Saat sosok perempuan itu berbalik dan tersenyum, suasana yang tadinya penuh ketegangan seakan berubah menjadi lebih aneh dan misterius. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Itu adalah senyuman penuh penderitaan, senyuman yang seolah berasal dari dunia lain. Mata sosok itu kosong, seperti melihat ke dalam jiwa mereka, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak manusiawi.
Rani merasa ada yang salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus mengikuti sosok itu. Langkah mereka semakin lambat, tetapi tetap memaksa mereka bergerak maju, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka. Andi berbisik pelan, matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. “Kita harus berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dia.” Mira menggenggam tangan Rani, mencoba mencari kenyamanan di tengah ketegangan yang mencekam. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apa yang kita harapkan dengan mengikuti sosok ini?” “Entahlah,” jawab Rani dengan suara serak. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.” Namun, tiba-tiba sosok itu berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu hitam, dihiasi ukiran-ukiran aneh yang tampaknya hidup dan bergerak mengikuti gerakan mereka. Dinding di sekitar pintu tampak mengeluarkan uap dingin yang mengambang di udara, membuat nafas mereka membeku. “Ini… pintu kemana?” tanya Mira dengan suara bergetar. Sosok perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya mengarahkan jarinya ke pintu besar itu, matanya yang kosong menatap mereka dengan tatapan penuh arti. Rani merasa ada sesuatu yang menggelitik di dalam dadanya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. “Aku rasa… kita harus masuk ke dalam.” Mereka semua saling berpandangan, namun tidak ada satu pun yang merasa yakin. Namun, entah mengapa, kaki mereka bergerak dengan sendirinya menuju pintu itu. Begitu mereka menyentuh gagang pintu, mereka merasakan hawa dingin yang membekukan tangan mereka. Rasanya seperti seluruh tubuh mereka akan terperangkap dalam es yang membeku. Dengan ragu, Rani menarik pintu itu. Begitu terbuka, mereka disambut oleh sebuah ruangan besar yang gelap gulita, namun dindingnya dipenuhi dengan gambar-gambar yang bergerak. Gambar-gambar itu bukanlah lukisan biasa, melainkan gambar-gambar yang tampak hidup, mengisahkan kejadian-kejadian menyeramkan yang tampaknya terjadi berulang kali di tempat ini. Tiba-tiba, suara desisan muncul dari balik dinding, diikuti oleh suara berderak keras, seolah-olah ada sesuatu yang besar dan berat bergerak di baliknya. “Kita tidak boleh masuk,” Andi berteriak, mundur perlahan. “Ada sesuatu yang tidak beres di sini.” Namun, saat dia mencoba menarik Mira dan Rani untuk keluar, pintu itu tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat mereka terperangkap di dalam ruangan itu. Ruangan itu menjadi semakin gelap, dan udara di dalamnya semakin berat, seolah-olah mereka terjebak dalam dunia yang bukan milik mereka. Di tengah kegelapan, mereka mendengar suara berbisik lagi. Suara itu datang dari semua arah, berputar-putar di sekitar mereka. “Siapa… siapa yang membawa mereka ke sini?” suara itu berbisik. “Kenapa kalian datang ke tempat ini?” Rani mencoba untuk melihat lebih jelas, namun yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang bergerak cepat, membentuk sosok-sosok yang tak terlihat, berputar di sekitar mereka. Sesuatu mulai terasa menekan dada mereka, seolah mereka tidak bisa bernapas dengan bebas. Mira menangis perlahan. “Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Andi menggenggam tangan mereka dengan erat, mencoba memberikan rasa aman di tengah ketakutan yang semakin mendalam. “Kita harus menemukan cara untuk keluar dari sini.” Namun, saat mereka berusaha mencari jalan keluar, suara berbisik itu semakin keras, semakin mendalam. “Kalian sudah terlambat… tidak ada yang bisa keluar dari sini.” Mira menjerit ketika sebuah tangan hitam muncul dari dinding, menyentuh bahunya dengan cengkraman yang sangat kuat, menariknya ke dalam kegelapan. “Tidak!” Rani berteriak, mencoba menarik Mira kembali, tapi tangan itu semakin kuat. Dalam sekejap, sosok-sosok bayangan itu muncul, tubuh mereka mulai terbentuk, menyerupai makhluk dengan wajah yang mengerikan—wajah yang penuh dengan luka dan darah, mata yang terbuka lebar, tanpa cahaya. Mereka semua panik, namun terperangkap dalam gerakan yang tak bisa mereka kendalikan. Mata mereka mulai berputar, dan tubuh mereka terasa sangat lemah, seolah-olah ada kekuatan yang menguras energi mereka. “Tolong, kita harus keluar!” teriak Andi, hampir putus asa. Namun, saat itu juga, dari balik dinding, sebuah makhluk besar muncul. Makhluk itu tampak seperti raksasa dengan kulit hitam berbatu, wajahnya sangat besar dengan mulut yang penuh dengan gigi tajam. Di belakangnya, ada bayangan lainnya, lebih banyak makhluk yang menyerupai hantu-hantu gelap yang menyeringai dengan penuh kebencian. Andi berlari ke arah dinding yang sepertinya menjadi satu-satunya jalan keluar, namun begitu dia menyentuh dinding itu, tiba-tiba dinding tersebut berubah menjadi cairan hitam pekat, melahap tubuhnya. “Mira!” Rani berteriak, menarik sahabatnya ke arah pintu lain yang muncul tiba-tiba di seberang ruangan. Namun, pintu itu juga mulai mencair dan berubah menjadi sosok yang gelap dan mengerikan, seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. Ketakutan menguasai mereka. Mereka berlari, berputar-putar mencari jalan keluar, namun semakin mereka berlari, semakin mereka terjebak di dalam lingkaran yang sama. “Tidak ada jalan keluar…” suara dari sosok makhluk besar itu terdengar jelas di telinga mereka, menambah ketakutan yang mencekam. Saat itulah, mereka menyadari satu hal yang sangat menakutkan: mereka tidak hanya terperangkap di dalam rumah ini, tetapi mereka telah terperangkap dalam dimensi yang tak terlihat, dunia yang tak berujung, tempat yang tidak akan membiarkan mereka pergi. Dan yang lebih mengerikan lagi… dunia ini berusaha menelan mereka satu per satu. Dalam kegelapan yang semakin pekat, Rani hanya bisa mendengar suara teriakan mereka, suara bisikan dari makhluk yang tak kasat mata, dan suara langkah berat yang semakin mendekat.Hening. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya keheningan yang menyeramkan seolah-olah dunia ini telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Di tengah kegelapan, Rani, Mira, dan Andi berdiri membeku, napas mereka terengah-engah, dada mereka terasa berat. Keputusasaan yang tak terjelaskan mulai menggerogoti hati mereka.“Dimana kita?” Mira berbisik, matanya berputar ke segala arah, mencoba menangkap secercah cahaya atau apapun yang bisa memberi mereka harapan. Tapi yang dia lihat hanya kekosongan.“Kita… terperangkap,” suara Andi parau, hampir tak terdengar. “Entah di mana, tapi aku merasa ini bukan tempat biasa.”Rani meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. “Tidak mungkin… kita harus bisa keluar dari sini,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada yang lain. Tapi dalam hatinya, ia tahu mereka berada di luar batas dunia manusia.Langkah kaki terdengar di kejauhan, suara itu menggema, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekat
Malam mulai merambat sunyi ketika Rani, Andi, dan Mira berjalan tertatih di jalan setapak yang gelap, tubuh mereka masih terasa gemetar setelah berhasil melarikan diri dari bangunan angker itu. Udara malam dingin mengiris kulit mereka, tapi ketiganya sama sekali tak merasakan kenyamanan atau ketenangan. Bayangan menakutkan dan ketegangan masih mengisi pikiran mereka, seolah sesuatu tak kasat mata terus mengintai dari balik kegelapan. “Gila… kita bener-bener hampir mati di dalam sana,” bisik Mira, suaranya bergetar. “Aku nggak mau ke tempat itu lagi, Rani. Sama sekali nggak.” Rani memandang Mira, menatap sahabatnya yang masih terisak ketakutan. Dia menggenggam tangan Mira, mencoba menenangkannya meski dalam dirinya sendiri masih diselimuti rasa takut. “Aku juga nggak, Mir… Tapi kita harus tenang sekarang. Yang penting, kita berhasil keluar,” kata Rani dengan suara lirih. Namun, Andi tampak cemas. “Kalian nggak ngerasa aneh, ya? Seolah-olah… kita masih diikuti.” Keduanya terdiam me
Keesokan harinya, Rani, Mira, dan Andi kembali ke rumah masing-masing, tetapi rasa gelisah terus membayangi mereka. Seperti yang dijanjikan, Rani mulai mencari tahu tentang dukun atau orang pintar yang bisa membantu mereka. Namun, setiap malam sejak pertemuan terakhir dengan makhluk itu, mereka diganggu oleh mimpi buruk yang sama.Rani membuka mata dengan tubuh penuh keringat di malam hari, rasa sesak masih mencekam dadanya. "Ya Tuhan… kapan semua ini akan berakhir?" gumamnya sambil mengatur napas.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di jendela kamarnya. Ketukan itu terdengar tidak biasa—lambat, namun penuh tekanan. Dengan perasaan ragu, Rani berjalan mendekati jendela, berharap itu hanya angin atau suara biasa.Namun, ketika dia mengintip melalui celah jendela, dia melihat wajah yang pucat dengan mata yang tampak seperti lubang kosong menatap langsung ke arahnya dari balik kaca. Wajah itu terlihat seperti wajah seseorang yang telah lama mati, kulitnya pucat
Setelah ritual di rumah Dukun Ratna, Rani, Andi, dan Mira merasa sedikit lega. Namun, rasa takut yang dalam tidak sepenuhnya hilang. Bayangan yang pernah mereka lihat, bisikan yang terdengar, dan tatapan tajam makhluk itu masih menghantui pikiran mereka. Mereka berharap mimpi buruk ini telah berakhir, namun ternyata mereka salah besar.Malam itu, Rani duduk di ruang tamunya, menatap jendela yang gelap. Angin bertiup kencang di luar, membawa suara-suara aneh dari pepohonan yang bergoyang. Waktu menunjukkan pukul dua pagi, tapi Rani tidak bisa tidur. Hatinya masih gelisah, dan matanya seolah tidak mau terpejam. Hawa dingin menyelimuti ruangan, membuatnya semakin tak nyaman.Sementara itu, di rumahnya, Andi merasakan hal yang sama. Suara-suara aneh mulai terdengar dari dinding kamar, seperti ketukan dan bisikan yang samar namun mengerikan. Andi menyalakan lampu kamar dan duduk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar. Dia mulai merasa seolah-olah ada sesuatu yang menatapnya dari bayang-bayang.
Suara lonceng gereja di kejauhan membangunkan Andi. Tubuhnya berkeringat dingin, dan napasnya masih terengah-engah. Dia mencoba meredakan degup jantungnya sambil berusaha mengingat mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Namun, dia sadar bahwa itu bukan hanya mimpi; teror yang dialami semalam terasa sangat nyata. Bahkan ketika ia membuka mata, ruangan masih terasa dingin dan gelap.Di ujung kamar, bayangan hitam samar-samar terlihat bergerak, melintasi jendela. Andi mencoba mengabaikan dan merasionalisasi apa yang dilihatnya, tetapi kakinya bergetar, tubuhnya tak mampu berdiri.Ponselnya bergetar di atas meja samping, memancarkan sedikit cahaya yang menerangi ruangan. Itu pesan dari Mira."Mira? Jam segini?" Andi bergumam, membuka ponselnya dengan tangan yang gemetar.Mira: "Andi, kamu baik-baik saja? Aku nggak bisa tidur. Ada suara di luar rumahku."Andi membaca pesan itu dengan panik, merasa ada sesuatu yang tidak beres.Andi: "
Pagi yang seharusnya terang terasa kelam dan suram di sekitar rumah Dukun Ratna. Andi, Rani, dan Mira masih tergeletak di lantai ruang ritual, tubuh mereka menggigil setelah berhasil keluar dari kegelapan yang nyaris menelan mereka semalam. Matahari tampak samar tertutup kabut tebal, memberikan perasaan seolah hari itu pun enggan menyinari mereka. Andi merasakan berat di dadanya, seperti ada yang masih menghantui jiwanya. Ia mencoba mengingat detik-detik terakhir sebelum mereka pingsan, namun semuanya kabur. Hanya satu yang dia ingat: tawa sosok itu, menggema seakan tertanam di dalam pikirannya. Mira perlahan membuka matanya dan berusaha bangkit. "Apa yang barusan terjadi, Andi? Apa kita masih hidup?" Andi tidak langsung menjawab. Ia memegang pundak Mira, mencoba memberikan ketenangan meski dia sendiri pun ketakutan. "Aku... tidak tahu. Tapi yang pasti, kita harus keluar dari rumah ini." Rani, yang berdiri dengan wajah pucat, mengangguk setuju. "Benar. Rumah ini penuh dengan ha
Lorong-lorong gelap di sekitar Andi, Rani, dan Mira tampak semakin menyempit, seolah-olah rumah tua itu berubah bentuk untuk menjebak mereka di dalamnya. Bayangan-bayangan samar terus bergerak di sisi-sisi dinding, menampilkan wajah-wajah pucat dengan mata kosong yang mengikuti setiap langkah mereka."Kita harus bergerak cepat," bisik Andi, meskipun suaranya sendiri bergetar ketakutan. "Jika kita berhenti, mereka akan semakin mendekat."Rani mengangguk lemah, sementara Mira, yang masih terhuyung-huyung, mencoba menguatkan diri. "Aku... aku tidak yakin bisa melangkah lebih jauh. Rasanya seperti ada yang menghisap energi kita di sini."Suara-suara bisikan terdengar lagi di telinga mereka, bisikan halus yang menyebut nama mereka dengan nada mengerikan. Andi berusaha menutup telinganya, namun bisikan itu semakin keras, semakin nyata."Apa kalian mendengar itu?" bisik Mira, matanya mulai berkaca-kaca."Ya... sepertinya mereka tahu nama kita," jawab Rani sambil menggigil. "Bagaimana mungkin
Ketika mereka terus berpegangan erat dalam lingkaran cahaya samar itu, napas Andi, Rani, dan Mira semakin berat. Aura dingin masih menyelimuti ruangan, namun cahaya yang muncul dari atas seolah memberikan sedikit kelegaan bagi mereka. Meski begitu, kegelapan di sekitar tetap terasa hidup, berdenyut, dan mengelilingi mereka seperti makhluk yang lapar.Andi meremas tangan Rani dan Mira dengan kuat. “Kita harus keluar dari sini. Aku… aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi.”Rani mengangguk dengan wajah pucat. “Tapi bagaimana, Andi? Setiap kali kita melangkah, sesuatu selalu menghalangi kita. Rumah ini seperti tidak mau kita pergi…”Suara berat tiba-tiba menggema di seluruh ruangan, membuat mereka bertiga terpaku. “Memang tidak ada jalan keluar bagi mereka yang telah memasuki wilayah ini…”Mira melangkah mundur dengan ngeri. “Siapa itu? Siapa yang berbicara?”Di tengah-tengah kegelapan, sosok tinggi dengan jubah hitam perlahan muncul. Wajahnya ters
Malam itu, setelah peristiwa di perpustakaan, Andi dan Mira memutuskan untuk kembali ke apartemen Andi. Mereka merasa buku yang baru ditemukan itu mungkin adalah kunci untuk mengakhiri teror yang mereka alami. Namun, atmosfer di apartemen terasa semakin berat, seakan-akan mereka telah membawa sesuatu yang lebih gelap dari sebelumnya. “Andi, kita nggak bisa terus-terusan begini,” ujar Mira dengan suara serak. Ia duduk di sofa dengan tubuh gemetar, matanya terus mengawasi pintu depan. “Aku tahu, Mir. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak mencari tahu lebih banyak, mereka nggak akan pernah berhenti.” Andi meletakkan buku tua itu di meja, membukanya perlahan-lahan. Buku itu dipenuhi simbol-simbol dan tulisan yang hampir tidak terbaca. Beberapa halaman bahkan terlihat seperti terbakar di tepinya. Mira menatap halaman itu dengan ngeri. “Kamu yakin ini bakal membantu kita? Gimana kalau malah memperburuk keadaan?” Andi menghela napas. “Aku nggak tahu. Tapi aku rasa, s
Setelah satu bulan berlalu sejak peristiwa menyeramkan yang menimpa mereka, Andi dan Mira akhirnya merasa lega. Kehidupan mereka perlahan kembali normal, meskipun bayangan malam itu masih sesekali menghantui pikiran mereka. Buku hitam yang menjadi pusat dari semua masalah itu telah mereka kubur di tempat yang jauh dari pemukiman. Namun, ada rasa khawatir yang tak pernah benar-benar hilang dari hati mereka.Hari ini, adalah hari pertama semester baru di universitas. Andi duduk di kursi kantin kampus, menyesap kopi sambil membaca catatan kuliahnya. Mira duduk di hadapannya, sibuk menulis sesuatu di buku jurnal kecilnya.“Kamu nggak merasa aneh?” tanya Mira tiba-tiba, memutus keheningan di antara mereka. “Aneh gimana?” balas Andi, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan. “Kayak... semuanya terlalu tenang. Setelah apa yang kita alami, aku merasa seharusnya hidup kita nggak akan pernah normal lagi.” Andi mendesah, meletakkan catatannya di meja. “Mungkin ini pertanda baik. Kita berha
Suara tawa anak kecil yang menggema di sekitar rumah kayu tua itu membuat bulu kuduk Andi dan Mira berdiri. Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, membuat napas mereka mengembun. Andi mencoba berpikir jernih, tetapi pikirannya terus-menerus terpecah oleh suara-suara aneh yang datang dari dinding dan lantai. “Dia masih di sini, Andi,” bisik Mira sambil bergetar, matanya terus memandang ke arah jendela. “Apa pun itu, dia nggak akan biarin kita pergi.”Andi menatap simbol-simbol bercahaya di dinding yang perlahan mulai redup. "Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan. Buku ini..." Ia membuka kembali buku hitam itu dan membalik halamannya dengan cepat, berharap menemukan jawaban.Mira menggenggam lengan Andi, suaranya penuh kepanikan. “Andi, kita nggak punya waktu! Lihat itu!” Dari luar jendela, sosok anak kecil itu berubah. Tubuhnya mulai memanjang, kulitnya merekah, memperlihatkan jaringan berdarah di bawahnya. Matanya menyala putih, sementara giginya yang tajam semakin
Andi dan Mira berjalan dengan langkah berat, menggenggam satu sama lain seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuat mereka tetap hidup. Hutan di sekitar mereka berubah semakin aneh—pohon-pohon seakan bergerak, bayangan gelap melintas di sudut mata mereka, dan suara langkah-langkah berat terdengar mengikuti mereka dari kejauhan.“Andi, apa ini akan pernah berakhir?” suara Mira bergetar. “Aku nggak yakin kita bisa keluar dari sini hidup-hidup.”Andi menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menguasainya. “Kita harus bisa, Mira. Aku nggak akan biarin sesuatu menyakitimu. Kita sudah sejauh ini, dan kita nggak boleh berhenti.”Namun, langkah mereka terhenti tiba-tiba saat sebuah suara mendesing keras memenuhi udara. Suara itu menyerupai jeritan manusia, tetapi terlalu melengking untuk dianggap normal. Dari balik kabut, sesosok makhluk tinggi dengan tubuh kurus dan wajah memanjang muncul perlahan. Matanya menyala merah, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak
Andi dan Mira mengikuti wanita tua itu tanpa banyak bertanya, meskipun hati mereka penuh kebingungan dan ketakutan. Suara langkah kaki mereka menggema di antara keheningan hutan, dan hanya sesekali terdengar suara lonceng kecil yang menggantung di tongkat wanita tersebut.“Andi,” bisik Mira, menatap punggung wanita tua di depan mereka. “Kita yakin mau ikut dia? Gimana kalau dia juga bagian dari semua ini?”Andi menoleh, berbisik pelan. “Kita nggak punya pilihan, Mira. Kalau kita tetap di sini tanpa petunjuk, kita pasti mati.”Mira tidak menjawab, hanya menggenggam lengan Andi lebih erat. Langkah mereka terus maju, melewati akar-akar pohon yang melilit seperti tangan yang ingin menjangkau mereka. Kabut di sekitar mulai menipis, tetapi itu justru membuat suasana semakin mencekam. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabang menyerupai tangan mencakar langit berdiri angkuh di sekitar mereka.Wanita tua itu tiba-tiba berhenti. Ia mengangkat tongkatnya dan menancapkannya ke tanah. “Kita berhenti
Andi dan Mira berjalan perlahan di tengah kabut yang semakin pekat. Hawa dingin menyelimut, dan suara-suara aneh terus terdengar di sekitar mereka. Langkah kaki mereka terasa berat, seolah tanah tempat mereka berpijak menyedot energi mereka. Suara geraman halus mulai terdengar dari kejauhan, membuat mereka berdua saling pandang dengan ketakutan.“Andi... aku nggak bisa. Rasanya... rasanya kakiku berat banget,” ujar Mira, tubuhnya gemetar hebat.Andi berhenti dan menoleh ke Mira. “Aku tahu ini sulit, tapi kita harus terus bergerak. Kalau kita berhenti, mereka akan menemukan kita.”Tiba-tiba terdengar suara tawa pelan, seperti suara anak kecil yang sedang bermain. Suara itu bergema, datang dari berbagai arah. Mira langsung mencengkeram lengan Andi dengan kuat.“Andi... itu suara apa?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.Andi memandangi sekeliling, berusaha mencari asal suara. Namun, kabut terlalu tebal. “Aku nggak tahu, tapi kita nggak boleh berhenti. Ayo, Mira. Berdiri. Kita harus
Angin malam semakin menusuk tulang. Andi dan Mira masih duduk di bawah pohon besar, tubuh mereka gemetar. Kejadian barusan masih membekas di pikiran mereka, seolah bayangan makhluk tanpa wajah dan suara raungannya terus menggema di udara. Pria tua itu berdiri tak jauh dari mereka, diam dengan tatapan dingin yang membuat suasana semakin mencekam.“Aku sudah bilang, kalian harus segera membuat keputusan,” kata pria tua itu pelan, tetapi nadanya penuh tekanan. “Semakin lama kalian menunda, semakin banyak arwah yang datang.”Mira memeluk lututnya, air matanya tak terbendung. “Aku nggak bisa, Andi. Aku nggak sanggup. Aku nggak mau mati di sini...”Andi menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya meskipun rasa takut terus menghantui. “Kita pasti bisa menemukan jalan lain. Aku nggak percaya bahwa pengorbanan itu satu-satunya cara. Pasti ada celah di semua ini.”Pria tua itu mendengus pelan, lalu mengetukkan tongkat kayunya ke tanah. “Kalian masih belum mengerti. Hutan ini adalah
Keheningan melingkupi gubuk kecil itu. Andi dan Mira hanya saling menatap dengan napas yang masih tersengal, mencoba mencerna ucapan pria tua di hadapan mereka. Pria itu tidak banyak bergerak, hanya memandangi keduanya dengan mata tajam yang terasa seperti menembus jiwa mereka. "Menyerahkan sesuatu yang paling berharga? Apa maksud Anda?" suara Mira terdengar lirih, nyaris berbisik. Pria tua itu memejamkan matanya sejenak, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Hutan ini adalah batas antara dunia hidup dan mati. Siapa pun yang masuk tanpa izin harus membayar harga. Dan harga itu tidak murah." Andi bangkit dari duduknya, wajahnya merah penuh amarah. "Kami tidak pernah minta datang ke sini! Kami tersesat! Bagaimana bisa kami disuruh membayar sesuatu yang bahkan tidak kami pahami?!" Pria tua itu tetap tenang. Ia menunjuk Andi dengan tongkat kayunya. "Marah tidak akan mengubah takdirmu, Nak. Kalian sudah melangkah terlalu jauh. Kini pilihan kalian hanya dua: menyerahkan se
Andi dan Mira, masih terengah-engah, bersandar di sebatang pohon besar di tepi danau. Tubuh mereka basah kuyup dan menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga ketakutan yang mencengkram mereka."Apa yang terjadi tadi, Mira? Apa sebenarnya tempat ini?" Andi akhirnya membuka suara, meski suaranya parau dan hampir tak terdengar. Mira menggeleng perlahan, wajahnya pucat. "Aku... aku juga nggak tahu, Andi. Semua ini nggak masuk akal. Kita berenang ke tengah danau, tapi malah muncul makhluk-makhluk itu." "Makhluk? Mereka... mereka seperti mayat hidup." Andi memejamkan matanya sejenak, berusaha menghapus bayangan tangan-tangan dingin yang mencengkeramnya di dalam air. Namun, percakapan mereka terhenti ketika suara tawa pelan mulai terdengar di kejauhan. Tawa itu rendah, teredam, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Andi langsung berdiri, menarik Mira ke sampingnya. "Kau dengar itu, kan?" Mira mengangguk, wajahnya semakin tegang. "Tawa... tawa siapa