Saat sosok perempuan itu berbalik dan tersenyum, suasana yang tadinya penuh ketegangan seakan berubah menjadi lebih aneh dan misterius. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Itu adalah senyuman penuh penderitaan, senyuman yang seolah berasal dari dunia lain. Mata sosok itu kosong, seperti melihat ke dalam jiwa mereka, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak manusiawi.
Rani merasa ada yang salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus mengikuti sosok itu. Langkah mereka semakin lambat, tetapi tetap memaksa mereka bergerak maju, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka. Andi berbisik pelan, matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. “Kita harus berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dia.” Mira menggenggam tangan Rani, mencoba mencari kenyamanan di tengah ketegangan yang mencekam. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apa yang kita harapkan dengan mengikuti sosok ini?” “Entahlah,” jawab Rani dengan suara serak. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.” Namun, tiba-tiba sosok itu berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu hitam, dihiasi ukiran-ukiran aneh yang tampaknya hidup dan bergerak mengikuti gerakan mereka. Dinding di sekitar pintu tampak mengeluarkan uap dingin yang mengambang di udara, membuat nafas mereka membeku. “Ini… pintu kemana?” tanya Mira dengan suara bergetar. Sosok perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya mengarahkan jarinya ke pintu besar itu, matanya yang kosong menatap mereka dengan tatapan penuh arti. Rani merasa ada sesuatu yang menggelitik di dalam dadanya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. “Aku rasa… kita harus masuk ke dalam.” Mereka semua saling berpandangan, namun tidak ada satu pun yang merasa yakin. Namun, entah mengapa, kaki mereka bergerak dengan sendirinya menuju pintu itu. Begitu mereka menyentuh gagang pintu, mereka merasakan hawa dingin yang membekukan tangan mereka. Rasanya seperti seluruh tubuh mereka akan terperangkap dalam es yang membeku. Dengan ragu, Rani menarik pintu itu. Begitu terbuka, mereka disambut oleh sebuah ruangan besar yang gelap gulita, namun dindingnya dipenuhi dengan gambar-gambar yang bergerak. Gambar-gambar itu bukanlah lukisan biasa, melainkan gambar-gambar yang tampak hidup, mengisahkan kejadian-kejadian menyeramkan yang tampaknya terjadi berulang kali di tempat ini. Tiba-tiba, suara desisan muncul dari balik dinding, diikuti oleh suara berderak keras, seolah-olah ada sesuatu yang besar dan berat bergerak di baliknya. “Kita tidak boleh masuk,” Andi berteriak, mundur perlahan. “Ada sesuatu yang tidak beres di sini.” Namun, saat dia mencoba menarik Mira dan Rani untuk keluar, pintu itu tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat mereka terperangkap di dalam ruangan itu. Ruangan itu menjadi semakin gelap, dan udara di dalamnya semakin berat, seolah-olah mereka terjebak dalam dunia yang bukan milik mereka. Di tengah kegelapan, mereka mendengar suara berbisik lagi. Suara itu datang dari semua arah, berputar-putar di sekitar mereka. “Siapa… siapa yang membawa mereka ke sini?” suara itu berbisik. “Kenapa kalian datang ke tempat ini?” Rani mencoba untuk melihat lebih jelas, namun yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang bergerak cepat, membentuk sosok-sosok yang tak terlihat, berputar di sekitar mereka. Sesuatu mulai terasa menekan dada mereka, seolah mereka tidak bisa bernapas dengan bebas. Mira menangis perlahan. “Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Andi menggenggam tangan mereka dengan erat, mencoba memberikan rasa aman di tengah ketakutan yang semakin mendalam. “Kita harus menemukan cara untuk keluar dari sini.” Namun, saat mereka berusaha mencari jalan keluar, suara berbisik itu semakin keras, semakin mendalam. “Kalian sudah terlambat… tidak ada yang bisa keluar dari sini.” Mira menjerit ketika sebuah tangan hitam muncul dari dinding, menyentuh bahunya dengan cengkraman yang sangat kuat, menariknya ke dalam kegelapan. “Tidak!” Rani berteriak, mencoba menarik Mira kembali, tapi tangan itu semakin kuat. Dalam sekejap, sosok-sosok bayangan itu muncul, tubuh mereka mulai terbentuk, menyerupai makhluk dengan wajah yang mengerikan—wajah yang penuh dengan luka dan darah, mata yang terbuka lebar, tanpa cahaya. Mereka semua panik, namun terperangkap dalam gerakan yang tak bisa mereka kendalikan. Mata mereka mulai berputar, dan tubuh mereka terasa sangat lemah, seolah-olah ada kekuatan yang menguras energi mereka. “Tolong, kita harus keluar!” teriak Andi, hampir putus asa. Namun, saat itu juga, dari balik dinding, sebuah makhluk besar muncul. Makhluk itu tampak seperti raksasa dengan kulit hitam berbatu, wajahnya sangat besar dengan mulut yang penuh dengan gigi tajam. Di belakangnya, ada bayangan lainnya, lebih banyak makhluk yang menyerupai hantu-hantu gelap yang menyeringai dengan penuh kebencian. Andi berlari ke arah dinding yang sepertinya menjadi satu-satunya jalan keluar, namun begitu dia menyentuh dinding itu, tiba-tiba dinding tersebut berubah menjadi cairan hitam pekat, melahap tubuhnya. “Mira!” Rani berteriak, menarik sahabatnya ke arah pintu lain yang muncul tiba-tiba di seberang ruangan. Namun, pintu itu juga mulai mencair dan berubah menjadi sosok yang gelap dan mengerikan, seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. Ketakutan menguasai mereka. Mereka berlari, berputar-putar mencari jalan keluar, namun semakin mereka berlari, semakin mereka terjebak di dalam lingkaran yang sama. “Tidak ada jalan keluar…” suara dari sosok makhluk besar itu terdengar jelas di telinga mereka, menambah ketakutan yang mencekam. Saat itulah, mereka menyadari satu hal yang sangat menakutkan: mereka tidak hanya terperangkap di dalam rumah ini, tetapi mereka telah terperangkap dalam dimensi yang tak terlihat, dunia yang tak berujung, tempat yang tidak akan membiarkan mereka pergi. Dan yang lebih mengerikan lagi… dunia ini berusaha menelan mereka satu per satu. Dalam kegelapan yang semakin pekat, Rani hanya bisa mendengar suara teriakan mereka, suara bisikan dari makhluk yang tak kasat mata, dan suara langkah berat yang semakin mendekat.Hening. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya keheningan yang menyeramkan seolah-olah dunia ini telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Di tengah kegelapan, Rani, Mira, dan Andi berdiri membeku, napas mereka terengah-engah, dada mereka terasa berat. Keputusasaan yang tak terjelaskan mulai menggerogoti hati mereka.“Dimana kita?” Mira berbisik, matanya berputar ke segala arah, mencoba menangkap secercah cahaya atau apapun yang bisa memberi mereka harapan. Tapi yang dia lihat hanya kekosongan.“Kita… terperangkap,” suara Andi parau, hampir tak terdengar. “Entah di mana, tapi aku merasa ini bukan tempat biasa.”Rani meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. “Tidak mungkin… kita harus bisa keluar dari sini,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada yang lain. Tapi dalam hatinya, ia tahu mereka berada di luar batas dunia manusia.Langkah kaki terdengar di kejauhan, suara itu menggema, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekat
Suasana malam itu gelap dan sunyi, hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan di sekitar rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu terletak di pinggiran desa, jauh dari keramaian. Ketika Rani dan teman-temannya—Budi, Mira, dan Andi—menginjakkan kaki di halaman rumah, mereka merasakan aura aneh yang mengelilingi bangunan tersebut."Kenapa kita harus ke sini, sih?" tanya Mira, sambil menggigit bibirnya. "Tempat ini bikin aku merinding.""Ah, kamu lebay! Ini kan hanya rumah kosong. Kita cuma mau eksplorasi sedikit," jawab Rani, berusaha terdengar optimis. "Lagipula, ini akan jadi cerita seru untuk diunggah ke media sosial."“Setuju!” Budi mengangguk. “Ayo, kita masuk.”Dengan sedikit rasa ragu, mereka semua memasuki rumah tua itu. Pintunya berderit pelan saat terbuka, mengeluarkan aroma lembap dan debu yang menempel di setiap sudut. Budi menyalakan senter yang dibawanya, dan cahaya kuning temaram menyinari interior yang suram."Jangan bilang kalian percaya mitos tentang
Suara jeritan Mira menggema di dalam rumah tua yang gelap saat sosok misterius itu melangkah lebih dekat. Kegelapan semakin menyelimuti mereka, menciptakan suasana mencekam yang membuat jantung mereka berdegup kencang. “Rani! Apa yang harus kita lakukan?” tanya Budi dengan suara bergetar, matanya melebar karena ketakutan. “Kita tidak bisa tetap di sini!”“Aku—aku tidak tahu!” Rani menjawab dengan napas yang tersengal. “Tapi kita tidak bisa membiarkan dia menangkap kita!”Andi melihat sekeliling, berusaha mencari jalan keluar. “Coba cari pintu lain! Mungkin ada cara untuk melarikan diri!”Saat mereka berlari ke sudut ruangan, sosok itu berbicara dengan suara dalam dan menyeramkan. “Kau tidak akan bisa melarikan diri. Tempat ini adalah milikku, dan kalian sudah terjebak di dalamnya.”“Siapa kau?” tanya Rani, berusaha berani meski hatinya bergetar. “Kenapa kau menghalangi kami?”“Aku adalah bayangan dari apa yang hilang,” jawab sosok itu sambil tersenyum sinis, matanya bersinar merah da
Rani memimpin teman-temannya kembali ke ruangan tempat mereka menemukan boneka. Setiap langkah terasa berat, seolah kegelapan menempel pada mereka, meresap ke dalam jiwa. Andi, yang berada di belakang, merasakan ada sesuatu yang mengikuti mereka. “Aku tidak suka dengan suasana di sini. Seperti ada yang memperhatikan kita,” bisiknya.“Jangan berpikir yang aneh-aneh, Andi!” Mira membalas, suaranya bergetar. “Kita harus fokus. Kita sudah hampir sampai.”Ketika mereka tiba di ruangan itu, Rani berusaha menenangkan teman-temannya. “Ingat, kita harus tetap bersatu. Kita bisa mengatasi ini.”Budi melihat ke sekeliling, matanya berusaha menangkap setiap detail. “Coba kita cari tahu lebih banyak tentang sosok itu. Mungkin ada petunjuk yang bisa membantu kita,” ujarnya.“Baik. Kita harus melihat kotak kayu yang kita temukan,” Rani menjawab, berusaha mengingat di mana mereka meninggalkannya. “Di sinilah kita menemukan benda-benda aneh itu.”Mereka bergegas menuju tempat di mana kotak kayu itu te
Setelah berhasil mengusir sosok kegelapan, Rani dan teman-temannya merasa sedikit lebih tenang, tetapi ketegangan masih terasa di udara. Mereka berdiri di tengah ruangan yang kini sunyi, mengingat kembali sosok gadis yang telah membantu mereka. Rani menggenggam boneka yang rusak dengan erat, berpikir tentang bagaimana cara membantu gadis itu lebih lanjut.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanya Mira, menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang gelap. “Kita sudah mengalahkan sosok itu, tapi rasanya belum aman.”“Ya, kita perlu mencari tahu lebih lanjut tentang tempat ini,” Rani menjawab, suaranya penuh tekad. “Mungkin ada petunjuk lain yang bisa membantu kita memahami apa yang terjadi di sini.”“Setuju. Kita tidak bisa tinggal diam,” Budi menambahkan, terlihat gelisah. “Kita tidak tahu kapan kegelapan itu akan kembali.”Andi mengangguk, tetapi wajahnya masih tampak cemas. “Tapi kita harus hati-hati. Kita sudah melihat betapa berbahayanya tempat ini.”“Berhenti berpikir yang aneh-a
Rani dan teman-temannya terengah-engah, masih terpengaruh oleh pertempuran mereka melawan kegelapan yang menakutkan. Mereka berdiri di tengah ruangan, mengatur napas sebelum melanjutkan pencarian mereka. Rani memeriksa tongkat yang sebelumnya ia gunakan, berharap benda itu masih memiliki kekuatan.“Sekarang kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini,” Rani berkata, suaranya penuh tekad. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan keberanian semata.”“Setuju. Kita perlu mendapatkan lebih banyak informasi,” Andi menjawab, menatap ke arah tumpukan buku yang masih tergeletak di atas meja. “Mungkin ada sesuatu di buku-buku itu yang bisa membantu kita.”Mira melangkah lebih dekat ke meja dan mulai membuka buku-buku satu per satu. “Ini semua tampaknya tentang ritual kuno,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi sulit untuk memahami semuanya.”“Coba kita fokus pada bagian yang menyebutkan tentang sosok-sosok yang kita lihat tadi,” Budi menyarankan, mengamati halaman-halaman buku.
Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini. "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.” “Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?” Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.” Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing. Saat mereka melangkah keluar, koridor yang
Mereka berhasil keluar dari ruang bawah tanah, namun rasa lega itu tidak berlangsung lama. Rumah itu, dengan segala kegelapannya, seakan memiliki keinginan sendiri untuk menahan mereka.Andi membuka ponsel dan melihat waktu, lalu mengerutkan dahi. “Hei, ini… waktu di ponselku berhenti.”Mira mengerutkan kening. “Berhenti? Maksudmu mati?”Andi menggeleng, menunjukkan layarnya yang masih menyala. “Bukan mati, tapi jamnya nggak bergerak. Tadi aku ingat pukul 11:45, tapi ini masih di waktu yang sama.”Rani mendesah. “Rumah ini benar-benar aneh. Waktu di sini mungkin memang tidak berjalan seperti biasanya.”Tiba-tiba, terdengar suara berbisik dari lorong depan, suara yang samar, tapi jelas bukan suara mereka. Semua langsung menghentikan langkah dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berbicara dalam nada penuh penderitaan, namun kata-katanya tak bisa mereka pahami.Mira menelan ludah. “Apa… kalian dengar itu?”Budi mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Jangan-jan