Setelah berhasil mengusir sosok kegelapan, Rani dan teman-temannya merasa sedikit lebih tenang, tetapi ketegangan masih terasa di udara. Mereka berdiri di tengah ruangan yang kini sunyi, mengingat kembali sosok gadis yang telah membantu mereka. Rani menggenggam boneka yang rusak dengan erat, berpikir tentang bagaimana cara membantu gadis itu lebih lanjut.
“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanya Mira, menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang gelap. “Kita sudah mengalahkan sosok itu, tapi rasanya belum aman.” “Ya, kita perlu mencari tahu lebih lanjut tentang tempat ini,” Rani menjawab, suaranya penuh tekad. “Mungkin ada petunjuk lain yang bisa membantu kita memahami apa yang terjadi di sini.” “Setuju. Kita tidak bisa tinggal diam,” Budi menambahkan, terlihat gelisah. “Kita tidak tahu kapan kegelapan itu akan kembali.” Andi mengangguk, tetapi wajahnya masih tampak cemas. “Tapi kita harus hati-hati. Kita sudah melihat betapa berbahayanya tempat ini.” “Berhenti berpikir yang aneh-aneh, Andi!” Mira menepuk punggungnya. “Kita harus tetap berfokus pada tujuan kita.” Rani meraih tangan teman-temannya, dan mereka semua saling menggenggam. “Kita akan melakukannya bersama. Tidak ada yang terpisah!” Mereka mulai menjelajahi lebih dalam ke dalam gedung tua itu, mengikuti lorong yang gelap. Suara langkah kaki mereka terdengar jelas di tengah keheningan, dan setiap kali ada suara kecil, mereka semua terlonjak. “Aku tidak suka dengan suasana di sini,” Budi berkata, menatap ke sekeliling dengan waspada. “Seperti ada sesuatu yang mengawasi kita.” “Tenang, Budi. Kita hanya perlu tetap bersama,” Rani mencoba meyakinkan. “Jangan biarkan ketakutan menguasai kita.” Tiba-tiba, suara berderak terdengar dari arah belakang. Semua berbalik dengan cepat, tetapi hanya menemukan kegelapan yang pekat. “Apa itu?” Mira berbisik, suaranya bergetar. “Mungkin hanya suara dari bangunan ini,” Andi menjawab, berusaha tenang. “Tetapi kita harus berhati-hati.” Rani melangkah lebih maju, memimpin kelompoknya. “Ayo kita teruskan. Kita tidak boleh mundur sekarang.” Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan perabotan tua dan debu tebal. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu besar dengan buku-buku kuno berserakan di atasnya. “Apa ini?” Budi bertanya, mendekati meja. “Kita mungkin bisa menemukan sesuatu yang berguna di sini.” Rani dan Mira ikut mendekat, memeriksa buku-buku yang ada. Rani membuka salah satu buku dan membaca dengan suara pelan. “Ini tentang ritual kuno. Ternyata ada banyak legenda mengenai tempat ini.” “Ritual apa?” Andi bertanya, penasaran. “Ritual untuk memanggil arwah dan mengikat mereka ke dunia ini,” jawab Rani, suaranya semakin rendah. “Sepertinya banyak orang yang datang ke sini untuk mencari kekuatan, tetapi justru terjebak di dalamnya.” “Apa kita harus melakukan ritual itu?” Mira bertanya dengan gugup. “Kita sudah cukup berurusan dengan yang aneh.” “Tidak, kita tidak bisa memperburuk keadaan,” Budi menegaskan. “Kita harus menemukan cara untuk melindungi diri kita.” Namun, saat mereka berdiskusi, suara berisik terdengar dari sudut ruangan. Semua langsung menoleh ke arah suara itu. “Siapa di sana?” Rani berteriak, ketakutan. Sosok kecil tiba-tiba muncul dari kegelapan, dan mereka terkejut melihat seorang anak kecil, mengenakan gaun putih, berdiri dengan tatapan kosong. “Kalian… kenapa datang ke sini?” tanyanya, suaranya lembut tetapi mengerikan. “Aku… aku tidak tahu,” Rani menjawab, merasa gelisah. “Kami hanya ingin membantu. Siapa kamu?” “Aku Lila,” jawab anak itu, tatapannya menakutkan. “Aku tidak boleh di sini. Mereka akan datang.” “Siapa yang akan datang?” Mira bertanya, ketakutan. “Apa yang terjadi di sini?” “Mereka, yang terperangkap di dalam kegelapan,” Lila menjelaskan. “Mereka tidak suka jika ada orang lain di sini.” “Ini tidak baik,” Andi berbisik. “Kita harus pergi dari sini.” “Tidak! Kalian tidak bisa pergi!” Lila berteriak, suaranya menggema di ruangan. “Mereka sudah datang!” Dalam sekejap, kegelapan menyelimuti ruangan, dan sosok-sosok menyeramkan muncul dari bayang-bayang, memandang mereka dengan mata merah menyala. Rani merasakan napasnya tercekat. “Apa ini? Siapa mereka?” “Mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap,” Lila menjawab dengan suara bergetar. “Kalian harus bersembunyi!” “Tidak ada waktu untuk bersembunyi! Kita harus melawan!” Budi berteriak, berusaha mengumpulkan keberanian. Rani berusaha berpikir cepat. “Lila, bagaimana cara kita melawan mereka?” “Tidak ada yang bisa melawan mereka!” Lila menjawab, suara panik. “Kalian harus pergi! Mereka tidak akan membiarkan kalian hidup!” Dengan penuh ketakutan, Rani dan teman-temannya berlari ke arah pintu keluar, tetapi sosok-sosok itu mulai mengejar mereka. “Ayo cepat! Kita tidak bisa terjebak di sini!” Rani teriak, berlari secepat mungkin. “Ke mana kita harus pergi?” Andi berteriak sambil berlari, wajahnya pucat. “Ke ruangan yang lebih besar! Mungkin kita bisa menemukan cara untuk bertahan!” Rani menjawab, merasakan jantungnya berdebar kencang. Mereka berbelok ke kiri dan masuk ke dalam ruangan yang lebih luas, dengan banyak pintu dan jendela yang pecah. Rani melihat sekeliling dan menemukan beberapa benda aneh yang tergeletak di atas meja. “Kita bisa menggunakan ini!” dia menunjuk. “Gunakan apa?” Mira bertanya, tampak bingung. “Aku tidak tahu, tapi mungkin kita bisa menggunakan sesuatu untuk melindungi diri kita,” jawab Rani, sambil berusaha mencari sesuatu yang berguna. Sosok-sosok menyeramkan itu semakin mendekat, matanya bersinar merah dalam kegelapan. “Tidak ada tempat untuk bersembunyi!” salah satu dari mereka berteriak, suaranya menggema dan menakutkan. “Rani! Cepat!” Budi berteriak, tampak panik. “Apa yang kamu lakukan?” “Aku… aku hanya perlu menemukan sesuatu!” Rani menjawab, kebingungan dan ketakutan melanda. Dia mengangkat sebuah tongkat tua dan merasakannya. “Mungkin ini bisa digunakan!” “Andi, ambil yang itu!” Mira menunjuk ke arah sebuah botol kecil. “Mungkin itu bisa jadi senjata!” Andi segera mengambil botol itu dan melihat ke dalamnya. “Ini tampaknya berisi sesuatu. Tapi aku tidak yakin apa itu.” “Tidak peduli! Kita harus siap!” Rani berteriak, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Kita harus melawan!” Mereka semua bersiap, mengangkat senjata seadanya dan menunggu sosok-sosok itu mendekat. Ketika sosok pertama muncul di depan mereka, Rani mengangkat tongkatnya dan berteriak, “Jangan mendekat!” Sosok itu berhenti sejenak, tatapan tajamnya menatap Rani. “Kau tidak bisa menghentikanku!” dia menggeram, dan Rani merasakan hawa dingin mengelilinginya. “Rani, gunakan botol itu!” Budi berteriak, menambahkan semangat. “Ayo, kita bisa melakukannya!” Rani melemparkan botol itu ke arah sosok itu, dan botol itu pecah, memancarkan cahaya terang. “Ayo, teruskan!” Rani berteriak. Mira berlari maju, mengangkat tongkatnya dan menancapkannya ke tanah. “Kami tidak akan membiarkanmu menghancurkan kami!” dia berseru. Cahaya dari botol itu memancarkan energi yang kuat, mengusir sosok-sosok itu sejenak. “Kami tidak akan membiarkanmu menguasai kami!” Andi menambahkan, merasa terinspirasi. Namun, sosok-sosok itu kembali pulih, semakin marah. “Kalian tidak tahu siapa kami!” mereka berteriak bersamaan, dan kegelapan mulai kembali menyelimuti ruangan. “Tidak! Kita harus bertahan!” Rani berteriak, mengangkat tongkatnya lebih tinggi. “Kami tidak akan menyerah!” Dengan tekad yang kuat, mereka semua mengarahkan perhatian mereka pada cahaya yang muncul dari botol dan berusaha menyatu dengan energi itu. “Kita bisa melakukannya! Bersatu!” Rani berteriak. Cahaya dari tong kat dan botol itu mulai menyatu, menciptakan kekuatan yang lebih besar. Kegelapan bergetar, seolah mencoba melawan, tetapi mereka semua terus berjuang. “Ayo! Teruskan!” Budi berteriak, memberikan semangat kepada teman-temannya. Saat cahaya semakin kuat, sosok-sosok itu mulai bergetar dan terdengar jeritan yang mengerikan. “Tidak! Tidak! Kami tidak akan pergi!” “Bersatu! Kita bisa melakukannya!” Rani berseru, tidak ingin menyerah. Kekuatan mereka semakin kuat, dan cahaya itu mulai membakar kegelapan di sekitar mereka. Dengan teriakan yang mengerikan, sosok-sosok itu mulai mundur. “Tidak! Kami tidak akan membiarkan kalian pergi!” “Ini adalah akhir bagi kalian!” Rani menambahkan, semakin yakin dengan kekuatannya. Cahaya yang memancar semakin terang, dan kegelapan itu akhirnya mulai hilang, terdesak oleh energi positif yang dihasilkan oleh persatuan mereka. Kegelapan itu memudar, dan sosok-sosok menyeramkan itu akhirnya menghilang ke dalam kegelapan. Rani dan teman-temannya terengah-engah, saling memandang dengan kelegaan dan rasa syukur. “Kita berhasil…” Mira berkata, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Tapi kita harus tetap waspada,” Andi menambahkan, suaranya penuh ketegangan. “Ini belum berakhir.” Rani mengangguk, menyadari bahwa meski mereka telah mengalahkan sosok-sosok itu, kegelapan masih mengintai di sekitar mereka. “Kita harus menemukan cara untuk menghentikan semua ini. Kita tidak bisa membiarkan teror ini terus berlanjut.” “Benar,” Budi menjawab, wajahnya penuh semangat. “Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang tempat ini dan cara mengakhiri semua ini.” Dengan tekad yang bulat, mereka bersiap untuk melanjutkan pencarian mereka, berusaha menemukan jawaban atas kegelapan yang mengancam mereka, dan berjanji tidak akan menyerah sampai mereka benar-benar aman.Rani dan teman-temannya terengah-engah, masih terpengaruh oleh pertempuran mereka melawan kegelapan yang menakutkan. Mereka berdiri di tengah ruangan, mengatur napas sebelum melanjutkan pencarian mereka. Rani memeriksa tongkat yang sebelumnya ia gunakan, berharap benda itu masih memiliki kekuatan.“Sekarang kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini,” Rani berkata, suaranya penuh tekad. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan keberanian semata.”“Setuju. Kita perlu mendapatkan lebih banyak informasi,” Andi menjawab, menatap ke arah tumpukan buku yang masih tergeletak di atas meja. “Mungkin ada sesuatu di buku-buku itu yang bisa membantu kita.”Mira melangkah lebih dekat ke meja dan mulai membuka buku-buku satu per satu. “Ini semua tampaknya tentang ritual kuno,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi sulit untuk memahami semuanya.”“Coba kita fokus pada bagian yang menyebutkan tentang sosok-sosok yang kita lihat tadi,” Budi menyarankan, mengamati halaman-halaman buku.
Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini. "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.” “Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?” Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.” Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing. Saat mereka melangkah keluar, koridor yang
Mereka berhasil keluar dari ruang bawah tanah, namun rasa lega itu tidak berlangsung lama. Rumah itu, dengan segala kegelapannya, seakan memiliki keinginan sendiri untuk menahan mereka.Andi membuka ponsel dan melihat waktu, lalu mengerutkan dahi. “Hei, ini… waktu di ponselku berhenti.”Mira mengerutkan kening. “Berhenti? Maksudmu mati?”Andi menggeleng, menunjukkan layarnya yang masih menyala. “Bukan mati, tapi jamnya nggak bergerak. Tadi aku ingat pukul 11:45, tapi ini masih di waktu yang sama.”Rani mendesah. “Rumah ini benar-benar aneh. Waktu di sini mungkin memang tidak berjalan seperti biasanya.”Tiba-tiba, terdengar suara berbisik dari lorong depan, suara yang samar, tapi jelas bukan suara mereka. Semua langsung menghentikan langkah dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berbicara dalam nada penuh penderitaan, namun kata-katanya tak bisa mereka pahami.Mira menelan ludah. “Apa… kalian dengar itu?”Budi mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Jangan-jan
Saat sosok perempuan itu berbalik dan tersenyum, suasana yang tadinya penuh ketegangan seakan berubah menjadi lebih aneh dan misterius. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Itu adalah senyuman penuh penderitaan, senyuman yang seolah berasal dari dunia lain. Mata sosok itu kosong, seperti melihat ke dalam jiwa mereka, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak manusiawi.Rani merasa ada yang salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus mengikuti sosok itu. Langkah mereka semakin lambat, tetapi tetap memaksa mereka bergerak maju, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka.Andi berbisik pelan, matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. “Kita harus berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dia.”Mira menggenggam tangan Rani, mencoba mencari kenyamanan di tengah ketegangan yang mencekam. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apa yang kita harapkan dengan mengikuti sosok ini?”“Entahlah,” jawab Rani dengan suara serak. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Hening. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya keheningan yang menyeramkan seolah-olah dunia ini telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Di tengah kegelapan, Rani, Mira, dan Andi berdiri membeku, napas mereka terengah-engah, dada mereka terasa berat. Keputusasaan yang tak terjelaskan mulai menggerogoti hati mereka.“Dimana kita?” Mira berbisik, matanya berputar ke segala arah, mencoba menangkap secercah cahaya atau apapun yang bisa memberi mereka harapan. Tapi yang dia lihat hanya kekosongan.“Kita… terperangkap,” suara Andi parau, hampir tak terdengar. “Entah di mana, tapi aku merasa ini bukan tempat biasa.”Rani meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. “Tidak mungkin… kita harus bisa keluar dari sini,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada yang lain. Tapi dalam hatinya, ia tahu mereka berada di luar batas dunia manusia.Langkah kaki terdengar di kejauhan, suara itu menggema, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekat
Malam mulai merambat sunyi ketika Rani, Andi, dan Mira berjalan tertatih di jalan setapak yang gelap, tubuh mereka masih terasa gemetar setelah berhasil melarikan diri dari bangunan angker itu. Udara malam dingin mengiris kulit mereka, tapi ketiganya sama sekali tak merasakan kenyamanan atau ketenangan. Bayangan menakutkan dan ketegangan masih mengisi pikiran mereka, seolah sesuatu tak kasat mata terus mengintai dari balik kegelapan. “Gila… kita bener-bener hampir mati di dalam sana,” bisik Mira, suaranya bergetar. “Aku nggak mau ke tempat itu lagi, Rani. Sama sekali nggak.” Rani memandang Mira, menatap sahabatnya yang masih terisak ketakutan. Dia menggenggam tangan Mira, mencoba menenangkannya meski dalam dirinya sendiri masih diselimuti rasa takut. “Aku juga nggak, Mir… Tapi kita harus tenang sekarang. Yang penting, kita berhasil keluar,” kata Rani dengan suara lirih. Namun, Andi tampak cemas. “Kalian nggak ngerasa aneh, ya? Seolah-olah… kita masih diikuti.” Keduanya terdiam me
Keesokan harinya, Rani, Mira, dan Andi kembali ke rumah masing-masing, tetapi rasa gelisah terus membayangi mereka. Seperti yang dijanjikan, Rani mulai mencari tahu tentang dukun atau orang pintar yang bisa membantu mereka. Namun, setiap malam sejak pertemuan terakhir dengan makhluk itu, mereka diganggu oleh mimpi buruk yang sama.Rani membuka mata dengan tubuh penuh keringat di malam hari, rasa sesak masih mencekam dadanya. "Ya Tuhan… kapan semua ini akan berakhir?" gumamnya sambil mengatur napas.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di jendela kamarnya. Ketukan itu terdengar tidak biasa—lambat, namun penuh tekanan. Dengan perasaan ragu, Rani berjalan mendekati jendela, berharap itu hanya angin atau suara biasa.Namun, ketika dia mengintip melalui celah jendela, dia melihat wajah yang pucat dengan mata yang tampak seperti lubang kosong menatap langsung ke arahnya dari balik kaca. Wajah itu terlihat seperti wajah seseorang yang telah lama mati, kulitnya pucat
Setelah ritual di rumah Dukun Ratna, Rani, Andi, dan Mira merasa sedikit lega. Namun, rasa takut yang dalam tidak sepenuhnya hilang. Bayangan yang pernah mereka lihat, bisikan yang terdengar, dan tatapan tajam makhluk itu masih menghantui pikiran mereka. Mereka berharap mimpi buruk ini telah berakhir, namun ternyata mereka salah besar.Malam itu, Rani duduk di ruang tamunya, menatap jendela yang gelap. Angin bertiup kencang di luar, membawa suara-suara aneh dari pepohonan yang bergoyang. Waktu menunjukkan pukul dua pagi, tapi Rani tidak bisa tidur. Hatinya masih gelisah, dan matanya seolah tidak mau terpejam. Hawa dingin menyelimuti ruangan, membuatnya semakin tak nyaman.Sementara itu, di rumahnya, Andi merasakan hal yang sama. Suara-suara aneh mulai terdengar dari dinding kamar, seperti ketukan dan bisikan yang samar namun mengerikan. Andi menyalakan lampu kamar dan duduk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar. Dia mulai merasa seolah-olah ada sesuatu yang menatapnya dari bayang-bayang.
Malam itu, setelah peristiwa di perpustakaan, Andi dan Mira memutuskan untuk kembali ke apartemen Andi. Mereka merasa buku yang baru ditemukan itu mungkin adalah kunci untuk mengakhiri teror yang mereka alami. Namun, atmosfer di apartemen terasa semakin berat, seakan-akan mereka telah membawa sesuatu yang lebih gelap dari sebelumnya. “Andi, kita nggak bisa terus-terusan begini,” ujar Mira dengan suara serak. Ia duduk di sofa dengan tubuh gemetar, matanya terus mengawasi pintu depan. “Aku tahu, Mir. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak mencari tahu lebih banyak, mereka nggak akan pernah berhenti.” Andi meletakkan buku tua itu di meja, membukanya perlahan-lahan. Buku itu dipenuhi simbol-simbol dan tulisan yang hampir tidak terbaca. Beberapa halaman bahkan terlihat seperti terbakar di tepinya. Mira menatap halaman itu dengan ngeri. “Kamu yakin ini bakal membantu kita? Gimana kalau malah memperburuk keadaan?” Andi menghela napas. “Aku nggak tahu. Tapi aku rasa, s
Setelah satu bulan berlalu sejak peristiwa menyeramkan yang menimpa mereka, Andi dan Mira akhirnya merasa lega. Kehidupan mereka perlahan kembali normal, meskipun bayangan malam itu masih sesekali menghantui pikiran mereka. Buku hitam yang menjadi pusat dari semua masalah itu telah mereka kubur di tempat yang jauh dari pemukiman. Namun, ada rasa khawatir yang tak pernah benar-benar hilang dari hati mereka.Hari ini, adalah hari pertama semester baru di universitas. Andi duduk di kursi kantin kampus, menyesap kopi sambil membaca catatan kuliahnya. Mira duduk di hadapannya, sibuk menulis sesuatu di buku jurnal kecilnya.“Kamu nggak merasa aneh?” tanya Mira tiba-tiba, memutus keheningan di antara mereka. “Aneh gimana?” balas Andi, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan. “Kayak... semuanya terlalu tenang. Setelah apa yang kita alami, aku merasa seharusnya hidup kita nggak akan pernah normal lagi.” Andi mendesah, meletakkan catatannya di meja. “Mungkin ini pertanda baik. Kita berha
Suara tawa anak kecil yang menggema di sekitar rumah kayu tua itu membuat bulu kuduk Andi dan Mira berdiri. Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, membuat napas mereka mengembun. Andi mencoba berpikir jernih, tetapi pikirannya terus-menerus terpecah oleh suara-suara aneh yang datang dari dinding dan lantai. “Dia masih di sini, Andi,” bisik Mira sambil bergetar, matanya terus memandang ke arah jendela. “Apa pun itu, dia nggak akan biarin kita pergi.”Andi menatap simbol-simbol bercahaya di dinding yang perlahan mulai redup. "Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan. Buku ini..." Ia membuka kembali buku hitam itu dan membalik halamannya dengan cepat, berharap menemukan jawaban.Mira menggenggam lengan Andi, suaranya penuh kepanikan. “Andi, kita nggak punya waktu! Lihat itu!” Dari luar jendela, sosok anak kecil itu berubah. Tubuhnya mulai memanjang, kulitnya merekah, memperlihatkan jaringan berdarah di bawahnya. Matanya menyala putih, sementara giginya yang tajam semakin
Andi dan Mira berjalan dengan langkah berat, menggenggam satu sama lain seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuat mereka tetap hidup. Hutan di sekitar mereka berubah semakin aneh—pohon-pohon seakan bergerak, bayangan gelap melintas di sudut mata mereka, dan suara langkah-langkah berat terdengar mengikuti mereka dari kejauhan.“Andi, apa ini akan pernah berakhir?” suara Mira bergetar. “Aku nggak yakin kita bisa keluar dari sini hidup-hidup.”Andi menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menguasainya. “Kita harus bisa, Mira. Aku nggak akan biarin sesuatu menyakitimu. Kita sudah sejauh ini, dan kita nggak boleh berhenti.”Namun, langkah mereka terhenti tiba-tiba saat sebuah suara mendesing keras memenuhi udara. Suara itu menyerupai jeritan manusia, tetapi terlalu melengking untuk dianggap normal. Dari balik kabut, sesosok makhluk tinggi dengan tubuh kurus dan wajah memanjang muncul perlahan. Matanya menyala merah, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak
Andi dan Mira mengikuti wanita tua itu tanpa banyak bertanya, meskipun hati mereka penuh kebingungan dan ketakutan. Suara langkah kaki mereka menggema di antara keheningan hutan, dan hanya sesekali terdengar suara lonceng kecil yang menggantung di tongkat wanita tersebut.“Andi,” bisik Mira, menatap punggung wanita tua di depan mereka. “Kita yakin mau ikut dia? Gimana kalau dia juga bagian dari semua ini?”Andi menoleh, berbisik pelan. “Kita nggak punya pilihan, Mira. Kalau kita tetap di sini tanpa petunjuk, kita pasti mati.”Mira tidak menjawab, hanya menggenggam lengan Andi lebih erat. Langkah mereka terus maju, melewati akar-akar pohon yang melilit seperti tangan yang ingin menjangkau mereka. Kabut di sekitar mulai menipis, tetapi itu justru membuat suasana semakin mencekam. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabang menyerupai tangan mencakar langit berdiri angkuh di sekitar mereka.Wanita tua itu tiba-tiba berhenti. Ia mengangkat tongkatnya dan menancapkannya ke tanah. “Kita berhenti
Andi dan Mira berjalan perlahan di tengah kabut yang semakin pekat. Hawa dingin menyelimut, dan suara-suara aneh terus terdengar di sekitar mereka. Langkah kaki mereka terasa berat, seolah tanah tempat mereka berpijak menyedot energi mereka. Suara geraman halus mulai terdengar dari kejauhan, membuat mereka berdua saling pandang dengan ketakutan.“Andi... aku nggak bisa. Rasanya... rasanya kakiku berat banget,” ujar Mira, tubuhnya gemetar hebat.Andi berhenti dan menoleh ke Mira. “Aku tahu ini sulit, tapi kita harus terus bergerak. Kalau kita berhenti, mereka akan menemukan kita.”Tiba-tiba terdengar suara tawa pelan, seperti suara anak kecil yang sedang bermain. Suara itu bergema, datang dari berbagai arah. Mira langsung mencengkeram lengan Andi dengan kuat.“Andi... itu suara apa?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.Andi memandangi sekeliling, berusaha mencari asal suara. Namun, kabut terlalu tebal. “Aku nggak tahu, tapi kita nggak boleh berhenti. Ayo, Mira. Berdiri. Kita harus
Angin malam semakin menusuk tulang. Andi dan Mira masih duduk di bawah pohon besar, tubuh mereka gemetar. Kejadian barusan masih membekas di pikiran mereka, seolah bayangan makhluk tanpa wajah dan suara raungannya terus menggema di udara. Pria tua itu berdiri tak jauh dari mereka, diam dengan tatapan dingin yang membuat suasana semakin mencekam.“Aku sudah bilang, kalian harus segera membuat keputusan,” kata pria tua itu pelan, tetapi nadanya penuh tekanan. “Semakin lama kalian menunda, semakin banyak arwah yang datang.”Mira memeluk lututnya, air matanya tak terbendung. “Aku nggak bisa, Andi. Aku nggak sanggup. Aku nggak mau mati di sini...”Andi menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya meskipun rasa takut terus menghantui. “Kita pasti bisa menemukan jalan lain. Aku nggak percaya bahwa pengorbanan itu satu-satunya cara. Pasti ada celah di semua ini.”Pria tua itu mendengus pelan, lalu mengetukkan tongkat kayunya ke tanah. “Kalian masih belum mengerti. Hutan ini adalah
Keheningan melingkupi gubuk kecil itu. Andi dan Mira hanya saling menatap dengan napas yang masih tersengal, mencoba mencerna ucapan pria tua di hadapan mereka. Pria itu tidak banyak bergerak, hanya memandangi keduanya dengan mata tajam yang terasa seperti menembus jiwa mereka. "Menyerahkan sesuatu yang paling berharga? Apa maksud Anda?" suara Mira terdengar lirih, nyaris berbisik. Pria tua itu memejamkan matanya sejenak, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Hutan ini adalah batas antara dunia hidup dan mati. Siapa pun yang masuk tanpa izin harus membayar harga. Dan harga itu tidak murah." Andi bangkit dari duduknya, wajahnya merah penuh amarah. "Kami tidak pernah minta datang ke sini! Kami tersesat! Bagaimana bisa kami disuruh membayar sesuatu yang bahkan tidak kami pahami?!" Pria tua itu tetap tenang. Ia menunjuk Andi dengan tongkat kayunya. "Marah tidak akan mengubah takdirmu, Nak. Kalian sudah melangkah terlalu jauh. Kini pilihan kalian hanya dua: menyerahkan se
Andi dan Mira, masih terengah-engah, bersandar di sebatang pohon besar di tepi danau. Tubuh mereka basah kuyup dan menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga ketakutan yang mencengkram mereka."Apa yang terjadi tadi, Mira? Apa sebenarnya tempat ini?" Andi akhirnya membuka suara, meski suaranya parau dan hampir tak terdengar. Mira menggeleng perlahan, wajahnya pucat. "Aku... aku juga nggak tahu, Andi. Semua ini nggak masuk akal. Kita berenang ke tengah danau, tapi malah muncul makhluk-makhluk itu." "Makhluk? Mereka... mereka seperti mayat hidup." Andi memejamkan matanya sejenak, berusaha menghapus bayangan tangan-tangan dingin yang mencengkeramnya di dalam air. Namun, percakapan mereka terhenti ketika suara tawa pelan mulai terdengar di kejauhan. Tawa itu rendah, teredam, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Andi langsung berdiri, menarik Mira ke sampingnya. "Kau dengar itu, kan?" Mira mengangguk, wajahnya semakin tegang. "Tawa... tawa siapa