Deril adalah pemuda biasa yang menjalani hidup di Kaba City, sebuah desa kecil di sudut Asia Tenggara.Setiap pagi, ia bangun dengan merasakan hangatnya sinar matahari menyelinap melalui jendela.Di sampingnya, Lina, istrinya yang cantik, berkulit putih seperti artis dari Korea, masih terlelap.Selama lima tahun bersama, mereka membangun kehidupan sederhana di rumah yang dikelilingi kebun buah milik keluarga Lina.Namun, kebahagiaan itu tak sepenuhnya sempurna. Suatu sore, keluarga Lina berkumpul membahas masa depan usaha perkebunan mereka."Kita butuh hasil produk perkebunan yang bagus, dan ditambah lagi, persaingan sesama pengusaha kebun semakin meningkat. Untuk itu, kita harus mengembangkan bisnis," kata Sari, ibu mertuanya, dengan nada serius. "Tanpa itu, kita tidak akan bisa bersaing."Sintya, adik iparnya yang cantik dan mirip seperti Lina serta masih berseragam SMA, menambahkan, "Kalau saja kakak iparku bisa diandalkan dan bisa membantu, kita bisa memperluas lahan dan meningkat
Deril membantu perkebunan keluarga Lina dengan penuh semangat, bukan hanya sebagai teman, tetapi juga sebagai suami yang setia.Setiap pagi, ia datang dengan alat pertanian di tangan, siap untuk bekerja di ladang yang mereka kelola bersama. “Aku siap, Lina! Hari ini kita akan menanam lebih banyak benih,” serunya antusias.Bersama Lina, ia mencangkul tanah, menanam benih, dan merawat tanaman dengan penuh kasih. “Lihat, sayang, tanaman ini sudah mulai tumbuh!” kata Lina sambil tersenyum.Melihat tanaman sayuran dan buah-buahan tumbuh subur, Deril merasa harapan dan kebahagiaan mulai menghampiri mereka. Namun, di dalam hatinya, ia juga menyimpan kekhawatiran.“Apakah ini cukup untuk bertahan?” pikirnya. “Selama kita bersama, kita bisa menghadapi apa pun,” ucap Lina, seolah menangkap gelisahnya.Dengan tangan yang penuh keringat dan hati yang penuh cinta, Deril bertekad menjaga impian mereka tetap hidup, karena tidak ada yang lebih berharga baginya selain kebahagiaan Lina.Namun, tantanga
Gilbert melangkah maju, aura menakutkan mengelilinginya, sementara Deril tetap berdiri tenang, matanya penuh ketegasan.“Siapa yang berani melukai anak buahku?” Gilbert mengoceh, suaranya menggema di antara kerumunan yang menahan napas.“Aku akan mematahkan kaki dan tangan orang yang berani mencelakai preman ini!” ia menunjuk ke arah preman yang terluka, yang terus mengadu dengan penuh rasa sakit.“Dia harus meminta maaf dan mematahkan kakinya sendiri!” teriak preman itu. Harapannya tertuju pada Gilbert, tetapi Deril hanya menatap dengan sabar, tidak terpengaruh oleh ancaman itu.Deril mendengarkan, tetap tenang meskipun situasi semakin memanas. Ia tahu bahwa di hadapannya adalah seseorang yang berbahaya, tetapi ia tidak akan mundur.Saat Gilbert memandangnya, ada sesuatu dalam tatapan Deril yang membuatnya ragu. “Kau pikir aku takut padamu?” ujar Deril dengan suara rendah, berusaha menegaskan keberaniannya.Namun, Gilbert masih melanjutkan ancamannya, terjebak dalam egonya dan tidak
Hari ini, Deril menjalani rutinitas harian yang penuh semangat. Selain berdagang hasil kebunnya, ia dan Lina, bersama keluarga Lina serta penduduk desa Kaba, berkumpul untuk berkebun.“Ayo, kita tanam yang terbaik hari ini!” seru Deril, memotivasi semua orang. Mereka menanam berbagai jenis buah-buahan dan sayuran, mulai dari tomat, cabai, hingga mangga dan jeruk.Suasana di ladang dipenuhi tawa dan obrolan hangat, menciptakan rasa kebersamaan yang erat di antara mereka.Setiap orang memiliki peran masing-masing. Lina dan ibu Sari mengawasi proses penanaman, sementara Deril dan beberapa pria desa bekerja keras menggali tanah, menyiapkan bedeng untuk tanaman baru.Deril, yang memiliki bakat dalam strategi dan ilmu pengetahuan, mulai menggunakan keterampilannya untuk membantu komunitas desa.“Jika kita bisa mengatur waktu penyiraman dan pemupukan dengan lebih baik, hasil panen kita akan meningkat,” ujarnya, menarik perhatian penduduk desa.Ia memperhatikan bahwa beberapa masalah yang dih
Deril dan istrinya, Lina, pulang ke rumah setelah memetik hasil panen yang melimpah. Keceriaan mereka tergambar jelas saat membuka pintu, namun suasana di dalam rumah ternyata berbeda. Seluruh keluarga menunggu dengan ekspresi tegang, termasuk ibu mertua, Sintya, dan Lapenris, kakak ipar Deril. Yang mengejutkan, ayah mertua juga hadir, baru saja pulang dari kota. “Selamat datang, kalian berdua!” sapa Lina dengan senyum, berharap bisa berbagi kebahagiaan. Namun, senyum itu segera memudar ketika ibu mertua berbicara, “Deril, kita perlu bicara serius.” Keluarga berkumpul, dan Lapenris langsung menuduh, “Kau pasti melakukan sesuatu yang curang! Tidak mungkin panen secepat itu.” Sintya menambahkan, “Iya, semua warga sudah membicarakanmu. Mereka tidak percaya pada hasil panenmu.” Deril mencoba menjelaskan, “Tidak, aku hanya merawat tanaman dengan baik. Ini semua kerja keras kami.” Ibu mertua memotong, “Lina, kau harus berpikir ulang. Mungkin lebih baik jika kau menceraikan Deril.” L
Karena keributan yang terjadi di rumahnya, Deril akhirnya berjalan santai di sekitar kebun, menikmati keindahan alam yang mengelilinginya. Saat melintasi sebuah area terbuka, ia melihat seorang pria muda duduk di atas rumput, asyik membuat keramik guci dari tanah liat. Tertarik oleh karya seni yang sedang dikerjakan, Deril menghampiri dan menyapa, "Hai, karya yang bagus! Apa yang sedang kau buat?" Pria muda itu menoleh dengan senyuman lebar. "Terima kasih! Aku sedang membuat guci sebagai hiasan. Aku suka mengekspresikan diri melalui keramik." "Mengagumkan! Sudah berapa lama kamu melakukannya?" tanya Deril, semakin tertarik. "Sudah setahun lebih. Awalnya aku belajar dari seorang guru, dan sekarang aku mencoba berbagai teknik sendiri. Ini sangat menyenangkan!" jawabnya antusias. "Aku bisa melihat itu. Siapa nama gurumu?" tanya Deril, penasaran. "Namanya Vasco. Dia sangat berbakat dan selalu memberi banyak inspirasi," jawab pria itu, matanya berbinar saat menyebut nama gurunya. "
Setelah berbincang dengan Nathan, Deril memutuskan untuk pulang. Di sepanjang jalan, ia mengeluarkan ponselnya dan kembali menelpon Angel.Suasana sore yang tenang mengelilinginya, memberikan ketenangan saat ia menyiapkan rencana.“Halo, Angel,” sapa Deril saat telepon tersambung.“Halo, Deril!” tanya Angel. “Aku ingin memastikan kita tidak lupa mengundang Vasco. Dia sangat berbakat dan bisa menambah variasi di pameran,” jelas Deril.“Benar! Vasco pasti akan menjadi tambahan yang hebat. Aku akan menghubunginya segera,” jawab Angel, antusias.“Bagus! Pastikan dia tahu bahwa kami ingin karyanya dipamerkan. Seninya pasti menarik perhatian banyak orang,” kata Deril, bersemangat.“Tidak masalah! Aku juga akan mengingatkan semua warga desa yang ingin berpartisipasi untuk mengirimkan karya mereka. Kita bisa membuat pengumuman di tempat umum,” Angel merencanakan.“Ya, itu ide yang cemerlang. Kita harus mempromosikan ini sebaik mungkin agar semua orang tahu,” Deril setuju.Angel melanjutkan, “
Acara pameran seni akhirnya tiba, dan Deril pergi bersama Lina menuju aula tempat acara berlangsung. Saat mereka tiba, suasana di dalam aula begitu hidup, dipenuhi oleh warga desa yang antusias. Deril dan Lina melangkah masuk, terpesona oleh berbagai karya seni yang dipamerkan. “Wow, lihat betapa ramai acara ini!” seru Lina, matanya berbinar melihat banyak orang berkumpul. “Iya, ini luar biasa! Aku tidak sabar untuk melihat semua karya yang ada di sini,” jawab Deril, sambil memegang tangan Lina agar tetap dekat. Mereka melangkah lebih dalam ke aula, dan Deril melihat Nathan berdiri di dekat salah satu stan, tampak sedikit gugup. Begitu Nathan melihat mereka, ia segera menghampiri Deril dan mengulurkan tangan. “Deril! Senang sekali bertemu di sini!” katanya dengan senyuman lebar. “Senang bertemu denganmu juga, Nathan! Karya keramikmu sudah siap dipamerkan, kan?” tanya Deril, menatap penuh minat. “Ya, aku harap semuanya berjalan baik. Aku sangat berharap para pengunjung menyukain
Tak lama setelah itu, Angel tiba memasuki aula dengan pengawalnya. Aura kehadirannya langsung menarik perhatian semua orang. Lina dan keluarganya tertegun melihat penampilannya. Angel terlihat begitu cantik dengan sepatu hak tinggi yang menambah kesan elegannya, serta rambut lurusnya yang diikat rapi. “Lihat, itu Angel!” bisik Lina kepada Deril, matanya berbinar penuh kekaguman. Deril menatap Angel dengan senyum. “Dia memang selalu memukau. Aku tidak heran semua orang terpesona.” Sementara itu, Ibu Sari mengamati Angel dengan rasa takjub. “Dia terlihat sangat berkelas. Pasti banyak yang mengaguminya di sini,” ucapnya, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Ya, dia pasti menjadi pusat perhatian,” balas Sintya, mengangguk setuju. “Kita harus menyapa dan memperkenalkan diri.” Angel melangkah dengan percaya diri, menyapa beberapa pengunjung yang mendekatinya. Saat melewati Deril, ia menatapnya dan memberi hormat sedikit. Beberapa orang di sekitar terdiam, mengamati momen itu denga
Lina menatap keluarganya dengan senyum lebar. “Ayo, kita lihat lebih banyak karya seni! Aku ingin menunjukkan beberapa hal padamu semua.” Deril mengikuti di belakang, merasa senang melihat Lina berbagi kegembiraannya dengan keluarganya. Meskipun ada ketegangan di antara beberapa anggota keluarganya, suasana pameran tetap ceria dan penuh energi. Tidak lama setelah itu, Deril mulai menjelaskan kepada Lina dan keluarganya yang mengikuti di belakang mereka tentang berbagai benda yang dipamerkan. Mereka berhenti di depan sebuah lukisan yang menggambarkan pemandangan alam yang indah. “Lihatlah lukisan ini, teknik cat minyaknya sangat halus. Perpaduan warna biru dan hijau menciptakan kedalaman yang luar biasa,” jelas Deril dengan antusias. “Wow, itu luar biasa! Aku tidak menyadari betapa rumitnya itu,” balas Lina, terpesona. Ia memperhatikan bagaimana Deril mengamati setiap detail. Namun, Ibu Sari tiba-tiba menyela, “Deril, kamu jangan membual. Dari mana kamu bisa tahu semua ini? Sepert
Acara pameran seni akhirnya tiba, dan Deril pergi bersama Lina menuju aula tempat acara berlangsung. Saat mereka tiba, suasana di dalam aula begitu hidup, dipenuhi oleh warga desa yang antusias. Deril dan Lina melangkah masuk, terpesona oleh berbagai karya seni yang dipamerkan. “Wow, lihat betapa ramai acara ini!” seru Lina, matanya berbinar melihat banyak orang berkumpul. “Iya, ini luar biasa! Aku tidak sabar untuk melihat semua karya yang ada di sini,” jawab Deril, sambil memegang tangan Lina agar tetap dekat. Mereka melangkah lebih dalam ke aula, dan Deril melihat Nathan berdiri di dekat salah satu stan, tampak sedikit gugup. Begitu Nathan melihat mereka, ia segera menghampiri Deril dan mengulurkan tangan. “Deril! Senang sekali bertemu di sini!” katanya dengan senyuman lebar. “Senang bertemu denganmu juga, Nathan! Karya keramikmu sudah siap dipamerkan, kan?” tanya Deril, menatap penuh minat. “Ya, aku harap semuanya berjalan baik. Aku sangat berharap para pengunjung menyukain
Setelah berbincang dengan Nathan, Deril memutuskan untuk pulang. Di sepanjang jalan, ia mengeluarkan ponselnya dan kembali menelpon Angel.Suasana sore yang tenang mengelilinginya, memberikan ketenangan saat ia menyiapkan rencana.“Halo, Angel,” sapa Deril saat telepon tersambung.“Halo, Deril!” tanya Angel. “Aku ingin memastikan kita tidak lupa mengundang Vasco. Dia sangat berbakat dan bisa menambah variasi di pameran,” jelas Deril.“Benar! Vasco pasti akan menjadi tambahan yang hebat. Aku akan menghubunginya segera,” jawab Angel, antusias.“Bagus! Pastikan dia tahu bahwa kami ingin karyanya dipamerkan. Seninya pasti menarik perhatian banyak orang,” kata Deril, bersemangat.“Tidak masalah! Aku juga akan mengingatkan semua warga desa yang ingin berpartisipasi untuk mengirimkan karya mereka. Kita bisa membuat pengumuman di tempat umum,” Angel merencanakan.“Ya, itu ide yang cemerlang. Kita harus mempromosikan ini sebaik mungkin agar semua orang tahu,” Deril setuju.Angel melanjutkan, “
Karena keributan yang terjadi di rumahnya, Deril akhirnya berjalan santai di sekitar kebun, menikmati keindahan alam yang mengelilinginya. Saat melintasi sebuah area terbuka, ia melihat seorang pria muda duduk di atas rumput, asyik membuat keramik guci dari tanah liat. Tertarik oleh karya seni yang sedang dikerjakan, Deril menghampiri dan menyapa, "Hai, karya yang bagus! Apa yang sedang kau buat?" Pria muda itu menoleh dengan senyuman lebar. "Terima kasih! Aku sedang membuat guci sebagai hiasan. Aku suka mengekspresikan diri melalui keramik." "Mengagumkan! Sudah berapa lama kamu melakukannya?" tanya Deril, semakin tertarik. "Sudah setahun lebih. Awalnya aku belajar dari seorang guru, dan sekarang aku mencoba berbagai teknik sendiri. Ini sangat menyenangkan!" jawabnya antusias. "Aku bisa melihat itu. Siapa nama gurumu?" tanya Deril, penasaran. "Namanya Vasco. Dia sangat berbakat dan selalu memberi banyak inspirasi," jawab pria itu, matanya berbinar saat menyebut nama gurunya. "
Deril dan istrinya, Lina, pulang ke rumah setelah memetik hasil panen yang melimpah. Keceriaan mereka tergambar jelas saat membuka pintu, namun suasana di dalam rumah ternyata berbeda. Seluruh keluarga menunggu dengan ekspresi tegang, termasuk ibu mertua, Sintya, dan Lapenris, kakak ipar Deril. Yang mengejutkan, ayah mertua juga hadir, baru saja pulang dari kota. “Selamat datang, kalian berdua!” sapa Lina dengan senyum, berharap bisa berbagi kebahagiaan. Namun, senyum itu segera memudar ketika ibu mertua berbicara, “Deril, kita perlu bicara serius.” Keluarga berkumpul, dan Lapenris langsung menuduh, “Kau pasti melakukan sesuatu yang curang! Tidak mungkin panen secepat itu.” Sintya menambahkan, “Iya, semua warga sudah membicarakanmu. Mereka tidak percaya pada hasil panenmu.” Deril mencoba menjelaskan, “Tidak, aku hanya merawat tanaman dengan baik. Ini semua kerja keras kami.” Ibu mertua memotong, “Lina, kau harus berpikir ulang. Mungkin lebih baik jika kau menceraikan Deril.” L
Hari ini, Deril menjalani rutinitas harian yang penuh semangat. Selain berdagang hasil kebunnya, ia dan Lina, bersama keluarga Lina serta penduduk desa Kaba, berkumpul untuk berkebun.“Ayo, kita tanam yang terbaik hari ini!” seru Deril, memotivasi semua orang. Mereka menanam berbagai jenis buah-buahan dan sayuran, mulai dari tomat, cabai, hingga mangga dan jeruk.Suasana di ladang dipenuhi tawa dan obrolan hangat, menciptakan rasa kebersamaan yang erat di antara mereka.Setiap orang memiliki peran masing-masing. Lina dan ibu Sari mengawasi proses penanaman, sementara Deril dan beberapa pria desa bekerja keras menggali tanah, menyiapkan bedeng untuk tanaman baru.Deril, yang memiliki bakat dalam strategi dan ilmu pengetahuan, mulai menggunakan keterampilannya untuk membantu komunitas desa.“Jika kita bisa mengatur waktu penyiraman dan pemupukan dengan lebih baik, hasil panen kita akan meningkat,” ujarnya, menarik perhatian penduduk desa.Ia memperhatikan bahwa beberapa masalah yang dih
Gilbert melangkah maju, aura menakutkan mengelilinginya, sementara Deril tetap berdiri tenang, matanya penuh ketegasan.“Siapa yang berani melukai anak buahku?” Gilbert mengoceh, suaranya menggema di antara kerumunan yang menahan napas.“Aku akan mematahkan kaki dan tangan orang yang berani mencelakai preman ini!” ia menunjuk ke arah preman yang terluka, yang terus mengadu dengan penuh rasa sakit.“Dia harus meminta maaf dan mematahkan kakinya sendiri!” teriak preman itu. Harapannya tertuju pada Gilbert, tetapi Deril hanya menatap dengan sabar, tidak terpengaruh oleh ancaman itu.Deril mendengarkan, tetap tenang meskipun situasi semakin memanas. Ia tahu bahwa di hadapannya adalah seseorang yang berbahaya, tetapi ia tidak akan mundur.Saat Gilbert memandangnya, ada sesuatu dalam tatapan Deril yang membuatnya ragu. “Kau pikir aku takut padamu?” ujar Deril dengan suara rendah, berusaha menegaskan keberaniannya.Namun, Gilbert masih melanjutkan ancamannya, terjebak dalam egonya dan tidak
Deril membantu perkebunan keluarga Lina dengan penuh semangat, bukan hanya sebagai teman, tetapi juga sebagai suami yang setia.Setiap pagi, ia datang dengan alat pertanian di tangan, siap untuk bekerja di ladang yang mereka kelola bersama. “Aku siap, Lina! Hari ini kita akan menanam lebih banyak benih,” serunya antusias.Bersama Lina, ia mencangkul tanah, menanam benih, dan merawat tanaman dengan penuh kasih. “Lihat, sayang, tanaman ini sudah mulai tumbuh!” kata Lina sambil tersenyum.Melihat tanaman sayuran dan buah-buahan tumbuh subur, Deril merasa harapan dan kebahagiaan mulai menghampiri mereka. Namun, di dalam hatinya, ia juga menyimpan kekhawatiran.“Apakah ini cukup untuk bertahan?” pikirnya. “Selama kita bersama, kita bisa menghadapi apa pun,” ucap Lina, seolah menangkap gelisahnya.Dengan tangan yang penuh keringat dan hati yang penuh cinta, Deril bertekad menjaga impian mereka tetap hidup, karena tidak ada yang lebih berharga baginya selain kebahagiaan Lina.Namun, tantanga