Share

Di Balik Cermin

Penulis: Maybe Not
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-05 23:58:51

Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini.

"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri.

“Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.”

“Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?”

Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.”

Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing.

Saat mereka melangkah keluar, koridor yang panjang dan gelap menanti. Dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan lama, namun satu di antaranya membuat Rani terhenti. Sebuah lukisan besar dengan latar hitam menggambarkan seorang pria misterius yang mengenakan topeng, memegang cermin hitam di tangannya.

“Lihat ini,” Rani menunjuk ke lukisan itu. “Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan lukisan ini.”

Andi mendekat. “Kau benar… Ada sesuatu di balik mata pria itu. Seperti dia… mengawasi kita.”

Mira menggigil. “Jangan bilang ini juga salah satu pertanda. Kita tidak tahu apa yang terjadi kalau kita terlalu lama menatapnya.”

Rani mengalihkan pandangannya, tapi sesuatu menarik perhatiannya. “Tunggu, di bawah lukisan ini ada tulisan kecil.”

Mereka semua mendekat dan membaca tulisan itu: Refleksi Kegelapan hanya akan muncul di mana kegelapan dan keputusasaan bertemu.

“Keputusasaan?” Budi mengerutkan kening. “Apa itu maksudnya?”

“Aku rasa,” Rani bergumam, “tempat yang paling gelap dan menakutkan di rumah ini adalah jawabannya.”

Mira melangkah mundur, wajahnya pucat. “Jangan bilang... kita harus masuk ke ruang bawah tanah.”

Suasana semakin mencekam saat mereka menyadari bahwa ruang bawah tanah mungkin menjadi tujuan mereka berikutnya.

“Tidak ada pilihan lain,” Andi berbisik, seolah takut ada sesuatu yang mendengarnya. “Ayo, sebelum sesuatu yang lebih buruk datang.”

Dengan berat hati, mereka melanjutkan langkah mereka. Suara pintu yang berderit terdengar dari belakang, membuat mereka semakin waspada.

“Ada yang mengikuti kita?” Budi berbisik, menoleh ke belakang.

“Jangan lihat ke belakang,” Rani memperingatkan, meski dia sendiri tidak bisa menahan diri untuk melihat. “Fokus saja pada jalan ke depan.”

Akhirnya, mereka tiba di sebuah pintu kayu tua yang terletak di ujung koridor. Pintu itu setengah terbuka, memperlihatkan tangga yang menurun ke ruang bawah tanah yang gelap gulita.

“Kau yakin ini tempatnya?” Mira bertanya dengan suara lirih.

Rani menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. “Aku yakin… atau setidaknya berharap. Mari kita selesaikan ini.”

Satu per satu, mereka mulai menuruni tangga kayu yang berderit di setiap langkah. Suara kaki mereka menggema, sementara bayangan mereka melayang-layang di dinding yang dipenuhi lumut. Udara terasa semakin dingin, dan bau apek semakin menyengat saat mereka semakin mendekati dasar tangga.

“Kenapa perasaan ini semakin buruk?” Budi bergumam, memegangi tongkat dengan erat.

Rani hanya bisa menelan ludah. “Tetap tenang. Kita akan keluar dari sini bersama.”

Akhirnya, mereka tiba di ruang bawah tanah yang gelap. Sinar dari senter ponsel mereka tidak cukup untuk menerangi seluruh ruangan, tetapi cukup untuk menunjukkan cermin besar di tengah ruangan yang dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah padam.

“Itu… cerminnya?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.

Rani mendekati cermin itu dengan hati-hati. “Kurasa… ini ‘Refleksi Kegelapan’.”

Saat mereka semakin dekat, bayangan mereka sendiri mulai memantul di permukaan cermin yang hitam pekat. Namun, bayangan itu perlahan berubah, menampakkan wajah-wajah yang tampak lebih tua dan penuh penderitaan.

“Itu bukan kita,” Mira terisak, mundur ketakutan. “Siapa… siapa mereka?”

Rani menelan ludah dan menyentuh permukaan cermin. “Mungkin… ini arwah-arwah yang terperangkap di sini. Keputusasaan mereka…”

Tiba-tiba, dari cermin itu, muncul sosok berwajah suram yang menatap tajam ke arah mereka, seolah-olah dia bisa melihat ke dalam jiwa mereka.

“Siapa kalian?” suara dalam dari cermin itu bergema, membuat mereka merinding.

“Kami… kami hanya ingin keluar dari sini,” Budi berkata dengan gemetar. “Kami tidak bermaksud mengganggu kalian.”

Sosok itu hanya tertawa kecil, suara yang lebih mirip geraman. “Kalian telah masuk ke tempat yang terlarang. Kalian akan menjadi bagian dari kami.”

Rani mencoba tetap tenang. “Tidak! Kami akan keluar. Kami tidak mau terperangkap di sini.”

“Tetapi hanya mereka yang siap mengorbankan sesuatu yang berharga yang bisa keluar,” sosok itu berbisik dengan suara mengancam. “Apakah kalian siap membayar harga itu?”

Semua terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

“Harga?” Andi berbisik, menoleh ke teman-temannya. “Apa maksudnya?”

Rani menghela napas, lalu berbicara kepada sosok itu. “Apa yang kau inginkan dari kami?”

Sosok itu tersenyum licik. “Ketakutan… kepedihan… satu pengorbanan terakhir.”

“Pengorbanan?!” Mira berteriak, semakin panik. “Tidak, aku tidak mau! Kita harus pergi sekarang!”

Saat Mira mundur, tiba-tiba salah satu lilin menyala dengan sendirinya. Satu demi satu, lilin-lilin lain mulai menyala, menyorotkan cahaya redup ke ruangan. Sosok itu kini berdiri lebih dekat, mengamati mereka dengan tatapan yang dingin.

“Kalian sudah datang jauh… terlalu jauh untuk berbalik,” sosok itu berkata.

Budi menelan ludah dan menggenggam tongkatnya lebih erat. “Apa yang harus kita lakukan?”

Rani mengambil napas dalam-dalam, lalu berbicara dengan suara yang lebih tegas. “Kalau pengorbanan itu adalah ketakutan, maka ambillah. Kami tidak takut lagi!”

Cermin itu tiba-tiba bergetar, seolah marah. “Kalian… kalian berani melawanku?”

Rani menggenggam tangan Mira dan Andi. “Kita harus menunjukkan keberanian kita. Ini satu-satunya cara.”

Semua mengangguk, dan bersama-sama mereka menghadap cermin itu, menatap ke arah sosok menakutkan yang terlihat semakin gelap dan memudar.

“Ayo! Kalian bukan penguasa kami!” Budi berseru dengan suara bergetar, tetapi penuh keberanian.

Dengan satu tarikan napas terakhir, mereka berempat meneriakkan ketakutan mereka, membiarkan semua rasa takut keluar. Cahaya dari lilin semakin terang, membuat bayangan sosok itu semakin memudar hingga akhirnya menghilang sepenuhnya dari cermin.

Setelah semua selesai, ruangan itu menjadi tenang. Cermin tersebut kini hanya menampilkan refleksi mereka yang normal. Mereka semua terengah-engah, saling memandang dengan lega.

“Kita berhasil…” Rani berbisik.

“Tapi ini belum selesai,” Andi memperingatkan. “Kita masih harus menemukan jalan keluar dari sini.”

Rani mengangguk. “Ayo. Kita cari jalan keluar sebelum sesuatu yang lain muncul.”

Dengan semangat baru dan keberanian yang lebih besar, mereka meninggalkan ruang bawah tanah, berharap ini adalah langkah terakhir mereka menuju kebebasan dari rumah yang penuh teror ini. Namun, mereka tahu, kegelapan bisa saja mengintai lagi kapan pun.

Bab terkait

  • Bayangan Dibalik Cermin   Hantu di Balik Dinding

    Mereka berhasil keluar dari ruang bawah tanah, namun rasa lega itu tidak berlangsung lama. Rumah itu, dengan segala kegelapannya, seakan memiliki keinginan sendiri untuk menahan mereka.Andi membuka ponsel dan melihat waktu, lalu mengerutkan dahi. “Hei, ini… waktu di ponselku berhenti.”Mira mengerutkan kening. “Berhenti? Maksudmu mati?”Andi menggeleng, menunjukkan layarnya yang masih menyala. “Bukan mati, tapi jamnya nggak bergerak. Tadi aku ingat pukul 11:45, tapi ini masih di waktu yang sama.”Rani mendesah. “Rumah ini benar-benar aneh. Waktu di sini mungkin memang tidak berjalan seperti biasanya.”Tiba-tiba, terdengar suara berbisik dari lorong depan, suara yang samar, tapi jelas bukan suara mereka. Semua langsung menghentikan langkah dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berbicara dalam nada penuh penderitaan, namun kata-katanya tak bisa mereka pahami.Mira menelan ludah. “Apa… kalian dengar itu?”Budi mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Jangan-jan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Bayangan Dibalik Cermin   Terperangkap dalam Dunia Lain

    Saat sosok perempuan itu berbalik dan tersenyum, suasana yang tadinya penuh ketegangan seakan berubah menjadi lebih aneh dan misterius. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Itu adalah senyuman penuh penderitaan, senyuman yang seolah berasal dari dunia lain. Mata sosok itu kosong, seperti melihat ke dalam jiwa mereka, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak manusiawi.Rani merasa ada yang salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus mengikuti sosok itu. Langkah mereka semakin lambat, tetapi tetap memaksa mereka bergerak maju, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka.Andi berbisik pelan, matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. “Kita harus berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dia.”Mira menggenggam tangan Rani, mencoba mencari kenyamanan di tengah ketegangan yang mencekam. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apa yang kita harapkan dengan mengikuti sosok ini?”“Entahlah,” jawab Rani dengan suara serak. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Bayangan Dibalik Cermin   Mimpi Buruk

    Hening. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya keheningan yang menyeramkan seolah-olah dunia ini telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Di tengah kegelapan, Rani, Mira, dan Andi berdiri membeku, napas mereka terengah-engah, dada mereka terasa berat. Keputusasaan yang tak terjelaskan mulai menggerogoti hati mereka.“Dimana kita?” Mira berbisik, matanya berputar ke segala arah, mencoba menangkap secercah cahaya atau apapun yang bisa memberi mereka harapan. Tapi yang dia lihat hanya kekosongan.“Kita… terperangkap,” suara Andi parau, hampir tak terdengar. “Entah di mana, tapi aku merasa ini bukan tempat biasa.”Rani meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. “Tidak mungkin… kita harus bisa keluar dari sini,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada yang lain. Tapi dalam hatinya, ia tahu mereka berada di luar batas dunia manusia.Langkah kaki terdengar di kejauhan, suara itu menggema, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Bayangan Dibalik Cermin   Bayangan yang Mengintai

    Malam mulai merambat sunyi ketika Rani, Andi, dan Mira berjalan tertatih di jalan setapak yang gelap, tubuh mereka masih terasa gemetar setelah berhasil melarikan diri dari bangunan angker itu. Udara malam dingin mengiris kulit mereka, tapi ketiganya sama sekali tak merasakan kenyamanan atau ketenangan. Bayangan menakutkan dan ketegangan masih mengisi pikiran mereka, seolah sesuatu tak kasat mata terus mengintai dari balik kegelapan. “Gila… kita bener-bener hampir mati di dalam sana,” bisik Mira, suaranya bergetar. “Aku nggak mau ke tempat itu lagi, Rani. Sama sekali nggak.” Rani memandang Mira, menatap sahabatnya yang masih terisak ketakutan. Dia menggenggam tangan Mira, mencoba menenangkannya meski dalam dirinya sendiri masih diselimuti rasa takut. “Aku juga nggak, Mir… Tapi kita harus tenang sekarang. Yang penting, kita berhasil keluar,” kata Rani dengan suara lirih. Namun, Andi tampak cemas. “Kalian nggak ngerasa aneh, ya? Seolah-olah… kita masih diikuti.” Keduanya terdiam me

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Bayangan Dibalik Cermin   Tanda-Tanda Kutukan

    Keesokan harinya, Rani, Mira, dan Andi kembali ke rumah masing-masing, tetapi rasa gelisah terus membayangi mereka. Seperti yang dijanjikan, Rani mulai mencari tahu tentang dukun atau orang pintar yang bisa membantu mereka. Namun, setiap malam sejak pertemuan terakhir dengan makhluk itu, mereka diganggu oleh mimpi buruk yang sama.Rani membuka mata dengan tubuh penuh keringat di malam hari, rasa sesak masih mencekam dadanya. "Ya Tuhan… kapan semua ini akan berakhir?" gumamnya sambil mengatur napas.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di jendela kamarnya. Ketukan itu terdengar tidak biasa—lambat, namun penuh tekanan. Dengan perasaan ragu, Rani berjalan mendekati jendela, berharap itu hanya angin atau suara biasa.Namun, ketika dia mengintip melalui celah jendela, dia melihat wajah yang pucat dengan mata yang tampak seperti lubang kosong menatap langsung ke arahnya dari balik kaca. Wajah itu terlihat seperti wajah seseorang yang telah lama mati, kulitnya pucat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Bayangan Dibalik Cermin   Teror di Tengah Malam

    Setelah ritual di rumah Dukun Ratna, Rani, Andi, dan Mira merasa sedikit lega. Namun, rasa takut yang dalam tidak sepenuhnya hilang. Bayangan yang pernah mereka lihat, bisikan yang terdengar, dan tatapan tajam makhluk itu masih menghantui pikiran mereka. Mereka berharap mimpi buruk ini telah berakhir, namun ternyata mereka salah besar.Malam itu, Rani duduk di ruang tamunya, menatap jendela yang gelap. Angin bertiup kencang di luar, membawa suara-suara aneh dari pepohonan yang bergoyang. Waktu menunjukkan pukul dua pagi, tapi Rani tidak bisa tidur. Hatinya masih gelisah, dan matanya seolah tidak mau terpejam. Hawa dingin menyelimuti ruangan, membuatnya semakin tak nyaman.Sementara itu, di rumahnya, Andi merasakan hal yang sama. Suara-suara aneh mulai terdengar dari dinding kamar, seperti ketukan dan bisikan yang samar namun mengerikan. Andi menyalakan lampu kamar dan duduk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar. Dia mulai merasa seolah-olah ada sesuatu yang menatapnya dari bayang-bayang.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Bayangan Dibalik Cermin   Bayang-Bayang Teror

    Suara lonceng gereja di kejauhan membangunkan Andi. Tubuhnya berkeringat dingin, dan napasnya masih terengah-engah. Dia mencoba meredakan degup jantungnya sambil berusaha mengingat mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Namun, dia sadar bahwa itu bukan hanya mimpi; teror yang dialami semalam terasa sangat nyata. Bahkan ketika ia membuka mata, ruangan masih terasa dingin dan gelap.Di ujung kamar, bayangan hitam samar-samar terlihat bergerak, melintasi jendela. Andi mencoba mengabaikan dan merasionalisasi apa yang dilihatnya, tetapi kakinya bergetar, tubuhnya tak mampu berdiri.Ponselnya bergetar di atas meja samping, memancarkan sedikit cahaya yang menerangi ruangan. Itu pesan dari Mira."Mira? Jam segini?" Andi bergumam, membuka ponselnya dengan tangan yang gemetar.Mira: "Andi, kamu baik-baik saja? Aku nggak bisa tidur. Ada suara di luar rumahku."Andi membaca pesan itu dengan panik, merasa ada sesuatu yang tidak beres.Andi: "

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Bayangan Dibalik Cermin   Antara Hidup dan Mati

    Pagi yang seharusnya terang terasa kelam dan suram di sekitar rumah Dukun Ratna. Andi, Rani, dan Mira masih tergeletak di lantai ruang ritual, tubuh mereka menggigil setelah berhasil keluar dari kegelapan yang nyaris menelan mereka semalam. Matahari tampak samar tertutup kabut tebal, memberikan perasaan seolah hari itu pun enggan menyinari mereka. Andi merasakan berat di dadanya, seperti ada yang masih menghantui jiwanya. Ia mencoba mengingat detik-detik terakhir sebelum mereka pingsan, namun semuanya kabur. Hanya satu yang dia ingat: tawa sosok itu, menggema seakan tertanam di dalam pikirannya. Mira perlahan membuka matanya dan berusaha bangkit. "Apa yang barusan terjadi, Andi? Apa kita masih hidup?" Andi tidak langsung menjawab. Ia memegang pundak Mira, mencoba memberikan ketenangan meski dia sendiri pun ketakutan. "Aku... tidak tahu. Tapi yang pasti, kita harus keluar dari rumah ini." Rani, yang berdiri dengan wajah pucat, mengangguk setuju. "Benar. Rumah ini penuh dengan ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13

Bab terbaru

  • Bayangan Dibalik Cermin   Terperangkap

    Malam itu, setelah peristiwa di perpustakaan, Andi dan Mira memutuskan untuk kembali ke apartemen Andi. Mereka merasa buku yang baru ditemukan itu mungkin adalah kunci untuk mengakhiri teror yang mereka alami. Namun, atmosfer di apartemen terasa semakin berat, seakan-akan mereka telah membawa sesuatu yang lebih gelap dari sebelumnya. “Andi, kita nggak bisa terus-terusan begini,” ujar Mira dengan suara serak. Ia duduk di sofa dengan tubuh gemetar, matanya terus mengawasi pintu depan. “Aku tahu, Mir. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak mencari tahu lebih banyak, mereka nggak akan pernah berhenti.” Andi meletakkan buku tua itu di meja, membukanya perlahan-lahan. Buku itu dipenuhi simbol-simbol dan tulisan yang hampir tidak terbaca. Beberapa halaman bahkan terlihat seperti terbakar di tepinya. Mira menatap halaman itu dengan ngeri. “Kamu yakin ini bakal membantu kita? Gimana kalau malah memperburuk keadaan?” Andi menghela napas. “Aku nggak tahu. Tapi aku rasa, s

  • Bayangan Dibalik Cermin   Bayangan

    Setelah satu bulan berlalu sejak peristiwa menyeramkan yang menimpa mereka, Andi dan Mira akhirnya merasa lega. Kehidupan mereka perlahan kembali normal, meskipun bayangan malam itu masih sesekali menghantui pikiran mereka. Buku hitam yang menjadi pusat dari semua masalah itu telah mereka kubur di tempat yang jauh dari pemukiman. Namun, ada rasa khawatir yang tak pernah benar-benar hilang dari hati mereka.Hari ini, adalah hari pertama semester baru di universitas. Andi duduk di kursi kantin kampus, menyesap kopi sambil membaca catatan kuliahnya. Mira duduk di hadapannya, sibuk menulis sesuatu di buku jurnal kecilnya.“Kamu nggak merasa aneh?” tanya Mira tiba-tiba, memutus keheningan di antara mereka. “Aneh gimana?” balas Andi, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan. “Kayak... semuanya terlalu tenang. Setelah apa yang kita alami, aku merasa seharusnya hidup kita nggak akan pernah normal lagi.” Andi mendesah, meletakkan catatannya di meja. “Mungkin ini pertanda baik. Kita berha

  • Bayangan Dibalik Cermin   Akhir dari Kegelapan

    Suara tawa anak kecil yang menggema di sekitar rumah kayu tua itu membuat bulu kuduk Andi dan Mira berdiri. Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, membuat napas mereka mengembun. Andi mencoba berpikir jernih, tetapi pikirannya terus-menerus terpecah oleh suara-suara aneh yang datang dari dinding dan lantai. “Dia masih di sini, Andi,” bisik Mira sambil bergetar, matanya terus memandang ke arah jendela. “Apa pun itu, dia nggak akan biarin kita pergi.”Andi menatap simbol-simbol bercahaya di dinding yang perlahan mulai redup. "Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan. Buku ini..." Ia membuka kembali buku hitam itu dan membalik halamannya dengan cepat, berharap menemukan jawaban.Mira menggenggam lengan Andi, suaranya penuh kepanikan. “Andi, kita nggak punya waktu! Lihat itu!” Dari luar jendela, sosok anak kecil itu berubah. Tubuhnya mulai memanjang, kulitnya merekah, memperlihatkan jaringan berdarah di bawahnya. Matanya menyala putih, sementara giginya yang tajam semakin

  • Bayangan Dibalik Cermin   Kebenaran

    Andi dan Mira berjalan dengan langkah berat, menggenggam satu sama lain seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuat mereka tetap hidup. Hutan di sekitar mereka berubah semakin aneh—pohon-pohon seakan bergerak, bayangan gelap melintas di sudut mata mereka, dan suara langkah-langkah berat terdengar mengikuti mereka dari kejauhan.“Andi, apa ini akan pernah berakhir?” suara Mira bergetar. “Aku nggak yakin kita bisa keluar dari sini hidup-hidup.”Andi menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menguasainya. “Kita harus bisa, Mira. Aku nggak akan biarin sesuatu menyakitimu. Kita sudah sejauh ini, dan kita nggak boleh berhenti.”Namun, langkah mereka terhenti tiba-tiba saat sebuah suara mendesing keras memenuhi udara. Suara itu menyerupai jeritan manusia, tetapi terlalu melengking untuk dianggap normal. Dari balik kabut, sesosok makhluk tinggi dengan tubuh kurus dan wajah memanjang muncul perlahan. Matanya menyala merah, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak

  • Bayangan Dibalik Cermin   Dia datang!

    Andi dan Mira mengikuti wanita tua itu tanpa banyak bertanya, meskipun hati mereka penuh kebingungan dan ketakutan. Suara langkah kaki mereka menggema di antara keheningan hutan, dan hanya sesekali terdengar suara lonceng kecil yang menggantung di tongkat wanita tersebut.“Andi,” bisik Mira, menatap punggung wanita tua di depan mereka. “Kita yakin mau ikut dia? Gimana kalau dia juga bagian dari semua ini?”Andi menoleh, berbisik pelan. “Kita nggak punya pilihan, Mira. Kalau kita tetap di sini tanpa petunjuk, kita pasti mati.”Mira tidak menjawab, hanya menggenggam lengan Andi lebih erat. Langkah mereka terus maju, melewati akar-akar pohon yang melilit seperti tangan yang ingin menjangkau mereka. Kabut di sekitar mulai menipis, tetapi itu justru membuat suasana semakin mencekam. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabang menyerupai tangan mencakar langit berdiri angkuh di sekitar mereka.Wanita tua itu tiba-tiba berhenti. Ia mengangkat tongkatnya dan menancapkannya ke tanah. “Kita berhenti

  • Bayangan Dibalik Cermin   Persekutuan Gelap

    Andi dan Mira berjalan perlahan di tengah kabut yang semakin pekat. Hawa dingin menyelimut, dan suara-suara aneh terus terdengar di sekitar mereka. Langkah kaki mereka terasa berat, seolah tanah tempat mereka berpijak menyedot energi mereka. Suara geraman halus mulai terdengar dari kejauhan, membuat mereka berdua saling pandang dengan ketakutan.“Andi... aku nggak bisa. Rasanya... rasanya kakiku berat banget,” ujar Mira, tubuhnya gemetar hebat.Andi berhenti dan menoleh ke Mira. “Aku tahu ini sulit, tapi kita harus terus bergerak. Kalau kita berhenti, mereka akan menemukan kita.”Tiba-tiba terdengar suara tawa pelan, seperti suara anak kecil yang sedang bermain. Suara itu bergema, datang dari berbagai arah. Mira langsung mencengkeram lengan Andi dengan kuat.“Andi... itu suara apa?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.Andi memandangi sekeliling, berusaha mencari asal suara. Namun, kabut terlalu tebal. “Aku nggak tahu, tapi kita nggak boleh berhenti. Ayo, Mira. Berdiri. Kita harus

  • Bayangan Dibalik Cermin   Pengorbanan yang Tertunda

    Angin malam semakin menusuk tulang. Andi dan Mira masih duduk di bawah pohon besar, tubuh mereka gemetar. Kejadian barusan masih membekas di pikiran mereka, seolah bayangan makhluk tanpa wajah dan suara raungannya terus menggema di udara. Pria tua itu berdiri tak jauh dari mereka, diam dengan tatapan dingin yang membuat suasana semakin mencekam.“Aku sudah bilang, kalian harus segera membuat keputusan,” kata pria tua itu pelan, tetapi nadanya penuh tekanan. “Semakin lama kalian menunda, semakin banyak arwah yang datang.”Mira memeluk lututnya, air matanya tak terbendung. “Aku nggak bisa, Andi. Aku nggak sanggup. Aku nggak mau mati di sini...”Andi menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya meskipun rasa takut terus menghantui. “Kita pasti bisa menemukan jalan lain. Aku nggak percaya bahwa pengorbanan itu satu-satunya cara. Pasti ada celah di semua ini.”Pria tua itu mendengus pelan, lalu mengetukkan tongkat kayunya ke tanah. “Kalian masih belum mengerti. Hutan ini adalah

  • Bayangan Dibalik Cermin   Pengorbanan

    Keheningan melingkupi gubuk kecil itu. Andi dan Mira hanya saling menatap dengan napas yang masih tersengal, mencoba mencerna ucapan pria tua di hadapan mereka. Pria itu tidak banyak bergerak, hanya memandangi keduanya dengan mata tajam yang terasa seperti menembus jiwa mereka. "Menyerahkan sesuatu yang paling berharga? Apa maksud Anda?" suara Mira terdengar lirih, nyaris berbisik. Pria tua itu memejamkan matanya sejenak, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Hutan ini adalah batas antara dunia hidup dan mati. Siapa pun yang masuk tanpa izin harus membayar harga. Dan harga itu tidak murah." Andi bangkit dari duduknya, wajahnya merah penuh amarah. "Kami tidak pernah minta datang ke sini! Kami tersesat! Bagaimana bisa kami disuruh membayar sesuatu yang bahkan tidak kami pahami?!" Pria tua itu tetap tenang. Ia menunjuk Andi dengan tongkat kayunya. "Marah tidak akan mengubah takdirmu, Nak. Kalian sudah melangkah terlalu jauh. Kini pilihan kalian hanya dua: menyerahkan se

  • Bayangan Dibalik Cermin   Rantai Kengerian

    Andi dan Mira, masih terengah-engah, bersandar di sebatang pohon besar di tepi danau. Tubuh mereka basah kuyup dan menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga ketakutan yang mencengkram mereka."Apa yang terjadi tadi, Mira? Apa sebenarnya tempat ini?" Andi akhirnya membuka suara, meski suaranya parau dan hampir tak terdengar. Mira menggeleng perlahan, wajahnya pucat. "Aku... aku juga nggak tahu, Andi. Semua ini nggak masuk akal. Kita berenang ke tengah danau, tapi malah muncul makhluk-makhluk itu." "Makhluk? Mereka... mereka seperti mayat hidup." Andi memejamkan matanya sejenak, berusaha menghapus bayangan tangan-tangan dingin yang mencengkeramnya di dalam air. Namun, percakapan mereka terhenti ketika suara tawa pelan mulai terdengar di kejauhan. Tawa itu rendah, teredam, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Andi langsung berdiri, menarik Mira ke sampingnya. "Kau dengar itu, kan?" Mira mengangguk, wajahnya semakin tegang. "Tawa... tawa siapa

DMCA.com Protection Status