Bab 3 : Menyamar

Gilbert melangkah maju, aura menakutkan mengelilinginya, sementara Deril tetap berdiri tenang, matanya penuh ketegasan.

“Siapa yang berani melukai anak buahku?” Gilbert mengoceh, suaranya menggema di antara kerumunan yang menahan napas.

“Aku akan mematahkan kaki dan tangan orang yang berani mencelakai preman ini!” ia menunjuk ke arah preman yang terluka, yang terus mengadu dengan penuh rasa sakit.

“Dia harus meminta maaf dan mematahkan kakinya sendiri!” teriak preman itu. Harapannya tertuju pada Gilbert, tetapi Deril hanya menatap dengan sabar, tidak terpengaruh oleh ancaman itu.

Deril mendengarkan, tetap tenang meskipun situasi semakin memanas. Ia tahu bahwa di hadapannya adalah seseorang yang berbahaya, tetapi ia tidak akan mundur.

Saat Gilbert memandangnya, ada sesuatu dalam tatapan Deril yang membuatnya ragu. “Kau pikir aku takut padamu?” ujar Deril dengan suara rendah, berusaha menegaskan keberaniannya.

Namun, Gilbert masih melanjutkan ancamannya, terjebak dalam egonya dan tidak menyadari siapa sebenarnya yang dihadapi.

Tetapi ketika Gilbert akhirnya mengetahui bahwa ia berhadapan dengan Deril, mantan jenderal yang terkenal, semua keangkuhannya seolah menghilang.

Ia terdiam, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun, dan ia mengetahui orang yang dihadapannya ini adalah orang yang tidak bisa dia singgung.

Tiba-tiba, dalam sebuah tindakan yang mengejutkan semua orang, Gilbert menampar preman yang mengadu itu dengan keras, membuatnya terhuyung kembali.

“Kau tidak layak menjadi bagian dari komplotanku!” teriaknya, dan sebelum siapa pun bisa bereaksi, Gilbert dengan brutal mematahkan tangan preman tersebut.

“Ini untuk kau yang tidak tahu diri!” katanya dengan nada dingin, menyisakan keheningan yang menyelimuti kerumunan yang menyaksikan kejadian itu dengan mata terbelalak.

Kerumunan ternganga, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Setelah itu, Gilbert menatap Deril, dan dengan nada yang lebih rendah, ia berkata, “Maafkan saya,” sebelum berbalik dan pergi begitu saja, tanpa mengucapkan kata lain.

Deril tetap berdiri tegak, merasa campur aduk antara rasa bangga dan kelegaan, dan ia melihat Gilbert serta berkata dalam hati, “Anak ini sudah semakin dewasa, bertambah hebat.”

Sementara Lina dan semua orang di pasar menyaksikan perubahan mendalam dalam situasi itu—sebuah pengingat bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada otot, tetapi juga pada ketenangan dan keberanian dalam menghadapi ancaman.

Gilbert berjalan menjauh dari kerumunan, tetapi pikirannya terus berputar.

Dalam hatinya, ia berbisik, Sang Jenderal telah kembali, dalam penyamaran yang tak terduga.

Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Deril, yang ia hadapi, adalah mantan jenderal yang terkenal di medan perang.

Kenapa Jenderal Deril ada di sini, di antara kita, dalam kehidupan yang jauh dari kancah pertempuran? Gilbert teringat saat-saat ketika ia dilatih oleh Deril, belajar ilmu bela diri dan taktik perang yang membuatnya menjadi preman yang dihormati.

Setiap orang yang terlibat dalam perang Asia Tenggara pasti tahu siapa Jenderal Deril—seorang pejuang yang tak terkalahkan, sosok yang bisa membalikkan keadaan dalam sekejap.

“Aku tidak pernah membayangkan akan menghadapi orang yang dulunya kuagumi,” gumam Gilbert dalam hati, merasakan kembali ketegangan yang pernah ia alami.

Menghadapi Deril, ia merasa seperti kembali ke masa lalu, ketika rasa hormat dan ketakutan terhadap sosok ini menghantui setiap langkahnya. “Apa yang akan kulakukan jika dia menyerang?” pikirnya, mencoba menenangkan diri, tetapi di dalam hatinya.

Sementara itu, kerumunan di pasar masih terdiam, terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Gilbert menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan besar dengan meremehkan Deril.

Dalam hatinya, ia merasakan campuran rasa takut dan kekaguman. "Apa yang telah aku lakukan?" pikirnya, menyadari bahwa ia seharusnya tidak mengusik seseorang sekuat itu.

Kini, setelah mengetahui identitas sebenarnya, ia tidak lagi merasa berani untuk mengancam atau menggertak. Gilbert tahu, ada batasan yang tidak seharusnya ia lewati, dan hari ini, ia telah melanggar batas tersebut dengan sangat jelas.

Preman yang sudah patah tangan dan kakinya tergeletak di tanah, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

Ia menatap Gilbert dengan mata lebar, tidak percaya dengan apa yang baru disaksikannya.

"Kenapa Gilbert bisa takut dengan pemuda kurus dan lusuh ini?" pikirnya, kebingungan dan rasa sakit bercampur aduk di dalam hatinya.

Dalam pandangannya, Deril tampak seperti sosok yang tidak berbahaya, jauh dari gambaran seorang jenderal atau pejuang yang ditakuti.

Dengan tubuhnya yang terkulai dan rasa sakit yang menggerogoti, ia berusaha memahami kenapa pemuda yang baru saja ditemuinya itu bisa membuat Gilbert, seorang kepala preman yang ditakuti, bergetar ketakutan.

"Apa yang membuatnya begitu istimewa?" pikirnya lagi, sementara rasa frustrasi mulai menjalar. Ia merasa dipermalukan, tidak hanya oleh Deril, tetapi juga oleh Gilbert yang seharusnya melindunginya.

Dalam pikirannya, keraguan mulai muncul. "Apakah aku memilih orang yang salah untuk dijadikan sekutu?" Ia tidak bisa membayangkan betapa besarnya kesalahan yang telah ia buat dengan menantang Deril.

Kini, ia terjebak dalam situasi yang tidak dapat ia kontrol, merasa sendirian dan tidak berdaya. Sementara itu, rasa sakit dari patah tangan dan kakinya hanya menambah kepahitan dalam pikirannya, menyadarkan bahwa keberanian yang ia anggap ada dalam dirinya ternyata tidak ada lagi.

Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam dalam rasa sakit dan kebingungan, preman tersebut memutuskan untuk pulang, terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa ia telah kalah dalam pertarungan ini.

Dengan langkah tertatih-tatih, ia pergi meninggalkan kerumunan, wajahnya dipenuhi rasa malu dan kemarahan yang membara.

Sementara itu, suasana di pasar mulai pulih, dan orang-orang berbisik satu sama lain, menceritakan kejadian luar biasa yang baru saja mereka saksikan.

Setelah situasi mereda, Deril kembali berdiri di samping Lina, yang melihatnya dengan penuh rasa bangga dan kekaguman.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya, mencemaskan dampak dari pertemuan tadi. Deril mengangguk, berusaha menenangkan istrinya. “Ya, aku baik-baik saja. Mari kita kembali berjualan,” jawabnya dengan senyum lembut, mencoba mengalihkan perhatian dari ketegangan yang baru terjadi.

Dengan semangat baru, mereka mulai menata dagangan mereka kembali, menampilkan hasil pertanian yang segar dan menarik perhatian. Pembeli mulai mendekat lagi, dan suasana di kios mereka perlahan kembali hidup.

Deril dan Lina bekerja sama seperti biasa, berbagi tawa dan cerita, mengingatkan satu sama lain bahwa meskipun ada ancaman di luar sana, mereka memiliki satu sama lain dan usaha yang telah mereka bangun bersama

.

Hari itu, meskipun penuh tantangan, menguatkan ikatan mereka dan menegaskan betapa berharganya cinta dan keberanian dalam menghadapi setiap rintangan.