Share

Di Balik Cermin

Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini.

"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri.

“Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.”

“Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?”

Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.”

Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing.

Saat mereka melangkah keluar, koridor yang panjang dan gelap menanti. Dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan lama, namun satu di antaranya membuat Rani terhenti. Sebuah lukisan besar dengan latar hitam menggambarkan seorang pria misterius yang mengenakan topeng, memegang cermin hitam di tangannya.

“Lihat ini,” Rani menunjuk ke lukisan itu. “Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan lukisan ini.”

Andi mendekat. “Kau benar… Ada sesuatu di balik mata pria itu. Seperti dia… mengawasi kita.”

Mira menggigil. “Jangan bilang ini juga salah satu pertanda. Kita tidak tahu apa yang terjadi kalau kita terlalu lama menatapnya.”

Rani mengalihkan pandangannya, tapi sesuatu menarik perhatiannya. “Tunggu, di bawah lukisan ini ada tulisan kecil.”

Mereka semua mendekat dan membaca tulisan itu: Refleksi Kegelapan hanya akan muncul di mana kegelapan dan keputusasaan bertemu.

“Keputusasaan?” Budi mengerutkan kening. “Apa itu maksudnya?”

“Aku rasa,” Rani bergumam, “tempat yang paling gelap dan menakutkan di rumah ini adalah jawabannya.”

Mira melangkah mundur, wajahnya pucat. “Jangan bilang... kita harus masuk ke ruang bawah tanah.”

Suasana semakin mencekam saat mereka menyadari bahwa ruang bawah tanah mungkin menjadi tujuan mereka berikutnya.

“Tidak ada pilihan lain,” Andi berbisik, seolah takut ada sesuatu yang mendengarnya. “Ayo, sebelum sesuatu yang lebih buruk datang.”

Dengan berat hati, mereka melanjutkan langkah mereka. Suara pintu yang berderit terdengar dari belakang, membuat mereka semakin waspada.

“Ada yang mengikuti kita?” Budi berbisik, menoleh ke belakang.

“Jangan lihat ke belakang,” Rani memperingatkan, meski dia sendiri tidak bisa menahan diri untuk melihat. “Fokus saja pada jalan ke depan.”

Akhirnya, mereka tiba di sebuah pintu kayu tua yang terletak di ujung koridor. Pintu itu setengah terbuka, memperlihatkan tangga yang menurun ke ruang bawah tanah yang gelap gulita.

“Kau yakin ini tempatnya?” Mira bertanya dengan suara lirih.

Rani menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. “Aku yakin… atau setidaknya berharap. Mari kita selesaikan ini.”

Satu per satu, mereka mulai menuruni tangga kayu yang berderit di setiap langkah. Suara kaki mereka menggema, sementara bayangan mereka melayang-layang di dinding yang dipenuhi lumut. Udara terasa semakin dingin, dan bau apek semakin menyengat saat mereka semakin mendekati dasar tangga.

“Kenapa perasaan ini semakin buruk?” Budi bergumam, memegangi tongkat dengan erat.

Rani hanya bisa menelan ludah. “Tetap tenang. Kita akan keluar dari sini bersama.”

Akhirnya, mereka tiba di ruang bawah tanah yang gelap. Sinar dari senter ponsel mereka tidak cukup untuk menerangi seluruh ruangan, tetapi cukup untuk menunjukkan cermin besar di tengah ruangan yang dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah padam.

“Itu… cerminnya?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.

Rani mendekati cermin itu dengan hati-hati. “Kurasa… ini ‘Refleksi Kegelapan’.”

Saat mereka semakin dekat, bayangan mereka sendiri mulai memantul di permukaan cermin yang hitam pekat. Namun, bayangan itu perlahan berubah, menampakkan wajah-wajah yang tampak lebih tua dan penuh penderitaan.

“Itu bukan kita,” Mira terisak, mundur ketakutan. “Siapa… siapa mereka?”

Rani menelan ludah dan menyentuh permukaan cermin. “Mungkin… ini arwah-arwah yang terperangkap di sini. Keputusasaan mereka…”

Tiba-tiba, dari cermin itu, muncul sosok berwajah suram yang menatap tajam ke arah mereka, seolah-olah dia bisa melihat ke dalam jiwa mereka.

“Siapa kalian?” suara dalam dari cermin itu bergema, membuat mereka merinding.

“Kami… kami hanya ingin keluar dari sini,” Budi berkata dengan gemetar. “Kami tidak bermaksud mengganggu kalian.”

Sosok itu hanya tertawa kecil, suara yang lebih mirip geraman. “Kalian telah masuk ke tempat yang terlarang. Kalian akan menjadi bagian dari kami.”

Rani mencoba tetap tenang. “Tidak! Kami akan keluar. Kami tidak mau terperangkap di sini.”

“Tetapi hanya mereka yang siap mengorbankan sesuatu yang berharga yang bisa keluar,” sosok itu berbisik dengan suara mengancam. “Apakah kalian siap membayar harga itu?”

Semua terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

“Harga?” Andi berbisik, menoleh ke teman-temannya. “Apa maksudnya?”

Rani menghela napas, lalu berbicara kepada sosok itu. “Apa yang kau inginkan dari kami?”

Sosok itu tersenyum licik. “Ketakutan… kepedihan… satu pengorbanan terakhir.”

“Pengorbanan?!” Mira berteriak, semakin panik. “Tidak, aku tidak mau! Kita harus pergi sekarang!”

Saat Mira mundur, tiba-tiba salah satu lilin menyala dengan sendirinya. Satu demi satu, lilin-lilin lain mulai menyala, menyorotkan cahaya redup ke ruangan. Sosok itu kini berdiri lebih dekat, mengamati mereka dengan tatapan yang dingin.

“Kalian sudah datang jauh… terlalu jauh untuk berbalik,” sosok itu berkata.

Budi menelan ludah dan menggenggam tongkatnya lebih erat. “Apa yang harus kita lakukan?”

Rani mengambil napas dalam-dalam, lalu berbicara dengan suara yang lebih tegas. “Kalau pengorbanan itu adalah ketakutan, maka ambillah. Kami tidak takut lagi!”

Cermin itu tiba-tiba bergetar, seolah marah. “Kalian… kalian berani melawanku?”

Rani menggenggam tangan Mira dan Andi. “Kita harus menunjukkan keberanian kita. Ini satu-satunya cara.”

Semua mengangguk, dan bersama-sama mereka menghadap cermin itu, menatap ke arah sosok menakutkan yang terlihat semakin gelap dan memudar.

“Ayo! Kalian bukan penguasa kami!” Budi berseru dengan suara bergetar, tetapi penuh keberanian.

Dengan satu tarikan napas terakhir, mereka berempat meneriakkan ketakutan mereka, membiarkan semua rasa takut keluar. Cahaya dari lilin semakin terang, membuat bayangan sosok itu semakin memudar hingga akhirnya menghilang sepenuhnya dari cermin.

Setelah semua selesai, ruangan itu menjadi tenang. Cermin tersebut kini hanya menampilkan refleksi mereka yang normal. Mereka semua terengah-engah, saling memandang dengan lega.

“Kita berhasil…” Rani berbisik.

“Tapi ini belum selesai,” Andi memperingatkan. “Kita masih harus menemukan jalan keluar dari sini.”

Rani mengangguk. “Ayo. Kita cari jalan keluar sebelum sesuatu yang lain muncul.”

Dengan semangat baru dan keberanian yang lebih besar, mereka meninggalkan ruang bawah tanah, berharap ini adalah langkah terakhir mereka menuju kebebasan dari rumah yang penuh teror ini. Namun, mereka tahu, kegelapan bisa saja mengintai lagi kapan pun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status