Suara jeritan Mira menggema di dalam rumah tua yang gelap saat sosok misterius itu melangkah lebih dekat. Kegelapan semakin menyelimuti mereka, menciptakan suasana mencekam yang membuat jantung mereka berdegup kencang.
“Rani! Apa yang harus kita lakukan?” tanya Budi dengan suara bergetar, matanya melebar karena ketakutan. “Kita tidak bisa tetap di sini!” “Aku—aku tidak tahu!” Rani menjawab dengan napas yang tersengal. “Tapi kita tidak bisa membiarkan dia menangkap kita!” Andi melihat sekeliling, berusaha mencari jalan keluar. “Coba cari pintu lain! Mungkin ada cara untuk melarikan diri!” Saat mereka berlari ke sudut ruangan, sosok itu berbicara dengan suara dalam dan menyeramkan. “Kau tidak akan bisa melarikan diri. Tempat ini adalah milikku, dan kalian sudah terjebak di dalamnya.” “Siapa kau?” tanya Rani, berusaha berani meski hatinya bergetar. “Kenapa kau menghalangi kami?” “Aku adalah bayangan dari apa yang hilang,” jawab sosok itu sambil tersenyum sinis, matanya bersinar merah dalam kegelapan. “Dan kalian telah mengganggu ketenanganku.” Mira, yang semakin panik, berteriak, “Kita harus pergi! Sekarang juga!” Rani berusaha tenang dan berkata, “Kita tidak bisa melawan. Kita harus berpikir jernih. Mari kita cari cara untuk keluar.” Budi mengangguk, mencoba mengumpulkan keberanian. “Ayo, kita periksa lagi pintu-pintu lain di lantai atas. Mungkin ada cara lain.” Mereka berlari ke arah lorong yang gelap, suara langkah kaki mereka menggema di sepanjang dinding. Andi melihat ke belakang, memastikan sosok itu tidak mengikuti mereka. “Dia pasti masih di sana,” bisiknya, wajahnya pucat. “Kita harus cepat.” “Ke mana kita pergi?” tanya Mira, suaranya penuh ketakutan. “Aku tidak ingin mati di sini.” “Ada ruangan lain di ujung lorong!” Rani menunjuk, berusaha memotivasi teman-temannya. “Kita harus coba masuk ke situ.” Mereka berlari menuju pintu yang terletak di ujung lorong. Rani mendorong pintu itu, dan alangkah terkejutnya ketika pintu itu terbuka dengan mudah. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah ruangan yang lebih besar, dilapisi dengan debu dan barang-barang tua. “Ini seperti ruang penyimpanan,” kata Budi, berkeliling mencari sesuatu yang bisa mereka gunakan. “Mungkin ada sesuatu yang bisa membantu kita.” Saat mereka menjelajahi ruangan, Andi tiba-tiba berteriak, “Lihat! Ada kapak tua di sini!” Dia mengangkat kapak yang sudah berkarat, senyumnya muncul sejenak. “Mungkin ini bisa jadi senjata!” “Jangan terlalu percaya diri,” ucap Rani. “Kita harus tetap berhati-hati. Kita tidak tahu seberapa kuat dia.” Mira merasakan ketegangan dan berkata, “Kita harus mencari jalan keluar. Kita tidak bisa berlama-lama di sini!” Andi mengangguk, menurunkan kapak dan mengamati ruangan itu. “Coba periksa di sudut-sudut. Mungkin ada jendela atau pintu rahasia.” Ketika mereka memeriksa, Rani melihat sesuatu berkilau di sudut ruangan. “Ada sesuatu di sana!” Dia berlari mendekat, dan saat menjangkau, dia menemukan sebuah kunci tua. “Mungkin ini bisa membuka pintu keluar.” Budi dan Mira mendekat, melihat kunci di tangan Rani. “Coba kita lihat pintu yang kita lewati tadi!” saran Budi. Mereka berlari kembali ke pintu yang mengarah ke lorong gelap. Rani memasukkan kunci ke dalam lubang kunci, namun pintu itu tidak terbuka. “Ayo, buka!” serunya frustasi. “Kenapa tidak bisa?” “Coba lagi!” Mira menambahkan, merasakan ketegangan kembali memuncak. Akhirnya, setelah beberapa kali mencoba, pintu itu terbuka. Mereka melangkah keluar, hanya untuk menemukan diri mereka kembali di ruangan sebelumnya. Sosok itu muncul di hadapan mereka, kali ini lebih mendekat, menatap mereka dengan tatapan tajam. “Bodoh! Kalian pikir bisa pergi begitu saja?” suaranya menggema, membuat dinding bergetar. “Tidak! Kami tidak akan menyerah!” Rani teriak, berusaha melawan rasa takut. “Kami akan menemukan cara keluar dari sini!” “Coba lakukan, jika kalian bisa!” sosok itu menjawab, tertawa dengan suara yang menakutkan. “Kalian adalah bagian dari tempat ini sekarang.” Ketika ketegangan meningkat, Andi berteriak, “Mira, ada jendela di atas! Coba kita panjat ke sana!” Mira mengangguk, “Baik! Kita harus cepat!” Budi dan Rani membantu Mira untuk memanjat. “Ayo, kita semua bisa melakukannya!” teriak Budi. Namun, saat Mira hampir mencapai jendela, sosok itu melompat ke arahnya, mengulurkan tangan yang hitam dan penuh dengan bayangan. “Kau tidak akan pergi kemana-mana!” Dia berusaha menarik Mira kembali. “Tidak!” teriak Rani, dan dia melompat maju, berusaha menarik Mira kembali. “Budi! Tolong bantu!” Budi segera membantu Rani, menarik Mira agar menjauh dari jangkauan sosok itu. Dengan kekuatan yang mereka miliki, akhirnya mereka berhasil menarik Mira kembali ke ruangan. “Dia tidak bisa menyentuh kita jika kita bersatu!” kata Andi, matanya berapi-api. “Kita harus melawan!” Sosok itu marah, suaranya menggelegar. “Kalian tidak mengerti apa yang kalian hadapi! Tempat ini tidak bisa dijauhi!” Rani mengingat boneka yang mereka temukan di kotak kayu. “Kita harus menggunakan benda-benda itu! Mungkin mereka memiliki kekuatan!” dia berlari kembali ke ruangan sebelumnya untuk mengambil boneka dan barang lainnya. “Cepat, Rani!” teriak Budi, menahan sosok itu dengan kapak tua. “Kami tidak bisa bertahan lama!” Saat Rani kembali dengan boneka itu, dia melihat sosok itu semakin mendekat. “Aku tidak takut padamu!” dia teriak, mengangkat boneka itu ke udara. “Kami tidak akan terjebak di sini!” Mendengar kata-kata Rani, sosok itu terhenti sejenak, terlihat bingung. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya, suaranya bergetar. “Ini milikmu!” Rani berteriak, melemparkan boneka itu ke arah sosok itu. Boneka itu menghantam tanah, dan seketika, cahaya menyilaukan memancar dari boneka, membuat sosok itu terhuyung mundur. “Tidak! Tidak!” sosok itu berteriak, tetapi Rani dan teman-temannya memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Mereka berlari menuju pintu lain yang mereka temukan sebelumnya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menoleh ke belakang. “Sini! Kita harus ke sana!” Rani memimpin jalan, sementara Andi dan Budi mengikuti, dengan Mira di belakang. Pintu lain terbuka ke sebuah ruangan yang lebih kecil, yang dipenuhi dengan barang-barang usang dan kegelapan yang menyelimuti. “Apakah kita aman di sini?” tanya Mira, berusaha menenangkan diri. “Kita harus menyembunyikan diri untuk sementara,” jawab Andi, matanya mengawasi setiap sudut. “Kita tidak bisa terjebak lagi.” Namun, saat mereka bersembunyi, suara derap kaki semakin mendekat, dan sosok itu berteriak dari kejauhan, “Kalian tidak bisa bersembunyi selamanya!” Dengan ketakutan yang meluap, Rani berbisik, “Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa terus berlari!” “Harus ada cara untuk mengalahkan dia,” Budi menjawab, berusaha berpikir jernih di tengah ketegangan. “Kita harus menemukan cara untuk menghentikannya.” “Bagaimana jika kita kembali ke ruangan itu? Mungkin ada petunjuk yang kita lewatkan,” saran Mira, berusaha optimis. “Kita harus berani,” Rani menambahkan. “Kita harus menghadapi kegelapan ini, tidak ada pilihan lain.” Keempatnya berpegangan tangan, saling memberi semangat, mereka siap menghadapi sosok misterius yang menghantui rumah tua itu. Mereka berbalik, bersatu kembali menghadapi apa pun yang akan datang, bertekad untuk melawan ketakutan mereka dan menemukan jalan keluar dari kegelapan.Rani memimpin teman-temannya kembali ke ruangan tempat mereka menemukan boneka. Setiap langkah terasa berat, seolah kegelapan menempel pada mereka, meresap ke dalam jiwa. Andi, yang berada di belakang, merasakan ada sesuatu yang mengikuti mereka. “Aku tidak suka dengan suasana di sini. Seperti ada yang memperhatikan kita,” bisiknya.“Jangan berpikir yang aneh-aneh, Andi!” Mira membalas, suaranya bergetar. “Kita harus fokus. Kita sudah hampir sampai.”Ketika mereka tiba di ruangan itu, Rani berusaha menenangkan teman-temannya. “Ingat, kita harus tetap bersatu. Kita bisa mengatasi ini.”Budi melihat ke sekeliling, matanya berusaha menangkap setiap detail. “Coba kita cari tahu lebih banyak tentang sosok itu. Mungkin ada petunjuk yang bisa membantu kita,” ujarnya.“Baik. Kita harus melihat kotak kayu yang kita temukan,” Rani menjawab, berusaha mengingat di mana mereka meninggalkannya. “Di sinilah kita menemukan benda-benda aneh itu.”Mereka bergegas menuju tempat di mana kotak kayu itu te
Setelah berhasil mengusir sosok kegelapan, Rani dan teman-temannya merasa sedikit lebih tenang, tetapi ketegangan masih terasa di udara. Mereka berdiri di tengah ruangan yang kini sunyi, mengingat kembali sosok gadis yang telah membantu mereka. Rani menggenggam boneka yang rusak dengan erat, berpikir tentang bagaimana cara membantu gadis itu lebih lanjut.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanya Mira, menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang gelap. “Kita sudah mengalahkan sosok itu, tapi rasanya belum aman.”“Ya, kita perlu mencari tahu lebih lanjut tentang tempat ini,” Rani menjawab, suaranya penuh tekad. “Mungkin ada petunjuk lain yang bisa membantu kita memahami apa yang terjadi di sini.”“Setuju. Kita tidak bisa tinggal diam,” Budi menambahkan, terlihat gelisah. “Kita tidak tahu kapan kegelapan itu akan kembali.”Andi mengangguk, tetapi wajahnya masih tampak cemas. “Tapi kita harus hati-hati. Kita sudah melihat betapa berbahayanya tempat ini.”“Berhenti berpikir yang aneh-a
Rani dan teman-temannya terengah-engah, masih terpengaruh oleh pertempuran mereka melawan kegelapan yang menakutkan. Mereka berdiri di tengah ruangan, mengatur napas sebelum melanjutkan pencarian mereka. Rani memeriksa tongkat yang sebelumnya ia gunakan, berharap benda itu masih memiliki kekuatan.“Sekarang kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini,” Rani berkata, suaranya penuh tekad. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan keberanian semata.”“Setuju. Kita perlu mendapatkan lebih banyak informasi,” Andi menjawab, menatap ke arah tumpukan buku yang masih tergeletak di atas meja. “Mungkin ada sesuatu di buku-buku itu yang bisa membantu kita.”Mira melangkah lebih dekat ke meja dan mulai membuka buku-buku satu per satu. “Ini semua tampaknya tentang ritual kuno,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi sulit untuk memahami semuanya.”“Coba kita fokus pada bagian yang menyebutkan tentang sosok-sosok yang kita lihat tadi,” Budi menyarankan, mengamati halaman-halaman buku.
Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini. "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.” “Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?” Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.” Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing. Saat mereka melangkah keluar, koridor yang
Mereka berhasil keluar dari ruang bawah tanah, namun rasa lega itu tidak berlangsung lama. Rumah itu, dengan segala kegelapannya, seakan memiliki keinginan sendiri untuk menahan mereka.Andi membuka ponsel dan melihat waktu, lalu mengerutkan dahi. “Hei, ini… waktu di ponselku berhenti.”Mira mengerutkan kening. “Berhenti? Maksudmu mati?”Andi menggeleng, menunjukkan layarnya yang masih menyala. “Bukan mati, tapi jamnya nggak bergerak. Tadi aku ingat pukul 11:45, tapi ini masih di waktu yang sama.”Rani mendesah. “Rumah ini benar-benar aneh. Waktu di sini mungkin memang tidak berjalan seperti biasanya.”Tiba-tiba, terdengar suara berbisik dari lorong depan, suara yang samar, tapi jelas bukan suara mereka. Semua langsung menghentikan langkah dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berbicara dalam nada penuh penderitaan, namun kata-katanya tak bisa mereka pahami.Mira menelan ludah. “Apa… kalian dengar itu?”Budi mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Jangan-jan
Saat sosok perempuan itu berbalik dan tersenyum, suasana yang tadinya penuh ketegangan seakan berubah menjadi lebih aneh dan misterius. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Itu adalah senyuman penuh penderitaan, senyuman yang seolah berasal dari dunia lain. Mata sosok itu kosong, seperti melihat ke dalam jiwa mereka, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak manusiawi.Rani merasa ada yang salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus mengikuti sosok itu. Langkah mereka semakin lambat, tetapi tetap memaksa mereka bergerak maju, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka.Andi berbisik pelan, matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. “Kita harus berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dia.”Mira menggenggam tangan Rani, mencoba mencari kenyamanan di tengah ketegangan yang mencekam. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apa yang kita harapkan dengan mengikuti sosok ini?”“Entahlah,” jawab Rani dengan suara serak. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Hening. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya keheningan yang menyeramkan seolah-olah dunia ini telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Di tengah kegelapan, Rani, Mira, dan Andi berdiri membeku, napas mereka terengah-engah, dada mereka terasa berat. Keputusasaan yang tak terjelaskan mulai menggerogoti hati mereka.“Dimana kita?” Mira berbisik, matanya berputar ke segala arah, mencoba menangkap secercah cahaya atau apapun yang bisa memberi mereka harapan. Tapi yang dia lihat hanya kekosongan.“Kita… terperangkap,” suara Andi parau, hampir tak terdengar. “Entah di mana, tapi aku merasa ini bukan tempat biasa.”Rani meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. “Tidak mungkin… kita harus bisa keluar dari sini,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada yang lain. Tapi dalam hatinya, ia tahu mereka berada di luar batas dunia manusia.Langkah kaki terdengar di kejauhan, suara itu menggema, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekat
Suasana malam itu gelap dan sunyi, hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan di sekitar rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu terletak di pinggiran desa, jauh dari keramaian. Ketika Rani dan teman-temannya—Budi, Mira, dan Andi—menginjakkan kaki di halaman rumah, mereka merasakan aura aneh yang mengelilingi bangunan tersebut."Kenapa kita harus ke sini, sih?" tanya Mira, sambil menggigit bibirnya. "Tempat ini bikin aku merinding.""Ah, kamu lebay! Ini kan hanya rumah kosong. Kita cuma mau eksplorasi sedikit," jawab Rani, berusaha terdengar optimis. "Lagipula, ini akan jadi cerita seru untuk diunggah ke media sosial."“Setuju!” Budi mengangguk. “Ayo, kita masuk.”Dengan sedikit rasa ragu, mereka semua memasuki rumah tua itu. Pintunya berderit pelan saat terbuka, mengeluarkan aroma lembap dan debu yang menempel di setiap sudut. Budi menyalakan senter yang dibawanya, dan cahaya kuning temaram menyinari interior yang suram."Jangan bilang kalian percaya mitos tentang