"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa.
Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah."Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik kok. Pasti Mama nggak punya niat buruk untuk menjelekkan Kakak di depan orang lain," ujar Shalfa sambil menatap kakak iparnya dengan raut permohonan.Bulan hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Hatinya benar-benar hancur. Ia pikir, ibu mertuanya baik. Ternyata kenyataannya tidak sebaik itu.Mengapa tadi pagi tidak menegurnya secara langsung? Mengapa tadi pagi sok pengertian, tapi kenyataannya membongkar aib-nya di depan orang lain?"Lagian Abang kok malah diem aja sih, bukannya belain Kak Bulan? Suami macam apa Abang ini? Nggak guna banget jadi suami," omel Shalfa."Tadi Abang shock banget, Shal, jadi nggak tau mau ngomong apa. Abang nggak ekspek kalau Mama sampai keceplosan ngomong ke Bu Aufa. Bu Aufa itu kan lambe turah berjalan di kompleks ini, Mama benar-benar gegabah, deh."Shalfa dan Daffa terus berdebat. Bulan yang tidak kuat lagi menahan tangisnya, segera lari menuju kamar. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam kamar.Tak butuh waktu lama, Daffa langsung menyusul istrinya. Ia meminta maaf atas kesalahan ibunya. "Mama nggak ada niat buruk ke kamu, Lan. Mama cuma keceplosan. Maafin Mama, ya?""Kamu harus tau, tadi pagi Mama kamu baik banget ke aku. Manis banget. Seolah-olah nggak papa aku bangun siang. Tapi kenapa dia malah ceritain aibku ke tetangga? Aku malu, Daf! Malu!""Nanti kalau Mama sudah pulang kerja, aku bakal suruh Mama untuk minta maaf ke kamu," bujuk Daffa. Hari ini Sonya ada lembur, sehingga walaupun sudah pukul lima sore, tapi ibu dua anak itu belum juga pulang."Aku mau sendiri," lirih Bulan."Oke, aku keluar. Kamu tenangin diri dulu, ya. Aku mau bantuin Shalfa ngurus tanaman," ujar Daffa dengan nada rendah. Ia mengecup kening istrinya dalam, setelah itu barulah meninggalkan istrinya sendirian di dalam kamar.Daffa Mahardika, seorang apoteker PNS di sebuah rumah sakit umum daerah. Sedangkan Putri Bulan, seorang bankir di bank pemerintah. Keduanya adalah teman satu kelas saat SMA.Dulu, saat masih berseragam putih abu-abu, Daffa pernah menembak Bulan, tapi ditolak oleh Bulan karena saat itu Bulan sudah memiliki kekasih. Sekarang, saat keduanya sudah berusia matang, sama-sama tiga puluh dua tahun, keduanya disatukan dalam ikatan cinta yang suci dan sah. Ikatan pernikahan.Sebenarnya mereka sudah lama putus komunikasi. Semenjak lulus SMA, mereka tidak pernah lagi berkomunikasi baik secara langsung maupun lewat media sosial. Pasalnya, saat itu Daffa merasa malu jika ingin menyapa Bulan terlebih dahulu. Bukan apa-apa, ia masih ingat rasanya ditolak, sehingga sangat canggung baginya untuk menyapa Bulan terlebih dahulu.Beberapa bulan terakhir ini keduanya dipermukaan lagi lewat media sosial. Tanpa pendekatan bertele-tele, keduanya memutuskan mantap untuk menikah.***Begitu pulang dari kantor, Sonya langsung menemui menantunya. Sebelumnya ia sudah diberitahu oleh Shalfa dan Daffa tentang apa yang terjadi."Lan, Mama minta maaf. Mama nggak ada maksud mempermalukan kamu. Tadi Mama nggak sengaja keceplosan ngomong kamu bangun siang di grup W******p. Mama benar-benar nggak ada maksud buruk dengan kamu, Lan. Maafin Mama, ya?" mohon Sonya dengan sungguh-sungguh. Ia sungguh tidak ada niat untuk membongkar aib menantu. Ia sungguh keceplosan.Tadi teman-temannya di grup menggoda, kalau sekarang hidupnya enak karena ada menantu yang bantu-bantu di rumah. Dan tanpa sengaja ia keceplosan menyinggung Bulan yang bangun kesiangan."Iya, Ma. Nggak papa kok. Aku yakin Mama baik," jawab Bulan sambil tersenyum paksa.Sebenarnya Bulan belum bisa memaafkan mertuanya ini. Tapi mau bagaimana lagi, mertua beda dengan orang tua. Ia tidak boleh gegabah dalam memperlakukan mertua. Salah-salah bisa berakibat fatal."Peluk dulu dong kalau sudah maafin Mama." Sonya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.Bulan memeluk mertuanya dengan kikuk. Ini aneh. Sungguh perasaan yang aneh. Ia harus akting baik-baik saja padahal hatinya masih sakit."Mama janji, lain kali akan lebih hati-hati kalau ngomong," ujar Sonya."Iya, Ma," jawab Bulan sambil tersenyum paksa.Bulan masih belum tahu bagaimana watak asli mertuanya ini. Apakah baik, apakah pura-pura baik, atau entah apa lagi. Biarkan waktu yang akan menjawabnya."Gitu dong, mau maafin Mama. Kan cantik," puji Sonya seraya melepaskan pelukannya dari Bulan.***HaiJangan lupa tinggalkan jejak di tulisan ini ya. Btw maaf kalau bab-nya agak membingungkan. Jadi kemarin itu aku sudah lolos pratinjau, tapi karena ada kesalahan teknis, jadi deh bab di novel ini dirombak ulang. Selamat membaca.Luv,Juni"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Daf, menurutku kamu tadi sangat keterlaluan lho. Kasihan Shalfa, kayaknya dia takut banget. Badannya sampai gemetaran." Bulan menegur Daffa dengan nada rendah.Daffa yang berbaring di sebelah Bulan, menghela napas panjang. "Aku kesal aja dengan mereka. Aku ngerasa terganggu," ujarnya.Bulan tidak langsung menjawab pernyataan suaminya. Sebelumnya, Bulan dan Daffa adalah teman biasa saat SMA. Tidak dekat sama sekali, sehingga Bulan tidak tahu bagaimana sifat asli Daffa. Tapi setelah ia hidup beberapa hari dengan Daffa, perlahan-lahan ia mulai bisa mengenali sifat Daffa, bahwasanya Daffa tempramental. Mudah tersulut emosi.Hujan di luar sana sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik halus saja. Sonya dan Wisnu sudah kembali ke kamar, sedangkan Sri dan Prabu juga sudah tertidur lagi. Tapi pasangan pengantin baru itu masih terjaga. Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 12.35. Mata mereka masih terang benderang, belum mengantuk sama sekali. Sejak tadi mereka hanya saling diam, a
"Ini pil apa, Lan? Siapa yang minum ini? Kamu?" Daffa bertanya pada istrinya dengan urat wajah yang menegang dan wajah merah padam. Bulan yang tertangkap basah mengkonsumsi pil KB tanpa sepengetahuan suaminya jadi salah tingkah. Ia pura-pura sibuk melipat pakaian. Pura-pura tidak mendengar pertanyaan suaminya. "Aku ngomong sama kamu, Lan, bukan sama tembok!" "Itu vitamin, Daf. Akhir-akhir ini kesehatanku terganggu, jadinya ya aku konsumsi vitamin," jawab Bulan tanpa berani menatap wajah suaminya. "Aku ini apoteker lho, apa kamu lupa?! Apa kamu kira aku nggak tau kalau ini pil KB?!" tanyanya dengan suara yang mulai meninggi. "Ak ...." "Apa?! Kamu mau alasan apa?!" Tanpa sadar, Daffa bicara dengan nada tinggi. "Shit!" Ia melempar lampu belajar ke lantai. Bulan terperanjat karena tidak menyangka suaminya akan berbuat kasar seperti ini. Ia pikir, Daffa adalah pria tenang yang tidak mudah tersulut emosi. Perempuan tiga puluh dua tahun itu meraup pakaian yang belum selesai ia lipa
"Mana suamimu?" tanya Sri sambil celingak-celinguk melihat ke arah luar sambil memegang daun pintu yang terbuka separuh.Bulan tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan ibunya, lalu setelah itu bergegas masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu duduk termenung di sisi ranjang."Heh, ditanya itu jawab, Bulan!" ujar Sri yang menyusul putrinya ke dalam kamar. "Kenapa kamu? Pulang sendiri, mata bengkak, hidung apa lagi, kayak jambu bol. Kenapa?""Mak, aku lagi pingin sendiri," jawab Bulan dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan penuh permohonan."Sebenarnya ada apa, Bulan? Jangan bilang kamu berbuat ulah?" tuduh Sri. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam. Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia dan ibunya sejak dulu tidak pernah akur. Jika Bulan terlibat dalam suatu masalah, pasti ibunya akan langsung berburuk sangka pada Bulan, padahal tidak selamanya Bulan yang s
"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa."Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan."Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan."Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu."Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga i
"Kak Bulan, nanti malam kita maraton drakor, yuk!" ujar Shalfa. Gadis tujuh belas tahun itu sengaja mengganti topik pembicaraan agar Bulan tidak canggung dengan celetukan Sintia yang tidak ada akhlak.Bulan menanggapi ajakan adik iparnya dengan anggukan dan tersenyum lebar. Ia bersyukur memiliki adik ipar sebaik Shalfa. Tidak semua orang seberuntung dirinya bisa memiliki ipar yang baik.Setelah tiga hari di rumah orang tuanya, akhirnya Bulan kembali lagi ke rumah mertuanya. Sebenarnya kalau ibunya tidak berisik dan ngomel-ngomel, ia belum ingin pulang ke sini."Bulan, Mama Papa duluan, ya. Sebentar lagi jam ngantor dimulai," ujar Wisnu seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangannya."Iya, Ma, Pa. Hati-hati," jawab Bulan sambil tersenyum."Aku juga, Kak. Takut telat. Bisa gawat, alamat manjat pagar kalau sampai terlambat," ujar Shalfa dan di-iyakan oleh Bulan. Bulan dan Daffa masih memiliki masa cuti selama satu minggu. Walaupun mereka tidak melakukan honeymoon ke luar kota, tapi
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk
"Daf, menurutku kamu tadi sangat keterlaluan lho. Kasihan Shalfa, kayaknya dia takut banget. Badannya sampai gemetaran." Bulan menegur Daffa dengan nada rendah.Daffa yang berbaring di sebelah Bulan, menghela napas panjang. "Aku kesal aja dengan mereka. Aku ngerasa terganggu," ujarnya.Bulan tidak langsung menjawab pernyataan suaminya. Sebelumnya, Bulan dan Daffa adalah teman biasa saat SMA. Tidak dekat sama sekali, sehingga Bulan tidak tahu bagaimana sifat asli Daffa. Tapi setelah ia hidup beberapa hari dengan Daffa, perlahan-lahan ia mulai bisa mengenali sifat Daffa, bahwasanya Daffa tempramental. Mudah tersulut emosi.Hujan di luar sana sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik halus saja. Sonya dan Wisnu sudah kembali ke kamar, sedangkan Sri dan Prabu juga sudah tertidur lagi. Tapi pasangan pengantin baru itu masih terjaga. Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 12.35. Mata mereka masih terang benderang, belum mengantuk sama sekali. Sejak tadi mereka hanya saling diam, a
"Bulan, wajahmu seindah bulan purnama. Bersinar cerah, cantik, membuat aku gila," puji Daffa seraya memeluk istrinya dari samping."Kamu apaan sih, Daf? Geli banget, tau," sahut Bulan sambil terkekeh.Saat ini sepasang pengantin baru itu sedang tiduran di atas ranjang. Keduanya baru saja selesai bercengkrama dengan Shalfa dan para orang tua mereka di ruang tamu. Sri dan Prabu menginap di rumah besan, hujan yang sangat deras tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Karena kamar di rumah tersebut hanya pas-pasan, maka Sri dan Prabu tidur di ruang tamu. Rumah Wisnu hanyalah rumah minimalis dengan tiga kamar, sehingga tidak ada kamar sisa untuk tamu.Hujan di luar sangat deras. Suara air yang beradu dengan asbes, membuat penghuni rumah itu harus sedikit menaikkan nada suaranya jika ingin berbicara. Jika tidak, maka suara mereka akan tenggelam ditelan suara hujan."Dingin," goda Daffa seraya menggenggam tangan Bulan dan mengecupnya dalam.Mendapat perlakuan seperti itu, Bulan jadi merasa s
"Ealah, kok susah payah bawa oleh-oleh, Bu Sri." Sonya menyambut Sri dan Prabu dengan heboh. Ia senang dibawakan banyak buah tangan oleh besannya itu."Nggak payah kok, Bu Sonya, kebetulan ini ada di rumah," balas Sri dengan ramah.Malam ini Sri dan Prabu berkunjung ke rumah besan sambil membawa banyak oleh-oleh. Ada singkong, pepaya, pisang satu tandan, dan kangkung satu ikat besar. Semua itu ditanam di pekarangan rumah yang memang cukup luas.Sonya dan Wisnu menyambut besan mereka dengan hangat. Membuat Sri dan Prabu nyaman berkunjung ke sana."Anak-anak mana, Bu?" tanya Sri saat tak melihat Bulan, Daffa, dan juga Shalfa."Keluar sebentar katanya, mau nyari martabak," terang Wisnu.Baru saja Sri akan mengeluarkan suaranya lagi, tapi ia diinterupsi oleh kedatangan tamu tak diundang. Sintia. Sri tidak tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia tetap tidak menyukai Sintia. Menurutnya, tampang Sintia songong, tidak enak dipandang mata.Sebelumnya Sri sudah pernah bertemu dengan Sintia pada saat
"Eh, ini menantu cantik yang bangun kesiangan, ya?" sapa seorang tetangga yang lewat di depan rumah Daffa. Saat ini Daffa, Bulan dan Shalfa sedang memberikan perawatan untuk tanaman bunga milik Sonya yang ditanam di depan rumah. "Tinggal di rumah mertua jangan suka bangun telat, lho. Untung mertuamu baik, kalau mertuamu Ibu, ugh! Sudah Ibu omeli dari pagi sampai pagi lagi," ujar ibu itu sambil terkekeh."Bu Aufa ngarang, ih! Siapa bilang Kak Bulan bangun kesiangan?" ujar Shalfa yang sedang menyiram bunga mawar."Kata mamamu tadi. Masa sih mamamu bohong?""Ah, Mama mah suka bercanda. Jangan percaya.""Masa sih mamamu bohong, Shal?" goda ibu itu sambil melirik pada Bulan."Sudahlah, Bu Aufa, jangan ngurusin urusan orang. Urusin aja keluarga ibu sendiri," ujar Shalfa dengan malas."Wah, Shalfa kalau ngomong pedas ya? Ya sudah, Ibu mau pulang dulu. Mau masak ayam pop," ujarnya seraya berlalu dengan langkah sok anggun."Mama pasti keceplosan, Kak. Jangan marah sama Mama, ya? Mama baik ko
"Oke, aku nggak akan bahas apapun tentang anak. Aku nggak akan mancing-mancing emosi kamu lagi. Aku yakin, suatu saat kamu akan cerita ke aku dengan sendirinya," ujar Daffa dengan tenang dan tersenyum tulus. Ia telah berjanji tidak akan memancing-mancing emosi istrinya lagi."Oke. Terima kasih sudah ngertiin aku." Bulan menjawab sambil menahan senyum lega. Syukurlah kalau Daffa menyadari kesalahannya dan berniat menjadi dewasa. Ia pun tidak mau drama seperti ini kejadian lagi. Malu."Boleh aku peluk kamu?" Belum sempat Bulan menjawab, Daffa sudah memeluk Bulan dengan erat. Tidak ada penolakan dari Bulan. Dengan lembut, Daffa menyesap bibir merah ranum milik istrinya. Manis. Pagi itu, dua insan yang sedang dimabuk kepayang, saling mencumbu satu sama lain. Kamar minimalis dengan nuansa cokelat muda itu menjadi saksi bisu pelepasan gairah penuh cinta keduanya.***"Sayang, rambut kamu wangi," puji Daffa yang sedang membelai rambut Bulan yang ada di dekapannya. Ia mencium rambut istrinya
"Baru bangun, Lan? Kecapekan banget kayaknya, ya?" tanya Sonya yang sedang mencuci barang pecah belah di wastafel."Maaf, Ma," sesal Bulan. Perempuan yang masih mengenakan piyama itu berdiri salah tingkah di dekat kompor."Santai aja. Rileks, jangan tegang begitu," ujar Sonya sambil terkekeh.Bulan ikut terkekeh paksa. Ia benar-benar canggung berada di posisi ini. Hari ini Bulan bangun kesiangan karena tadi malam ia baru tertidur pukul empat subuh. Ia sangat malu sekali dan merasa tidak memiliki muka untuk muncul di hadapan mertuanya."Mama duluan, ya. Itu sudah ditungguin Papa," kata Sonya yang sudah selesai mencuci barang pecah belah."Iya, Ma, hati-hati," jawab Bulan salah tingkah.Sonya mengangguk singkat dan lantas pergi ke kantor bersama suaminya. Sedangkan Shalfa sudah berangkat sejak jam enam tadi. Adik Daffa itu sengaja datang pagi karena ingin mencontek PR dari temannya.Tiba-tiba saja Bulan ingat dengan ibunya. Dulu saat dirinya belum menikah, ibunya selalu menerornya untuk
"Kak Bulan, nanti malam kita maraton drakor, yuk!" ujar Shalfa. Gadis tujuh belas tahun itu sengaja mengganti topik pembicaraan agar Bulan tidak canggung dengan celetukan Sintia yang tidak ada akhlak.Bulan menanggapi ajakan adik iparnya dengan anggukan dan tersenyum lebar. Ia bersyukur memiliki adik ipar sebaik Shalfa. Tidak semua orang seberuntung dirinya bisa memiliki ipar yang baik.Setelah tiga hari di rumah orang tuanya, akhirnya Bulan kembali lagi ke rumah mertuanya. Sebenarnya kalau ibunya tidak berisik dan ngomel-ngomel, ia belum ingin pulang ke sini."Bulan, Mama Papa duluan, ya. Sebentar lagi jam ngantor dimulai," ujar Wisnu seraya melihat ke arah jam di pergelangan tangannya."Iya, Ma, Pa. Hati-hati," jawab Bulan sambil tersenyum."Aku juga, Kak. Takut telat. Bisa gawat, alamat manjat pagar kalau sampai terlambat," ujar Shalfa dan di-iyakan oleh Bulan. Bulan dan Daffa masih memiliki masa cuti selama satu minggu. Walaupun mereka tidak melakukan honeymoon ke luar kota, tapi
"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa."Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan."Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan."Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu."Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga i
"Mana suamimu?" tanya Sri sambil celingak-celinguk melihat ke arah luar sambil memegang daun pintu yang terbuka separuh.Bulan tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan ibunya, lalu setelah itu bergegas masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu duduk termenung di sisi ranjang."Heh, ditanya itu jawab, Bulan!" ujar Sri yang menyusul putrinya ke dalam kamar. "Kenapa kamu? Pulang sendiri, mata bengkak, hidung apa lagi, kayak jambu bol. Kenapa?""Mak, aku lagi pingin sendiri," jawab Bulan dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan penuh permohonan."Sebenarnya ada apa, Bulan? Jangan bilang kamu berbuat ulah?" tuduh Sri. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam. Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia dan ibunya sejak dulu tidak pernah akur. Jika Bulan terlibat dalam suatu masalah, pasti ibunya akan langsung berburuk sangka pada Bulan, padahal tidak selamanya Bulan yang s