Rani memimpin teman-temannya kembali ke ruangan tempat mereka menemukan boneka. Setiap langkah terasa berat, seolah kegelapan menempel pada mereka, meresap ke dalam jiwa. Andi, yang berada di belakang, merasakan ada sesuatu yang mengikuti mereka. “Aku tidak suka dengan suasana di sini. Seperti ada yang memperhatikan kita,” bisiknya.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh, Andi!” Mira membalas, suaranya bergetar. “Kita harus fokus. Kita sudah hampir sampai.” Ketika mereka tiba di ruangan itu, Rani berusaha menenangkan teman-temannya. “Ingat, kita harus tetap bersatu. Kita bisa mengatasi ini.” Budi melihat ke sekeliling, matanya berusaha menangkap setiap detail. “Coba kita cari tahu lebih banyak tentang sosok itu. Mungkin ada petunjuk yang bisa membantu kita,” ujarnya. “Baik. Kita harus melihat kotak kayu yang kita temukan,” Rani menjawab, berusaha mengingat di mana mereka meninggalkannya. “Di sinilah kita menemukan benda-benda aneh itu.” Mereka bergegas menuju tempat di mana kotak kayu itu tergeletak. Rani meraihnya dan membuka tutupnya. Di dalamnya, ada beberapa benda tua—sebuah kalung, sebuah boneka yang tampak rusak, dan sebuah buku kecil. “Apa ini?” Rani bertanya, mengangkat buku itu. “Sepertinya ada tulisan di sini.” “Coba baca!” Mira menyuruh, mendekat untuk melihat lebih jelas. “Mungkin ada informasi yang bisa membantu kita.” Rani membuka halaman buku yang berdebu dan mulai membaca dengan suara pelan. “Kisah seorang gadis yang terperangkap dalam kegelapan… Dia terikat oleh kesedihan dan kehilangan, tidak bisa menemukan jalan pulang.” Rani membaca sambil merasakan hawa dingin menyelimuti mereka. “Dia... dia perlu mengorbankan sesuatu yang paling dia cintai untuk mendapatkan kebebasan.” “Berarti kita harus menemukan apa yang dia cintai!” Budi berkata, nada suaranya tegang. “Tapi apa itu? Kita tidak tahu apa-apa tentang dia.” “Bisa jadi boneka ini,” Rani menunjuk boneka yang rusak itu. “Dia tampak sangat penting. Mungkin dia pernah milik gadis itu.” “Coba kita periksa lebih lanjut,” Andi berkata, mengambil boneka itu dan memeriksa setiap detailnya. “Ada sesuatu yang aneh dengan boneka ini. Seperti ada energi yang terhubung.” Mira merasakan ketegangan. “Tapi bagaimana kita bisa menggunakan ini untuk melawan sosok itu? Dia jelas lebih kuat daripada kita.” Rani berusaha untuk tetap optimis. “Mungkin kita bisa memanggil gadis itu. Jika dia bisa mendengar kita, mungkin dia bisa membantu kita keluar dari sini.” “Bagaimana cara memanggilnya?” tanya Budi skeptis. “Kita tidak tahu apa-apa tentang dia.” “Cobalah, Rani!” Mira menambahkan. “Kita tidak punya pilihan lain. Kita sudah terjebak di sini.” Rani mengangguk, mengambil napas dalam-dalam dan memegang boneka itu erat-erat. “Hai, jika ada siapa pun di sini, kami memanggilmu! Kami ingin membantu! Kami ingin tahu bagaimana caramu keluar dari tempat ini!” Setelah beberapa detik, tidak ada jawaban. Rani merasa cemas. “Apa yang harus kita lakukan?” “Tunggu!” Andi berteriak, menatap boneka itu. “Apakah kalian merasakan itu? Sepertinya ada getaran dari boneka!” Rani memperhatikan boneka yang sepertinya bergetar di tangannya. “Apa ini? Apa kamu di sini?” Tiba-tiba, cahaya dari boneka memancar, dan sosok samar muncul di depan mereka—gadis muda dengan pakaian putih yang kumuh. Wajahnya penuh kesedihan, dan matanya terlihat kosong. “Kau memanggilku?” tanyanya, suaranya lembut tetapi terdengar mengerikan di telinga mereka. “Kami… kami tidak bermaksud mengganggu,” Rani berkata, terpesona oleh kehadiran sosok itu. “Kami ingin membantu kamu keluar dari sini!” Gadis itu menatap mereka, tampak bingung. “Bantu? Kenapa? Kalian tidak bisa menyelamatkan diriku. Aku terikat di sini karena kesalahanku sendiri.” “Kami tidak akan meninggalkanmu!” Mira berkata dengan penuh semangat. “Kami semua terjebak di sini, dan kami perlu menemukan cara keluar!” Gadis itu terdiam sejenak, kemudian tersenyum samar. “Kalian benar. Jika kalian membantu aku, mungkin kalian juga bisa menemukan jalan keluar. Tapi ada risiko.” “Apa risikonya?” tanya Budi, merasa ragu. “Dia tidak akan membiarkan kalian pergi dengan mudah,” jawab gadis itu. “Sosok itu akan melakukan apa pun untuk menjaga ku tetap terkurung di sini.” “Anda tidak perlu khawatir,” Rani meyakinkan. “Kami akan melawan apa pun yang datang. Kami tidak takut!” Sosok itu mengangguk, tapi terlihat ragu. “Kau harus siap. Jika kalian ingin melawan kegelapan ini, kalian harus menemukan kekuatan di dalam diri kalian.” “Apakah ada cara untuk membebaskanmu?” Andi bertanya. “Apa yang harus kita lakukan?” “Bawa aku kembali ke tempat di mana aku terikat,” jawab gadis itu. “Di sana, aku bisa membantu kalian memahami kekuatan yang dimiliki tempat ini.” Mereka mengangguk, saling berpegangan tangan untuk memberi dukungan satu sama lain. “Kami akan membawamu ke sana,” Rani berkata, suaranya penuh tekad. “Ayo, kita tidak punya banyak waktu!” Mereka bergegas menuju tempat di mana mereka pertama kali bertemu dengan sosok misterius. Namun, saat mereka melangkah ke lorong, suara langkah kaki bergetar di belakang mereka. “Itu dia!” Mira berteriak, panik. “Kita harus cepat!” Sosok itu muncul kembali, kali ini tampak lebih marah dan mengerikan. “Kau pikir bisa mengalahkanku? Kalian tidak akan pernah pergi!” “Rani! Ayo, cepat!” Budi berteriak, menarik Rani untuk berlari lebih cepat. Gadis itu berlari di samping mereka, membimbing mereka ke arah yang tepat. “Jangan takut! Dia hanya mencoba menakut-nakuti kalian!” Mereka mencapai tempat di mana sosok itu pertama kali muncul. Rani merasa jantungnya berdegup kencang. “Di sini! Apa yang harus kita lakukan?” Gadis itu mengangkat tangan, mengeluarkan energi dari dalam dirinya. “Kalian harus bersatu. Kami perlu mengeluarkan kekuatan dari dalam diri kalian. Panggil namaku dan ucapkan keinginan kalian untuk melawan!” Rani menggenggam tangan teman-temannya, lalu berteriak, “Kami memanggilmu! Kami ingin melawan kegelapan ini! Bantu kami!” Saat mereka mengucapkan kata-kata itu, cahaya mulai bersinar dari masing-masing tangan mereka, memancarkan energi yang kuat. Sosok misterius tampak semakin marah. “Tidak! Ini tidak mungkin!” Cahaya itu semakin membesar, dan gadis itu berteriak, “Sekarang, fokuskan kekuatan kalian dan tunjukkan pada dia bahwa kalian tidak akan menyerah!” “Berhenti!” Rani berteriak. “Kami tidak akan membiarkanmu menguasai kami!” Cahaya semakin kuat, membentuk sebuah lingkaran di sekitar mereka. Sosok itu mencoba merangsek maju, tetapi terhalang oleh cahaya yang memancar. “Kau tidak bisa melakukannya! Kalian tidak tahu betapa kuatnya aku!” “Jangan biarkan dia mempengaruhi kita!” Mira berteriak. “Kita bisa mengalahkannya!” Dengan penuh semangat, mereka terus memusatkan energi, dan cahaya itu mulai membentuk sosok gadis yang mereka panggil. Gadis itu tampak semakin kuat, wajahnya bersemangat dan penuh harapan. “Bersama kita bisa mengalahkan kegelapan ini!” dia teriak, bergabung dengan cahaya yang dipancarkan Rani dan teman-temannya. Sosok itu semakin marah, menggeram dengan suara yang mengguncang dinding. “Kalian tidak akan pernah bisa melawanku! Aku adalah kegelapan!” “Tapi kita adalah harapan!” Rani berteriak, dan semua bergandeng tangan, menciptakan kekuatan yang semakin kuat. “Sekarang!” gadis itu berteriak. “Kirimkan kegelapan kembali ke tempatnya!” Mereka semua mengangkat tangan, memusatkan energi mereka. “Kegelapan, pergi dari sini! Kami tidak akan membiarkanmu mengendalikan kami!” Cahaya membesar dan melesat ke arah sosok itu, membuatnya terhuyung mundur. Suara jeritan terdengar, dan sosok itu merintih saat cahaya menyelimuti dirinya, menariknya ke dalam kegelapan. “Tidak! Ini tidak mungkin!” Dalam sekejap, sosok itu lenyap dalam cahaya, dan keheningan menyelimuti ruangan. Rani dan teman-temannya terengah-engah, menatap satu sama lain dengan rasa lega dan kemenangan. “Kita berhasil!” Mira berseru, dan mereka semua saling berpelukan. Namun, saat mereka merayakan kemenangan itu, Rani merasakan ada sesuatu yang masih mengganjal. “Tapi, gadis itu… Apakah dia selamat?” “Dia harusnya baik-baik saja,” Andi menjawab, namun wajahnya tampak cemas. “Kita harus menemukan cara untuk membawanya pulang.” “Benar,” Rani setuju. “Kita tidak bisa meninggalkannya di sini.” Saat mereka berpaling ke arah tempat di mana gadis itu sebelumnya berdiri, mereka melihat cahaya samar berkilau, seolah memberi harapan baru. “Dia masih ada di sini,” Budi berkata, menunjuk ke arah cahaya itu. “Dia pasti akan selalu bersama kita.” Dengan rasa harapan yang baru, mereka melangkah maju, bersatu untuk mencari jalan keluar dari kegelapan yang mengintai, menyadari bahwa perjalanan mereka belum sepenuhnya berakhir.Setelah berhasil mengusir sosok kegelapan, Rani dan teman-temannya merasa sedikit lebih tenang, tetapi ketegangan masih terasa di udara. Mereka berdiri di tengah ruangan yang kini sunyi, mengingat kembali sosok gadis yang telah membantu mereka. Rani menggenggam boneka yang rusak dengan erat, berpikir tentang bagaimana cara membantu gadis itu lebih lanjut.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanya Mira, menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang gelap. “Kita sudah mengalahkan sosok itu, tapi rasanya belum aman.”“Ya, kita perlu mencari tahu lebih lanjut tentang tempat ini,” Rani menjawab, suaranya penuh tekad. “Mungkin ada petunjuk lain yang bisa membantu kita memahami apa yang terjadi di sini.”“Setuju. Kita tidak bisa tinggal diam,” Budi menambahkan, terlihat gelisah. “Kita tidak tahu kapan kegelapan itu akan kembali.”Andi mengangguk, tetapi wajahnya masih tampak cemas. “Tapi kita harus hati-hati. Kita sudah melihat betapa berbahayanya tempat ini.”“Berhenti berpikir yang aneh-a
Rani dan teman-temannya terengah-engah, masih terpengaruh oleh pertempuran mereka melawan kegelapan yang menakutkan. Mereka berdiri di tengah ruangan, mengatur napas sebelum melanjutkan pencarian mereka. Rani memeriksa tongkat yang sebelumnya ia gunakan, berharap benda itu masih memiliki kekuatan.“Sekarang kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini,” Rani berkata, suaranya penuh tekad. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan keberanian semata.”“Setuju. Kita perlu mendapatkan lebih banyak informasi,” Andi menjawab, menatap ke arah tumpukan buku yang masih tergeletak di atas meja. “Mungkin ada sesuatu di buku-buku itu yang bisa membantu kita.”Mira melangkah lebih dekat ke meja dan mulai membuka buku-buku satu per satu. “Ini semua tampaknya tentang ritual kuno,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi sulit untuk memahami semuanya.”“Coba kita fokus pada bagian yang menyebutkan tentang sosok-sosok yang kita lihat tadi,” Budi menyarankan, mengamati halaman-halaman buku.
Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini. "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.” “Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?” Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.” Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing. Saat mereka melangkah keluar, koridor yang
Mereka berhasil keluar dari ruang bawah tanah, namun rasa lega itu tidak berlangsung lama. Rumah itu, dengan segala kegelapannya, seakan memiliki keinginan sendiri untuk menahan mereka.Andi membuka ponsel dan melihat waktu, lalu mengerutkan dahi. “Hei, ini… waktu di ponselku berhenti.”Mira mengerutkan kening. “Berhenti? Maksudmu mati?”Andi menggeleng, menunjukkan layarnya yang masih menyala. “Bukan mati, tapi jamnya nggak bergerak. Tadi aku ingat pukul 11:45, tapi ini masih di waktu yang sama.”Rani mendesah. “Rumah ini benar-benar aneh. Waktu di sini mungkin memang tidak berjalan seperti biasanya.”Tiba-tiba, terdengar suara berbisik dari lorong depan, suara yang samar, tapi jelas bukan suara mereka. Semua langsung menghentikan langkah dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berbicara dalam nada penuh penderitaan, namun kata-katanya tak bisa mereka pahami.Mira menelan ludah. “Apa… kalian dengar itu?”Budi mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Jangan-jan
Saat sosok perempuan itu berbalik dan tersenyum, suasana yang tadinya penuh ketegangan seakan berubah menjadi lebih aneh dan misterius. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Itu adalah senyuman penuh penderitaan, senyuman yang seolah berasal dari dunia lain. Mata sosok itu kosong, seperti melihat ke dalam jiwa mereka, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak manusiawi.Rani merasa ada yang salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus mengikuti sosok itu. Langkah mereka semakin lambat, tetapi tetap memaksa mereka bergerak maju, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka.Andi berbisik pelan, matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. “Kita harus berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dia.”Mira menggenggam tangan Rani, mencoba mencari kenyamanan di tengah ketegangan yang mencekam. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apa yang kita harapkan dengan mengikuti sosok ini?”“Entahlah,” jawab Rani dengan suara serak. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Hening. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya keheningan yang menyeramkan seolah-olah dunia ini telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Di tengah kegelapan, Rani, Mira, dan Andi berdiri membeku, napas mereka terengah-engah, dada mereka terasa berat. Keputusasaan yang tak terjelaskan mulai menggerogoti hati mereka.“Dimana kita?” Mira berbisik, matanya berputar ke segala arah, mencoba menangkap secercah cahaya atau apapun yang bisa memberi mereka harapan. Tapi yang dia lihat hanya kekosongan.“Kita… terperangkap,” suara Andi parau, hampir tak terdengar. “Entah di mana, tapi aku merasa ini bukan tempat biasa.”Rani meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. “Tidak mungkin… kita harus bisa keluar dari sini,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada yang lain. Tapi dalam hatinya, ia tahu mereka berada di luar batas dunia manusia.Langkah kaki terdengar di kejauhan, suara itu menggema, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekat
Malam mulai merambat sunyi ketika Rani, Andi, dan Mira berjalan tertatih di jalan setapak yang gelap, tubuh mereka masih terasa gemetar setelah berhasil melarikan diri dari bangunan angker itu. Udara malam dingin mengiris kulit mereka, tapi ketiganya sama sekali tak merasakan kenyamanan atau ketenangan. Bayangan menakutkan dan ketegangan masih mengisi pikiran mereka, seolah sesuatu tak kasat mata terus mengintai dari balik kegelapan. “Gila… kita bener-bener hampir mati di dalam sana,” bisik Mira, suaranya bergetar. “Aku nggak mau ke tempat itu lagi, Rani. Sama sekali nggak.” Rani memandang Mira, menatap sahabatnya yang masih terisak ketakutan. Dia menggenggam tangan Mira, mencoba menenangkannya meski dalam dirinya sendiri masih diselimuti rasa takut. “Aku juga nggak, Mir… Tapi kita harus tenang sekarang. Yang penting, kita berhasil keluar,” kata Rani dengan suara lirih. Namun, Andi tampak cemas. “Kalian nggak ngerasa aneh, ya? Seolah-olah… kita masih diikuti.” Keduanya terdiam me
Keesokan harinya, Rani, Mira, dan Andi kembali ke rumah masing-masing, tetapi rasa gelisah terus membayangi mereka. Seperti yang dijanjikan, Rani mulai mencari tahu tentang dukun atau orang pintar yang bisa membantu mereka. Namun, setiap malam sejak pertemuan terakhir dengan makhluk itu, mereka diganggu oleh mimpi buruk yang sama.Rani membuka mata dengan tubuh penuh keringat di malam hari, rasa sesak masih mencekam dadanya. "Ya Tuhan… kapan semua ini akan berakhir?" gumamnya sambil mengatur napas.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di jendela kamarnya. Ketukan itu terdengar tidak biasa—lambat, namun penuh tekanan. Dengan perasaan ragu, Rani berjalan mendekati jendela, berharap itu hanya angin atau suara biasa.Namun, ketika dia mengintip melalui celah jendela, dia melihat wajah yang pucat dengan mata yang tampak seperti lubang kosong menatap langsung ke arahnya dari balik kaca. Wajah itu terlihat seperti wajah seseorang yang telah lama mati, kulitnya pucat
Malam itu, setelah peristiwa di perpustakaan, Andi dan Mira memutuskan untuk kembali ke apartemen Andi. Mereka merasa buku yang baru ditemukan itu mungkin adalah kunci untuk mengakhiri teror yang mereka alami. Namun, atmosfer di apartemen terasa semakin berat, seakan-akan mereka telah membawa sesuatu yang lebih gelap dari sebelumnya. “Andi, kita nggak bisa terus-terusan begini,” ujar Mira dengan suara serak. Ia duduk di sofa dengan tubuh gemetar, matanya terus mengawasi pintu depan. “Aku tahu, Mir. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak mencari tahu lebih banyak, mereka nggak akan pernah berhenti.” Andi meletakkan buku tua itu di meja, membukanya perlahan-lahan. Buku itu dipenuhi simbol-simbol dan tulisan yang hampir tidak terbaca. Beberapa halaman bahkan terlihat seperti terbakar di tepinya. Mira menatap halaman itu dengan ngeri. “Kamu yakin ini bakal membantu kita? Gimana kalau malah memperburuk keadaan?” Andi menghela napas. “Aku nggak tahu. Tapi aku rasa, s
Setelah satu bulan berlalu sejak peristiwa menyeramkan yang menimpa mereka, Andi dan Mira akhirnya merasa lega. Kehidupan mereka perlahan kembali normal, meskipun bayangan malam itu masih sesekali menghantui pikiran mereka. Buku hitam yang menjadi pusat dari semua masalah itu telah mereka kubur di tempat yang jauh dari pemukiman. Namun, ada rasa khawatir yang tak pernah benar-benar hilang dari hati mereka.Hari ini, adalah hari pertama semester baru di universitas. Andi duduk di kursi kantin kampus, menyesap kopi sambil membaca catatan kuliahnya. Mira duduk di hadapannya, sibuk menulis sesuatu di buku jurnal kecilnya.“Kamu nggak merasa aneh?” tanya Mira tiba-tiba, memutus keheningan di antara mereka. “Aneh gimana?” balas Andi, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan. “Kayak... semuanya terlalu tenang. Setelah apa yang kita alami, aku merasa seharusnya hidup kita nggak akan pernah normal lagi.” Andi mendesah, meletakkan catatannya di meja. “Mungkin ini pertanda baik. Kita berha
Suara tawa anak kecil yang menggema di sekitar rumah kayu tua itu membuat bulu kuduk Andi dan Mira berdiri. Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, membuat napas mereka mengembun. Andi mencoba berpikir jernih, tetapi pikirannya terus-menerus terpecah oleh suara-suara aneh yang datang dari dinding dan lantai. “Dia masih di sini, Andi,” bisik Mira sambil bergetar, matanya terus memandang ke arah jendela. “Apa pun itu, dia nggak akan biarin kita pergi.”Andi menatap simbol-simbol bercahaya di dinding yang perlahan mulai redup. "Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan. Buku ini..." Ia membuka kembali buku hitam itu dan membalik halamannya dengan cepat, berharap menemukan jawaban.Mira menggenggam lengan Andi, suaranya penuh kepanikan. “Andi, kita nggak punya waktu! Lihat itu!” Dari luar jendela, sosok anak kecil itu berubah. Tubuhnya mulai memanjang, kulitnya merekah, memperlihatkan jaringan berdarah di bawahnya. Matanya menyala putih, sementara giginya yang tajam semakin
Andi dan Mira berjalan dengan langkah berat, menggenggam satu sama lain seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuat mereka tetap hidup. Hutan di sekitar mereka berubah semakin aneh—pohon-pohon seakan bergerak, bayangan gelap melintas di sudut mata mereka, dan suara langkah-langkah berat terdengar mengikuti mereka dari kejauhan.“Andi, apa ini akan pernah berakhir?” suara Mira bergetar. “Aku nggak yakin kita bisa keluar dari sini hidup-hidup.”Andi menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menguasainya. “Kita harus bisa, Mira. Aku nggak akan biarin sesuatu menyakitimu. Kita sudah sejauh ini, dan kita nggak boleh berhenti.”Namun, langkah mereka terhenti tiba-tiba saat sebuah suara mendesing keras memenuhi udara. Suara itu menyerupai jeritan manusia, tetapi terlalu melengking untuk dianggap normal. Dari balik kabut, sesosok makhluk tinggi dengan tubuh kurus dan wajah memanjang muncul perlahan. Matanya menyala merah, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak
Andi dan Mira mengikuti wanita tua itu tanpa banyak bertanya, meskipun hati mereka penuh kebingungan dan ketakutan. Suara langkah kaki mereka menggema di antara keheningan hutan, dan hanya sesekali terdengar suara lonceng kecil yang menggantung di tongkat wanita tersebut.“Andi,” bisik Mira, menatap punggung wanita tua di depan mereka. “Kita yakin mau ikut dia? Gimana kalau dia juga bagian dari semua ini?”Andi menoleh, berbisik pelan. “Kita nggak punya pilihan, Mira. Kalau kita tetap di sini tanpa petunjuk, kita pasti mati.”Mira tidak menjawab, hanya menggenggam lengan Andi lebih erat. Langkah mereka terus maju, melewati akar-akar pohon yang melilit seperti tangan yang ingin menjangkau mereka. Kabut di sekitar mulai menipis, tetapi itu justru membuat suasana semakin mencekam. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabang menyerupai tangan mencakar langit berdiri angkuh di sekitar mereka.Wanita tua itu tiba-tiba berhenti. Ia mengangkat tongkatnya dan menancapkannya ke tanah. “Kita berhenti
Andi dan Mira berjalan perlahan di tengah kabut yang semakin pekat. Hawa dingin menyelimut, dan suara-suara aneh terus terdengar di sekitar mereka. Langkah kaki mereka terasa berat, seolah tanah tempat mereka berpijak menyedot energi mereka. Suara geraman halus mulai terdengar dari kejauhan, membuat mereka berdua saling pandang dengan ketakutan.“Andi... aku nggak bisa. Rasanya... rasanya kakiku berat banget,” ujar Mira, tubuhnya gemetar hebat.Andi berhenti dan menoleh ke Mira. “Aku tahu ini sulit, tapi kita harus terus bergerak. Kalau kita berhenti, mereka akan menemukan kita.”Tiba-tiba terdengar suara tawa pelan, seperti suara anak kecil yang sedang bermain. Suara itu bergema, datang dari berbagai arah. Mira langsung mencengkeram lengan Andi dengan kuat.“Andi... itu suara apa?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.Andi memandangi sekeliling, berusaha mencari asal suara. Namun, kabut terlalu tebal. “Aku nggak tahu, tapi kita nggak boleh berhenti. Ayo, Mira. Berdiri. Kita harus
Angin malam semakin menusuk tulang. Andi dan Mira masih duduk di bawah pohon besar, tubuh mereka gemetar. Kejadian barusan masih membekas di pikiran mereka, seolah bayangan makhluk tanpa wajah dan suara raungannya terus menggema di udara. Pria tua itu berdiri tak jauh dari mereka, diam dengan tatapan dingin yang membuat suasana semakin mencekam.“Aku sudah bilang, kalian harus segera membuat keputusan,” kata pria tua itu pelan, tetapi nadanya penuh tekanan. “Semakin lama kalian menunda, semakin banyak arwah yang datang.”Mira memeluk lututnya, air matanya tak terbendung. “Aku nggak bisa, Andi. Aku nggak sanggup. Aku nggak mau mati di sini...”Andi menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya meskipun rasa takut terus menghantui. “Kita pasti bisa menemukan jalan lain. Aku nggak percaya bahwa pengorbanan itu satu-satunya cara. Pasti ada celah di semua ini.”Pria tua itu mendengus pelan, lalu mengetukkan tongkat kayunya ke tanah. “Kalian masih belum mengerti. Hutan ini adalah
Keheningan melingkupi gubuk kecil itu. Andi dan Mira hanya saling menatap dengan napas yang masih tersengal, mencoba mencerna ucapan pria tua di hadapan mereka. Pria itu tidak banyak bergerak, hanya memandangi keduanya dengan mata tajam yang terasa seperti menembus jiwa mereka. "Menyerahkan sesuatu yang paling berharga? Apa maksud Anda?" suara Mira terdengar lirih, nyaris berbisik. Pria tua itu memejamkan matanya sejenak, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Hutan ini adalah batas antara dunia hidup dan mati. Siapa pun yang masuk tanpa izin harus membayar harga. Dan harga itu tidak murah." Andi bangkit dari duduknya, wajahnya merah penuh amarah. "Kami tidak pernah minta datang ke sini! Kami tersesat! Bagaimana bisa kami disuruh membayar sesuatu yang bahkan tidak kami pahami?!" Pria tua itu tetap tenang. Ia menunjuk Andi dengan tongkat kayunya. "Marah tidak akan mengubah takdirmu, Nak. Kalian sudah melangkah terlalu jauh. Kini pilihan kalian hanya dua: menyerahkan se
Andi dan Mira, masih terengah-engah, bersandar di sebatang pohon besar di tepi danau. Tubuh mereka basah kuyup dan menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga ketakutan yang mencengkram mereka."Apa yang terjadi tadi, Mira? Apa sebenarnya tempat ini?" Andi akhirnya membuka suara, meski suaranya parau dan hampir tak terdengar. Mira menggeleng perlahan, wajahnya pucat. "Aku... aku juga nggak tahu, Andi. Semua ini nggak masuk akal. Kita berenang ke tengah danau, tapi malah muncul makhluk-makhluk itu." "Makhluk? Mereka... mereka seperti mayat hidup." Andi memejamkan matanya sejenak, berusaha menghapus bayangan tangan-tangan dingin yang mencengkeramnya di dalam air. Namun, percakapan mereka terhenti ketika suara tawa pelan mulai terdengar di kejauhan. Tawa itu rendah, teredam, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Andi langsung berdiri, menarik Mira ke sampingnya. "Kau dengar itu, kan?" Mira mengangguk, wajahnya semakin tegang. "Tawa... tawa siapa