Di sisi lain, setelah merasa puas dengan foto-fotonya, Nanda kembali pergi dari dekat rumah yang sekarang menjadi milik Diani.Diani, Bagas, dan Alvin juga kembali ke rumah setelah puas melihat-lihat rumah baru Diani. Diani begitu kagum dan baru pernah merasakan sesenang itu mendapatkan sebuah hadiah yang sangat mewah dan mahal baginya.Saat malam harinya, Alvin mengetuk pintu kamar Diani. "Apa Kamu sudah tidur?"Diani membuka pintu kamarnya. "Mas Alvin ... ada apa Mas?""Izinkan Aku tidur di kamarmu," ucap Alvin tanpa malu.Diani berpikir sejenak, selama ini Mereka tidur satu kamar dan menjaga dirinya masing-masing."Baik Mas, tapi kamarku sedikit berantakan."Diani membolehkannya, menganggap itu malam terakhir Alvin dapat tertidur dengan pulas bersama dengan Bagas."Aku tidak akan tidur dan memandangi wajahmu sampai puas," batin Alvin.Malam itu, Alvin benar-benar tidak tidur. Dia memiringkan tubuhnya dengan tangan menahan kepala memandangi wajah Diani yang tertidur pulas. Jika saja
Pak Jaya bukan orang yang begitu saja membiarkan putranya mendapatkan pasangan seenaknya. Dia bahkan telah secara detail mengetahui latar belakang dan asal usul Diani."Tapi Pih, Mamih sangat menyukai Diani dan Bagas. Alvin harus membawanya kembali atau Papih jangan wariskan apapun kepadanya, untuk amal saja semua harta Papih.""Tampaknya harus seperti itu, Alvin benar-benar sangat cemen terhadap wanita," balas Pak Jaya.Bu Karina hanya melotot ke arah Pak Jaya."Kenapa Mamih melotot ke Papih?" tanya Pak Jaya."Alvin cemen karena mengikuti sifat Papih," balas Bu Karina mengingat kembali masa lalu.Pak Jaya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Benar, Papih dulu tidak berani mengatakan perasaan Papih kepada Mamih. Kalau bukan Mamih terlebih dahulu yang mengatakannya, Papih mungkin hanya bisa gigit jari, tidak pernah mengungkapkannya, Papih benar-benar Pemalu.""Untung Mamih memberanikan diri, kalau tidak Mamih akan menyesal seumur hidup jika tidak terlebih dahulu mengungkapkannya kepa
"Aaaaa." Teriak Diani sesaat sebelum dia tidak sadarkan diri. Orang-orang di sekitar segera berkerumun untuk mengetahui kondisi dan menyelamatkan Diani serta Bayi mungilnya. Salah satu dari mereka mengambil Sang Bayi yang menangis keras, tergeletak di samping Diani. Beruntung tidak ada luka serius pada Sang Bayi karena Diani berusaha melindungi tubuh mungilnya dari kecelakaan naas yang baru saja menimpanya. Alvin segera turun dari mobil untuk melihat kondisi orang yang baru saja ditabrak olehnya. Kejadian itu begitu tiba-tiba, membuat Dia tidak bisa menghindari kejadian malang yang menimpa Diani dan Bayinya. Kecelakaan itu bukan sepenuhnya salah Alvin. Banyak yang melihat Diani tampak melamun dengan tatapan kosong sesaat sebelum tertabrak oleh Alvin. Alvin dengan segera menelepon kenalannya yang memiliki sebuah Rumah Sakit ternama di Ibukota. “Halo Frans, cepat kirimkan ambulan ke sini! Aku akan mengirimkan lokasinya.” Tidak berselang lama, dua orang Polisi lalu lintas datang dan
Alvin duduk di meja kerja sementara Bagas tampak berseri-seri dan ceria menatap Alvin. Alvin menelpon sekretarisnya Bella, "Halo Bel, batalkan semua jadwalku hari ini, Saya tidak masuk kerja! Carikan juga Baby Sitter, suruh datang ke rumah!" perintahnya. "Baik Pak .... Apa? " Bella terhentak kaget, merasa ada yang salah dengan telinganya. "Baby Sitter?" “Ya ... Baby Sitter, apa kamu tuli?” ucap Alvin kemudian menutup telponnya begitu saja. "Kenapa Tuan Alvin butuh Baby Sitter? Mungkinkah Tuan Alvin akan mendirikan anak perusahaan yang berhubungan dengan dunia Baby Sitter atau Bayi?" gumam Bella. Setelah menelpon Bella, Alvin menelpon Pengacaranya dan menyuruhnya untuk menyelesaikan masalah yang baru saja menimpanya. "Ahaha," tawa Bagas saat Alvin menengok ke arahnya, Bagas seakan serius menatap Alvin dari sofa. Alvin menelan ludah, "Ada apa dengannya? senang sekali melihatku," gumam Alvin. Alvin entah kenapa secara reflek menyembunyikan kepalanya di balik laptop, "Baaaaa," ucap
"I... i... itu... " "Apa kamu menyembunyikan Bayi di rumahmu?" Bu Karina memotong ucapan Alvin yang tergagap. "Ti ... tidak Bu, Alvin tidak menyembunyikan Bayi." Bu Karina tidak menggubris, melangkah mencari tempat sumber tangisan Bagas. Tak lama, Bu Karina kembali ke hadapan Alvin dan Pak Jaya dengan menggendong Bagas di pelukannya. "Alvin ... pantas saja selama ini kamu terus-menerus menolak perjodohanmu dengan Nanda. Ibu tidak percaya Kamu melakukan hal seperti ini di belakang ibu." Bu Karina memelototi Alvin. "Apa maksud ibu?" Alvin mengerutkan keningnya. "Sudah, sudah Mih, biarkan Alvin berbicara." Pak Jaya yang sangat sabar berusaha menengahi meskipun ada sedikit rasa kecewa di hatinya. "Alvin benar-benar sudah keterlaluan," Bu Karina berkaca-kaca, menahan air matanya yang akan menetes. Bu Karina kemudian memberikan Bagas kepada Alvin karena tubuh mungilnya terus menggeliat dari pelukannya. Bagas memberontak seolah ingin ke dekapan Alvin. "Ayah, Ibu ... apa yang sedang k
Alvin tidak menghiraukan gosip dari beberapa karyawan, terus berjalan, memasuki lift yang ada di lobi kemudian menuju ke ruangannya yang berada di lantai paling atas. Bella yang duduk di depan ruangan Alvin bersama dengan beberapa anggota tim lain terhentak kaget melihat kedatangan Alvin bersama seorang Bayi dalam dekapannnya. "Selamat pagi Pak," sapa Bella berusaha menegakkan tubuhnya yang goyah seakan mau pingsan. "Belilah sesuatu untuk menghibur Bayi ini dan masuklah ke ruanganku!" perintah Alvin. "Baik Pak," balas Bella. Bella kemudian menelepon seseorang untuk membelikan sesuatu yang di tugaskan oleh Alvin. Bella bergegas masuk ke ruangan Alvin untuk menjelaskan pertemuan dengan klien. Dia juga menjelaskan segala sesuatu tentang yang terjadi di perusahaan saat Alvin tidak masuk kantor beberapa hari belakangan. Alvin duduk di depan Bagas di sofa, dan Bella duduk di samping Bagas saat melaporkan sesuatu kepada Alvin. "Apa kamu sudah menyuruh orang untuk membeli apa yang aku
Pak Jaya tersenyum idenya di terima oleh Bu Karina. Menurutnya, Bu Karina sangat memperhatikan dan menyukai Bagas. Selama beberapa hari belakangan, Bu Karina selalu saja membahas dan bertanya-tanya tentang Bagas dan Ibunya yang membuatnya pusing karena dia sendiri tidak mengetahui hal itu. Dengan Bu Karina mencari tahu sendiri, Pak Jaya berharap Bu Karina puas dengan rasa penasarannya dan dia tidak lagi mendapat pertanyaan-pertanyaan konyol dan aneh seputar Alvin, Bagas, dan Ibunya dari istrinya yang sedikit cerewet itu. Saat tengah malam, bunyi dering telepon terdengar nyaring di telinga Frans. Tut Tut Tut Frans menguap, masih mengantuk, dan menatap layar hpnya, "Aisss ... sial." "Kenapa?" umpat Frans kesal kepada orang yang menelponnya. "Aku tidak bisa tidur," ucap seseorang di ujung telepon yang ternyata adalah Alvin. Alvin memiliki sedikit gangguan tidur dan Frans sudah melakukan berbagai macam cara mengobati gangguan tidurnya itu. Tetapi, Alvin tetap saja tidak bisa tert
Kamar Diani dan Bagas berada di lantai dua sama seperti keberadaan kamar Alvin. Saat malam tiba, entah kenapa Bagas terus-menerus menangis. Diani sudah melakukan berbagai macam upaya, tetapi tetap saja tidak bisa menenangkan Bagas. “Bagas sayang … cup … cup … berhentilah menangis sayang!” Diani terus berusaha menghibur Bagas. Kemudian, dia menimang Bagas keluar dari kamarnya, berpikir agar Bagas tidak bosan di dalam kamar dan berhenti menangis. “Sayang … kenapa kamu terus menangis seperti ini? Cup … cup … cup.” Diani tampak frustasi menenangkan Bagas yang tidak seperti biasanya. Tidak ingin mengganggu tuan rumah, Diani melangkahkan kaki turun dari tangga, keluar rumah untuk berjalan-jalan di halaman. Alvin yang sedang berusaha menutup mata, mendengar Bagas yang terus menangis dari kamarnya. Dia bangun dari tidurnya kemudian mengamati Diani yang terus mencoba menghibur Bagas dari atas balkon kamarnya. “Ada apa dengan Bayi itu?” gumam Alvin. Setelah beberapa saat, Diani kembali m