Share

Hantu di Balik Dinding

Mereka berhasil keluar dari ruang bawah tanah, namun rasa lega itu tidak berlangsung lama. Rumah itu, dengan segala kegelapannya, seakan memiliki keinginan sendiri untuk menahan mereka.

Andi membuka ponsel dan melihat waktu, lalu mengerutkan dahi. “Hei, ini… waktu di ponselku berhenti.”

Mira mengerutkan kening. “Berhenti? Maksudmu mati?”

Andi menggeleng, menunjukkan layarnya yang masih menyala. “Bukan mati, tapi jamnya nggak bergerak. Tadi aku ingat pukul 11:45, tapi ini masih di waktu yang sama.”

Rani mendesah. “Rumah ini benar-benar aneh. Waktu di sini mungkin memang tidak berjalan seperti biasanya.”

Tiba-tiba, terdengar suara berbisik dari lorong depan, suara yang samar, tapi jelas bukan suara mereka. Semua langsung menghentikan langkah dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berbicara dalam nada penuh penderitaan, namun kata-katanya tak bisa mereka pahami.

Mira menelan ludah. “Apa… kalian dengar itu?”

Budi mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Jangan-jangan ini…”

Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, suara itu semakin keras, disertai dengan desiran angin dingin yang melewati punggung mereka. Suhu ruangan mendadak turun drastis, dan bau anyir mulai tercium, seolah ada sesuatu yang membusuk.

“Keluar dari sini…” sebuah suara perempuan terdengar jelas, penuh desakan dan kemarahan.

Mereka semua terpaku, tubuh mereka kaku seolah terkunci oleh rasa takut. Dari arah kegelapan lorong, muncul bayangan samar—sosok perempuan dengan wajah pucat dan mata yang kosong menatap lurus ke arah mereka.

“Si-siapa itu?” Mira berbisik, nyaris tidak bisa bersuara karena ketakutan.

Perempuan itu melayang mendekat, pakaian putihnya compang-camping dan tampak basah oleh darah yang mengering. Setiap langkahnya tidak menghasilkan suara, tapi hawa dingin yang memancar dari tubuhnya membuat mereka mundur secara refleks.

“Keluar… atau kalian akan mati…” suara itu mengancam, dan kini sosok itu berhenti hanya beberapa meter di depan mereka.

“Dia… dia bukan manusia,” bisik Andi, suaranya penuh kepanikan.

Rani, berusaha mengendalikan dirinya, mencoba berbicara dengan tenang. “Kita tidak mau mengganggu. Kami hanya tersesat… tolong, biarkan kami pergi.”

Mata sosok perempuan itu tidak menunjukkan emosi, tapi sepertinya dia mendengar permohonan Rani. Namun, alih-alih menjauh, dia malah mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah sebuah pintu di ujung koridor.

Andi bergidik. “Kenapa dia menunjuk ke sana? Ada apa di dalam?”

Rani menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. “Mungkin itu jalan keluar kita. Mungkin dia mencoba membantu.”

Budi mendesah berat. “Membantu? Hantu ingin membantu kita? Tidak mungkin.”

Namun, mereka tidak punya pilihan lain. Dengan enggan, mereka mulai berjalan ke arah pintu yang ditunjukkan oleh sosok tersebut. Tapi, setiap langkah terasa semakin berat, seolah ada energi gelap yang mencoba menarik mereka mundur.

Ketika mereka sampai di depan pintu, Andi meraih gagang pintu dan menoleh ke yang lain. “Kita siap?”

Mira mengangguk lemah. “Aku… aku tidak punya pilihan. Kita harus keluar dari sini.”

Pintu itu terbuka dengan derit panjang yang memekakkan telinga. Ruangan di baliknya gelap, namun seberkas cahaya remang tampak mengintip dari sudut ruangan, seperti berasal dari sebuah lilin kecil.

Saat mereka masuk, terdengar suara-suara pelan dari seluruh penjuru ruangan. Suara-suara tersebut terdengar seperti bisikan dan isakan, seolah-olah ada orang yang menangis dari balik dinding.

“Dengar itu?” Rani berbisik, merasakan bulu kuduknya meremang.

Andi mengangguk dengan wajah tegang. “Iya. Ini terdengar seperti… suara orang menangis.”

Mira berusaha menenangkan dirinya. “Mungkin… mungkin kita bisa mencari sumber suara ini dan menemukan jawabannya.”

Namun, begitu mereka melangkah lebih jauh, tiba-tiba dinding di sekitar mereka bergetar dan mengeluarkan suara retakan. Dari sela-sela retakan itu, terlihat tangan-tangan kurus dengan jari-jari panjang dan kuku tajam mencakar-cakar permukaan dinding, seolah mencoba keluar.

Mira menjerit. “Apa itu?!”

Mereka mundur dengan panik, tapi tangan-tangan itu terus muncul, menggapai-gapai mereka dengan gerakan lambat namun pasti. Salah satu tangan bahkan berhasil memegang bahu Budi, menariknya ke arah dinding.

“Lepaskan aku!” Budi berteriak sambil berusaha keras menarik dirinya dari cengkraman tangan itu.

Rani segera meraih tangan Budi dan menariknya sekuat tenaga. Dengan susah payah, mereka berhasil melepaskan Budi dari tangan menyeramkan tersebut, namun suara-suara dari dalam dinding semakin keras, berubah menjadi jeritan-jeritan penuh kemarahan dan derita.

“Kita harus keluar dari sini!” Andi berteriak sambil melirik ke seluruh ruangan, mencari pintu keluar lain.

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, sebuah bayangan besar melayang di atas mereka, memancarkan aura kelam yang membuat seluruh ruangan terasa lebih dingin. Bayangan itu tampak seperti sosok pria tinggi dengan mata merah menyala, menatap mereka dengan kebencian mendalam.

“Siapa kalian berani masuk ke dalam tempatku…” suara bayangan itu menggelegar, membuat lantai di bawah mereka bergetar.

“Kami… kami tidak bermaksud mengganggu,” Rani mencoba berbicara dengan suara bergetar. “Kami hanya ingin keluar dari sini.”

Sosok itu menggeram, suaranya penuh dendam. “Tidak ada yang bisa keluar setelah melihatku. Kalian akan tinggal di sini… untuk selamanya.”

Mira menangis ketakutan. “Tidak! Tolong, biarkan kami pergi!”

Andi mencoba bernegosiasi. “Kami… kami bisa membantu! Apa pun yang kau inginkan, kami bisa mencarikannya untukmu. Tolong, jangan sakiti kami.”

Bayangan itu tertawa dengan suara yang dalam dan mengerikan. “Yang kubutuhkan adalah jiwa… dan salah satu dari kalian akan menjadi tumbal.”

Rani memandang teman-temannya dengan panik. “Tidak! Kami tidak akan menyerahkan siapa pun.”

Tiba-tiba, bayangan itu bergerak cepat ke arah mereka, tangannya yang seperti kabut hitam meraih ke arah Andi. Andi tersentak mundur, tapi kakinya tersandung dan dia jatuh ke lantai. Sosok itu kini berdiri di atasnya, dengan tangan yang siap mencengkeramnya.

“Tidak!” Budi berteriak, mencoba menghadang sosok itu dengan tongkatnya.

Namun, begitu tongkat itu menyentuh bayangan, bayangan tersebut langsung mencair dan melilit tubuh Budi, membuatnya terjatuh ke lantai dengan wajah penuh ketakutan.

“Aku… aku tidak bisa bergerak!” teriak Budi, matanya penuh teror.

Rani segera menarik Mira dan Andi. “Kita harus berlari! Sekarang!”

Dengan sekuat tenaga, mereka berlari keluar dari ruangan itu, meninggalkan Budi yang masih terjebak dalam cengkraman bayangan. Teriakan Budi menggema di koridor, sementara mereka terus berlari tanpa menoleh ke belakang.

“Budi… kita meninggalkannya,” Mira menangis, tetapi Rani tetap menariknya.

“Kita akan kembali untuknya! Tapi kita harus mencari jalan keluar dulu,” jawab Rani dengan napas tersengal.

Namun, setiap kali mereka berbelok di koridor, mereka kembali ke tempat yang sama—tempat di mana jeritan Budi terdengar semakin lemah.

“Apa kita… tersesat?” Andi berbisik putus asa.

Rani menggeleng, meski dalam hatinya dia merasa sama takutnya. “Tidak. Ini hanya permainan rumah ini. Kita harus tetap kuat.”

Tiba-tiba, di ujung koridor, mereka melihat sosok perempuan yang sama dengan gaun putih compang-camping tadi. Namun kali ini, sosok itu tampak lebih nyata, matanya menatap penuh kesedihan dan tangannya terulur ke arah mereka, seolah meminta bantuan.

“Ayo… bantu aku,” sosok itu berbisik dengan suara parau.

Andi menatap Rani dengan tatapan ragu. “Apa… apa kita harus mengikutinya?”

Rani menelan ludah, tapi lalu mengangguk. “Mungkin dia yang bisa membantu kita keluar dari sini.”

Mereka berjalan perlahan menuju sosok itu, yang kemudian berbalik dan mulai berjalan dengan langkah lambat. Setiap kali mereka mendekat, sosok itu selalu melangkah lebih jauh, seolah mengarahkan mereka ke suatu tempat.

Namun, ketika mereka tiba di ujung koridor, sosok itu berbalik dan tersenyum, senyum yang tidak menyeramkan, melainkan penuh kesedihan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status