Suasana malam itu gelap dan sunyi, hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan di sekitar rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu terletak di pinggiran desa, jauh dari keramaian. Ketika Rani dan teman-temannya—Budi, Mira, dan Andi—menginjakkan kaki di halaman rumah, mereka merasakan aura aneh yang mengelilingi bangunan tersebut.
"Kenapa kita harus ke sini, sih?" tanya Mira, sambil menggigit bibirnya. "Tempat ini bikin aku merinding." "Ah, kamu lebay! Ini kan hanya rumah kosong. Kita cuma mau eksplorasi sedikit," jawab Rani, berusaha terdengar optimis. "Lagipula, ini akan jadi cerita seru untuk diunggah ke media sosial." “Setuju!” Budi mengangguk. “Ayo, kita masuk.” Dengan sedikit rasa ragu, mereka semua memasuki rumah tua itu. Pintunya berderit pelan saat terbuka, mengeluarkan aroma lembap dan debu yang menempel di setiap sudut. Budi menyalakan senter yang dibawanya, dan cahaya kuning temaram menyinari interior yang suram. "Jangan bilang kalian percaya mitos tentang rumah ini," kata Andi, menirukan suara seram. "Katanya, pemilik rumah ini menghilang tanpa jejak, dan arwahnya masih berkeliaran di sini." "Yah, itu kan cuma cerita orang tua," sahut Rani. "Ayo, kita cari tempat menarik di dalam." Mereka berjalan lebih dalam ke rumah, mengeksplorasi ruangan demi ruangan. Di salah satu ruangan, mereka menemukan sebuah meja bundar dengan beberapa kursi kayu yang terlihat tua. Di tengah meja, terdapat sebuah kotak kayu kecil yang sudah rusak. “Coba buka!” pinta Budi, matanya berbinar penasaran. Rani mengangkat kotak itu dan membuka tutupnya. Di dalamnya terdapat beberapa benda aneh: kalung, kertas kuno, dan sebuah boneka kecil yang terlihat menyeramkan. “Wow, lihat ini!” Rani mengangkat boneka itu. “Sangat creepy!” Mira mengernyitkan dahi. “Jangan sentuh benda-benda itu, Rani. Aku merasa tidak enak.” "Ah, ini semua hanya barang-barang lama," Rani mengabaikan peringatan Mira. Tiba-tiba, dia mendengar suara keras dari arah belakang mereka. "Eh, kalian dengar itu?" tanya Andi, terlihat ketakutan. "Ya, suara apa itu?" tanya Budi, menatap ke arah suara tersebut. Seketika, suasana menjadi tegang. Mereka bertiga memandang satu sama lain dengan ekspresi cemas. Rani berusaha tenang. "Mungkin hanya angin." “Tapi suara itu terdengar seperti suara orang!” Mira bersikeras, suaranya bergetar. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar jelas di lantai atas. Semua orang terdiam, saling berpandangan dengan ketakutan. “Siapa di sana?” Rani berteriak, suaranya menggema di dalam rumah. Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam. “Seharusnya kita pergi saja,” saran Budi, wajahnya pucat. “Belum! Kita harus cek!” Rani bersikeras, terjebak antara rasa penasaran dan ketakutan. Mereka perlahan menaiki tangga yang berderit. Setiap langkah terasa berat. Ketika sampai di atas, mereka melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka. Dari balik pintu itu, cahaya samar terlihat. “Mungkin ada orang di dalam!” kata Andi, berusaha meyakinkan diri. “Siapa yang mau buka?” tanya Mira, suaranya hampir tidak terdengar. Rani mengambil napas dalam-dalam, kemudian maju dan mendorong pintu itu. Pintu terbuka dengan pelan, dan mereka semua terperangah. Ruangan itu kosong, kecuali untuk sebuah cermin besar yang terpajang di dinding. “Kenapa ada cermin di sini?” tanya Budi. Rani melangkah maju mendekati cermin. Dia melihat bayangannya sendiri, tetapi kemudian, saat menatap lebih dalam, dia merasa seperti melihat sosok lain di belakangnya. “Eh… ada seseorang di belakangku?” Ketika Rani berbalik, tidak ada siapa-siapa. “Tidak ada,” jawabnya, tetapi hatinya berdebar kencang. “Anda pasti hanya membayangkan, Rani,” Budi mencoba menenangkan. "Yah, mari kita keluar dari sini," Mira bersikeras, ketakutan mulai menyelimuti mereka. Tiba-tiba, cermin itu bergetar dan suara keras terdengar dari arah belakang. Kaca cermin mulai pecah, memancarkan serpihan-serpihan kecil ke lantai. Semua orang berteriak dan berlarian ke pintu, tetapi saat mereka berbalik, mereka melihat bayangan gelap melintas cepat di antara mereka. “Apa itu?!” teriak Andi, ketakutan. Sebelum mereka bisa berlari, sosok itu muncul, wajahnya samar dan tidak jelas, tetapi mata merahnya menatap tajam ke arah mereka. “Kenapa kalian datang ke sini?” suara beratnya menggema, membuat seluruh tubuh mereka bergetar. "Pergi! Kami hanya ingin melihat!" Rani berusaha berteriak, tetapi suara itu seolah menembus jiwanya, membuatnya tidak bisa bergerak. “Bukan tempat kalian!” sosok itu melangkah maju, dan saat itu, rasa dingin melingkupi mereka. Dengan sekuat tenaga, Rani berbalik dan berlari, diikuti oleh Budi, Mira, dan Andi. Mereka menuruni tangga secepat mungkin, tetapi saat mereka mencapai pintu keluar, pintu itu menutup dengan sendirinya, terhalang oleh kekuatan yang tidak terlihat. “Tidak! Tolong buka!” Mira menangis, memukul pintu dengan panik. Rani mencoba mendorong pintu, tetapi seolah terikat oleh kekuatan gaib. “Kita terjebak!” dia berteriak. Sosok itu muncul di belakang mereka, suaranya membisik, “Tidak ada jalan keluar.” Malam itu, di dalam rumah tua yang sudah lama terlupakan, mereka terperangkap dalam teror yang lebih dari sekadar cerita. Mimpi buruk baru saja dimulai, dan rahasia rumah itu akan mengungkapkan kengerian yang tak terduga. Rani menoleh ke arah teman-temannya yang terlihat putus asa. “Kita harus bertahan,” ujarnya, suara bergetar tetapi penuh tekad. “Kita harus mencari jalan keluar!”Suara jeritan Mira menggema di dalam rumah tua yang gelap saat sosok misterius itu melangkah lebih dekat. Kegelapan semakin menyelimuti mereka, menciptakan suasana mencekam yang membuat jantung mereka berdegup kencang. “Rani! Apa yang harus kita lakukan?” tanya Budi dengan suara bergetar, matanya melebar karena ketakutan. “Kita tidak bisa tetap di sini!”“Aku—aku tidak tahu!” Rani menjawab dengan napas yang tersengal. “Tapi kita tidak bisa membiarkan dia menangkap kita!”Andi melihat sekeliling, berusaha mencari jalan keluar. “Coba cari pintu lain! Mungkin ada cara untuk melarikan diri!”Saat mereka berlari ke sudut ruangan, sosok itu berbicara dengan suara dalam dan menyeramkan. “Kau tidak akan bisa melarikan diri. Tempat ini adalah milikku, dan kalian sudah terjebak di dalamnya.”“Siapa kau?” tanya Rani, berusaha berani meski hatinya bergetar. “Kenapa kau menghalangi kami?”“Aku adalah bayangan dari apa yang hilang,” jawab sosok itu sambil tersenyum sinis, matanya bersinar merah da
Rani memimpin teman-temannya kembali ke ruangan tempat mereka menemukan boneka. Setiap langkah terasa berat, seolah kegelapan menempel pada mereka, meresap ke dalam jiwa. Andi, yang berada di belakang, merasakan ada sesuatu yang mengikuti mereka. “Aku tidak suka dengan suasana di sini. Seperti ada yang memperhatikan kita,” bisiknya.“Jangan berpikir yang aneh-aneh, Andi!” Mira membalas, suaranya bergetar. “Kita harus fokus. Kita sudah hampir sampai.”Ketika mereka tiba di ruangan itu, Rani berusaha menenangkan teman-temannya. “Ingat, kita harus tetap bersatu. Kita bisa mengatasi ini.”Budi melihat ke sekeliling, matanya berusaha menangkap setiap detail. “Coba kita cari tahu lebih banyak tentang sosok itu. Mungkin ada petunjuk yang bisa membantu kita,” ujarnya.“Baik. Kita harus melihat kotak kayu yang kita temukan,” Rani menjawab, berusaha mengingat di mana mereka meninggalkannya. “Di sinilah kita menemukan benda-benda aneh itu.”Mereka bergegas menuju tempat di mana kotak kayu itu te
Setelah berhasil mengusir sosok kegelapan, Rani dan teman-temannya merasa sedikit lebih tenang, tetapi ketegangan masih terasa di udara. Mereka berdiri di tengah ruangan yang kini sunyi, mengingat kembali sosok gadis yang telah membantu mereka. Rani menggenggam boneka yang rusak dengan erat, berpikir tentang bagaimana cara membantu gadis itu lebih lanjut.“Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanya Mira, menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang gelap. “Kita sudah mengalahkan sosok itu, tapi rasanya belum aman.”“Ya, kita perlu mencari tahu lebih lanjut tentang tempat ini,” Rani menjawab, suaranya penuh tekad. “Mungkin ada petunjuk lain yang bisa membantu kita memahami apa yang terjadi di sini.”“Setuju. Kita tidak bisa tinggal diam,” Budi menambahkan, terlihat gelisah. “Kita tidak tahu kapan kegelapan itu akan kembali.”Andi mengangguk, tetapi wajahnya masih tampak cemas. “Tapi kita harus hati-hati. Kita sudah melihat betapa berbahayanya tempat ini.”“Berhenti berpikir yang aneh-a
Rani dan teman-temannya terengah-engah, masih terpengaruh oleh pertempuran mereka melawan kegelapan yang menakutkan. Mereka berdiri di tengah ruangan, mengatur napas sebelum melanjutkan pencarian mereka. Rani memeriksa tongkat yang sebelumnya ia gunakan, berharap benda itu masih memiliki kekuatan.“Sekarang kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini,” Rani berkata, suaranya penuh tekad. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan keberanian semata.”“Setuju. Kita perlu mendapatkan lebih banyak informasi,” Andi menjawab, menatap ke arah tumpukan buku yang masih tergeletak di atas meja. “Mungkin ada sesuatu di buku-buku itu yang bisa membantu kita.”Mira melangkah lebih dekat ke meja dan mulai membuka buku-buku satu per satu. “Ini semua tampaknya tentang ritual kuno,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi sulit untuk memahami semuanya.”“Coba kita fokus pada bagian yang menyebutkan tentang sosok-sosok yang kita lihat tadi,” Budi menyarankan, mengamati halaman-halaman buku.
Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini. "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri. “Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.” “Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?” Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.” Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing. Saat mereka melangkah keluar, koridor yang
Mereka berhasil keluar dari ruang bawah tanah, namun rasa lega itu tidak berlangsung lama. Rumah itu, dengan segala kegelapannya, seakan memiliki keinginan sendiri untuk menahan mereka.Andi membuka ponsel dan melihat waktu, lalu mengerutkan dahi. “Hei, ini… waktu di ponselku berhenti.”Mira mengerutkan kening. “Berhenti? Maksudmu mati?”Andi menggeleng, menunjukkan layarnya yang masih menyala. “Bukan mati, tapi jamnya nggak bergerak. Tadi aku ingat pukul 11:45, tapi ini masih di waktu yang sama.”Rani mendesah. “Rumah ini benar-benar aneh. Waktu di sini mungkin memang tidak berjalan seperti biasanya.”Tiba-tiba, terdengar suara berbisik dari lorong depan, suara yang samar, tapi jelas bukan suara mereka. Semua langsung menghentikan langkah dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berbicara dalam nada penuh penderitaan, namun kata-katanya tak bisa mereka pahami.Mira menelan ludah. “Apa… kalian dengar itu?”Budi mengangguk, wajahnya semakin pucat. “Jangan-jan
Saat sosok perempuan itu berbalik dan tersenyum, suasana yang tadinya penuh ketegangan seakan berubah menjadi lebih aneh dan misterius. Senyuman itu bukan senyuman biasa. Itu adalah senyuman penuh penderitaan, senyuman yang seolah berasal dari dunia lain. Mata sosok itu kosong, seperti melihat ke dalam jiwa mereka, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak manusiawi.Rani merasa ada yang salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus mengikuti sosok itu. Langkah mereka semakin lambat, tetapi tetap memaksa mereka bergerak maju, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik mereka.Andi berbisik pelan, matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. “Kita harus berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dia.”Mira menggenggam tangan Rani, mencoba mencari kenyamanan di tengah ketegangan yang mencekam. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apa yang kita harapkan dengan mengikuti sosok ini?”“Entahlah,” jawab Rani dengan suara serak. “Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Hening. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya keheningan yang menyeramkan seolah-olah dunia ini telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Di tengah kegelapan, Rani, Mira, dan Andi berdiri membeku, napas mereka terengah-engah, dada mereka terasa berat. Keputusasaan yang tak terjelaskan mulai menggerogoti hati mereka.“Dimana kita?” Mira berbisik, matanya berputar ke segala arah, mencoba menangkap secercah cahaya atau apapun yang bisa memberi mereka harapan. Tapi yang dia lihat hanya kekosongan.“Kita… terperangkap,” suara Andi parau, hampir tak terdengar. “Entah di mana, tapi aku merasa ini bukan tempat biasa.”Rani meremas tangannya sendiri, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. “Tidak mungkin… kita harus bisa keluar dari sini,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada yang lain. Tapi dalam hatinya, ia tahu mereka berada di luar batas dunia manusia.Langkah kaki terdengar di kejauhan, suara itu menggema, seolah ada sesuatu yang bergerak mendekat