Bab 5: Konflik Keluarga

Deril dan istrinya, Lina, pulang ke rumah setelah memetik hasil panen yang melimpah. Keceriaan mereka tergambar jelas saat membuka pintu, namun suasana di dalam rumah ternyata berbeda.

Seluruh keluarga menunggu dengan ekspresi tegang, termasuk ibu mertua, Sintya, dan Lapenris, kakak ipar Deril. Yang mengejutkan, ayah mertua juga hadir, baru saja pulang dari kota.

“Selamat datang, kalian berdua!” sapa Lina dengan senyum, berharap bisa berbagi kebahagiaan.

Namun, senyum itu segera memudar ketika ibu mertua berbicara, “Deril, kita perlu bicara serius.”

Keluarga berkumpul, dan Lapenris langsung menuduh, “Kau pasti melakukan sesuatu yang curang! Tidak mungkin panen secepat itu.”

Sintya menambahkan, “Iya, semua warga sudah membicarakanmu. Mereka tidak percaya pada hasil panenmu.”

Deril mencoba menjelaskan, “Tidak, aku hanya merawat tanaman dengan baik. Ini semua kerja keras kami.”

Ibu mertua memotong, “Lina, kau harus berpikir ulang. Mungkin lebih baik jika kau menceraikan Deril.”

Lina terkejut, “Apa? Ibu, ini tidak adil! Kami bekerja keras untuk ini.”

Pertengkaran semakin memanas, dengan suara Lapenris yang terus meninggi. “Kau tidak bisa mengandalkan hasil yang mencurigakan ini! Kami semua tahu kau berbuat curang.”

Deril berdiri tegas, “Aku tidak akan membiarkan tuduhan ini menghancurkan keluarga kita. Kami berhak atas hasil kerja keras kami.”

Suasana semakin tegang, dan Lina merasakan tekanan berat di dadanya. Dia berusaha menengahi, “Kita harus bicara baik-baik. Jangan biarkan emosi menguasai kita.”

Lapenris tetap berdiri di sudut ruangan, wajahnya merah karena marah. “Aku masih tidak percaya, Deril! Bagaimana mungkin orang yang selama ini tidak bisa diandalkan bisa panen dalam waktu tiga bulan? Ini semua terasa sangat mencurigakan!” Suara Lapenris menggema di antara anggota keluarga yang lain, menambah ketegangan.

Namun, Deril tidak peduli dengan kata-kata Lapenris dan terlihat tenang. “Lapenris! Ini hasil kerja keras dan perawatan yang tepat,” jawabnya tegas. Lina, yang cemas, mencoba menengahi.

“Kita seharusnya mendukung satu sama lain, bukan saling menuduh!” Namun, Lapenris tidak terpengaruh.

“Mendukung? Bagaimana mungkin kita mendukung penipu?” serunya, membuat suasana semakin memanas.

Deril menatap Lapenris dengan mata yang menyala, nada suaranya dingin dan tegas, seolah mengeluarkan aura membunuh yang membuat semua orang terdiam.

“Orang-orang bodoh ini tidak tahu apa-apa,” ujarnya dengan ketus. “Hanya bisa menuduh tanpa melihat usaha dan kerja keras yang kami lakukan.”

Lapenris terkejut mendengar ketegasan Deril, tetapi tetap bersikeras. “Kau pikir bisa menipu kami semua? Aku tidak percaya pada hasil yang mencurigakan ini.”

Deril melangkah mendekat, menjaga nada suaranya tetap rendah namun penuh tekanan. “Cobalah untuk membuka pikiranmu, Lapenris. Tuduhanmu ini hanya menunjukkan betapa dangkalnya pemahamanmu tentang apa yang sebenarnya terjadi.”

Suasana di ruangan semakin tegang, seolah-olah setiap kata bisa memicu ledakan berikutnya.

Lapenris tidak mau kalah, terus membalas kata-kata Deril dengan nada penuh kebencian. “Kau hanya berusaha mencari alasan untuk menutupi kebohonganmu.”

Namun, sebelum Lapenris bisa melanjutkan, Deril tiba-tiba melayangkan tamparan keras yang membuatnya tersungkur ke lantai. Seisi ruangan terdiam seketika.

Deril berdiri tegak, menatap semua anggota keluarga dengan mata penuh determinasi dan aura yang mendominasi, membuat mereka semua merasakan ketegangan yang luar biasa.

“Cukup!” teriaknya, suaranya menggetarkan dinding. “Aku tidak akan membiarkan tuduhan bodoh ini merusak keluarga kita!” Keheningan menyelimuti ruangan; semua orang menunggu reaksi selanjutnya.

Istri Lapenris, dengan suara bergetar karena marah, menatap Deril tajam dan mengatakan, “Kau berani sekali, Deril! Menampar suamiku di depan keluarga.”

Sementara itu, Sintya dan anggota keluarga lainnya terdiam, tidak tahu harus berkata apa di tengah ketegangan yang menggelora.

Lina, yang juga terkejut melihat perubahan drastis dalam diri suaminya, merasakan campuran emosi—walaupun dia khawatir, ada sedikit rasa senang di dalam hatinya melihat Deril berdiri teguh dengan aura yang begitu mendominasi.

“Deril, jangan biarkan ini berlanjut,” pikirnya, berharap suaminya bisa mengendalikan situasi tanpa melukai hubungan keluarga lebih jauh.

Namun, Lapenris tidak tinggal diam. Dengan kemarahan yang membara, ia mengambil kursi dan mengayunkannya ke arah Deril, bertekad untuk membalas serangan itu.

Namun, dengan sekali gerakan cepat, Deril sudah menampar wajah Lapenris lagi, kali ini dengan begitu keras hingga beberapa giginya rontok dan ia terjatuh ke lantai.

“Kau tidak akan pernah mengerti, Lapenris!” bentak Deril, napasnya memburu.

Suasana di ruangan semakin tegang, sementara Lina menutup mulutnya dengan tangan, terkejut melihat kekerasan yang terjadi.

Istri Lapenris hanya bisa berteriak, “Berhenti! Ini sudah keterlaluan!” tetapi suaranya tenggelam dalam keheningan yang mencekam.

Deril melirik ayah mertuanya, Ramdael, yang hanya duduk diam dengan ekspresi tenang, seolah tidak terpengaruh oleh kekacauan yang terjadi di sekelilingnya.

Dalam hati, Deril merasa bingung dan sedikit curiga, “Kenapa ayah mertua tidak berbicara dari tadi? Apakah dia tahu tentang statusku?” pikirnya, mencoba memahami kenapa Ramdael tidak menunjukkan reaksi meskipun suasana semakin memanas.

Deril merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan, dan ia bertanya-tanya apakah Ramdael menyimpan pendapat atau sikap yang lebih dalam tentang apa yang terjadi di hadapannya.

“Apakah dia berpihak pada keluarga ataukah dia lebih mengerti apa yang sebenarnya terjadi?” Deril menggelengkan kepalanya, berusaha mengalihkan fokusnya dari pikiran tersebut dan tetap berhadapan dengan Lapenris.

Deril mengalihkan pandangannya kembali ke Lapenris, menatapnya dengan intensitas yang membuat bulu kuduk semua orang merinding.

“Lebih baik kalian pergi dari sini sebelum hal yang lebih parah terjadi,” ujarnya dengan nada serius, aura mengancamnya begitu kuat sehingga membuat semua anggota keluarga merasa tertekan.

Lapenris, meskipun marah, merasakan ketegangan yang tak tertahankan dan akhirnya memilih untuk mundur.

Tanpa ada yang berbicara, anggota keluarga lainnya mengikuti jejak Lapenris, wajah mereka murung dan penuh kesedihan saat meninggalkan Deril dan Lina.

Suasana hening menyelimuti rumah itu, hanya suara napas Deril dan Lina yang terdengar, menandakan bahwa ketegangan masih membara di antara mereka.

Lina memecah keheningan, suaranya bergetar, “Deril, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua orang bisa begitu meragukan kita?”

Deril menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak tahu, Lina. Mereka hanya melihat hasil panen dan langsung menuduhku curang. Aku sudah bekerja keras untuk ini!”

“Kerja kerasmu tidak bisa diabaikan begitu saja,” kata Lina, berusaha meneguhkan suaminya. “Kita harus membuktikan kepada mereka bahwa semua ini adalah hasil usaha kita.”

“Bagaimana caranya?” tanya Deril, raut wajahnya menunjukkan keputusasaan. “Mereka sudah terlanjur percaya pada rumor. Apa pun yang kita katakan, sepertinya tidak akan ada yang mendengarkan.”

Lina menggenggam tangan Deril, “Kita harus menghadapi mereka. Ajak mereka bicara, tunjukkan bukti hasil kerja kita. Kita tidak bisa membiarkan tuduhan ini merusak keluarga kita.”

“Baiklah,” jawab Deril, dengan semangat baru. “Mari kita panggil mereka kembali. Kita akan buktikan bahwa kita tidak bersalah!”