Rani dan teman-temannya terengah-engah, masih terpengaruh oleh pertempuran mereka melawan kegelapan yang menakutkan. Mereka berdiri di tengah ruangan, mengatur napas sebelum melanjutkan pencarian mereka. Rani memeriksa tongkat yang sebelumnya ia gunakan, berharap benda itu masih memiliki kekuatan.
“Sekarang kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini,” Rani berkata, suaranya penuh tekad. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan keberanian semata.” “Setuju. Kita perlu mendapatkan lebih banyak informasi,” Andi menjawab, menatap ke arah tumpukan buku yang masih tergeletak di atas meja. “Mungkin ada sesuatu di buku-buku itu yang bisa membantu kita.” Mira melangkah lebih dekat ke meja dan mulai membuka buku-buku satu per satu. “Ini semua tampaknya tentang ritual kuno,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi sulit untuk memahami semuanya.” “Coba kita fokus pada bagian yang menyebutkan tentang sosok-sosok yang kita lihat tadi,” Budi menyarankan, mengamati halaman-halaman buku. “Mungkin ada penjelasan tentang mereka.” Rani mengangguk, dan mereka mulai mencari halaman yang relevan. “Di sini!” Rani berseru, menunjukkan sebuah gambar sosok menyeramkan. “Ini terlihat seperti mereka.” Mira menatap gambar itu dengan ketakutan. “Apa itu? Kenapa mereka terlihat begitu menakutkan?” “Anda tahu, menurut buku ini, mereka disebut ‘Arwah Terikat’,” Rani menjelaskan, membacakan isi buku tersebut. “Mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap di antara dua dunia karena ritual yang tidak berhasil.” “Jadi, kita menghadapi arwah yang terjebak di sini? Mereka bisa saja berbahaya,” Andi menambahkan, wajahnya semakin serius. “Kita harus menemukan cara untuk membebaskan mereka atau kita akan terus menjadi target.” “Bagaimana kita bisa membebaskan mereka?” Mira bertanya, suaranya bergetar. “Apakah ada ritual yang bisa kita lakukan?” Rani melanjutkan membaca dengan seksama. “Di sini tertulis bahwa untuk membebaskan arwah-arwah itu, kita harus menemukan ‘Cahaya Sejati’. Tanpa cahaya itu, mereka tidak bisa pergi.” “Di mana kita bisa menemukan Cahaya Sejati itu?” Budi bertanya, merasa putus asa. “Tidak ada penjelasan lebih lanjut,” Rani menjawab, menutup buku dengan frustrasi. “Tapi kita harus mencari petunjuk lain. Mungkin ada sesuatu di luar ruangan ini.” “Ayo, kita harus pergi sekarang juga,” Andi berkata, terlihat semakin tegang. “Semakin lama kita di sini, semakin besar kemungkinan kita menghadapi kegelapan lagi.” Mereka semua setuju dan melangkah keluar dari ruangan, berusaha menjaga diri tetap bersama. Lorong-lorong semakin gelap dan menakutkan, tetapi mereka tahu mereka tidak bisa mundur. “Ke mana kita harus pergi?” Mira bertanya, menatap Rani. “Kita tidak punya peta atau apa pun.” “Kita bisa mencari ruangan lain. Mungkin ada pintu atau jendela yang bisa membawa kita ke tempat lain,” jawab Rani, berusaha menjaga semangat. Budi menunjuk ke arah sebuah pintu tua di ujung lorong. “Bagaimana dengan pintu itu? Kita belum menjelajahinya.” “Baiklah, kita coba,” Rani menjawab, berusaha tetap tenang. Mereka berlari menuju pintu dan Rani mengangkat tangan untuk mengetuk, tetapi sebelum dia sempat melakukannya, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Semua terkejut dan melangkah mundur. “Siapa yang membuka pintu itu?” Mira berbisik, matanya membulat. “Mungkin kita harus masuk,” Budi berkata, suara ragu. “Tapi kita harus berhati-hati.” Rani mengangguk dan melangkah maju, diikuti oleh yang lainnya. Ruangan itu tampak lebih besar dan lebih berantakan daripada yang sebelumnya mereka lihat. Di tengah ruangan, ada sebuah altar tua dengan lilin-lilin yang hampir padam. “Apa ini?” Andi bertanya, mendekati altar. “Sepertinya ada sesuatu yang telah dilakukan di sini.” “Coba kita periksa,” Rani menjawab, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutannya. Mereka semua mendekati altar dan melihat ada buku lain yang tergeletak di atasnya. Mira mengambil buku itu dan membukanya. “Ini tampaknya berisi catatan tentang ritual-ritual yang berbeda,” katanya. “Tapi kebanyakan dari mereka tampak mengerikan.” Rani mendekat dan melihat halaman-halaman yang penuh dengan gambar-gambar menyeramkan. “Lihat! Ada catatan tentang Cahaya Sejati!” dia berseru. Mira dan Budi segera mendekat untuk melihat. “Apa yang tertulis?” Andi bertanya, bersemangat. Rani mulai membaca dengan keras. “Untuk menemukan Cahaya Sejati, satu-satunya cara adalah mencari ‘Refleksi Kegelapan’. Ini adalah simbol yang menyimpan kekuatan untuk menerangi kegelapan dan membebaskan arwah-arwah terikat.” “Refleksi Kegelapan?” Budi mengulang, berusaha mencerna informasi itu. “Apa maksudnya?” “Tidak ada penjelasan lebih lanjut di sini,” Rani menjawab, merasakan tekanan di dadanya. “Tetapi kita mungkin bisa menemukannya di tempat lain di gedung ini.” “Kita harus mencari,” Andi menambahkan. “Tapi kita harus cepat sebelum sosok-sosok itu kembali.” Saat mereka mendiskusikan langkah selanjutnya, suara berderak terdengar lagi dari sudut ruangan. Mereka semua terdiam, menatap ke arah suara itu. “Apa itu?” Mira berbisik, tubuhnya bergetar. “Sepertinya ada sesuatu yang bergerak,” Budi menjawab, ketakutan. “Kita harus pergi sekarang!” Rani berusaha menenangkan teman-temannya. “Ayo kita tetap tenang. Kita harus bisa menemukan jalan keluar.” Tetapi saat mereka berbalik untuk pergi, sosok-sosok menakutkan yang mereka hadapi sebelumnya muncul kembali, menghalangi jalan mereka. “Kalian tidak akan bisa pergi,” salah satu dari mereka berteriak dengan suara menggema. “Kalian telah masuk ke dalam kegelapan!” Mira menjerit dan melangkah mundur, sedangkan Rani menggenggam tangan teman-temannya. “Tidak! Kami tidak akan menyerah!” dia berseru, berusaha mengusir rasa takut. “Andi, ambil tongkat itu!” Budi berteriak, menunjuk ke tongkat yang masih tergeletak di altar. Andi meraih tongkat dan mengangkatnya. “Ayo, kita lawan mereka!” dia berteriak, suaranya dipenuhi semangat. “Kita tidak bisa membiarkan mereka menghentikan kita!” Rani berusaha menenangkan diri dan mengarahkan tongkat ke arah sosok-sosok itu. “Kalian tidak akan menang!” dia berseru, berusaha menyalakan semangat di hati teman-temannya. Cahaya dari tongkat itu mulai memancar, menciptakan energi yang kuat. “Ayo, kita bersatu!” Rani berteriak. Mira dan Budi mengangkat tangan mereka dan bersama-sama mengarahkan tongkat ke arah sosok-sosok yang mendekat. “Kita bisa melakukannya!” Mira berseru, suaranya penuh tekad. Ketika cahaya dari tongkat semakin kuat, sosok-sosok itu mulai bergetar dan tampak ketakutan. “Tidak! Kami tidak ingin pergi!” mereka berteriak. Rani menambah kekuatan, “Kalian tidak memiliki kekuatan di sini! Kami akan membebaskan diri dan arwah-arwah terikat!” Dengan semangat yang menyala-nyala, cahaya itu semakin kuat, mendorong kegelapan mundur. Rani merasakan harapan dan kekuatan baru mengalir di dalam dirinya. Sosok-sosok itu berteriak dan mundur ke dalam kegelapan, semakin jauh dari cahaya yang dipancarkan oleh Rani dan teman-temannya. “Kami akan kembali! Ini belum berakhir!” salah satu dari mereka berteriak sebelum menghilang. “Ini berhasil!” Budi berseru, wajahnya bersinar dengan harapan. “Kita bisa mengalahkan mereka!” “Tapi kita tidak boleh lengah,” Andi menambahkan, masih waspada. “Mereka mungkin akan kembali dengan lebih kuat.” Rani mengangguk, berusaha menenangkan diri. “Kita harus menemukan Refleksi Kegelapan. Itu satu-satunya cara untuk melindungi diri kita.” “Ayo, kita cari!” Mira berkata, semangatnya kembali membara. Mereka semua merapikan diri dan melanjutkan pencarian, bertekad untuk menemukan jawaban yang bisa membebaskan mereka dari teror yang mengintai. Langkah mereka mantap, meski rasa takut masih menggantung di udara. Saat mereka menjelajahi ruangan itu, mereka menemukan lebih banyak catatan dan simbol-simbol aneh di dinding. “Ini tampaknya menjadi petunjuk,” Rani berkomentar, mencatat apa yang mereka lihat. “Kita harus hati-hati,” Budi mengingatkan, “jangan sampai kita terjebak di sini lebih lama.Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini. "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.” “Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?” Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.” Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing. Saat mereka melangkah keluar, koridor yang
Mereka berhasil keluar dari ruang bawah tanah, namun rasa lega itu tidak berlangsung lama. Rumah itu, dengan segala kegelapannya, seakan memiliki keinginan sendiri untuk menahan mereka.Andi membuka ponsel dan melihat waktu, lalu mengerutkan dahi. “Hei, ini… waktu di ponselku berhenti.”Mira mengerutkan kening. “Berhenti? Maksudmu mati?”Andi menggeleng, menunjukkan layarnya yang masih menyala. “Bukan mati, tapi jamnya nggak bergerak. Tadi aku ingat pukul 11:45, tapi ini masih di waktu yang sama.”Rani mendesah. “Rumah ini benar-benar aneh. Waktu di sini mungkin memang tidak berjalan seperti biasanya.”Tiba-tiba, terdengar suara berbisik dari lorong depan, suara yang samar, tapi jelas bukan suara mereka. Semua langsung menghentikan langkah dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berbicara dalam nada penuh penderitaan, namun kata-katanya tak bisa mereka pahami.Mira menelan ludah. “Apa… kalian dengar itu?”Budi mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Jangan-jan
Saat sosok perempuan itu berbalik dan tersenyum, suasana yang tadinya penuh ketegangan seakan berubah menjadi lebih aneh dan misterius. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Itu adalah senyuman penuh penderitaan, senyuman yang seolah berasal dari dunia lain. Mata sosok itu kosong, seperti melihat ke dalam jiwa mereka, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak manusiawi.Rani merasa ada yang salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus mengikuti sosok itu. Langkah mereka semakin lambat, tetapi tetap memaksa mereka bergerak maju, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka.Andi berbisik pelan, matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. “Kita harus berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dia.”Mira menggenggam tangan Rani, mencoba mencari kenyamanan di tengah ketegangan yang mencekam. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apa yang kita harapkan dengan mengikuti sosok ini?”“Entahlah,” jawab Rani dengan suara serak. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Hening. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya keheningan yang menyeramkan seolah-olah dunia ini telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Di tengah kegelapan, Rani, Mira, dan Andi berdiri membeku, napas mereka terengah-engah, dada mereka terasa berat. Keputusasaan yang tak terjelaskan mulai menggerogoti hati mereka.“Dimana kita?” Mira berbisik, matanya berputar ke segala arah, mencoba menangkap secercah cahaya atau apapun yang bisa memberi mereka harapan. Tapi yang dia lihat hanya kekosongan.“Kita… terperangkap,” suara Andi parau, hampir tak terdengar. “Entah di mana, tapi aku merasa ini bukan tempat biasa.”Rani meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. “Tidak mungkin… kita harus bisa keluar dari sini,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada yang lain. Tapi dalam hatinya, ia tahu mereka berada di luar batas dunia manusia.Langkah kaki terdengar di kejauhan, suara itu menggema, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekat
Suasana malam itu gelap dan sunyi, hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan di sekitar rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu terletak di pinggiran desa, jauh dari keramaian. Ketika Rani dan teman-temannya—Budi, Mira, dan Andi—menginjakkan kaki di halaman rumah, mereka merasakan aura aneh yang mengelilingi bangunan tersebut."Kenapa kita harus ke sini, sih?" tanya Mira, sambil menggigit bibirnya. "Tempat ini bikin aku merinding.""Ah, kamu lebay! Ini kan hanya rumah kosong. Kita cuma mau eksplorasi sedikit," jawab Rani, berusaha terdengar optimis. "Lagipula, ini akan jadi cerita seru untuk diunggah ke media sosial."“Setuju!” Budi mengangguk. “Ayo, kita masuk.”Dengan sedikit rasa ragu, mereka semua memasuki rumah tua itu. Pintunya berderit pelan saat terbuka, mengeluarkan aroma lembap dan debu yang menempel di setiap sudut. Budi menyalakan senter yang dibawanya, dan cahaya kuning temaram menyinari interior yang suram."Jangan bilang kalian percaya mitos tentang
Suara jeritan Mira menggema di dalam rumah tua yang gelap saat sosok misterius itu melangkah lebih dekat. Kegelapan semakin menyelimuti mereka, menciptakan suasana mencekam yang membuat jantung mereka berdegup kencang. “Rani! Apa yang harus kita lakukan?” tanya Budi dengan suara bergetar, matanya melebar karena ketakutan. “Kita tidak bisa tetap di sini!”“Aku—aku tidak tahu!” Rani menjawab dengan napas yang tersengal. “Tapi kita tidak bisa membiarkan dia menangkap kita!”Andi melihat sekeliling, berusaha mencari jalan keluar. “Coba cari pintu lain! Mungkin ada cara untuk melarikan diri!”Saat mereka berlari ke sudut ruangan, sosok itu berbicara dengan suara dalam dan menyeramkan. “Kau tidak akan bisa melarikan diri. Tempat ini adalah milikku, dan kalian sudah terjebak di dalamnya.”“Siapa kau?” tanya Rani, berusaha berani meski hatinya bergetar. “Kenapa kau menghalangi kami?”“Aku adalah bayangan dari apa yang hilang,” jawab sosok itu sambil tersenyum sinis, matanya bersinar merah da
Rani memimpin teman-temannya kembali ke ruangan tempat mereka menemukan boneka. Setiap langkah terasa berat, seolah kegelapan menempel pada mereka, meresap ke dalam jiwa. Andi, yang berada di belakang, merasakan ada sesuatu yang mengikuti mereka. “Aku tidak suka dengan suasana di sini. Seperti ada yang memperhatikan kita,” bisiknya.“Jangan berpikir yang aneh-aneh, Andi!” Mira membalas, suaranya bergetar. “Kita harus fokus. Kita sudah hampir sampai.”Ketika mereka tiba di ruangan itu, Rani berusaha menenangkan teman-temannya. “Ingat, kita harus tetap bersatu. Kita bisa mengatasi ini.”Budi melihat ke sekeliling, matanya berusaha menangkap setiap detail. “Coba kita cari tahu lebih banyak tentang sosok itu. Mungkin ada petunjuk yang bisa membantu kita,” ujarnya.“Baik. Kita harus melihat kotak kayu yang kita temukan,” Rani menjawab, berusaha mengingat di mana mereka meninggalkannya. “Di sinilah kita menemukan benda-benda aneh itu.”Mereka bergegas menuju tempat di mana kotak kayu itu te
Setelah berhasil mengusir sosok kegelapan, Rani dan teman-temannya merasa sedikit lebih tenang, tetapi ketegangan masih terasa di udara. Mereka berdiri di tengah ruangan yang kini sunyi, mengingat kembali sosok gadis yang telah membantu mereka. Rani menggenggam boneka yang rusak dengan erat, berpikir tentang bagaimana cara membantu gadis itu lebih lanjut.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanya Mira, menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang gelap. “Kita sudah mengalahkan sosok itu, tapi rasanya belum aman.”“Ya, kita perlu mencari tahu lebih lanjut tentang tempat ini,” Rani menjawab, suaranya penuh tekad. “Mungkin ada petunjuk lain yang bisa membantu kita memahami apa yang terjadi di sini.”“Setuju. Kita tidak bisa tinggal diam,” Budi menambahkan, terlihat gelisah. “Kita tidak tahu kapan kegelapan itu akan kembali.”Andi mengangguk, tetapi wajahnya masih tampak cemas. “Tapi kita harus hati-hati. Kita sudah melihat betapa berbahayanya tempat ini.”“Berhenti berpikir yang aneh-a