pedas. Daffa dan kedua orang tuanya sampai kehilangan kata-kata untuk melerai. Setiap bertemu, mereka berdua memang seperti ini. Bagaikan Tom and Jerry, tidak pernah akur.Sejak dulu, adik Daffa itu tidak pernah suka dengan Sintia. Jika Sintia bukan sepupu, ia tidak akan sudi menerima janda itu untuk bertamu di rumahnya. Shalfa tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia pura-pura tidak tahu. Tidak mengatakan itu pada siapapun. Karena percuma saja, pasti tidak akan ada yang percaya dengannya. Secara, mereka kan sepupu."Mumpung kamu masih cuti, nanti kamu harus jemput Bulan lagi, Daf! Jangan sampai masalah ini berlarut- larut. Kalian sudah sama-sama dewasa. Jadi, belajarlah mengontrol emosi." Yang berbicara itu adalah Wisnu, ayah Daffa dan Shalfa."Jangan, Om. Biar perempuan itu aja yang pulang sendiri. Dia yang pergi dari rumah ini, ya biar dia sendiri yang harus pulang ke sini. Nggak usah pakai dijemput segala," timpal Sintia yang berbicara dengan mulut penuh."Ish! Jijik. Mulut penuh makanan kok ngomong," ujar Shalfa sambil bergidik."Kalian ini, ya, benar-benar Tom and Jerry. Tolong, ya, kalau di meja makan jangan berantem. Kalau mau berantem, sana di ring tinju," ujar Sonya yang mulai lelah mendengar ocehan Shalfa dan Sintia."Tau tuh, Tante. Si Shalfa nggak sopan banget sama orang tua. Aku ini lebih tua lima belas tahun dari kamu, tau. Jadi tolong ya yang sopan." Sintia melirik Daffa yang duduk di samping Shalfa. "Omong-omong, kenapa sejak tadi kamu diam aja, Daf? Sakit gigi? Ngomong dong, akukangen nih sama suara kamu."Daffa tidak menghiraukan ocehan Sintia. Ia sama seperti Shalfa, tidak menyukai Sintia. Baginya Sintia terlalu genit sebagai seorang sepupu. Sering tiba-tiba memeluknya ataupun menempel- nempel dengannya. Sepupu mana yang berani bersikap genit seperti itu kalau bukan Sintia?Kelima diinterupsi dengan panggilan salam dari luar rumah. Daffa yang familiar dengan suara itu, segera meninggalkan meja makan dan melangkah lebar menuju pintu."Bu-bulan? Ini beneran kamu?" tanya Daffa tak percaya. Ia membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan istrinya untuk masuk.Bulan tidak menjawab apapun. Sebenarnya ia masih marah dengan Daffa, ia belum mau pulang ke pondok mertua indah. Tapi di rumah hidupnya tidak tenang. Ibunya mengomel panjang lebar dengan suara tinggi, sehingga omelan itu terdengar oleh tetangga. Ia malu."Kamu sama siapa? Naik ojek?" tanya Daffa seraya mengambil alih tas jinjing yang ada di tangan istrinya. "Ayo ke meja makan. Kita sarapan bersama," ajaknya dengan antusias.Sebenarnya Bulan tidak lapar, tapi ia tidak sempat menolak karena Daffa sudah keburu menarik tangannya menuju meja makan."Lho, Bulan? Sama siapa?" tanya Wisnu dan Sonya secara bersamaan."Naik travel, Ma, Pa," jawab Bulan sambil tersenyum paksa. Ia canggung."Ayo, Kak, kita sarapan bersama!" ajak Shalfa dengan antusias. Gadis tujuh belas tahun dengan seragam putih abu itu sangat senang kakak iparnya sudah kembali. Ia jadi punya teman curhat.Bulan duduk di meja makan dengan canggung. Ia ingin meminta maaf pada mertuanya karena sudah kabur dari rumah, tapi ada Sintia. Ia keberatan permintaan maafnya disaksikan Sintia."Akhirnya si ngambekan pulang sendiri tanpa dijemput," celetuk Sintia dengan wajah masam."Kak Bulan, nanti malam kita maraton drakor, yuk!" ujar Shalfa. Gadis tujuh belas tahun itu sengaja mengganti topik pembicaraan agar Bulan tidak canggung dengan celetukan Sintia yang tidak ada akhlak.Bulan menanggapi ajakan adik iparnya dengan anggukan dan tersenyum lebar. Ia bersyukur memiliki adik ipar sebaik Shalfa. Tidak semua orang seberuntung dirinya bisa memiliki ipar yang baik.Setelah tiga hari di rumah orang tuanya, akhirnya Bulan kembali lagi ke rumah mertuanya. Sebenarnya kalau ibunya tidak berisik dan ngomel-ngomel, ia belum ingin pulang ke sini."Bulan, Mama Papa duluan, ya. Sebentar lagi jam ngantor dimulai," ujar Wisnu seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangannya."Iya, Ma, Pa. Hati-hati," jawab Bulan sambil tersenyum."Aku juga, Kak. Takut telat. Bisa gawat, alamat manjat pagar kalau sampai terlambat," ujar Shalfa dan di-iyakan oleh Bulan. Bulan dan Daffa masih memiliki masa cuti selama satu minggu. Walaupun mereka tidak melakukan honeymoon ke luar kota, tapi
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk
"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi."Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?" Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis. Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya
"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa. Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah. "Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik ko
"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Daf, menurutku kamu tadi sangat keterlaluan lho. Kasihan Shalfa, kayaknya dia takut banget. Badannya sampai gemetaran." Bulan menegur Daffa dengan nada rendah.Daffa yang berbaring di sebelah Bulan, menghela napas panjang. "Aku kesal aja dengan mereka. Aku ngerasa terganggu," ujarnya.Bulan tidak langsung menjawab pernyataan suaminya. Sebelumnya, Bulan dan Daffa adalah teman biasa saat SMA. Tidak dekat sama sekali, sehingga Bulan tidak tahu bagaimana sifat asli Daffa. Tapi setelah ia hidup beberapa hari dengan Daffa, perlahan-lahan ia mulai bisa mengenali sifat Daffa, bahwasanya Daffa tempramental. Mudah tersulut emosi.Hujan di luar sana sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik halus saja. Sonya dan Wisnu sudah kembali ke kamar, sedangkan Sri dan Prabu juga sudah tertidur lagi. Tapi pasangan pengantin baru itu masih terjaga. Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 12.35. Mata mereka masih terang benderang, belum mengantuk sama sekali. Sejak tadi mereka hanya saling diam, a
"Ini pil apa, Lan? Siapa yang minum ini? Kamu?" Daffa bertanya pada istrinya dengan urat wajah yang menegang dan wajah merah padam. Bulan yang tertangkap basah mengkonsumsi pil KB tanpa sepengetahuan suaminya jadi salah tingkah. Ia pura-pura sibuk melipat pakaian. Pura-pura tidak mendengar pertanyaan suaminya. "Aku ngomong sama kamu, Lan, bukan sama tembok!" "Itu vitamin, Daf. Akhir-akhir ini kesehatanku terganggu, jadinya ya aku konsumsi vitamin," jawab Bulan tanpa berani menatap wajah suaminya. "Aku ini apoteker lho, apa kamu lupa?! Apa kamu kira aku nggak tau kalau ini pil KB?!" tanyanya dengan suara yang mulai meninggi. "Ak ...." "Apa?! Kamu mau alasan apa?!" Tanpa sadar, Daffa bicara dengan nada tinggi. "Shit!" Ia melempar lampu belajar ke lantai. Bulan terperanjat karena tidak menyangka suaminya akan berbuat kasar seperti ini. Ia pikir, Daffa adalah pria tenang yang tidak mudah tersulut emosi. Perempuan tiga puluh dua tahun itu meraup pakaian yang belum selesai ia lipa
"Daf, menurutku kamu tadi sangat keterlaluan lho. Kasihan Shalfa, kayaknya dia takut banget. Badannya sampai gemetaran." Bulan menegur Daffa dengan nada rendah.Daffa yang berbaring di sebelah Bulan, menghela napas panjang. "Aku kesal aja dengan mereka. Aku ngerasa terganggu," ujarnya.Bulan tidak langsung menjawab pernyataan suaminya. Sebelumnya, Bulan dan Daffa adalah teman biasa saat SMA. Tidak dekat sama sekali, sehingga Bulan tidak tahu bagaimana sifat asli Daffa. Tapi setelah ia hidup beberapa hari dengan Daffa, perlahan-lahan ia mulai bisa mengenali sifat Daffa, bahwasanya Daffa tempramental. Mudah tersulut emosi.Hujan di luar sana sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik halus saja. Sonya dan Wisnu sudah kembali ke kamar, sedangkan Sri dan Prabu juga sudah tertidur lagi. Tapi pasangan pengantin baru itu masih terjaga. Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 12.35. Mata mereka masih terang benderang, belum mengantuk sama sekali. Sejak tadi mereka hanya saling diam, a
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa. Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah. "Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik ko
"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi."Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?" Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis. Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk
"Kak Bulan, nanti malam kita maraton drakor, yuk!" ujar Shalfa. Gadis tujuh belas tahun itu sengaja mengganti topik pembicaraan agar Bulan tidak canggung dengan celetukan Sintia yang tidak ada akhlak.Bulan menanggapi ajakan adik iparnya dengan anggukan dan tersenyum lebar. Ia bersyukur memiliki adik ipar sebaik Shalfa. Tidak semua orang seberuntung dirinya bisa memiliki ipar yang baik.Setelah tiga hari di rumah orang tuanya, akhirnya Bulan kembali lagi ke rumah mertuanya. Sebenarnya kalau ibunya tidak berisik dan ngomel-ngomel, ia belum ingin pulang ke sini."Bulan, Mama Papa duluan, ya. Sebentar lagi jam ngantor dimulai," ujar Wisnu seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangannya."Iya, Ma, Pa. Hati-hati," jawab Bulan sambil tersenyum."Aku juga, Kak. Takut telat. Bisa gawat, alamat manjat pagar kalau sampai terlambat," ujar Shalfa dan di-iyakan oleh Bulan. Bulan dan Daffa masih memiliki masa cuti selama satu minggu. Walaupun mereka tidak melakukan honeymoon ke luar kota, tapi
"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa."Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan."Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan."Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu."Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga i
"Mana suamimu?" tanya Sri sambil celingak-celinguk melihat ke arah luar sambil memegang daun pintu yang terbuka separuh.Bulan tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan ibunya, lalu setelah itu bergegas masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu duduk termenung di sisi ranjang."Heh, ditanya itu jawab, Bulan!" ujar Sri yang menyusul putrinya ke dalam kamar. "Kenapa kamu? Pulang sendiri, mata bengkak, hidung apa lagi, kayak jambu bol. Kenapa?""Mak, aku lagi pingin sendiri," jawab Bulan dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan penuh permohonan."Sebenarnya ada apa, Bulan? Jangan bilang kamu berbuat ulah?" tuduh Sri. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam. Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia dan ibunya sejak dulu tidak pernah akur. Jika Bulan terlibat dalam suatu masalah, pasti ibunya akan langsung berburuk sangka pada Bulan, padahal tidak selamanya Bulan yang s